“Dia harus di rumah saja, Bu. Ellie lebih penting. Tangan saya tidak apa-apa,” ucap Zelina dengan senyum yang hangat, seolah rasa sakit di lengannya bukanlah apa-apa dibandingkan si kecil itu.
Cahaya sore menembus kaca jendela ruang tamu, memantul di rambut hitamnya yang tergerai rapi, membuatnya tampak lembut dan penuh ketulusan.
Sekar memandangi gadis itu dengan hati yang teriris, seperti ada jarum halus menancap pelan di dadanya.
“Kamu memang calon menantu terbaik,” katanya lirih, namun penuh tekad. “Setelah kamu sembuh, Ibu akan pastikan Raka menikah denganmu.”
Ada senyum getir yang tak tertahan di wajahnya, senyum seorang ibu yang ingin mengatur masa depan anaknya sebaik mungkin.
Zelina menunduk malu, jemari halusnya meremas ujung selimut di pangkuannya. Namun, saat Sekar memalingkan pandangan, senyum lembut itu menghilang, berganti dengan tarikan bibir licik.
Anak itu sakit tepat setelah aku kemb
Kirana terdiam beberapa detik, seolah mencoba mengurai kekusutan di kepalanya. “Sudah coba hubungi mitra kita?” suaranya terdengar rendah tapi tegas.Ia menyalakan speaker ponsel, lalu melangkah cepat ke kamar mandi. Di sana, air dingin menyentuh kulit wajahnya, membuat pikirannya sedikit jernih, walau dada masih terasa mengencang.“Sudah,” jawab Wiratama, nadanya seperti habis kehilangan tenaga. “Beberapa tak mengangkat telepon, dan yang menjawab pun bicara setengah hati, tak ada kepastian.”Wiratama memejamkan mata sesaat. Rasanya lebih baik jika mereka menolak dengan jelas daripada menggantung.Sikap abu-abu itu membuatnya merasa seperti berjalan di tengah kabut, tidak tahu arah.Kirana mengganti pakaian dengan tergesa, kain blusnya bahkan sempat kusut karena ditarik terlalu cepat.“Baik, aku ke sana sekarang,” katanya singkat, menutup telepon dengan gerakan mantap, meski hatinya masih bergo
Zelina membuang napas pelan, lalu memalingkan wajah, memasang ekspresi sebal yang dibuat-buat.Sudut bibirnya mengerucut tipis, alisnya sedikit mengernyit—tanda ketidaksenangan yang seolah tak ingin ia ucapkan terang-terangan.Sekar, yang duduk di kursi rotan di sudut kamar, tak berkata apa-apa lagi. Hening menggantung di antara mereka, hanya disela suara detik jam dinding yang terdengar lebih nyaring dari seharusnya.Tanpa menoleh, Sekar berdiri pelan, merapikan syal di lehernya, lalu berkata dengan nada datar, “Kamu istirahat saja, Lin.”Zelina memejamkan mata, berpura-pura menurut. Tapi telinganya tetap awas. Ia mendengar langkah kaki Sekar perlahan menjauh, disusul suara pintu kamar yang dibuka lalu tertutup lembut.Di luar, suara derit lantai kayu menyertai langkah Sekar yang semakin menjauh.Kemudian, samar, suara lirih percakapan muncul, tertahan namun cukup jelas untuk ditangkap oleh Zelina yang menahan napas agar b
“Dia harus di rumah saja, Bu. Ellie lebih penting. Tangan saya tidak apa-apa,” ucap Zelina dengan senyum yang hangat, seolah rasa sakit di lengannya bukanlah apa-apa dibandingkan si kecil itu.Cahaya sore menembus kaca jendela ruang tamu, memantul di rambut hitamnya yang tergerai rapi, membuatnya tampak lembut dan penuh ketulusan.Sekar memandangi gadis itu dengan hati yang teriris, seperti ada jarum halus menancap pelan di dadanya.“Kamu memang calon menantu terbaik,” katanya lirih, namun penuh tekad. “Setelah kamu sembuh, Ibu akan pastikan Raka menikah denganmu.”Ada senyum getir yang tak tertahan di wajahnya, senyum seorang ibu yang ingin mengatur masa depan anaknya sebaik mungkin.Zelina menunduk malu, jemari halusnya meremas ujung selimut di pangkuannya. Namun, saat Sekar memalingkan pandangan, senyum lembut itu menghilang, berganti dengan tarikan bibir licik.Anak itu sakit tepat setelah aku kemb
Tanpa sempat mengganti sepatu rumahnya dengan benar, Sekar menyambar jaket dari gantungan, lalu melangkah keluar dengan langkah cepat dan napas setengah tertahan.Udara malam di Bandung menusuk kulit, dingin dan lembap, seperti embusan kabut yang belum selesai mengucapkan selamat tinggal.Mesin mobilnya meraung, menembus kesunyian jalanan yang hanya ditemani deru angin dan lampu-lampu jalan temaram.Di balik kemudi, Sekar mencuri pandang pada layar ponsel yang masih menyala. Nama Zelina tertera di sana, membuat pikirannya dipenuhi tanda tanya.Kenapa bukan Raka yang menelepon? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?“Raka? Dia tidak bersamamu?” tanya Sekar, suara herannya terbungkus kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.“Aku juga tidak tahu dia di mana. Mungkin masih kerja lembur. Aku tak mau ganggu dia. Orang tuaku juga tidak mengangkat telepon, jadi... aku terpaksa minta bantuan Ibu,” suara Zelina terdengar
Setelah enam tahun pencarian yang melelahkan, bertabur harap dan luka yang tak kunjung sembuh, Kirana justru memilih pergi?Diam-diam, amarah Raka bergemuruh seperti badai yang terkurung di dalam rongga dadanya, mengguncang tapi tak bersuara.Langit senja menyelinap masuk lewat celah jendela ruang keluarga, mewarnai dinding dengan semburat jingga pucat.Di tengah cahaya temaram itu, Elina berdiri dengan mata yang berkilat air, memeluk boneka usangnya erat-erat.Ia menarik pelan ujung kemeja ayahnya, seolah takut sentuhan itu akan membuatnya menghilang.“Ayah… aku nggak mau Bu Alesha pergi…” bisiknya lirih, hampir seperti doa yang malu-malu keluar dari bibir kecilnya.Raka menoleh. Pandangannya bertemu mata Elina, sepasang mata kecil yang begitu jujur dan lembut, tapi kini dibalut awan duka yang berat.Ia ingin menjawab, ingin menghapus sedih di wajah itu. Tapi bibirnya terasa kelu, dan dadanya sesak oleh kata
Elina menunduk, bahunya mengerut seperti daun layu diguyur gerimis. Suaranya keluar lirih, nyaris tenggelam dalam senyap ruang tamu yang hanya diterangi cahaya temaram dari lampu sudut, “Nggak sendiri…”Raka sudah bisa menebaknya. Ada nada getir di balik ketenangan anak itu. Ia meraih kepala Elina dengan sentuhan lembut, membelai rambut halusnya pelan-pelan.“Ayah tahu,” ucapnya, suaranya nyaris berbisik, “Bu Kirana pasti yang antar kamu pulang. Ayah juga sudah jelaskan ke Bu Widya, jadi kamu nggak perlu khawatir.”Sekilas, kerut di dahi Elina mereda. Matanya yang sebelumnya redup, kini sedikit menghangat, meski tak benar-benar bersinar.Raka menatapnya dalam diam, lalu bertanya dengan hati-hati, “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ke rumah Bu Kirana?”Ia tahu jawabannya. Tapi ia juga tahu, beberapa kebenaran harus terdengar langsung agar bisa dihadapi.Elina tak menjawab, hanya menggel