Begitu sambungan telepon berakhir, Zayyan tetap terpaku di kursinya. Layar ponsel masih menyala di tangannya, tapi matanya kosong, seolah cahaya biru yang menempel di kulit jemarinya tidak benar-benar sampai ke pikirannya.
Ia menggulir layar tanpa arah, hanya gerakan refleks, sementara benaknya mengembara jauh, menyusuri lorong-lorong kemungkinan yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Pradana Group. Nama besar yang selama ini identik dengan deretan proyek properti megah, tambang yang luas, dan bisnis energi yang menggurita. Tapi medis? Apalagi herbal? Sejauh yang ia tahu, itu bukan ranah mereka.
Seperti mendengar seseorang yang terkenal sebagai pemain catur tiba-tiba ingin ikut lomba balap mobil—aneh, mencurigakan, dan jelas menyimpan maksud tersembunyi.
Namun, instruksi dari Pak Pradana bukan sesuatu yang bisa ditawar. Suara tegas pria itu tadi masih terngiang, dingin, tanpa memberi celah untuk menawar: “Cek semua pemasok herbal di Bandung.
Raka memejamkan mata sejenak, seakan mencoba meredam pusaran pikiran yang beradu di kepalanya. Ia tahu betul tabiat ibunya: Sekar Pradana bukan perempuan yang mudah dilawan. Kata-katanya selalu jadi hukum, dan siapa pun yang berani menentang akan segera dicap lawan.Membela Kirana terang-terangan sama saja menyeret perempuan itu ke jurang kebencian Sekar. Dan bila itu terjadi, Kirana tak akan punya ruang untuk membela diri.Tetapi bagaimana pun juga, itu tetap ibunya. Sosok yang melahirkannya, membesarkannya, dan menanamkan darah Pradana ke dalam tubuhnya. Hubungan itu tak bisa ia enyahkan begitu saja, meskipun di dadanya ada pertarungan lain yang tak kalah keras.Raka menarik napas panjang. Udara di ruang kerja itu dingin dan sunyi, sejuknya AC bercampur dengan wangi samar lavender dari diffuser elektrik. Aroma lembut itu menyelinap pelan, memberi ilusi bahwa persoalan rumit yang menjerat mereka bisa larut begitu saja.Bara, yang sejak tadi diam, akhirny
Begitu sambungan telepon berakhir, Zayyan tetap terpaku di kursinya. Layar ponsel masih menyala di tangannya, tapi matanya kosong, seolah cahaya biru yang menempel di kulit jemarinya tidak benar-benar sampai ke pikirannya.Ia menggulir layar tanpa arah, hanya gerakan refleks, sementara benaknya mengembara jauh, menyusuri lorong-lorong kemungkinan yang tak pernah ia duga sebelumnya.Pradana Group. Nama besar yang selama ini identik dengan deretan proyek properti megah, tambang yang luas, dan bisnis energi yang menggurita. Tapi medis? Apalagi herbal? Sejauh yang ia tahu, itu bukan ranah mereka.Seperti mendengar seseorang yang terkenal sebagai pemain catur tiba-tiba ingin ikut lomba balap mobil—aneh, mencurigakan, dan jelas menyimpan maksud tersembunyi.Namun, instruksi dari Pak Pradana bukan sesuatu yang bisa ditawar. Suara tegas pria itu tadi masih terngiang, dingin, tanpa memberi celah untuk menawar: “Cek semua pemasok herbal di Bandung.
Senja merasa ditarik paksa dari pijakan yang selama ini ia percaya sebagai miliknya.Dimarahi Arga di hadapan orang lain saja sudah cukup membuat wajahnya panas dan telinga berdenging, tapi kini Kakek seakan menampar harga dirinya dengan mencabut semua wewenang yang pernah ia genggam di Baskoro Group.Seolah satu hantaman belum cukup, gelombang kedua datang tanpa memberi jeda untuk bernapas.Malam itu, kamar tidurnya yang biasanya menjadi tempat perlindungan justru berubah seperti penjara. Ia sudah mengadu pada Zelina, tetapi keluhan itu tidak memberi ruang lega. Amarah dan rasa terhina masih menempel di dadanya, seperti bara yang tak kunjung padam.Ia berguling di atas ranjang, menatap kosong langit-langit kamar. Bayangan lampu kristal di atas kepala menari-nari samar, membuat pandangannya semakin berat. Angin malam menyelinap lewat celah jendela, membawa aroma hujan yang belum sepenuhnya pergi.Bukannya menenangkan, hembusan itu justru mengaduk r
Keesokan paginya, suara alarm meraung, merobek keheningan kamar yang masih dibalut bayangan malam. Sinar matahari menyusup malu-malu dari celah gorden, tapi bagi kepala Kirana yang berat dan berdenyut, cahaya itu terasa terlalu menusuk.Ia menutup mata kembali, sejenak saja, berusaha meredam gelombang cemas yang berputar-putar di dadanya. Namun bayangan tentang herbal dari Baskoro Group yang dijanjikan hari ini segera mengusir keinginannya untuk berlama-lama.Dengan enggan, ia melangkah ke kamar mandi, seolah tubuhnya digerakkan bukan oleh semangat, melainkan oleh kewajiban yang tak bisa dihindari.Air dingin dari keran membasuh wajahnya, menimbulkan rasa kaget yang singkat tapi tak cukup untuk menyapu kantuk dan kekusutan. Pandangannya di cermin buram, seperti masih diselimuti kabut mimpi yang belum sepenuhnya sirna.Dari balik kaca, sosok perempuan dengan lingkar mata pekat menatap balik—wajah yang berusaha tegar, namun jelas menyimpan beban.
Zelina menarik napas panjang, dadanya naik turun seakan menahan badai yang menggerogoti isi kepalanya. Ruangan itu dipenuhi aroma kayu tua dan cahaya lampu gantung yang temaram, menebarkan bayangan panjang di dinding.Ia menepis tangan Senja, bukan dengan kasar, melainkan perlahan, seolah hanya ingin mencabut duri tanpa melukai. Namun sorot matanya—mata yang dingin seperti bilah pisau baru diasah—tak menyisakan ruang bagi kelembutan.“Tenang dulu,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan, tapi sarat tekanan. “Wajar kalau Kakek dan Bara marah. Apalagi Kirana dulu yang nyembuhin sakit Kakek. Dan Bara, dia selalu berdiri di pihak Kirana. Nggak aneh kalau sekarang dia pasang badan buatnya.”Wajah Senja menegang. Bibirnya mengerucut rapat, seperti sedang menahan kata-kata yang terlalu pahit untuk ditelan. Jemarinya mengetuk meja dengan ritme tak sabar, suaranya akhirnya pecah, tajam dan penuh protes.“Jadi kita mau biari
Udara di ruang kerja itu begitu berat, seolah ada lapisan kabut tak kasat mata yang menggantung di antara tiga orang yang berdiri di dalamnya. Bau kopi yang sudah lama dingin bercampur dengan aroma kayu dari rak buku tua, menambah kesan ruang itu seperti menahan napas.Jarum jam di dinding terdengar jelas, tik... tak... tik... tak, memecah hening, tapi bukannya menenangkan—malah seperti menambah rasa tercekik.Bara berdiri tegak di dekat meja besar, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. Tatapannya menusuk Senja, dingin, nyaris tak berperasaan, seperti bilah baja yang ditempa dari bara kekecewaan. Hanya sedikit gerakan di rahangnya—bergetar menahan amarah yang hampir tak terkendali.Senja, dengan rambut tergerai yang sedikit berantakan karena terlalu sering disentuh, mencoba menahan pandangan Bara. Tapi suaranya, meski dipaksa tegar, terdengar serupa kaca retak yang mudah patah.“Lagi pula,” katanya, berusaha menegakkan b