Ia memutar badan, bersiap membuka pintu untuk keluar dari ruang tamu yang terasa semakin sesak oleh udara tegang.
Namun, sebelum sempat menyentuh kenop pintu, sepasang jari dingin mencengkeram pergelangan tangannya—erat, namun tidak menyakitkan.
Tubuhnya menegang. Alisnya spontan mengernyit, dan ia berbalik dengan sorot mata yang menyala tak sabar, siap melontarkan teguran.
Tapi saat matanya bertemu dengan wajah yang sudah tak asing lagi itu—dingin, tenang, namun entah kenapa selalu mampu mengguncang keseimbangannya—kata-kata yang hendak ia ucapkan terhenti di ujung lidah.
Raka.
Sosok lelaki itu berdiri di hadapannya, hanya berjarak sejengkal. Pandangan matanya tajam, menghujam, namun tak sepenuhnya keras.
Ada sesuatu di sana—perlindungan, barangkali, atau sekadar kepedulian yang disamarkan.
Jantung Kirana berdetak lebih kencang, seperti hendak keluar dari tempatnya. Ia menahan napas tanpa sadar.
Siapa d
Namun Kirana tetap berdiri tegak, dengan keteguhan yang sulit diganggu gugat. Sinar lampu gantung yang temaram memantulkan bayangan di wajahnya, mempertegas guratan fokus di dahi yang mulai dipenuhi titik-titik keringat.Setiap gerakannya tenang, seolah ia sedang membaca alur yang telah ia hafal di luar kepala—bukan bermain-main dengan risiko.Bara mengamati dari jarak beberapa langkah. Matanya sempat menyipit, mencoba menangkap sesuatu dari wajah Kirana yang mungkin terlewat.Tapi tidak ada—tidak ada keraguan sedikit pun. Meski usianya terlihat belum genap tiga puluh, tangan dan pikirannya bekerja seperti seorang veteran.Dan di situlah, di balik kekagetan yang diam-diam menyergapnya, Bara merasakan sesuatu yang menyerupai rasa hormat.Dalam diam, ia mengangguk perlahan.Jangan menilai seseorang dari kulit luarnya saja, batinnya. Terutama seseorang seperti dia.Waktu bergulir pelan dalam hening yang nyar
Kirana masih berusaha meredam bara kesal yang menghanguskan dadanya. Napasnya memburu pelan, tapi dalam.Seperti ombak yang mencoba kembali tenang setelah dihantam badai. Ingatannya kembali pada satu hal yang membuatnya tetap tegak berdiri di tengah kekacauan ini—pentingnya kerja sama dengan lembaga penelitian itu.Ia tahu, melibatkan emosi sekarang hanya akan menjeratnya dalam lingkaran yang tak produktif.Dan lagi, Bara benar. Pak Arga tak bersalah. Ia hanya korban dari sesuatu yang belum sepenuhnya terungkap.Dengan satu helaan napas panjang, Kirana mengangkat dagu dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.Lampu gantung temaram menggantung di atas kepala mereka, menciptakan bayangan lembut di dinding berwarna gading.Aroma antiseptik yang samar masih menggantung di udara, bercampur dengan wangi teh melati yang belum sempat diminum.Dengan suara datar namun tajam, Kirana berkata, “Saya mohon, yang tidak berkepe
Ia memutar badan, bersiap membuka pintu untuk keluar dari ruang tamu yang terasa semakin sesak oleh udara tegang.Namun, sebelum sempat menyentuh kenop pintu, sepasang jari dingin mencengkeram pergelangan tangannya—erat, namun tidak menyakitkan.Tubuhnya menegang. Alisnya spontan mengernyit, dan ia berbalik dengan sorot mata yang menyala tak sabar, siap melontarkan teguran.Tapi saat matanya bertemu dengan wajah yang sudah tak asing lagi itu—dingin, tenang, namun entah kenapa selalu mampu mengguncang keseimbangannya—kata-kata yang hendak ia ucapkan terhenti di ujung lidah.Raka.Sosok lelaki itu berdiri di hadapannya, hanya berjarak sejengkal. Pandangan matanya tajam, menghujam, namun tak sepenuhnya keras.Ada sesuatu di sana—perlindungan, barangkali, atau sekadar kepedulian yang disamarkan.Jantung Kirana berdetak lebih kencang, seperti hendak keluar dari tempatnya. Ia menahan napas tanpa sadar.Siapa d
Tak ada satu pun dari mereka yang menyangka Kirana akan menyerah secepat itu. Perempuan yang sejak awal tampak teguh dan penuh keyakinan untuk membantu Arga, kini berbalik arah tanpa banyak kata.Udara di dalam kamar mendadak mengeras, seolah merespons ketegangan yang baru saja terjadi.Bara tercekat. Sejenak ia hanya berdiri mematung, mencoba merangkai ulang peristiwa barusan. Begitu kesadarannya kembali, ia buru-buru melangkah ke depan, seolah ingin menambal suasana yang telah sobek.“Maafkan kami, Dr. Alesha...” ucapnya pelan, nadanya terdengar lebih rendah, nyaris seperti bisikan yang ragu.“Jujur saja, keluarga kami memang banyak yang berlatar belakang medis, jadi... kami cukup paham soal akupunktur. Kakak saya hanya panik. Dia mengira titik yang Anda tusuk itu berbahaya dan khawatir dengan kondisi Kakek. Sekali lagi, mohon maaf.”Namun Kirana tetap tak menjawab. Ia hanya sibuk merapikan alat-alatnya dengan gerakan yang
Kirana tetap membungkam gelisah yang merayap dari arah lain ruangan. Jemarinya lincah, hampir seperti tarian yang sudah dihafal bertahun-tahun, memilih satu per satu jarum perak kecil dari dalam wadah logam.Di hadapannya, lampu gantung temaram memantulkan cahaya dingin pada permukaan jarum yang berkilau samar.Ia mencelupkannya ke dalam alkohol, menyaksikan gelembung-gelembung kecil pecah pelan di permukaan cairan bening itu.Di balik kesunyiannya, gemuruh langkah dan desahan nafas masih terasa; namun Kirana mengabaikannya, menutup diri dalam benteng konsentrasi yang nyaris suci.Di sisi lain ranjang, Bara tampak berkutat dengan tubuh Arga yang lemas bagai kain basah. Lelaki tua itu terkulai, matanya terpejam, napasnya tak beraturan—seperti daun yang hanyut terbawa arus deras.Dengan satu tangan, Bara menyanggah punggung Arga, tangan lainnya meraba kancing kemeja satu per satu, membukanya dengan sabar namun gelisah.Tubuh Arga tak mem
“Kau benar-benar—!”Suara Senja pecah di udara, tapi langsung menggantung, seolah terbentur dinding tak terlihat. Matanya membelalak, tak percaya Kirana bisa bicara seterang itu, setelanjang itu, seolah tak ada filter antara isi hati dan mulutnya.Ketegangan di ruangan menebal, seperti kabut tipis yang perlahan-lahan berubah menjadi awan badai.Bara, yang sejak tadi berdiri sedikit di belakang, diam-diam mengamati. Cahaya lampu dari langit-langit rumah sakit memantul di bola matanya yang gelap, membingkai wajahnya yang tegas dalam keremangan.Ia menoleh, sorot matanya tajam menyapu Senja. Tak ada suara yang keluar, tapi isyarat itu jelas: cukup.Senja—yang biasanya keras kepala seperti batu karang diterjang ombak—akhirnya mengendurkan bahunya.Ia menghela napas kasar, menelan kekesalan yang masih menggumpal di tenggorokannya saat bertemu mata Bara.Tidak ada pertengkaran yang bisa ia menangkan ketika Bara