Melihat gadis kecil itu hanya berdiri terpaku tanpa sepatah kata pun, Kirana sempat mengira ia benar-benar tidak tahu harus menghubungi siapa.
Tapi sebelum keraguan itu berakar lebih dalam, gadis itu perlahan merogoh saku gaun lusuhnya—gerakannya ragu, seperti takut kertas yang digenggamnya itu akan hancur bila disentuh terlalu keras.
Ia menyodorkan secarik kertas kecil yang sudah mulai kusut ke arah Kirana. Di permukaannya, tertulis angka-angka yang tampak digoreskan terburu-buru. Di bawahnya, dengan tulisan tangan mungil khas anak-anak, ada satu kata yang membuat dada Kirana menghangat: Ayah.
Kirana menerimanya dengan lembut, mengangguk pelan, lalu menatap angka-angka itu sejenak—memastikan tak ada satu pun digit yang salah terbaca. Setelah yakin, ia mengetik nomor itu ke dalam ponselnya dan menekan tombol panggil, jari-jarinya sedikit bergetar oleh rasa harap yang mendesak.
Di belakangnya, Aidan menyandarkan tubuh ke dinding, berbisik pada Bayu dengan suara yang tak cukup pelan untuk luput dari telinga Kirana.
“Eh... dia memang bisu, ya?”
Ucapan itu menghantam udara seperti batu dilempar ke permukaan danau tenang. Kirana langsung menoleh, tatapannya menusuk seperti angin dingin yang menerpa wajah.
“Jangan ngomong sembarangan,” ucapnya, pelan tapi berisi, seperti ombak kecil yang menyimpan badai di baliknya.
Aidan dan Bayu, yang baru menyadari kesalahan mereka, berdiri tegak dengan canggung. Mereka tersenyum kikuk ke arah gadis kecil itu, seolah ingin menebus sesuatu yang tak bisa dibatalkan.
Gadis kecil itu hanya memandangi mereka dengan mata besar yang menyimpan dunia, lalu perlahan melangkah mendekat. Ia meraih sudut baju Kirana, menggenggamnya erat seolah itu satu-satunya jangkar yang bisa membuatnya tetap berdiri.
Namun Kirana tak menyadari genggaman itu. Perhatiannya terkunci pada layar ponsel, di mana nada panggil masih terus berputar, menggantungkan harapan pada suara yang akan menjawab di ujung sana.
***
Sementara itu, di kediaman megah keluarga Pradana, lantai marmer berkilau memantulkan langkah Raka yang berat dan penuh amarah. Ia menjejakkan kakinya ke ruang tamu yang dingin dan lapang, matanya menyapu ruangan dengan sorot kelam.
Nafasnya tertahan di dada, mengeras seperti bara dalam sekam.
“Ellie sudah pulang?” tanyanya, suaranya tajam seperti pisau yang baru diasah.
Seorang pelayan tua yang biasanya tenang, kini datang dengan langkah gugup. Ada kegelisahan yang jelas di wajahnya.
“Belum, Tuan Raka. Kami tak melihat Nona Elina kembali sejak sore tadi.”
Raka mengatupkan rahangnya. Tangan kirinya mengepal tanpa ia sadari, dan suasana di sekelilingnya seakan membeku. Kilatan kemarahan yang tertahan mengintip dari balik sorot matanya yang dingin. Hening mengisi ruang itu, nyaris memekakkan telinga.
Ke mana kau pergi, Elina...? Sudah semua tempat kucari... Jangan bilang sesuatu telah terjadi padamu...
Pintu rumah berderit terbuka, memecah ketegangan. Aroma menyengat parfum mahal langsung menyelinap ke udara, disusul oleh langkah tergesa seorang wanita bergaun ketat dan riasan mencolok.
“Raka! Aku dengar Ellie hilang! Apa benar? Kau sudah menemukannya?” serunya dramatis.
Zelina. Wanita dari masa lalu Raka—yang pernah hampir ia nikahi.
Raka memutar tubuhnya perlahan. Tatapannya tajam menyorot Zelina, tapi tubuhnya tetap diam tegak. Seolah ia sedang menahan sesuatu yang lebih liar dari kemarahan biasa.
“Belum. Dan sekarang kau sudah di sini, jawab aku—apa yang kau katakan pada Ellie sore tadi? Kenapa dia kabur begitu saja?”
Zelina membeku. Ia menelan ludah, wajahnya sejenak kehilangan warna.
“A-apa maksudmu?” suaranya pelan, tercekik. “Kau... menuduh aku yang membuat dia lari?”
Ia mencoba tampak sedih. Matanya berair, suaranya mulai bergetar seperti senar biola yang nyaris putus. “Raka, kau tahu sendiri bagaimana aku memperlakukan Ellie. Meskipun dia dingin padaku, aku selalu berusaha bersikap baik. Aku nggak pernah marah padanya... apalagi menyakitinya!”
Ia hampir menangis. Ekspresinya tampak remuk—namun bagi yang cukup jeli, ada sesuatu yang terlalu sempurna dalam tangisnya. Seperti sebuah pertunjukan yang sudah sering dimainkan di depan cermin.
Namun jauh di lubuk hatinya, Zelina hanya ingin satu hal: gadis kecil itu lenyap. Tadi sore, ia memang telah meluapkan kekesalannya. Kata-katanya menusuk seperti duri: bahwa setelah menikah dengan Raka, ia akan memiliki anak-anak yang jauh lebih cantik, lebih lucu, lebih berharga daripada Elina.
Ia tahu Elina tak bisa bicara. Dan karena itulah, ia merasa aman. Tak akan ada yang tahu.
Tapi ia tak pernah menduga, bahwa Elina benar-benar akan lari. Dan kini, rasa takutnya bukan karena kehilangan Elina—melainkan kemungkinan bahwa dunia akan mulai menebak apa yang sebenarnya terjadi.
Baguslah... pikirnya, menutupi kegelisahan dengan senyum semu di balik air mata palsu. Semoga dia tak pernah kembali. Setidaknya aku tak perlu lagi berpura-pura.
Kirana terkekeh pelan, nyaris hanya getaran samar dari bibir yang mulai mengendur dari ketegangan. Sorot mata mereka bertemu—sepasang tatapan yang membawa kelegaan, tetapi juga kelelahan yang menempel seperti embun dini hari pada kaca jendela.Malam itu belum sepenuhnya selesai, tapi langkah mereka terus bergerak, seolah menolak berhenti sebelum tiba di titik aman.Rumah itu menyambut mereka tanpa kata—sunyi, sedikit pengap oleh udara malam yang belum sempat berganti, namun tetap terasa seperti pelukan yang akrab.Begitu pintu tertutup, aroma nasi uduk dan lauk dari bungkus kertas cokelat memenuhi ruang makan kecil yang terletak tak jauh dari ruang tamu.Bau khas dari Warung Nyi Darmi—dengan jejak sambal terasi yang kuat dan lengkuas yang menempel di lidah—menjadi pengingat bahwa bahkan dalam kekacauan, ada hal-hal kecil yang tetap setia memberi kenyamanan.Tanpa banyak bicara, Kirana dan kedua anaknya segera menyerbu meja m
Jika bukan karena kehadiran Raka, mungkin Zelina sudah meluapkan emosinya tanpa ampun. Tapi sorot mata pria itu terasa seperti pisau yang membelah udara di ruang tamu—tajam, tenang, dan tak bisa diabaikan.Maka ia menahan diri. Rahangnya sempat mengeras, mata menyala marah, tapi hanya sekejap. Lalu, dengan gerakan teatrikal, ia melepaskan genggamannya dari lengan Elina dan menjatuhkan diri ke lantai seolah tubuhnya tak lagi sanggup menopang beban emosinya.Zelina memandang Elina dengan tatapan penuh luka yang terasa dibuat-buat, seolah ia adalah korban dari drama besar yang tak ia pilih.“Ellie…” suaranya gemetar, seperti helaan napas di tengah kabut pagi, “aku tahu kamu nggak suka aku. Tapi aku sungguh khawatir, Nak. Kenapa kamu harus begini... kejam sekali.”Air mata menggenang di sudut matanya, mempertegas citra seorang wanita yang patah hati. Ia bahkan menunduk sedikit, seakan menyerah pada keadaan, menunggu simpat
“Kalau kamu belum siap cerita, nggak apa-apa. Tapi tolong, janji satu hal… jangan kabur lagi, ya?”Suara itu lirih tapi jelas, seperti buih ombak yang pelan-pelan menyentuh karang—lembut, namun menyimpan kekuatan di dalamnya.Raka menoleh ke depan, menyembunyikan gelombang perasaan yang baru saja terbit dari tatapan mata yang ia sembunyikan di balik kaca mobil yang mulai berembun.“Zayyan,” ucapnya setelah jeda singkat, nada suaranya kini lebih tegas, “minta rekaman CCTV dari restoran itu. Segera.”Masih ada bara yang menyala. Ia belum menyerah.“Siap, Pak Pradana,” jawab Zayyan, pelan. Suaranya dalam, nyaris berat sebelah. Ia tahu, perintah ini hanya akan menyayat luka yang belum sempat mengering.Dua puluh menit kemudian, mobil meluncur pelan melewati gerbang besi hitam yang mengarah ke sebuah rumah bergaya tropis modern.Dindingnya dihiasi tumbuhan rambat yang ditata rapi, dan halaman depannya asri, seolah menyambut siapa pun yang
Kirana mengembuskan napas panjang, seperti baru saja melepaskan beban besar dari dadanya. Dalam satu gerakan refleks, ia meraih kedua anaknya dan memeluk mereka erat.Helaan napasnya nyaris terdengar seperti isakan kecil, namun ia menahan diri.Aroma khas rambut anak-anaknya—sedikit keringat yang bercampur wangi sabun mandi—membanjiri indranya, menghadirkan rasa aman yang selama beberapa jam terakhir terasa begitu jauh.“Ya Tuhan... syukurlah Ibu punya kalian.” Suaranya serak namun hangat. Tangannya meremas pelan bahu Aidan dan Bayu.“Kalian penyelamat Ibu hari ini.”Aidan dan Bayu hanya menanggapi dengan senyum malu-malu. Ada binar tipis di mata mereka, seperti sedang menikmati peran sebagai pahlawan dalam cerita petualangan yang selama ini hanya mereka saksikan lewat layar.Meskipun detak jantung mereka masih belum sepenuhnya normal, perasaan bangga perlahan menenangkan tubuh kecil mereka.“Terus, kita langsung pulang, Bu?” tanya Aidan, suaranya sedikit bergetar namun mencoba terden
Berapa lama Mahira bisa bertahan?Pertanyaan itu bergema dalam kepala Kirana, berulang-ulang, seperti detak jam yang berdetak terlalu keras di ruangan sepi.Angin sore menyapu rambutnya yang setengah terikat, menambah dingin di tengkuk yang sudah basah keringat. Sementara hiruk-pikuk di jalan depan restoran itu seolah tak peduli pada kekacauan kecil yang sedang menggumpal dalam dada Kirana.Kalau penyamaran mereka terbongkar…Ia menelan ludah, tapi kerongkongannya terasa kering.Apa yang harus ia lakukan?Ia mencoba merangkai rencana di kepalanya, tapi pikirannya seperti terbenam dalam kabut tebal—segala kemungkinan muncul, tumpang tindih, lalu lenyap sebelum sempat ia tangkap.Tiba-tiba ia tertawa. Hambar. Palsu. Suara itu nyaris tak terdengar, tenggelam dalam bising kendaraan dan percakapan orang-orang yang lalu-lalang.Apa sebenarnya yang ia takutkan?Kalaupun bertemu lagi…Kalaupun benar-benar berdiri di depan Raka hari ini...Besar kemungkinan laki-laki itu hanya akan menatapnya
Raka kembali menatap Mahira. Sorot matanya berubah—tak lagi hanya penasaran, tapi kini dihiasi curiga yang mulai menyala terang, seperti cahaya lampu baca yang sengaja dinaikkan satu tingkat.Mahira bisa merasakannya. Udara di antara mereka mendadak padat, seperti ada sesuatu yang mengambang, menekan dadanya. Ia menggeser duduk sedikit, tapi rasa tidak nyaman itu tak ikut menjauh.Dan tak butuh waktu lama hingga firasat buruknya berwujud nyata.Raka, dengan gerakan yang nyaris tak bersuara, meraih ponsel dari tangan Zayyan. Ia membuka layar, matanya menyipit sejenak seolah mencari sesuatu yang spesifik. Lalu, dengan jari yang tenang namun tegas, ia menekan sebuah nama di layar.Suasana di meja sempat hening. Lalu suara nyaring dering ponsel terdengar—dari arah Mahira. Dari dalam saku roknya.Deg.Seolah ada sesuatu yang meledak kecil di dadanya. Jantung Mahira terpukul dentuman panik. Ia hampir saja melompat dari duduknya, tapi buru-buru menenangkan diri. Ia menarik napas, menekannya
Mahira otomatis menegakkan tubuh, meski dadanya sesak oleh degup jantung yang seolah memukul-mukul dari dalam. Ia menarik napas perlahan, berusaha menciptakan ilusi ketenangan. Padahal, tubuhnya nyaris gemetar.Langkah sepatu kulit terdengar menjejak lantai marmer yang mengilap, memantulkan cahaya lampu gantung di langit-langit restoran mewah itu. Dari balik pintu yang terbuka, muncul sosok tinggi bersetelan jas gelap.Gerakannya tenang tapi penuh kendali, nyaris seperti siluet dari mimpi buruk yang datang tanpa aba-aba.Raka Pradana. Aura dinginnya menyebar cepat, seperti kabut yang menyerbu masuk ke dalam ruangan.Kini, hanya ada dua orang dewasa yang saling menatap dalam ketegangan yang mengental di udara. Sementara di sudut ruangan, duduk seorang gadis kecil bersandar di sofa empuk berlapis beludru biru gelap.Elina. Dengan kedua tangan bersedekap dan alis berkerut, ekspresinya memperjelas kemarahannya—bukan karena Raka, tapi karena Kirana yang pergi tanpa sepatah kata pun.Begitu
Mahira, yang sedari tadi hanya menjadi pendengar diam, perlahan meletakkan sendoknya ke tepi piring. Gemerincing halus terdengar saat logam itu menyentuh keramik, mengisi jeda percakapan yang tiba-tiba menggantung di udara.Ia menatap gadis kecil itu lekat-lekat, matanya menyipit, seolah mencoba menerjemahkan sesuatu yang tak terucap.“Itu... kebetulan banget, nggak sih?” bisiknya, nyaris seperti gumaman. Nadanya limbung—antara ragu yang menggantung dan harapan yang nyaris menyentuh permukaan.Sebagai sahabat yang tahu persis alur naik-turun hidup Kirana selama enam tahun terakhir, Mahira bukan hanya mendengar cerita—ia menyaksikan sendiri luka yang menganga, malam-malam panjang yang tak berujung, dan cara Kirana belajar tersenyum lagi dari kepingan yang berserakan.Ia tahu kapan Kirana menangis tanpa suara, kapan tawa itu hanya penutup rapuh. Dan sekarang, gadis kecil ini…Kalau anak itu benar berusia enam tahun, maka... dia lahir tak lama setelah perceraian itu.Mahira menarik napas
Warung Nyi Darmi—meski dari luar hanya tampak seperti warung sederhana di sudut jalan yang sering terlewat pandang di Bandung Selatan—menyimpan aura eksklusivitas yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.Dindingnya dari bata merah yang dibiarkan terekspos, menyambut pengunjung dengan nuansa hangat dan bersahaja, tapi begitu melangkah masuk, dunia seolah berubah.Aroma rempah-rempah yang menggoda langsung menyergap indera penciuman—ada jejak lengkuas yang membara, wangi serai yang menyelinap halus, dan samar-samar asap dari ikan bakar yang baru diangkat dari panggangan arang.Interiornya unik: memadukan kelembutan nuansa Jawa kuno dengan sentuhan elegan yang sederhana. Meja-meja jati tua dibatasi oleh sekat-sekat berukir motif bunga kamboja, sementara cahaya temaram dari lampu gantung berbahan anyaman bambu menciptakan bayangan yang menari di dinding.Langit-langit bangunan dibiarkan terbuka sebagian, memperlihatkan langit malam yang jernih.Cahaya bulan menetes perlahan ke dal