Share

Bab 5

Author: Nayla
Ray tiba-tiba bertanya, "Apa kamu tertarik bergabung dengan Grup Dozan? Aku bisa memberimu ...."

Belum sempat kalimatnya selesai, penolakan sudah terdengar tegas. "Nggak!"

Melihat sosok ramping yang berbalik itu, mata Ray memancarkan sorot berbeda, campuran antara kagum dan tergerak.

....

Satu lagi catatan di memo terselesaikan. Emily beristirahat setengah hari di hotel, lalu kembali ke vila gandeng itu.

Halaman depan kacau balau. Wanda mengenakan pakaian miliknya, berselimutkan syal wol mahal, bertingkah bak nyonya rumah. Dia tengah menyuruh para pelayan mencabut bunga-bunga yang selama ini dirawat dengan baik.

Saat melihat Emily turun dari mobil, mata Wanda menyiratkan sedikit kepuasan. Belum sempat dia merekam video untuk mengejek, ternyata orang itu sudah tidak tahan dan pulang sendiri. Sungguh kebetulan.

Dia tersenyum manis, menyapa dengan ramah, "Emily, kenapa kamu pulang? Finn bilang dua hari ini kamu nginap di hotel, jadi menyuruhku menganggap tempat ini sebagai rumahku sendiri."

Selesai berbicara, dia menutup mulut dan batuk beberapa kali. "Semua salah tubuhku yang lemah dan nggak tahan dengan serbuk bunga. Sampai-sampai membuat Finn harus menjagaku larut malam. Emily, kamu nggak akan menyalahkanku, 'kan?"

Emily menatap bunga-bunga yang mulai layu itu dengan dingin. Sejak keluar dari Grup Eternal, Finn takut dia akan bosan. Karena tahu Emily suka merawat tanaman, Finn sengaja mencarikan banyak bunga langka untuknya.

Beberapa di antaranya sangat rapuh. Emily merawatnya lama sekali baru bisa tumbuh subur. Hari ketika bunga itu mekar, dia mengirim foto kepada Finn, berkata bahwa saat pernikahan nanti, bunga itu akan dipakai sebagai buket.

Namun, kini semua berubah menjadi lumpur busuk.

"Bagus, teruskan." Emily mengalihkan pandangan, lalu langsung naik ke lantai atas.

Wajah Wanda seketika berubah. Dia sudah bersiap menghadapi kemarahan besar Emily, tetapi kenapa wanita itu justru begitu tenang?

Di kamar, Emily memandangi ruangan yang dia tinggali bertahun-tahun. Hatinya terasa kosong. Meskipun dia dan Finn selalu tidur di kamar terpisah, semua perlengkapan di kamarnya berpasangan. Sikat gigi, handuk, boneka, piama, bantal ....

Emily mengambil kantong sampah hitam besar, memasukkan semua barang-barang itu ke dalamnya. Dia bolak-balik sampai lima kali, tetapi para pelayan yang sibuk di taman tidak menyadarinya.

Pada proses terakhir, Finn pun baru saja pulang. Dia bergegas masuk rumah, naik ke lantai dua tanpa melihat Emily.

Saat melewati kamarnya, Emily mendengar suara tangisan Wanda dari kamar Finn. "Finn, sebaiknya aku pindah saja. Bunga-bunga itu ... uhuk, uhuk ...."

"Bodoh, cuma bunga. Kalau dia suka, palingan nanti ditanam lagi. Yang penting kesehatanmu. Jangan nangis, kamu kayak anak kucing yang basah kuyup."

Suara lembut penuh kasih itu menusuk hati Emily. Emily kembali ke kamarnya, mengemasi barang-barang terakhir ke koper. Begitu ditutup, pintu kamar terbuka.

"Emi, kamu ...." Finn melihat lemari yang kosong, seketika panik. "Barang-barangmu ke mana?"

Emily menoleh, menampakkan senyuman samar di wajahnya. "Sudah usang, jadi diganti yang baru. Kenapa? Nggak boleh?"

Finn tertegun, merasa ada yang tidak beres. Namun, dia sudah berjanji minggu depan akan mengambil akta nikah dengan Emily. Setelah status mereka berubah, membeli barang-barang baru juga hal yang wajar.

Lagi pula, dia meminta Emily pulang untuk menjaga Wanda dan Emily benar-benar pulang. Itu berarti, Emily tidak lagi marah soal semalam.

Finn tidak berpikir terlalu jauh. Dia menekan rasa paniknya, berjalan mendekat, lalu mengusap kepala Emily seperti biasanya.

"Aku tahu kamu kesal. Beberapa hari ini belanjalah sesukamu. Aku juga sudah menyuruh Ruben mencari rumah yang cocok untuk Wanda. Senin depan, aku pastikan dia pindah. Saat itu, semua barang di kamarku akan diganti dengan yang baru kamu beli, gimana?"

Emily hanya bisa menghela napas panjang. Suaranya datar sekali. "Finn, setelah kita nikah nanti, apa kamu masih akan terus mengurus Wanda seperti ini?"

Mendengar Emily sendiri menyebut kata menikah, hati Finn semakin mantap. Dia membungkuk, menatap matanya dalam-dalam sambil tersenyum. "Jangan cemburu, jangan ngambek. Jadi gadis manis ya?"

"Baiklah." Emily mengangguk. Dia tidak akan cemburu, juga tidak akan ribut lagi.

Belum sempat Emily kembali ke hotel, telepon dari rumah lama datang mendadak. Norman memerintahkan Finn membawa Emily pulang untuk menghadiri jamuan keluarga.

Sejak Grup Eternal berdiri, kedudukan Finn di Keluarga Aristo melambung tinggi. Ayahnya yang dulu enggan mengakuinya, kini malah tampil sebagai ayah penuh kasih, sering memuji Finn di depan orang luar sebagai putra terbaiknya.

Namun, bagi Emily, setiap jamuan keluarga itu sama saja dengan pesta jebakan. Karena Keluarga Aristo tidak tahu jati dirinya, mereka hanya menganggapnya anak yatim piatu tanpa asal-usul yang jelas.

"Finn, aku agak gugup. Apa keluargamu nggak akan membenciku?" Wanda yang duduk di kursi depan tampak tersipu saat menoleh pada Finn yang menyetir.

Setiap kali pulang ke rumah lama, Finn tidak pernah membawa asistennya. Dia tidak menjawab pertanyaan Wanda, hanya menatap sekilas ke arah Emily yang duduk di kursi belakang lewat kaca spion. Bibirnya terkatup rapat.

Gadis ini lagi-lagi merajuk. Barusan Emily menolak duduk di kursi depan karena Finn membawa Wanda ke rumah Keluarga Aristo. Masa iya mereka harus meninggalkan Wanda sendirian di rumah? Apalagi Wanda sakit.

Suasana di mobil menjadi janggal. Wanda seolah-olah tak sadar, terus mencoba mengajak Emily berbicara. Saat tak mendapat respons, dia berpura-pura kecewa, lalu bersikap manja pada Finn.

Emily malas menanggapi. Dia memilih memejamkan mata dan benar-benar tertidur.

Perjalanan memakan waktu 40 menit lebih. Sesampainya di rumah lama, kepala Emily masih pusing.

"Kalau nggak mau datang, bisa langsung bilang. Ini rumah lama Keluarga Aristo, jangan ngambek di sini."

Suara Finn yang menegur terdengar dingin. Saat mendongak, Emily hanya melihat sorot kesal yang samar di matanya.

Sejak Emily mundur dari dunia bisnis, Finn jarang membawanya tampil di depan umum. Emily selalu mengira itu bentuk perlindungan. Tak pernah terpikirkan, mungkin sebenarnya Finn juga malu akan latar belakangnya.

"Tuan Fin sudah pulang. Ini ...." Kepala pelayan menyambut dengan penuh hormat, tatapannya bergantian memandang Emily dan Wanda dengan ekspresi aneh.

"Halo, aku temannya Finn. Maaf mengganggu," sapa Wanda dengan manis, lalu merangkul lengan Finn dengan akrab.

Kepala pelayan langsung paham. Dia menatap Emily dengan tatapan penuh simpati, lalu membungkuk untuk mempersilakan. "Tuan Tua dan Tuan Besar menunggu di ruang kerja. Nyonya ada di ruang tamu."

Menatap bangunan besar dan megah itu, mata Wanda berkilau saking antusiasnya. Cepat atau lambat, semua ini akan menjadi miliknya.

"Emily, ayo masuk. Jangan biarkan orang-orang menunggu." Wanda berkata sambil menarik Finn masuk, sama sekali tidak menunjukkan ketegangan seperti yang dia tunjukkan di dalam mobil.

Emily menatap punggung mereka yang berjalan bersama, ingin sekali berbalik pergi. Namun, banyak hal belum selesai. Belum waktunya dia membuka semua kartu kepada Finn. Lagi pula, kakek Finn selalu memperlakukannya dengan baik.

Belakangan ini, kesehatan Norman memburuk. Emily tidak tega membuat suasana di rumah menjadi tidak menyenangkan.

Setelah menenangkan diri, dia baru masuk beberapa menit kemudian. Begitu masuk ruang depan, suara dingin ibu Finn langsung terdengar. "Finn benar-benar hebat. Membawa pulang anak yatim piatu saja sudah cukup memalukan, sekarang bahkan binatang jalanan pun dibawa masuk. Kamu kira Keluarga Aristo ini panti asuhan?"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 100

    Austin duduk tegak di sofa dengan mata setengah terpejam. Sulit ditebak apa yang sedang dipikirkannya. Pria tua itu sedang beristirahat.Emily refleks memperlambat langkahnya. Saat dia mendekat, Austin seakan merasakan sesuatu, lalu membuka matanya. Sepasang mata yang tampak bijak itu perlahan beralih padanya."Emily, kamu nggak terluka?""Hm?"Emily terkejut. Dia sempat mengira, Austin akan menegurnya karena dianggap tidak hormat pada ayah. Tak disangka, hal pertama yang keluar dari mulutnya malah menanyakan keadaannya.Melihat keterkejutannya, sorot mata Austin berangsur-angsur melembut. "Aku memang dengar kabar bahwa kamu membuat ayahmu sampai masuk rumah sakit, tapi aku juga sudah tanyakan duduk perkaranya.""Ayahmu mengadakan jamuan, itu pilihannya. Tanpa memberitahumu lebih dulu, dia malah menuntut kamu menjamu tamu dengan hangat. Lalu saat jamuan, dia menghukummu di depan tamu dengan alasan bicara nggak sopan .... Itu nggak pantas.""Keluarga besar menetapkan aturan, tujuannya a

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 99

    Tatapan cemas Finn sepenuhnya terhalang. Mobil melaju stabil meninggalkan kompleks Keluarga Hadid, menuju hiruk pikuk pusat kota.Di dalam kabin mobil yang hening, barulah Emily menoleh. "Pak Kristof, kenapa kebetulan lewat depan rumah Keluarga Hadid?""Bukan kebetulan lewat."Wajah Kristof tetap tampak dingin di dalam bayangan kabin, hanya matanya yang dalam memantulkan sosok Emily. "Aku memang sengaja datang untuk menjemputmu.""Menjemputku? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Emily mengangkat alis. Jangan-jangan, kabar Ronny membantu Finn merebut proyek, lalu Keluarga Hadid berencana bekerja sama dengan Finn, sudah sampai di telinga Kristof? Sebagai sekutu, Kristof sengaja memutar jalan untuk memberi peringatan padanya?Pikiran itu membuat tatapan Emily ikut menjadi serius.Kristof menjawab, "Ibu tirimu yang menelpon ke rumah Keluarga Maison. Katanya sejak kamu jadi istri Keluarga Maison, sikapmu sudah tidak tahu aturan.""Dia bahkan mengadu, bilang kamu membuat Glenn masuk rumah sakit k

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 98

    Setelah keluar dari rumah Keluarga Hadid, Emily berdiri di pinggir jalan, bersiap-siap untuk memesan mobil.Suara langkah terdengar dari belakang. Dia menoleh dan melihat seorang pria yang berlari dengan jaket tersampir di lengannya dan hanya mengenakan kemeja tipis. Dalam cahaya lampu jalan, dia berhenti tepat di depan Emily."Aku antar kamu."Finn menyibak rambut di sisi wajah Emily, sorot matanya hanya dipenuhi dengan Emily. Seolah-olah, semuanya masih sama seperti dulu. Dulu, Finn juga sering berlari menghampirinya begini.Namun sekarang, Emily hanya merasa angin malam ini membuatnya menggigil. Dia kembali merapatkan mantel di tubuhnya dan jari tetap bergerak di layar, terus mencoba untuk memesan mobil."Nggak perlu."Rumah Keluarga Hadid agak jauh dari pusat kota, aplikasi pemesanan terus berputar, tetapi mobil tak kunjung tersedia.Melihat hal itu, Finn mendekatinya. Dia memperlihatkan lengannya yang lebam akibat pukulan itu dan bibir tipisnya terkatup rapat."Emi, hukuman keluar

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 97

    Emily tetap tak bergeming. Dulu, dia sudah sering merasakan hukuman keluarga ini. Kalau dulu saja dia tidak takut, tentunya sekarang juga semakin tidak gentar menghadapinya.Melihat sikap Emily yang keras kepala, Glenn mengangkat tinggi tangannya. Esther menatap penuh semangat sambil membatin, 'Pukul saja sampai mati!'"Anak tak berbakti!"Wajah Emily tampak dingin. Baru saja dia hendak merebut tongkat itu lalu pergi, tiba-tiba ada bayangan orang melintas di depannya.Finn maju ke depan dan menahan pukulan itu untuknya."Kamu ...." Mata Emily memancarkan keterkejutan dalam sekejap.Finn berdiri di depannya, pelipisnya berkeringat menahan sakit. "Kamu nggak apa-apa?"Empat kata itu membangkitkan kembali kenangan suara Finn di masa lalu.Dulu saat dia kabur dari ibu kota dan pergi jauh ke Kota Kumo, banyak rintangan yang mengadangnya. Finn hanya memeluknya dan menanyakan empat kata itu.Saat Grup Eternal baru berdiri, dia membantu Finn menghadapi jamuan bisnis. Saat itu, dia minum alkoho

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 96

    Sore harinya, di rumah Keluarga Hadid.Emily melangkah pulang di bawah cahaya matahari yang mulai tenggelam. Begitu masuk, pandangannya langsung jatuh pada sosok pria yang duduk sendirian di sofa.Finn mengenakan kemeja dengan celana kain, bagian lengannya digulung hingga menampakkan lengan berotot dan jam tangan emas di pergelangan tangannya. Dia hanya duduk diam sambil menatap Emily dengan sorot mata dalam.Sinar senja yang merah masuk lewat jendela dan jatuh ke lantai, seolah memisahkan mereka berdua ke dalam dua dunia yang berbeda.Keheningan menyelimuti ruangan.Glenn maju mencoba menengahi sambil mengambil mantel Emily dengan lembut dan menggantungkannya. Melihat sikap ayahnya yang tak biasa, Emily lalu memasukkan satu tangan ke saku celananya.Namun, sebenarnya Glenn memanfaatkan gerakan itu untuk berbisik pelan, "Kita akan segera bekerja sama dengan Grup Aristo, mau tak mau akan sering bertemu. Lebih baik cepat bertatap muka dan minta maaf, supaya ke depannya nggak canggung.""

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 95

    "Tenang, aku akan menyuruh perawat datang menjagamu, kamu aman.""Nggak ... Finn, aku ingin ikut denganmu. Serbuk sari di kantor Emily nggak banyak, aku jatuh dari lantai cuma lecet, nggak apa-apa."Wanda baru saja duduk, sepasang matanya yang berkaca-kaca ingin bersikap manja pada Finn. Namun, Finn menekan tubuhnya kembali ke ranjang. Begitu Finn membayangkan sosok Wanda yang terengah-engah di pelukannya, kenangan-kenangan mengerikan waktu itu tiba-tiba muncul dalam benaknya.Tatapan Finn menjadi serius, "Nggak boleh. Sampai badanmu benar-benar pulih, rumah sakit adalah tempat amanmu.""Tapi ....""Wanda, jangan buat aku khawatir."Sorot mata Finn penuh peringatan. Gerakannya jadi lebih kasar saat menekan sampai Wanda merasa sakit. Wanda mengatupkan bibir, dia tahu apa yang membuat Finn khawatir, lalu tak lagi menolak.Finn menahan sorot mata dinginnya barusan, lalu menerima panggilan telepon dari Grup Aristo sehingga dia harus keluar sebentar.Glenn tidak pergi. Dia menunggu dengan s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status