Share

Bab 4

Author: Nayla
"Minum dulu air hangat. Wanda sampai sekarang belum juga bangun, aku nggak bisa tinggalin dia. Emi, yang patuh sedikit. Aku sangat lelah, jangan terus ribut sama aku ya?"

Telepon langsung terputus. Nada sibuk yang berulang-ulang membuat mata Emily perih dan panas.

Dulu, waktu dia mengalami perforasi lambung dan baru selesai operasi, Finn memeluknya sambil menangis lama sekali.

Finn berlutut di samping ranjang dengan sedih, membenamkan wajahnya di leher Emily. Suaranya parau sampai menusuk hati. "Emi, aku sedih sekali. Setiap menit setiap detik kamu di ruang operasi, hatiku seperti ditusuk. Kamu tahu nggak, kamu adalah hidupku!"

Namun, kini pria yang dulu mengatakan dirinya adalah hidupnya itu, justru berkata jangan jadikan penyakit sebagai alasan untuk mengganggunya.

Ketika rasa kecewa berubah menjadi putus asa, hati pun menjadi hampa. Emily menggertakkan gigi, menahan sakitnya, lalu menekan nomor darurat.

Saat diturunkan dari ambulans, rasa sakitnya hampir membuatnya pingsan. Sayup-sayup, dia mendengar suara yang amat dikenalnya. "Wanda, dingin nggak? Peluk leherku erat-erat."

Dengan susah payah, Emily menoleh. Di tengah-tengah tenaga medis yang bergegas, Emily melihat Finn dalam balutan kemeja hitam.

Tubuh tinggi tegap itu berjalan cepat, sementara di pelukannya adalah Wanda yang berselimut abu-abu. Kedua tangannya melingkari leher pria itu, wajah rapuhnya menempel manja di dagunya. Entah apa yang dikatakannya, Finn menunduk dan tersenyum lembut padanya.

Di tengah hiruk pikuk, matanya hanya tertuju pada Wanda. Emily menatap saat Finn mengantar Wanda masuk mobil, lalu menyaksikan mobil Cayenne hitam yang sangat dikenalnya itu melaju menjauh.

Di atas ranjang dingin ruang gawat darurat, keringat membuat pakaiannya basah kuyup, tubuhnya menggigil kedinginan.

Emily pasrah menjalani perawatan. Selang yang menjijikkan masuk ke tenggorokannya. Dia muntah-muntah tak berdaya, air mata mengalir membasahi wajah.

Hingga pukul 1.30 dini hari, Emily baru dipindahkan ke ruang rawat sementara untuk diinfus. Suster yang merapikan ranjang sebelah sempat bergosip kecil.

"Kamu tahu siapa pasangan muda yang barusan masuk UGD itu?"

"Nggak, cuma lihat pria itu lumayan tampan."

"Bukan cuma tampan, itu presdir Grup Aristo."

"Serius? Presdir Grup Aristo yang hartanya tak ternilai itu? Tadi aku lihat dia bersihkan wajah dan tangan wanita itu, kayak urus anak kecil. Bikin iri!"

"Orang bilang konglomerat biasanya playboy, tapi sepertinya dia benar-benar tulus. Kudengar direktur rumah sakit sampai dipanggil ke ruang VIP. Wanita itu sesak napas karena asma, jadi dipasang ventilator. Mata Pak Finn sampai merah saking cemasnya."

"Wanita itu pakai piama, mungkin tunangannya ya."

....

Emily menarik erat selimut, tetapi dinginnya tetap menusuk.

Seorang suster menghampiri, mengecek cairan infus, lalu menasihati dengan baik hati, "Bu, sebaiknya hubungi keluarga. Dalam kondisi begini, kamu butuh lebih banyak perhatian dari orang rumah."

Emily memaksakan senyuman. "Dia sibuk, nggak ada waktu."

Suster tidak banyak berbicara lagi dan keluar menutup pintu. Dari lorong, terdengar suara lirih. "Memang nasib orang berbeda. Yang satu penyakit lambung kambuh, tapi nggak ada yang peduli. Yang satu lagi sesak napas karena asma, sampai seluruh pakar rumah sakit langsung dipanggil ...."

Emily perlahan memejamkan mata. Malam itu, dia tidur begitu lelap.

Saat bangun, hari sudah siang. Dia teringat janjinya dengan seseorang, jadi buru-buru meraih ponselnya. WhatsApp-nya dipenuhi belasan pesan tak terbaca. Semuanya dari Wanda.

[ Untung ada cairan disinfektanmu. Kasur Finn besar dan empuk sekali. ]

[ Piamamu agak sempit ya, kamu sebaiknya banyak makan. Finn suka sekali memelukku sambil meraba dadaku. ]

[ Sudah jam 3 dini hari, Emily. Nggak pernah terbayangkan kamu akan kalah dariku. Aku tidur di ranjang Finn lebih dulu. ]

[ Finn sendiri yang membuatkanku bubur. Katanya dia mencari resepnya lama sekali, sungguh mengharukan. ]

....

Pesan terakhir berupa foto. Celana dalam Finn yang kusut tergeletak di lantai, bersama sepotong celana dalam wanita berwarna merah muda.

Emily membenci warna merah muda, jadi dia tidak pernah membeli pakaian dengan warna seperti itu.

Semalam sepulang dari rumah sakit, mereka bahkan tidur bersama. Benar-benar tak bisa menahan diri.

Hati Emily kembali seperti disayat-sayat. Sambil menahan mual, dia mengambil tangkapan layar.

Perutnya kosong dan perih, tetapi sakitnya sudah berkurang. Saat turun dari ranjang, kedua kakinya tetap lemas.

Sambil bersandar pada dinding, Emily ke meja perawat untuk mengurus kepulangan. Dia tidak punya waktu berlama-lama di rumah sakit.

Baru saja naik taksi, telepon dari Finn masuk. "Kamu keluar dari hotel sekarang, aku suruh Ruben jemput."

Nada perintahnya seakan-akan apa pun yang terjadi, Emily akan selalu ada di tempat menunggu panggilannya.

Emily bersandar di kursi, wajahnya sangat pucat. "Aku nggak di hotel."

"Kamu keluar? Belanja lagi?" Nada pria itu agak kesal. "Hari ini jangan belanja. Pulanglah sebentar. Kamu paling tahu kebiasaan Wanda, rawat dia sehari saja. Aku nggak tenang kalau hanya diserahkan ke pembantu."

Emily hampir tertawa saking kesalnya. Barusan dia masih mengira Finn menelepon untuk menyuruh orang membawanya memeriksakan diri ke rumah sakit. Dia masih sempat berharap Finn khawatir pada penyakit lambungnya.

Karena Emily diam, suara Finn pun sedikit melunak. "Emi, aku tahu kamu marah soal sikapku semalam, juga soal aku izinkan Wanda tinggal di rumah. Aku sudah jelaskan, kalian sahabat baik, jangan sampai retak hanya karena aku. Gunakan kesempatan ini untuk ngobrol baik-baik."

Emily tetap bungkam. Untuk pertama kalinya dia sadar, betapa tak tahu malunya Finn.

"Wanda masuk rumah sakit itu juga tanggung jawabmu. Sayang, dengarkan aku."

Lagi-lagi menyuruhnya patuh. Emily langsung menutup telepon. Tak lama kemudian, pesan dari Finn masuk.

[ Dokter sarankan makan yang ringan-ringan. Aromaterapi sudah kubuang, sisanya kamu bereskan juga. ]

Emily ingin bertanya, apakah Finn masih ingat catatan yang dulu dia tulis sendiri seusai operasinya? Namun, sekarang semua itu sudah tidak ada artinya.

Emily pergi ke pusat perbelanjaan dekat kafe. Dia membeli setelan baru, lalu ke toilet untuk berdandan tipis dan menutupi wajah pucatnya. Kemudian, dia sampai di kafe yang dijanjikan tepat waktu.

Di ruang privat, Ray sudah menunggu. Wajahnya tegas dan dingin, matanya penuh selidik. "Kamu serius ingin menjualnya?"

Emily duduk di sofa seberang, sorot matanya dingin. "Ambisi Pak Ray nggak ada hubungannya denganku. Tapi, ada satu syarat. Rapat pemegang saham minggu depan kamu nggak boleh hadir. Tunggu satu minggu lagi. Kalau setuju, aku bisa tanda tangan sekarang."

Ada hal-hal yang harus meledak satu per satu. Kalau meledak sekaligus, tidak menarik.

Jari Ray mengetuk meja. "Kamu dan Finn benar-benar sudah pecah?"

Di dunia bisnis Kota Kumo, semua yang pernah berhubungan dengan Grup Eternal tahu, Emily mencintai Finn mati-matian.

Emily perlahan duduk tegak, menatap pria di depannya dengan sorot tajam. "Pak Ray, saham di tanganku adalah hakku. Mengambil kembali yang seharusnya menjadi milikku itu wajar. Tapi kalau kamu mau mengorek rahasia Grup Eternal dariku, lebih baik transaksi ini batal saja."

Mendapat saham awal bukan berarti merampas Grup Eternal. Siapa pemenang akhirnya, itu soal kemampuan masing-masing.

Ray tidak bertanya lagi. Dia langsung mengeluarkan kontrak, menanda tangan, lalu mentransfer.

Setelah memastikan uang masuk, Emily bangkit dan pergi.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 100

    Austin duduk tegak di sofa dengan mata setengah terpejam. Sulit ditebak apa yang sedang dipikirkannya. Pria tua itu sedang beristirahat.Emily refleks memperlambat langkahnya. Saat dia mendekat, Austin seakan merasakan sesuatu, lalu membuka matanya. Sepasang mata yang tampak bijak itu perlahan beralih padanya."Emily, kamu nggak terluka?""Hm?"Emily terkejut. Dia sempat mengira, Austin akan menegurnya karena dianggap tidak hormat pada ayah. Tak disangka, hal pertama yang keluar dari mulutnya malah menanyakan keadaannya.Melihat keterkejutannya, sorot mata Austin berangsur-angsur melembut. "Aku memang dengar kabar bahwa kamu membuat ayahmu sampai masuk rumah sakit, tapi aku juga sudah tanyakan duduk perkaranya.""Ayahmu mengadakan jamuan, itu pilihannya. Tanpa memberitahumu lebih dulu, dia malah menuntut kamu menjamu tamu dengan hangat. Lalu saat jamuan, dia menghukummu di depan tamu dengan alasan bicara nggak sopan .... Itu nggak pantas.""Keluarga besar menetapkan aturan, tujuannya a

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 99

    Tatapan cemas Finn sepenuhnya terhalang. Mobil melaju stabil meninggalkan kompleks Keluarga Hadid, menuju hiruk pikuk pusat kota.Di dalam kabin mobil yang hening, barulah Emily menoleh. "Pak Kristof, kenapa kebetulan lewat depan rumah Keluarga Hadid?""Bukan kebetulan lewat."Wajah Kristof tetap tampak dingin di dalam bayangan kabin, hanya matanya yang dalam memantulkan sosok Emily. "Aku memang sengaja datang untuk menjemputmu.""Menjemputku? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Emily mengangkat alis. Jangan-jangan, kabar Ronny membantu Finn merebut proyek, lalu Keluarga Hadid berencana bekerja sama dengan Finn, sudah sampai di telinga Kristof? Sebagai sekutu, Kristof sengaja memutar jalan untuk memberi peringatan padanya?Pikiran itu membuat tatapan Emily ikut menjadi serius.Kristof menjawab, "Ibu tirimu yang menelpon ke rumah Keluarga Maison. Katanya sejak kamu jadi istri Keluarga Maison, sikapmu sudah tidak tahu aturan.""Dia bahkan mengadu, bilang kamu membuat Glenn masuk rumah sakit k

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 98

    Setelah keluar dari rumah Keluarga Hadid, Emily berdiri di pinggir jalan, bersiap-siap untuk memesan mobil.Suara langkah terdengar dari belakang. Dia menoleh dan melihat seorang pria yang berlari dengan jaket tersampir di lengannya dan hanya mengenakan kemeja tipis. Dalam cahaya lampu jalan, dia berhenti tepat di depan Emily."Aku antar kamu."Finn menyibak rambut di sisi wajah Emily, sorot matanya hanya dipenuhi dengan Emily. Seolah-olah, semuanya masih sama seperti dulu. Dulu, Finn juga sering berlari menghampirinya begini.Namun sekarang, Emily hanya merasa angin malam ini membuatnya menggigil. Dia kembali merapatkan mantel di tubuhnya dan jari tetap bergerak di layar, terus mencoba untuk memesan mobil."Nggak perlu."Rumah Keluarga Hadid agak jauh dari pusat kota, aplikasi pemesanan terus berputar, tetapi mobil tak kunjung tersedia.Melihat hal itu, Finn mendekatinya. Dia memperlihatkan lengannya yang lebam akibat pukulan itu dan bibir tipisnya terkatup rapat."Emi, hukuman keluar

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 97

    Emily tetap tak bergeming. Dulu, dia sudah sering merasakan hukuman keluarga ini. Kalau dulu saja dia tidak takut, tentunya sekarang juga semakin tidak gentar menghadapinya.Melihat sikap Emily yang keras kepala, Glenn mengangkat tinggi tangannya. Esther menatap penuh semangat sambil membatin, 'Pukul saja sampai mati!'"Anak tak berbakti!"Wajah Emily tampak dingin. Baru saja dia hendak merebut tongkat itu lalu pergi, tiba-tiba ada bayangan orang melintas di depannya.Finn maju ke depan dan menahan pukulan itu untuknya."Kamu ...." Mata Emily memancarkan keterkejutan dalam sekejap.Finn berdiri di depannya, pelipisnya berkeringat menahan sakit. "Kamu nggak apa-apa?"Empat kata itu membangkitkan kembali kenangan suara Finn di masa lalu.Dulu saat dia kabur dari ibu kota dan pergi jauh ke Kota Kumo, banyak rintangan yang mengadangnya. Finn hanya memeluknya dan menanyakan empat kata itu.Saat Grup Eternal baru berdiri, dia membantu Finn menghadapi jamuan bisnis. Saat itu, dia minum alkoho

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 96

    Sore harinya, di rumah Keluarga Hadid.Emily melangkah pulang di bawah cahaya matahari yang mulai tenggelam. Begitu masuk, pandangannya langsung jatuh pada sosok pria yang duduk sendirian di sofa.Finn mengenakan kemeja dengan celana kain, bagian lengannya digulung hingga menampakkan lengan berotot dan jam tangan emas di pergelangan tangannya. Dia hanya duduk diam sambil menatap Emily dengan sorot mata dalam.Sinar senja yang merah masuk lewat jendela dan jatuh ke lantai, seolah memisahkan mereka berdua ke dalam dua dunia yang berbeda.Keheningan menyelimuti ruangan.Glenn maju mencoba menengahi sambil mengambil mantel Emily dengan lembut dan menggantungkannya. Melihat sikap ayahnya yang tak biasa, Emily lalu memasukkan satu tangan ke saku celananya.Namun, sebenarnya Glenn memanfaatkan gerakan itu untuk berbisik pelan, "Kita akan segera bekerja sama dengan Grup Aristo, mau tak mau akan sering bertemu. Lebih baik cepat bertatap muka dan minta maaf, supaya ke depannya nggak canggung.""

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 95

    "Tenang, aku akan menyuruh perawat datang menjagamu, kamu aman.""Nggak ... Finn, aku ingin ikut denganmu. Serbuk sari di kantor Emily nggak banyak, aku jatuh dari lantai cuma lecet, nggak apa-apa."Wanda baru saja duduk, sepasang matanya yang berkaca-kaca ingin bersikap manja pada Finn. Namun, Finn menekan tubuhnya kembali ke ranjang. Begitu Finn membayangkan sosok Wanda yang terengah-engah di pelukannya, kenangan-kenangan mengerikan waktu itu tiba-tiba muncul dalam benaknya.Tatapan Finn menjadi serius, "Nggak boleh. Sampai badanmu benar-benar pulih, rumah sakit adalah tempat amanmu.""Tapi ....""Wanda, jangan buat aku khawatir."Sorot mata Finn penuh peringatan. Gerakannya jadi lebih kasar saat menekan sampai Wanda merasa sakit. Wanda mengatupkan bibir, dia tahu apa yang membuat Finn khawatir, lalu tak lagi menolak.Finn menahan sorot mata dinginnya barusan, lalu menerima panggilan telepon dari Grup Aristo sehingga dia harus keluar sebentar.Glenn tidak pergi. Dia menunggu dengan s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status