แชร์

Bab 7

ผู้เขียน: Nayla
"Finn, makan yang benar." Norman kembali membuka mulut, lalu menjepitkan sebuah udang ke piring Emily.

Meskipun ada Norman yang menahan suasana, makan malam itu tetap saja berakhir dengan tidak menyenangkan.

Saat pulang, Finn meninggalkan Emily di halte bus. Tanpa sepatah kata pun, dia melajukan mobilnya pergi.

....

Emily sama sekali tidak bereaksi. Dia dengan tenang kembali ke hotel dan tidak lagi menghubungi Finn. Hari-harinya sibuk mengurus berbagai urusan kecil, menghapus satu per satu semua ikatan yang ada di Kota Kumo.

Sesekali dia membuka pesan yang dikirim Wanda. Beberapa hari ini, segala hal yang dilakukan Wanda, baik besar maupun kecil, selalu dilaporkan dengan rinci dalam kotak percakapan.

Setelah rasa sakit berubah menjadi mati rasa, Emily malah merasa geli. Wanda yang terus berisik di seberang telepon, di matanya tak berbeda dengan badut lompat-lompat.

Emily tidak pernah membalas, hanya menyimpan tangkapan layar untuk berjaga-jaga.

....

Hari Senin akhirnya tiba. Emily akan menaiki pesawat pada pukul 11.30 siang.

Pagi-pagi dia sudah bangun, merapikan koper. Ketika hendak turun sarapan, Finn malah membuka pintu dengan kartu cadangan. Jasnya rapi, tetapi wajahnya tidak terlihat baik.

Emily refleks menyembunyikan koper di belakang, hatinya sempat panik sekejap. Dia hampir tidak pernah meninggalkan Finn. Pernah suatu kali mereka bertengkar. Finn mabuk, lalu menggenggam tangannya, berkata kalau Emily berani pergi, dia akan mengurungnya seumur hidup, tidak akan mengizinkannya bertemu siapa pun.

Saat itu, meskipun terdengar sakit jiwa, Emily masih merasa manis. Itu karena cinta. Namun kini, yang tersisa hanya penolakan.

Finn menatapnya lama sekali. Dua hari ini, dia selalu menahan amarah, tetapi Emily tidak menghubunginya sama sekali. Hal ini membuatnya panik.

Kini melihat Emily diam menunggunya di kamar, dadanya yang sesak akhirnya sedikit lega.

"Taruh kopernya dulu, nanti biar Ruben ambil. Kita pergi urus akta nikah."

Hal yang dulu paling Emily harapkan, kini tak lagi mengguncang hatinya. Dia merapikan tas kecil, menatap tangan panjang yang terulur padanya. "Nggak usah buru-buru, temani aku ke suatu tempat dulu."

Finn melirik jam di pergelangan tangannya, jarang-jarang dia menahan diri. "Baiklah, asal jangan terlalu lama. Jam 10 pagi aku ada rapat."

Benar-benar sibuk, tetapi masih sempat menyisihkan waktu untuk mengambil akta nikah.

Mobil berhenti di kawasan kota tua. Rumah-rumah tua berjejeran di kedua sisi jalan batu yang penuh bercak lumut. Sejak direnovasi menjadi kawasan wisata, mereka tak pernah ke sini lagi.

"Kenapa tiba-tiba mau ke sini?" Finn memarkir mobil, alisnya berkerut. Hati yang kosong dan panik kembali bergemuruh. Tanpa sadar, dia menggenggam tangan Emily erat-erat dan akhirnya merasa lebih tenang.

Emily tidak menghindar, hanya mengangkat tangan lain dan menunjuk jauh ke taman. Dulu di sana ada lapangan basket, tetapi kemudian dibongkar.

"Waktu kelas dua SMA, ada orang dari sekolah sebelah naksir aku. Kamu marah, menantangnya main basket tiga lawan tiga. Kamu menang, tapi kakimu cedera. Kamu nangis sampai ingusan, memelukku dan menyuruhku bertanggung jawab."

"Setelah kita resmi pacaran di tahun pertama kuliah, kamu tengah malam membawaku ke sini, terus menyalakan kembang api dan melamarku. Aku baru 17 tahun. Kamu terburu-buru sekali, bilang harus diikat dulu."

....

"Emi, sebenarnya kenapa denganmu?" Kenangan itu dipotong oleh Finn.

Emily menoleh padanya. "Pertama kali kita bertengkar karena Wanda juga di sini. Kamu meninggalkanku sendirian di lapangan basket yang lagi dibongkar. Aku buta arah, sampai jalan lebih dari dua jam baru sampai rumah. Kakiku lecet-lecet."

Sejak itu, Emily tidak pernah lagi menginjak tempat ini.

Hati Finn seperti diremas keras-keras. Dia menarik Emily ke dalam pelukannya. "Emi, semua sudah berlalu. Aku menjaga Wanda karena ...."

Emily dengan lembut melepaskan diri. "Ayo kita lihat taman baru. Kedengarannya warung-warung lama masih dipertahankan. Kita sudah lama nggak makan, cobain lagi yuk."

Emily menarik tangannya dari genggaman Finn, berjalan sendirian ke depan. Finn menekan gejolak dalam hati dan mengikuti.

Jam segini memang sepi, tetapi beberapa warung sarapan sudah buka dan mulai melayani penduduk sekitar.

Segayung air kotor disiram ke jalan, membuat jalanan tampak berminyak dan mengilap. Finn lantas mengernyit, menarik Emily ke sisinya.

"Hari ini hari penting. Setelah urus buku nikah, aku ajak kamu makan lobster. Nggak usah makan di sini."

Finn sudah pernah mengajak Emily mengunjungi setiap warung di sini. Mereka menaiki sepeda dengan mulut menggigit bakpao panas, menyusuri jalan sambil bercanda.

Saat itu, Finn hanya anak haram dari orang terkaya di Kota Kumo. Tak punya latar belakang, tak punya uang, tak ada yang peduli.

Grup Eternal-lah yang membentuk Finn menjadi seperti sekarang, membuatnya menjadi pewaris sah Keluarga Aristo yang berkuasa. Namun, dia lupa jalan yang pernah ditempuh, juga lupa janji yang pernah diberikan kepada Emily.

"Aku hari ini mau makan ini." Tiba-tiba, sikap keras kepala Emily membuat Finn linglung untuk sesaat.

Gadis yang bersamanya selama lebih dari sepuluh tahun, dulu selalu manja dan ceria, tetapi juga selalu menempatkannya sebagai pusat dunianya. Namun, entah sejak kapan, semuanya berubah.

Finn kembali teringat kejadian malam itu di rumah besar. Kalau Emily yang dulu, dia tidak mungkin mempermalukannya di depan Keluarga Aristo. Karena Emily paling tahu apa yang dia pedulikan.

Duduk di bangku kayu reyot, Emily memesan dua porsi bakpao dan dua mangkuk bubur. Finn menerima sendok yang dia sodorkan, hatinya semakin hampa.

"Emi, hari ini aku suruh Ruben bawa Wanda pergi. Mulai sekarang, rumah itu hanya ada kita berdua, seperti dulu."

Di dunianya, Emily selalu boleh bertindak semaunya. Emily hanya boleh menjadi miliknya. Emily tak akan berubah. Pasti tak akan berubah.

"Makanlah, habis makan langsung kita urus akta nikah." Finn terdengar agak cemas.

Hati Emily bergetar keras. Seperti dulu?

Tiba-tiba, dering ponsel memecah suasana. Itu nada dering khusus untuk Wanda.

Pernah sekali Wanda sakit dan meneleponnya, tetapi Finn tidak mendengar karena ponselnya dalam mode senyap. Dia menyesal sampai menjambak rambut sendiri di luar ruang rawat.

Sejak saat itu, Emily tahu, Finn benar-benar punya perasaan untuk perempuan lain selain dirinya.

"Jawab saja." Emily menunduk, melanjutkan makan.

Finn menatap wajah pucatnya. Di tengah dering ponsel, dia menahan kegusarannya. Pada akhirnya, dia tetap menekan tombol jawab.

"Wanda, hari ini aku nggak bisa pergi. Kalau ada urusan, telepon Ruben. Biar dia ...."

Namun, suara di seberang adalah suara Ruben. "Pak Finn, demi membuat Bu Emily nggak marah, Bu Wanda terus mengurus bunga di rumah kaca. Asmanya kambuh, tapi dia tetap nggak mau istirahat."

"Dia akhirnya pingsan di sana, tapi sekarang sudah dibawa ke IGD. Sebenarnya dia melarangku menghubungimu, tapi kondisinya nggak baik.”

Wajah Finn seketika berubah suram. "Aku segera ke sana."

Setelah menutup telepon, dia menatap Emily dengan sorot mata yang semakin dingin.

"Taman bunga akan kuperbaiki seperti semula. Kenapa kamu harus menyulitkan Wanda hanya karena hal kecil ini? Soal akta nikah, lain kali saja."

Selesai berbicara, Finn berbalik dan pergi.

Sekali lagi, di tempat yang sama, Finn meninggalkan Emily sendirian. Bahkan di hari yang dijanjikan akan menikah.

Menatap punggungnya yang menjauh, Emily tidak merasakan apa-apa. Dulu dia sering berpikir, kalau saja dia juga sakit, apakah Finn akan berlaku adil? Namun, kenapa harus begitu?

Orang yang katanya mencintainya malah mengkhianati sumpah sendiri. Benar-benar tidak pantas.

Uap panas bakpao membuat matanya perih. Emily menghabiskan makanannya dengan tenang, lalu menapaki jalan yang ingin dilalui. Kemudian, dia kembali ke hotel untuk mengambil kopernya dan langsung menuju bandara.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 100

    Austin duduk tegak di sofa dengan mata setengah terpejam. Sulit ditebak apa yang sedang dipikirkannya. Pria tua itu sedang beristirahat.Emily refleks memperlambat langkahnya. Saat dia mendekat, Austin seakan merasakan sesuatu, lalu membuka matanya. Sepasang mata yang tampak bijak itu perlahan beralih padanya."Emily, kamu nggak terluka?""Hm?"Emily terkejut. Dia sempat mengira, Austin akan menegurnya karena dianggap tidak hormat pada ayah. Tak disangka, hal pertama yang keluar dari mulutnya malah menanyakan keadaannya.Melihat keterkejutannya, sorot mata Austin berangsur-angsur melembut. "Aku memang dengar kabar bahwa kamu membuat ayahmu sampai masuk rumah sakit, tapi aku juga sudah tanyakan duduk perkaranya.""Ayahmu mengadakan jamuan, itu pilihannya. Tanpa memberitahumu lebih dulu, dia malah menuntut kamu menjamu tamu dengan hangat. Lalu saat jamuan, dia menghukummu di depan tamu dengan alasan bicara nggak sopan .... Itu nggak pantas.""Keluarga besar menetapkan aturan, tujuannya a

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 99

    Tatapan cemas Finn sepenuhnya terhalang. Mobil melaju stabil meninggalkan kompleks Keluarga Hadid, menuju hiruk pikuk pusat kota.Di dalam kabin mobil yang hening, barulah Emily menoleh. "Pak Kristof, kenapa kebetulan lewat depan rumah Keluarga Hadid?""Bukan kebetulan lewat."Wajah Kristof tetap tampak dingin di dalam bayangan kabin, hanya matanya yang dalam memantulkan sosok Emily. "Aku memang sengaja datang untuk menjemputmu.""Menjemputku? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Emily mengangkat alis. Jangan-jangan, kabar Ronny membantu Finn merebut proyek, lalu Keluarga Hadid berencana bekerja sama dengan Finn, sudah sampai di telinga Kristof? Sebagai sekutu, Kristof sengaja memutar jalan untuk memberi peringatan padanya?Pikiran itu membuat tatapan Emily ikut menjadi serius.Kristof menjawab, "Ibu tirimu yang menelpon ke rumah Keluarga Maison. Katanya sejak kamu jadi istri Keluarga Maison, sikapmu sudah tidak tahu aturan.""Dia bahkan mengadu, bilang kamu membuat Glenn masuk rumah sakit k

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 98

    Setelah keluar dari rumah Keluarga Hadid, Emily berdiri di pinggir jalan, bersiap-siap untuk memesan mobil.Suara langkah terdengar dari belakang. Dia menoleh dan melihat seorang pria yang berlari dengan jaket tersampir di lengannya dan hanya mengenakan kemeja tipis. Dalam cahaya lampu jalan, dia berhenti tepat di depan Emily."Aku antar kamu."Finn menyibak rambut di sisi wajah Emily, sorot matanya hanya dipenuhi dengan Emily. Seolah-olah, semuanya masih sama seperti dulu. Dulu, Finn juga sering berlari menghampirinya begini.Namun sekarang, Emily hanya merasa angin malam ini membuatnya menggigil. Dia kembali merapatkan mantel di tubuhnya dan jari tetap bergerak di layar, terus mencoba untuk memesan mobil."Nggak perlu."Rumah Keluarga Hadid agak jauh dari pusat kota, aplikasi pemesanan terus berputar, tetapi mobil tak kunjung tersedia.Melihat hal itu, Finn mendekatinya. Dia memperlihatkan lengannya yang lebam akibat pukulan itu dan bibir tipisnya terkatup rapat."Emi, hukuman keluar

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 97

    Emily tetap tak bergeming. Dulu, dia sudah sering merasakan hukuman keluarga ini. Kalau dulu saja dia tidak takut, tentunya sekarang juga semakin tidak gentar menghadapinya.Melihat sikap Emily yang keras kepala, Glenn mengangkat tinggi tangannya. Esther menatap penuh semangat sambil membatin, 'Pukul saja sampai mati!'"Anak tak berbakti!"Wajah Emily tampak dingin. Baru saja dia hendak merebut tongkat itu lalu pergi, tiba-tiba ada bayangan orang melintas di depannya.Finn maju ke depan dan menahan pukulan itu untuknya."Kamu ...." Mata Emily memancarkan keterkejutan dalam sekejap.Finn berdiri di depannya, pelipisnya berkeringat menahan sakit. "Kamu nggak apa-apa?"Empat kata itu membangkitkan kembali kenangan suara Finn di masa lalu.Dulu saat dia kabur dari ibu kota dan pergi jauh ke Kota Kumo, banyak rintangan yang mengadangnya. Finn hanya memeluknya dan menanyakan empat kata itu.Saat Grup Eternal baru berdiri, dia membantu Finn menghadapi jamuan bisnis. Saat itu, dia minum alkoho

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 96

    Sore harinya, di rumah Keluarga Hadid.Emily melangkah pulang di bawah cahaya matahari yang mulai tenggelam. Begitu masuk, pandangannya langsung jatuh pada sosok pria yang duduk sendirian di sofa.Finn mengenakan kemeja dengan celana kain, bagian lengannya digulung hingga menampakkan lengan berotot dan jam tangan emas di pergelangan tangannya. Dia hanya duduk diam sambil menatap Emily dengan sorot mata dalam.Sinar senja yang merah masuk lewat jendela dan jatuh ke lantai, seolah memisahkan mereka berdua ke dalam dua dunia yang berbeda.Keheningan menyelimuti ruangan.Glenn maju mencoba menengahi sambil mengambil mantel Emily dengan lembut dan menggantungkannya. Melihat sikap ayahnya yang tak biasa, Emily lalu memasukkan satu tangan ke saku celananya.Namun, sebenarnya Glenn memanfaatkan gerakan itu untuk berbisik pelan, "Kita akan segera bekerja sama dengan Grup Aristo, mau tak mau akan sering bertemu. Lebih baik cepat bertatap muka dan minta maaf, supaya ke depannya nggak canggung.""

  • Penyesalan Sang CEO yang Terlambat   Bab 95

    "Tenang, aku akan menyuruh perawat datang menjagamu, kamu aman.""Nggak ... Finn, aku ingin ikut denganmu. Serbuk sari di kantor Emily nggak banyak, aku jatuh dari lantai cuma lecet, nggak apa-apa."Wanda baru saja duduk, sepasang matanya yang berkaca-kaca ingin bersikap manja pada Finn. Namun, Finn menekan tubuhnya kembali ke ranjang. Begitu Finn membayangkan sosok Wanda yang terengah-engah di pelukannya, kenangan-kenangan mengerikan waktu itu tiba-tiba muncul dalam benaknya.Tatapan Finn menjadi serius, "Nggak boleh. Sampai badanmu benar-benar pulih, rumah sakit adalah tempat amanmu.""Tapi ....""Wanda, jangan buat aku khawatir."Sorot mata Finn penuh peringatan. Gerakannya jadi lebih kasar saat menekan sampai Wanda merasa sakit. Wanda mengatupkan bibir, dia tahu apa yang membuat Finn khawatir, lalu tak lagi menolak.Finn menahan sorot mata dinginnya barusan, lalu menerima panggilan telepon dari Grup Aristo sehingga dia harus keluar sebentar.Glenn tidak pergi. Dia menunggu dengan s

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status