" Siapa? " Karina yang tak sabar menunggu memilih bangkit dan menyusul Evelyn untuk melihat siapa yang mengirim pesan.
" Apa maksudnya ini, Lyn? " tanya Karina tak mengerti. " Ini Bian, kan? Terus ini siapa? " cecar Karina.Evelyn mengangguk dan kembali ke sofa dan diikuti Karina yang masih menatap bingung foto yang ada diponsel Evelyn." Itu ... Mantan istrinya Mas Bian, Rin! " ungkap Evelyn. " Dan dia yang jadi alasan aku pulang kembali, karena ditalak oleh Mas Bian. " sambung Evelyn dengan suara bergetar." A-apa? Kamu ... Becanda, kan? " tanya Karina seolah tak percaya." Evelyn! Jawab aku! Kamu becanda, kan? " desak Karina sebab Evelyn tak kunjung menjawab. Bahu gadis itu merosot ketika melihat gelengan sebagai jawaban dari pertanyaannya tadi." Kamu serius? Bian talak kamu karena kehadiran wanita itu? " Karina mengulang lagi demi meyakinkan dirinya. Lagi dan lagi hanya anggukan yang diberi Evelyn sebagai jawaban." Tapi kenapa? Kenapa dia bisa setega itu sama kamu, Lyn? Aku ... " Karina menggeleng-gelengkan kepalanya karena tak habis pikir dengan masalah yang sekarang sedang dihadapi Evelyn." Entahlah, Rin! Mungkin ada sesuatu yang tak aku punya tapi dimiliki mantan istrinya itu, " sahut Evelyn sekenanya." Memangnya apa kurangnya kamu? Bentukan kalian sama, kan? Kamu perempuan dan mantannya itu juga! Jadi apa yang dia miliki tapi tidak ada di kamu? " cerocos Karina penuh emosi." Bukan itunya, Rin! Mungkin memang benar kata orang-orang, masa lalu punya tempat istimewa tersendiri dihati. Mungkin itu juga yang jadi alasan kuat untuk dia melepaskan aku, " ucap Evelyn berusaha tegar. " Sudahlah. Aku lapar. Kira-kira ibu masak apa, ya? " Evelyn mengalihkan pembahasan." Masak kesukaan kamu, kita makan dulu, yuk! Biar ada tenaga hadapin pelakor! " ajak Karina yang membuat Evelyn tertawa.Karina tersenyum karena kembali melihat Evelyn tertawa meski tak selepas biasanya. Kini keduanya berjalan bersisian menuju dapur sambil melempar canda.Bian menghela nafas kasar setelah orang-orang yang tadi datang kerumahnya berpamitan, kini tinggal dia dan juga Marissa diruang tamu, sedangkan Chika sedang asik menonton diruang tv. Dia menatap sang mantan yang menjadi penyebab masalahnya hari ini. Setelah dipikir-pikir, Bian mengutuk keputusannya yang sudah menceraikan Evelyn demi bisa kembali pada Marissa." Sebaiknya kamu dan Chika balik sekarang, " ucap Bian dengan suara datar. Marissa mendongak dan menatap Bian tak percaya." Kamu ngusir aku? " tanya Marissa tak percaya." Aku bukan ngusir! Apa kamu nggak bisa memahami apa yang disampaikan oleh pak RT tadi? Warga komplek sini keberatan jika kamu berkunjung kemari, terlebih lagi selama Evelyn tak berada dirumah. " tekan Bian." Emangnya kamu berniat kembali membawa Evelyn pulang? " Bian tak menjawab pertanyaan Marissa dan memilih meninggalkan perempuan itu disana." Bian! " panggil Marissa. Namun lelaki itu memilih abai dan tetap mengayunkan langkah menuju kamar." Papi ... " panggilan dari Chika membuat Bian mengurungkan niat untuk menekan handle pintu. Bian menghembuskan nafas berat kemudian menoleh ke belakang.Chika sudah berdiri disana dengan wajah polosnya, dan ternyata Marissa juga sudah menyusul.Bian menekuk lutut demi menyamakan tingginya dengan sang anak, kemudian mulai mengelus lembut rambut panjang gadis kecil itu." Sayang ... Chika balik dulu, ya? Ini udah malam. Besok Chika juga harus sekolah, kan? " bujuk Bian." Chika mau tidur bareng Papi, boleh, ya? " permintaan Chika membuat Bian spontan menoleh pada Marissa yang berdiri disisi sang anak." Boleh. " ucap Bian sambil berdiri. Marissa sudah mengembangkan senyum mendengar persetujuan dari lelaki itu." Makasih banyak, Mas. Beberapa hari ini Chika memang minta tidur bareng sama kamu, " ucap Marissa dengan mengulas senyum. Bian hanya mengangguk menanggapi." Yaudah, sekarang kita langsung ke kamar Chika, yuk! " ajak Marissa antusias." Chika biar aku yang antar, " Bian menyahuti. Marissa menoleh dan mengerutkan kening. " Aku hanya ngizinin Chika yang nginap disini. Kamu boleh pulang sekarang, " lanjut Bian yang membuat senyum Marissa memudar." Ma-maksudmu? Aku nggak boleh nginap gitu? Kenapa, Mas? Aku kan tidur bareng Chika di kamarnya. Jadi kenapa nggak boleh? " cecar Marissa tak terima.Bian tertawa sumbang mendengar penuturan Marissa. Ternyata dia memang sudah salah, kembali menerima wanita yang pernah melepaskannya dan malah melepas wanita yang begitu menerima segala kekurangannya." Harus gimana aku jelasin ke kamu, Ris? Kita bukan suami istri! Kamu mau aku kembali ditegur oleh para warga hanya karena membiarkanmu bermalam disini? " bentak Bian. Marissa sampai memejamkan mata karena kerasnya suara Bian.Dada wanita itu naik turun menahan emosi, dia tak terima diperlakukan seperti itu oleh Bian. Dengan penuh amarah, wanita itu menarik tangan Chika dan langsung menyeretnya keluar, tak dia hiraukan meski sang anak yang berteriak minta dilepaskan." Kamu mau bawa Chika kemana, Ris? Biarkan dia menginap disini malam ini! " teriak Bian dengan kesal sebab melihat sikap Marissa yang tak pernah berubah, egois!" Aku tidak akan membiarkan Chika menginap disini jika aku tak diizinkan! Jadi, selama kamu nggak ngizinin aku datang lagi, itu artinya kamu juga tidak akan bisa bertemu dengan Chika! " tekan Marissa penuh ancaman.Hal itu yang membuat Bian dengan tega menjatuhkan talak pada Evelyn. Selama ini Marissa selalu melarang Bian bertemu Chika, namun selalu mengabari jika Chika merindukan ayahnya. Marissa memberi alasan, dia akan memberi izin Bian menemui Chika jika lelaki itu bersedia kembali padanya. Dia selalu menggunakan sang anak sebagai senjata agar meluluhkan mantan suaminya itu, awalnya dengan tegas Bian menolak dan mengatakan dia sudah sangat nyaman dengan rumah tangganya bersama Evelyn, namun Marissa malah marah dan tak pernah mengizinkan Bian bertemu dengan Chika.Bian yang tak ingin lepas tanggung jawab terhadap anaknya seolah tak menemukan jalan lain selain berpisah dengan Evelyn, apalagi selama ini Marissa meyakinkan jika dia melepas Evelyn demi Chika adalah yang terbaik. Wanita licik itu selalu menekankan jika sampai dia menikah dengan lelaki lain, maka otomatis Bian tak akan pernah bertemu Chika selamanya. Hati ayah mana yang tega dipisahkan dengan anak kandungnya? Pikir Bian. Dan keyakinan itu menjadi awal bencana hubungan pernikahan keduanya dengan evelyn." Kenapa kamu seegois ini, Ris? " ucap Bian tak percaya." Siapa yang egois? Aku? Atau kamu? " cibir Marissa. " Sekarang aku tanya ... Kamu akan tetap kembali padaku demi Chika, kan? Kita akan mewujudkan mimpi Chika bersama, kan, Mas? " tanya Marissa dengan menatap Bian penuh harap." Aku ... "" Apa, Mas? "" Aku akan tetap ... "Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum