Karena penasaran dengan tamu yang dibilang Bu Dena, Evelyn bergegas bangkit dan menuju ruang tamu yang diikuti Karina dibelakang.
" Fattan? " panggil Evelyn begitu tiba di ruang tamu.Lelaki yang duduk di sofa membelakangi Evelyn pun spontan berbalik, kemudian menyunggingkan senyum yang siapa pun melihat pasti merasa terpana. Namun, tidak dengan Evelyn." Kapan kamu datang? " tanya Fattan dengan senyum yang tetap tersungging." Tadi sehabis magrib. Kamu tau dari mana aku datang? " tanya Evelyn.Evelyn duduk di sofa dengan ditemani Karina. Gadis manis disamping Evelyn itu tampak tak nyaman, berkali-kali dia menunduk dan memainkan jari-jarinya. Sesekali dia mencuri tatap lelaki dihadapannya itu." Tadi dikasih tau sama Suci. Katanya ngeliat kamu pas balik dari mushola, makanya aku mampir. Soalnya udah lama juga kita nggak ketemu, " sahut Fattan. Evelyn mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar ucapan Fattan." Iya juga, ya? Terakhir ketemu 5 bulan lalu, kan? " tanya Evelyn mengingat kapan terakhir dia bertemu sahabat lamanya itu.Evelyn dan Fattan memang bersahabat sejak masih sekolah dulu, begitu juga dengan Karina. Awalnya, Fattan tak begitu dekat dengan Karina, tapi karena perempuan itu sering main dengan Evelyn, keduanya menjadi akrab juga.Sebenarnya Fattan sejak dulu sudah menaruh hati pada sang sahabat, tapi Evelyn selalu menganggap itu hanya sebuah gurauan semata. Apalagi perempuan itu memang tak memiliki perasaan apa pun terhadap Fattan, dia hanya menganggap Fattan sebagai sahabat. Namun, lelaki itu tetap saja berusaha mengungkapkan perasaannya meski selalu mendapat penolakan setiap dia mencoba.Hingga akhirnya Evelyn memutuskan menikah dengan lelaki yang datang dari kota. Fattan sempat merasa dicurangi, dia yang selama ini selalu ada dan selalu mengungkapkan rasa harus kalah dengan seorang yang baru saja tiba dalam kehidupan Evelyn. Fattan sempat menjauh dari kehidupan perempuan yang dicintainya itu, dia memilih berangkat ke kota demi bisa mengikis rasa yang tak pernah pudar itu.Awalnya Evelyn sempat heran dengan perubahan sikap Fattan, yang mana tak pernah membalas pesan yang dikirim Evelyn dan terkesan menjauh. Setelah diberitahu oleh Karina jika Fattan merasa kecewa dengan pernikahan Evelyn dan Bian, baru lah perempuan itu sedikit percaya jika ungkapan suka yang selama ini diungkapkan lelaki itu benar adanya." Kamu selama ini ngilang kemana? Nyari calon? " canda Evelyn membuat Fattan terkekeh kecil." Calon apanya? Kamu pikir aku udah move on, gitu? " balas Fattan menatap Evelyn. Masih sama dengan tatapan matanya dulu, tatapan hangat penuh cinta, setidaknya itu yang dilihat Karina.Karena tak tahan melihat kedua sahabatnya yang sedang bernostalgia tanpa menganggapnya, gadis itu memilih bangkit tanpa bicara sepatah kata pun." Loh? Karin? Kamu mau kemana? " tanya Evelyn yang menghentikan gerakan Karina yang hendak berlalu dari sana." Anu ... Ng ... Aku pamit ke dapur dulu. Bikin minum, " sahut Karina.Gadis itu melirik Fattan sekilas, kemudian segera mengalihkan tatap begitu Fattan membalas lirikannya." Jangan, dong, Rin! Masa kamu tinggalin kita berdua disini? Aku nggak enak lah. Kamu disini aja, ya? " pinta Evelyn memohon.Karina tak langsung menjawab, dia malah melirik Fattan yang sedang menatap Evelyn." Iya, Rin! Kamu disini aja. Aku nggak enak, nanti dikira mau godain istri orang, lagi. " timpal Fattan terkekeh. " Lagian aku udah mau balik, kok. Jadi nggak usah repot-repot bikin minum, soalnya udah malam. " sambung Fattan yang langsung bangkit.Evelyn ikut bangkit dan berniat mengantar Fattan hingga depan. Dia juga menarik tangan Karina agar ikut." Aku balik dulu, ya, Vel, Rin! " pamit Fattan begitu berada di teras.Evelyn dan Karina serentak mengangguk. Fattan mengayunkan langkah menyusuri jalan setapak menuju rumahnya yang hanya berjarak tiga rumah dari rumah Evelyn." Aku ke kamar dulu, Lyn! " seru Karina." Tunggu, Rin! " cegah Evelyn.Karina berbalik, Evelyn menatap wajah sang sahabat yang berubah lesu. Ada apa dengannya? Padahal tadi masih biasa saja." Kamu kenapa? Sakit? " tanya Evelyn mendekat." Ahm ... Enggak, kok! Aku nggak apa-apa. Cuma lagi capek aja, aku mau ke kamar duluan, boleh, kan? Mau langsung istirahat. " Evelyn menyipitkan mata. Dia sedikit curiga dengan perubahan sikap Karina." Kamu bener nggak apa-apa? " tanyanya lagi." Iya. Aku cuma capek aja, kamu nggak apa-apa, kan, aku tinggal? " Evelyn hanya menggeleng, Karina mengangguk dan kembali membalikkan badan berjalan menuju kamarnya.Evelyn sendiri lebih memilih ke dapur, ingin mengisi botol minumnya untuk dibawa ke kamar. Setelah itu segera kembali ke kamar untuk istirahat.Karina menangis dalam diam begitu menutup pintu kamar, dia mengutuk perasaannya yang tak pernah berubah sejak dulu. Dia takut, jika perasaan ini akan membuatnya membenci seseorang. Padahal ia tau sendiri, rasanya tak pernah berbalas barang sedikit pun. Namun, dengan tak tau dirinya, dia malah semakin memperdalam rasa itu hingga ke dasar hati, sampai ia lupa bagaimana caranya kembali.Karina tak ingin di cap seperti kacang lupa kulitnya. Dia cukup tau diri untuk itu, namun perasaan tetap saja tak bisa dia rubah, ia pun tak punya kuasa untuk itu. Meski ia tau bagaimana sakitnya perasaan yang tak terbalas, dan itu yang dia rasakan selama bertahun-tahun tanpa seorang pun tahu.Begitu tiba di kamar, bukannya langsung mengistirahatkan tubuh, Evelyn malah duduk di teras kamar, tempat biasa dia dan Bian menghabiskan waktu jika sedang menginap disana.Kini tanpa siapa pun tau, Bian dan Evelyn sama-sama sedang menatap gelapnya malam ditempat yang berbeda.Bian berulang kali mengecek ponselnya, berharap sang kekasih hati menghubungi kembali meski hanya berupa pesan. Perasaan tak enak sebab tindakan gegabah nya membuat mata lelaki itu tak mampu terpejam barang sedetik pun. Di keheningan malam, dia duduk termenung menyesali semuanya. Dia menyesal kenapa harus menerima permintaan konyol sang mantan agar kembali padanya. Padahal ia tau sendiri, Marissa masih sama seperti dulu.Dalam sepinya malam, Evelyn terisak seorang diri memikirkan nasib rumah tangganya yang baru seumur jagung itu harus kandas. Tak pernah terpikirkan oleh perempuan itu sebelumnya, jika kembalinya Marissa akan membawa bencana baginya.Sebenarnya bisa saja Evelyn mempertahankan hubungan mereka. Namun, ia tak mau lebih lama lagi tersakiti. Masih teringat jelas dalam ingatan Evelyn alasan yang dilontarkan Bian, dia hanya ingin membahagiakan buah cintanya dengan Marissa tanpa memperdulikan bagaimana hancurnya perasaan Evelyn. Ditambah lagi ucapan Marissa saat di parkiran kafe saat itu terngiang-ngiang dalam pikirannya, membuat perasaanya kian sesak.Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum