Stella berdiri mematung, enggan untuk menoleh ke belakang, karena dia mengenal dengan baik suara yang baru saja didengarnya itu.
“Hei, kamu gila?” pekik Maggie yang melihat satu tangan puteri kesayangannya dipuntir oleh seorang pria.
Tak ada yang berani bersuara, mereka mengenal dengan betul siapa pria yang saat ini berada di toko pakaian itu.
Stella berbalik dan menatap dengan tajam pria yang saat ini masih belum melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Elise.
“Tuan Muda Anderson Yang Terhormat, buat apa kamu berada di sini?” tanya Stella.
Dia tak mengerti bagaimana bisa Dominic bisa berada di dalam toko, dan baru saja dia membantu Stella, sehingga pot kaca itu tak mengenai kepalanya?
Apakah ada seorang malaikat yang hinggap di bahu kanan Dominic, sehingga pria itu menjadi agak jinak dan baik padanya?
Tapi tunggu ....
“Kenapa kamu bisa ada di sini?” Stella mengulang kembali pertanyaannya.
Dominic menyentak tangan Elise, lalu beralih pada Stella. Dia menarik dengan kasar pergelangan tangan Stella, dan menyeretnya keluar dari dalam toko. Kilatan cahaya di mata Dominic, membuat Stella bergidik ngeri. Dia sudah sering melihat Dominic marah dan mengacuhkannya berhari-hari. Tapi kilatan yang sedikit aneh, dan wajah Dominic yang begitu dingin, membuat Stella mengikuti Dominic yang terus menarik tangannya dengan kasar dan menjauh dari toko.
“Pantas saja kamu mengacuhkan panggilan dariku. Rupanya kamu sedang bersama Dylan? Mantan pacarmu, kan?”
“Hah? Apa yang terjadi dengan kepalamu?”
“Untung saja, aku menyuruh Daniel untuk mengikutimu. Kamu masih belum bercerai denganku, Stella Wilson, tapi kamu sudah berani berjalan dengan pria lain di belakangku? Ada berapa nyawa yang kamu miliki?”
Meski dia belum mencintai Stella, atau mungkin tak akan pernah mencintai wanita itu, dia tak pernah suka jika ada orang lain yang terlihat menyukai barang miliknya sebelum dia sendiri yang membuang atau menyerahkan barang itu pada orang lain.
Stella terlihat kesulitan untuk menelan ludahnya sendiri, wajahnya terlihat pias menatap ke arah toko, di mana Dylan dan Ruby masih menunggunya di sana.
“Dengan ya, Dominic Anderson, suami yang tak pernah mencintai isterinya. Sebentar lagi aku akan mengurus perceraian kita, jadi kamu tak perlu takut jika aku akan membuat malu keluargamu karena terlihat jalan dengan pria lain.”
“Jangan membantahku, tolong,” ucap Dominic lebih lembut kali ini.
“Lagi pula, aku tidak hanya jalan berdua dengan pria, ada sahabat wanitaku, Ruby. Ingat sebentar lagi, setelah malam ini aku menemanimu ke acara ulang tahun mendiang adikku, aku dan kamu tak akan lagi saling berhubungan, kamu paham!” seru Stella.
Stella masih mencintai pria yang terlihat tampan di matanya, hanya saja sifatnya yang selalu seperti iblis pada akhirnya membuat Stella harus menyadari jika pria itu tak pernah memiliki rasa cinta padanya!
“Tidak, kamu tak akan bisa menceraikanku! Jangan harap malam ini kamu bisa pulang kembali ke apartemen sempitmu itu! Kamu akan pulang denganku!” bentak Dominic Anderson dengan nada tinggi. Membuat beberapa pengunjung di mall itu menoleh dan memperhatikan kedua suami istri yang terlihat absurd.
“Sekarang lepaskan tanganku, aku ingin mengambil gaunku dan membayar!”
Dominic memelototi Stella lalu berkata, “Gandeng aku, sekarang!”
Menggandengnya?
Sungguh suatu keajaiban dunia ke sepuluh. Selama ini Dominic enggan disentuh oleh Stella, dan kali ini dia memaksa Stella untuk menggandeng tangannya?
Apakah sewaktu perjalanan menuju mall, kepala pria itu terbentur sesuatu?
Pada akhirnya keduanya kembali ke dalam toko. Para pelayan, beserta pengunjung toko lainnya tak henti-hentinya mengagumi sosok Dominic yang bertubuh tinggi, tegap, kekar ditunjang dengan paras yang menawan.
Bahkan Elise tak sempat berkedip.
“Berikan gaun itu kepada isteriku, aku yang akan membayar,” ujar Dominic seraya menarik kartu Amex Black Card milik Dylan dari tangan kasir. Dilemparkan kartu itu pada Dylan, dengan sigap, Dylan menangkap kartu miliknya, membuat Ruby menggelengkan kepalanya.
“Ah, Tuan Muda Anderson, maaf ... saya tidak tahu jika wanita ini adalah isteri Anda,” ujar Maggie seraya berjalan mendekati Dominic, dan mengusap bahu Dominic. Wajahnya tampak seperti penjilat sejati yang sama sekali tak tahu malu. Maggie menarik lengan baju Elise, dan berbisik pada puterinya. Terlihat Elise menganggukkan kepalanya.
“Maafkan saya, Tuan Muda Anderson.”
Dominic menoleh dan menatap kedua anak beranak itu dengan sangat sinis.
“Jika semuanya bisa diselesaikan dengan minta maaf, lalu apa gunanya polisi?” jawab Dominic dengan ketus. Entah darimana dia mendapatkan kata-kata yang terdengar sangat ajaib itu.
Stella sampai menunduk karena menahan rasa malu, wajahnya terlihat merah.
“Kamu berdua, pergi saja. Aku akan mengurus wanita itu bersamaku,” ucap Dominic menunjuk ke arah Ruby dan Dylan dengan dagunya. Dia memicingkan kedua matanya pada Dylan, ada rasa tak suka yang dia sendiri tak mengerti ketika melihat Dylan.
Akhirnya Dylan dan Ruby pun mengalah.
“Stella, aku dan Ruby akan pergi lebih dulu. Kamu baik-baik dengan serigala satu ini. Jika dia berani berlaku kasar, hubungi aku, aku akan membuat perhitungan dengannya.” Dylan menatap tajam pada Dominic, tak suka jika wanita yang dicintai bertahun-tahun lamanya diperlakukan dengan sangat kasar.
Rasanya dia ingin menyuruh Stella menceraikan Dominic saat itu juga, melihat kelakuan Dominic yang memperlakukan Stella seperti bukan perlakuan terhadap seorang istri.
Dominic terkekeh, wajah tampannya terlihat kejam. Berani-beraninya seorang pria dari golongan B berkata akan membuat perhitungan dengan seorang Dominic Anderson yang bahkan kekayaannya menguasai hampir seluruh kota?
Sesaat Dominic merasa tersinggung.
“Apakah kamu memiliki sembilan nyawa, sehingga mampu menggertakku?”
“Aku hanya memiliki satu nyawa, meski hanya satu nyawa aku masih mampu melawanmu. Kamu pikir dengan kekayaanmu bisa membuatku takut?” balas Dylan tak kalah sengitnya.
Ruby sudah merasa jika dia tak melerai kedua pria dewasa itu pasti sebentar lagi akan terjadi perang teluk di antara keduanya dan toko di mana mereka berada sekarang akan hancur lebur.
“Dylan, sebaiknya kita pergi. Jangan melayani pria setengah waras itu, doakan saja, Stella cepat bercerai darinya,” sindir Ruby.
Satu tangan Dominic hampir terangkat hendak memukul Ruby begitu mendengar kata-katanya barusan, beruntung Stella dengan sigap menahan tangan Dominic.
“Aduh!”
Stella menginjak kaki Dominic dengan geram, tingkah laku Dominic benar-benar seperti anak kecil yang tak mau kalah berdebat.
“Kamu itu sudah tua, jadi bersikaplah dewasa. Sekarang bayar gaun itu lalu kita pergi dari sini.”
Maggie dan Elise yang merasa kesal dan malu dengan perlakuan Dominic kepada mereka, langsuung melangkah keluar dari dalam toko tanpa membeli apa pun. Mereka mengira, akan mudah mengambil hati Tuan Muda Keluarga Anderson?
Hanya Stella yang tahu dengan pasti seperti apa sifat iblis berwajah tampan berkedok suami, yang selama tiga tahun ini selalu saja berlaku kasar dan seenaknya pada Stella.
Setelah Dominic membayar gaun yang dipilih Stella, dia pun berkata, “Percuma aku memberimu banyak uang untuk membeli gaun, dan pada akhirnya aku juga yang membayarnya.”
“Kalau kamu tak rela memberikan uang, aku akan mengembalikannya,” balas Stella.
“Aku tak sudi menerima uang yang sudah kusedekahkan pada wanita yang tak berguna sepertimu.”
Keesokan harinya, Stella diperbolehkan dokter untuk meninggalkan rumah sakit, dan menjalani perawat rumah. Dia terpaksa mengambil cuti beberapa hari di tempatnya bekerja, tidak mungkin memaksakan diri dengan tetap bekerja dalam kondisi tubuh yang benar-benar rentan.Ia sudah membaca pesan yang dikirimkan Dominic padanya, jika menerima tawaran Dominic, sama saja dia akan masuk kembali ke dalam sebuah perangkap yang membuatnya terjebak di dalam neraka bernama ‘cinta’. Saat kembali, hanya Dylan yang menemaninya di apartemen, Ruby telah mengatakan pada kedua orang itu, jika dia tidak bisa mengantar Stella pulang, karena ada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan Ruby.Sesampainya di depan pintu, Dylan tidak bisa mengantar Mari sampai ke dalam ruangan. Dia harus bergegas pergi, ada sesuatu yang harus dikerjakannya. Beberapa klien di perusahaannya sedang menunggu untuk mengadakan rapat hari ini. Ada rasa berat di dalam dada Dylan, untuk meninggalkan wanita yang begitu dikasihinya seorang d
Stefani terisak di dalam dekapan Dominic, berkali-kali dia merutuki dirinya sendiri, mengatakan jika dirinya benar-benar bodoh dan terlalu murahan. Hanya untuk membuat Dominic merasa bersalah pada dirinya. Seandainya Dominic tahu, wanita yang berada di dalam dekapannya, adalah iblis dari segala iblis, tentu dia akan memilih untuk tidak pernah mengenal Stefani lagi selamanya.Saat sedang mendekap Stefani, tiba-tiba saja pikiran Dominic terbagi pada Stella. Tidak sedikit pun dia memikirkan mengenai Stella saat ini, semua terjadi begitu tiba-tiba. Stella yang menatap dengan tajam ke arahnya, lalu dengan kasar mengusir dari dalam ruangan, semua kembali berputar pada ingatannya.Apa mungkin ... dia sedang merasakan sebuah penyesalan? Lalu Dominic tidak menyadarinya?“Apa yang sedang kau pikirkan, Dominic?” tanya Stefani seraya mengusap wajah Dominic. Tidak biasanya Dominic terlihat murung saat bersamanya! Pikir Stefani saat itu.“Aku sedang memikirkan Stella,” jawab Dominic jujur. Membuat
“Keluar!” seru Stella sekali lagi seraya menunjuk ke arah pintu dengan jari telunjuk. Dia tidak memedulikan jika akan dimarahi oleh perawat atau pun dokter.Hatinya belum juga lega meski dia telah mengusir Dominic dari dalam ruangan. Dia takut setelah dia keluar dari rumah sakit, pria yang dianggapnya setengah waras itu akan kembali menghampirinya, dan berbuat nekat.‘Dominic, Dominic, di saat aku mencurahkan seluruh perasaanku padamu, kau justru mengingkari kehadiranku di sisimu. Saat aku ingin menjauh dan melepaskan, kenapa kau bersikeras ingin bertahan? Ini bukan perasaan cinta, tetap kau menganggapku hanya sebagai barang!’ ucap Stella dalam hati dengan penuh penyesalan, Seandainya dia menolak untuk menggantikan Shania, dia tidak perlu merasakan cinta pada Dominic yang berakar begitu dalam seperti saat ini!Tidak lama setelahnya Stella dipindahkan ke ruang perawatan. Bersamanya, di dalam ruangan ada satu orang pasien lain. Setidaknya, dia bersyukur jika Dominic masih bersikeras in
“Jika ada hal buruk yang saya dapatkan setelah pemeriksaan, dokter harus tahu, saya akan mempertahankan kandungan saya apa pun resikonya,” kata Stella sekali lagi dengan memberi penekanan pada dokter. Dia berkata seperti itu, seakan memiliki firasat, sedangkan pemeriksaan sendiri belum dilakukan.Dokter yang menangani Stella hanya bisa terdiam begitu mendengarkan kata-kata Stella. Wanita berusia 23 tahun terlihat begitu serius pada kalimat yang diucapkannya, membuat dokter menjadi bingung. Di satu sisi, pria yang berada di luar ruangan adalah suaminya, jika dokter harus berbohong, lalu di kemudian hari terjadi sesuatu, yang akan disalahkan nantinya bukanlah pihak pasien, melainkan pihak rumah sakit, dianggap melalaikan kewajibannya.“Saya tidak tahu harus berbicara apa, Nyonya Stella. Memangnya kenapa Anda tidak ingin memberitahukan pada suami Anda mengenai masalah ini? Apa yang Anda khawatirkan?” tanya dokter mencoba mengorek keterangan lebih dalam pada Stella.Stella mencengkram tan
Dominic mengangguk dan setengah berlari membawa tubuh Stella masuk ke dalam rumah sakit. Sesampainya di depan pintu dia berteriak sekuat tenaga tanpa mempedulikan tatapan orang lain yang berada di ruangan tersebut, “Tolong, bantu istriku! Dia mengeluarkan darah!” Rasa sakit semakin mengiris-iris tubuh Stella. Dia benar-benar tidak berdaya dengan apa yang saat ini dirasakan. Seakan sekujur tubuh Stella pelan, pelan, tersayat oleh ujung pisau. Satu tangan Stella mencengkram kuat lengan Dominic. Dominic bisa merasakan kuku-kuku Stella menusuk lengannya, tetapi dia tidak menghiraukan rasa sakit akibat kuku-kuku Stella yang mencengkramnya. Jujur, dalam hati kecilnya dia sangat mengkhawatirkan keadaan Stella. Meski dia sendiri tidak bisa mengerti perasaan yang sedang dirasakan oleh dirinya! “Stella, bertahanlah,” bisik Dominic. Seandainya saja perlakuan seperti ini diterima Stella jauh-jauh hari sebelumnya, sebelum Stella memutuskan untuk melepas Dominic, tentu dia masih bisa berusaha u
Rupanya Dominic melihat Stella yang membalikkan badan, batal untuk masuk ke ruangannya. Dia pun dengan geram memanggil Stella, seraya mempercepat langkahnya, “Stelly! Tunggu! Kau harus bicara denganku!”Dominic mengejar Stella, secepat apa pun langkah Stella untuk menghindari Dominic, tetap saja langkah Dominic jauh lebih cepat darinya. Stella berlari ke arah tangga darurat dan berlari menuruni anak tangga, sesekali dia melompati dua ruas anak tangga, dan lupa jika saat ini dia tengah mengandung anaknya dan Dominic? Dia benar-benar merasa cukup satu kali dia merasakan betapa menyakitkan perlakuan Dominic padanya, beberapa waktu yang lalu. Dia sadar, pria yang pernah tinggal bersama satu atap dengannya bukanlah pria yang memiliki hati seperti orang lainnya!“Stelly! Berhenti!” Dominic kembali meneriakkan nama Stella. Dia semakin mempercepat langkahnya membuat Stella cukup kesulitan untuk menyeimbangi langkah kakinya. Tidak lama kemudian, Stella merasa ada sesuatu yang sangat menyak