Waktu menunjukkan pukul tiga malam, saat aku sampai di kampung halaman orang tuaku, Alfa dan Via tertidur pulas di jok tengah dan belakang. Kupandang wajah-wajah polos itu penuh haru. "Maafkan Ayah, karena menyeret kalian dalam permasalahan orang dewasa, yang tak bisa kalian pahami," ucapku dalam hati. "Den Afnan sudah sampai to? Berangkat dari rumah jam berapa tadi?" tanya Pak Warto, orang yang dipercaya oleh keluargaku, untuk menjaga dan merawat rumah ini. "Jam delapan tadi, Pak. Tapi mampir-mampir dulu, jadi agak lama sampai," jelasku. Sebelum berangkat kesini, aku mampir ke super market dulu, beli aneka cemilan, dan makanan kering, untuk persediaan selama di sini. Beli beberapa potong baju juga, untuk Alfa dan Via. Karena tidak mungkin aku mengambil baju mereka di rumah Uma, kan?. Kalau bajuku sudah ku persiapan dalam koper, sejak tahu Uma akan menikah. Aku sudah mempersiapkan rencana ini. Uma boleh bahagia dengan suami barunya, tapi aku berhak hidup bersama anak-anakku. "De
Pov dr. Prabu"Sudah! Sudah! Dokter! Berhenti Dokter! Afnan bisa mati!" teriak Mbak Yeni. Aku yang sudah kalap, menghentikan aksiku menghajar si Bulguso sialan itu. Gara-gara dia malam pertamaku gagal, eh dia malah berani menyerangku, dia pikir aku nggak bisa berantem? Meskipun setiap hari aku berkutat dengan stetoskop, dan obat-obatan, aku ini penyandang sabuk hitam Dan tiga karate. Waktu SMA aku pernah menjuarai kejurda. Sempat terhenti karena aku sibuk mengejar mimpiku, menjadi dokter anak. Tapi aku masih aktif di organisasi dan melatih, para yuniorku. Saat ini bahkan aku menjabat ketua KONI kabupaten. Kalau kalau dia meremehkan aku, sama dengan cari mati. Apalagi energiku untuk belah duren masih tersimpan, jadi lumayan bisa tersalurkan, dengan menghajar Afnan. "Kalian pulang saja, bawa anak-anak! Biar Afnan, aku yang urus. Aku minta maaf atas nama dia, aku berjanji, dia tidak akan mengulangi kesalahan lagi," ucap Mbak Yeni, dengan berderai air mata. Rupanya cecunguk itu pings
"Kamu itu memang egois jadi orang, mau menangnya sendiri. Pantes aja istrimu nggak ada yang sanggup bertahan lama. Apa sih maumu? dulu kamu tidak pernah memperdulikan anak-anakmu, bahkan berkeras tidak mau nengokin anakmu yang baru lahir. Kok sekarang menuntut hak, ingin mengasuh mereka. Mikir dong! Kamu kira mereka itu barang, bisa oper sana oper sini."Sepanjang perjalananan, Mbak Yeni terus merepet kayak petasan cabe, menyalahkan dan mengungkit semua kesalahanku di masa lalu. "Kenapa kamu nggak biarkan Uma, dan anak-anak hidup bahagia, toh mereka tidak pernah merepotkanmu. Untung Uma berhati baik, dia tidak akan melaporkanmu ke polisi. Bayangkan saja, kalau sampai kamu dipenjara? Siapa yang akan mengurusmu!" lanjut Mbak Yeni lagi. "Aku heran, kok bisa wanita sebaik Uma, pernah menikah denganmu? Dan bodohnya kamu, sudah menyia-nyiakannya. Eh sekarang sok-sok an perduli, pakai bawa lari anak-anak segala, emangnya kamu sanggup merawat mereka?" imbuh Mba
Ingin rasanya aku mendekati mereka, tapi entah mengapa kaki ini sulit digerakkan. Aku ingin meminta maaf, tapi tak sanggup melihat kebahagiaan mereka, sedangkan selama lima tahun ini, hidupku merana. "Ayah Bunda! Belanjanya sudah selesai belum?" Mata ini tak berkedip demi melihat, gadis cantik berjilbab menyapa Uma dan Prabu. Via kah itu? Cantik sekali, dia sudah sebesar itu sekarang. Kalau tidak salah hitung umurnya sepuluh tahun sekarang. Lalu mana Alfa? Jagoanku itu pasti sekarang sudah beranjak remaja, mungkin kelas sembilan atau sepuluh. "Sudah, tinggal bayar ke kasir," jawab Uma, tangannya sibuk memasukkan beberapa kardus susu ke troli. "Anak Ayah capek, ya? Mukanya ditekuk gitu?" sahut Prabu, tangannya mengelus puncak kepala Via. Ada yang berdenyut nyeri dalam dadaku, melihat keakraban mereka. Harusnya bukan Prabu yang bersikap seperti itu, tapi aku. "Abisnya Ayah Bunda belanjanya lama! Terus kapan nyari sepatu buat aku?" rengek Via manja. "Setelah ini ya? Bunda bayar
"Siapa yang datang, Alfa lagi?" tanya Wina, istri ke-empatku. Dia melongokkan kepalanya, melihat ke arah ruang tamu di mana Alfa berada. "Iya," jawabku singkat, seraya membuka kulkas dan mengambil botol air minum. Sejak aku memutuskan menikah lagi, Alfa mulai menjaga sikap bila di rumah ini. Dia tak lagi bebas keluar masuk seperti dulu, paling duduk di ruang tamu atau di teras ngobrol bersamaku. Itu pun tak lama, hanya satu dua jam dia langsung pamit pulang. Padahal dulu dia biasa berlama-lama di rumah ini, bahkan menginap barang satu dua malam. Ketika kutanya apa alasannya, dia selalu bilang, "Nggak enak sama Mama Wina."Istriku ini memang kurang suka kepada Alfa dan Via, buah pernikahanku dengan Uma. Padahal Alfa dan Via tak berbuat kesalahan pada Wina, entah mengapa wanita yang kunikahi lima tahun yang lalu itu begitu membenci mereka. "Ngapain sih dia ke sini terus, Mas?" ketus Wina. "Kok ngapain? Ya menjalin silaturahim dengan ayahnya ini. Kamu ini kok aneh," sahutku kesal.
"Gimana nggak ketus, kamu itu pilih kasih. Kalau sama mereka apa-apa kamu belikan, nggak peduli harganya mahal sekalipun. Tapi Buat Ryan apa yang sudah kamu belikan?" ketus Wina. "Hhh!" Aku hanya bisa mendengkus kesal, lalu meninggalkan Wina. Bagaimana mau membelikan barang-barang seperti Alfa dan Via? Ryan, buah cintaku bersama Wina memiliki keterbelakangan mental. "Mas! Orang belum selesai bicara kok ditinggal nyelonong aja!" bentak Wina. Dia menyusul langkahku. "Kamu mau ngomong apa?" ucapku pelan masih berusaha sabar. Kalau stock sabarku nggak dibanyakin, mungkin aku sudah gila. Setiap hari hanya ngajak ribut aja kerjanya. Diantaranya wanita yang pernah aku nikahi, bisa dibilang Wina ini paling parah. Wajahnya biasa saja, nggak ada apa-apanya dibanding Uma atau Riyanti, apalagi kalau disandingkan dengan Sandi. Ibarat langit dan bumi. Soal attitude apalagi, dia banyak minusnya. Suaranya cempreng nggak ada lembut-lembutnya, kalau ngomong suka ngegas. Aku sendiri kadang malu ka
"Ini ada tamu, ngantar soto." Aku menoleh ke arah Wina, melihat ekspresinya apa dia marah, pagi-pagi aku sudah dihampiri bidadari. "Selamat Pagi, Mbak. Saya tetangga baru, semalam baru pindahan," ucap Riyanti, seraya memamerkan senyum manisnya. "Oh, yang menempati rumah almarhum Pak Badi?" balas Wina. "Iya, Mbak. Saya mengantar soto sekalian memperkenalkan diri, nama saya Riyanti," balas Riyanti. "Saya Wina."Dan obrolan mereka berlanjut, Wina bersikap ramah pada Riyanti, karena dia tidak tahu siapa sebenarnya wanita itu. "Mah, sudah ngobrolnya. Itu sotonya taruh di dalam dong," pintaku pada Wina. "Eh maaf, sampai lupa ganti mangkuknya. Habisnya Mbak Riyanti ini ramah banget, sudah cantik, baik lagi," puji Wina, Riyanti hanya tersenyum menanggapi ucapan Wina, sambil sesekali melirikku. "Saya ganti mangkuknya dulu ya, Mbak?" ucap Wina berpamitan pada Riyanti. "Ya, silahkan!" balas Riyanti. "Itu tadi istri Mas Afnan?" tanya Riyanti, usai Wina berlalu. "Iya," jawabku singkat, m
Sejak Riyanti menghantui pikiranku, aku jadi penasaran ingin bertemu dengannya, meski tak bisa ngobrol lama, setidaknya aku bisa memandang wajahnya. Tapi setiap hari aku hanya bisa menatap pagar terkunci dari luar, rumah Riyanti selalu sepi. Paling-paling aku melihat pembantunya yang sedang nyapu halaman. Tak kehilangan akal, aku berusaha bangun pagi, agar bisa melihat Riyanti. Begitu azan berkumandang, aku segera bergegas ke mesjid terdekat, tapi rumah Riyanti sudah sepi. Usaha apa lagi yang harus kulakukan agar bisa bertamu Riyanti? Tiba-tiba terlintas ide dikepalaku, mengapa aku tidak ke warung makannya saja? Pura-pura makan. Selain bisa menatap wajahnya dari dekat, aku bisa merasakan enaknya masakan dia. "Tumben pagi-pagi sudah mau berangkat, Mas?" sapa Wina, ketika melihatku sudah rapi. "Iya, ada beberapa berkas yang harus diperiksa," bohongku. Berkas apaan? Aku hanya ingin sarapan di warung makan milik Riyanti. "Nggak sarapan dulu? Sudah mateng lho, aku ambilin ya?""Ngga