“Elemenzeus fire ball.” Teriak Azura sambil menyerang Camaro yang terbang di ketinggian.
Syuu! Syuu!
Camaro dengan lincah berhasil menghindari serangan Azura.
“Ha ha, kau masih belum bisa mengenaiku,” cibir Camaro.
“Cih, bodo ah. Terserah kau saja!” Umpat Azura sambil terduduk dan bersandar di batang pohon besar.
“Istirahat saja dulu,” ujar Camari.
“Iya memang, melelahkan sekali,” sahut Azura.
“Hei Azura, berhentilah bermalas-malasan!” Seru Camaro sambil terbang mendekati Azura.
‘Apa sih, dasar burung camar menyebalkan.’ Umpat Azura di dalam hati sambil menatap tajam Camaro.
“Sudahlah Camaro, biarkan Azura beristirahat dulu,” kata Camari.
“Heleh, kemampuan masih lemah begitu kok malah sering beristirahat,” gerutu Camaro.
“Tolong! Tolong!”
Tiba-tiba Azura mendengar teriakan seseorang dari kejauhan.
“Hei Azura, ada apa?” tanya Camari dengan ekspresi khawatir.
“Kalian dengar tidak?” tanya balik Azura.
“Dengar apa? Tidak ada suara apa-apa,” jawab Camaro.
“Aku mendengar ada teriakan minta tolong,” kata Azura.
“Hm, aku juga tidak mendengarnya loh, Azura,” timpal Camari.
“Tidak, aku mendengar suaranya dengan jelas,” ucap Azura.
“Kau itu ya, sudah lemah, lalu gemar halusinasi juga,” cibir Camaro.
“Tidak! Aku sungguh mendengarnya! Arahnya dari sisi barat laut,” tandas Azura.
Camaro dan Camari saling menatap satu sama lain.
“Kita harus ke sana!” seru Azura.
“He-hei, apa kau sungguh tidak salah dengar?” Camari kembali bertanya untuk memastikan sesuatu yang hanya di dengar oleh Azura.
“Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatanmu. Elemenzeus sun light run,” kata Azura tanpa menghiraukan pertanyaan Camari.
Whoosh!
Azura dengan cepat berlari kencang meninggalkan Camaro dan Camari.
‘Aku harus membantu orang itu. Aku yakin itu teriakan dari manusia,’ kata Azura di dalam hati.
Srak! Bruk!
Azura seketika terjatuh saat dirinya melihat sekumpulan serigala di depannya.
“Ba-ba-banyak ba-nget,” tutur Azura terbata.
“Tolong! Tolong! Siapa pun tolong aku!”
Terlihat seorang pria dengan pakaian compang-camping sedang terkepung oleh kawanan serigala.
“Wah, dia bisa mati,” lirih Camaro dari atas pohon.
“Azura, lakukanlah sesuatu!” seru Camari.
“Ta-tapi serigalanya terlalu banyak! Sa-satu, dua, tiga…, ah ada lima serigala,” ucap Azura.
“Memangnya kenapa kalau lima? Kau takut?” tanya Camaro.
“Bukan takut, tapi aku belum pernah melawan musuh sebanyak itu,” jawab Azura.
Grr! Srak!
“A-ah sakit! Tolong!” Pria itu merintih kesakitan saat salah satu serigala mengigit lengan kirinya.
“Aku rasa tangan pria itu akan buntung,” ucap Camari penuh prihatin.
“Cih, kurang ajar.” Umpat Azura sambil berlari mendekati kawanan serigala.
“Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah aku sedikit kekuatanmu. Sihir kombinasi, elemenzeus white light ball dan fire ball,” ucap Azura.
Syu! Syu! Syu! Whoosh! Duar!
Sihir bola cahaya putih dan sihir bola api secara beruntun melesat mengenai kelima serigala sekaligus hingga membuat mereka terhempas jauh.
Grr!
Serigala itu sempat mengerang, lalu akhirnya tidak sadarkan diri.
“Hah, hah.” Azura tertunduk sambil mengatur irama napasnya.
‘Hampir saja aku kebablasan menggunakan mana,’ kata Azura di dalam hati.
“Aduh, sakit sekali.” Rintihan seorang pria berhasil menarik perhatian Azura.
“Heh, kau tidak apa-apa?” Tanya Azura sambil berlari menghampiri pria itu.
“Apa kau tidak melihat? Apa menurutmu aku masih tidak apa-apa?” tanya balik pria asing itu dengan nada tinggi.
Azura pun terdiam sejenak dan memperhatikan pria di depannya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
‘Dia terlihat tidak baik-baik saja,’ kata Azura di dalam hati.
“Apakah kau bisa berjalan? Mari aku bantu obati.” Ajak Azura sambil mengulurkan tangan kepada pria itu.
Plak!
Pria itu menampar tangan Azura.
“Heh?”
“Kau tidak perlu membantuku. Biarkan aku di sini. Tolong tinggalkan aku!” Seru pria itu sambil tertunduk lesu.
“Mengapa?” tanya Azura.
“Biarkan aku di sini! Anggap saja ini adalah penebusan dosaku,” jawab pria itu.
“Hah? A-apa maksudmu?” Azura kembali bertanya dengan ekspresi sangat bingung.
Pria itu mengigit bibir bawahnya sambil menunjuk ke arah utara.
“Heh? I-itu?” Mulut Azura terbuka lebar dan seketika kelu.
“Aku yang menyebabkan mereka semua mati,” lirih pria itu.
Azura menggelengkan kepalanya perlahan.
‘Tunggu, dia membunuh teman-temannya? Ah tidak mungkin. Apa jangan-jangan mereka mati karena…,’ duga Azura di dalam hati.
“Aku tidak pantas hidup setelah membiarkan mereka semua mati,” ucap pria asing.
Bruk!
Azura memegang erat kedua pundak pria asing di dekatnya itu.
“Hei tatap aku!” seru Azura.
Pria itu mengadahkan kepalanya. Bola mata berwarna cokelat muda dengan liquid bening di pelupuknya menatap Azura dengan penuh sendu.
“Ini semua bukan salahmu! Aku tegasin sekali lagi, bu-kan sa-lahmu! Apa yang terjadi hari ini, itu semua karena takdir,” kata Azura.
“Tidak! Kau salah!” Ujar pria itu sambil menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Aku tidak salah karena aku adalah perempuan,” sahut Azura.
“Kau ini bodoh atau apa? Mengapa kau bercanda di saat seperti ini?”
“Aku tidak bercanda.”
“Sudahlah! Kau diam! Intinya tinggalkan aku sendirian di sini!” teriak pria itu.
“Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu sendirian!” tolak Azura.
“Aku tidak butuh belas kasihanmu!” Seru pria itu sambil menyingkirkan kedua tangan Azura dari pundaknya.
Azura terdiam sejenak.
‘Aku paham apa yang dia rasa. Pasti hatinya diliputi oleh rasa bersalah,’ kata Azura di dalam hati.
Pria asing itu merangkak menjauh dari Azura dengan tubuh berlumuran darah.
“Hei kau mau kemana?” tanya Azura.
“Kemana saja! Aku minta, tinggalkan aku sendirian!”
Azura berjalan mendekati pria asing itu. “Aku tidak mau meninggalkanmu.”
“Hei perempuan tidak tahu malu! Berhentilah mengikutiku!” bentak pria asing.
Azura tersenyum tipis sambil berlari dan menghadang pria yang telah membentaknya.
“Kau ini sedang meledekku ya?” tanya pria itu.
“Bisa tidak, kau tidak berpikiran negatif terus?” tanya balik Azura.
“Cih, memang semua perempuan sangat menyebalkan.” Gerutu pria itu sambil memalingkan wajahnya dari pandangan Azura.
“Hei ayolah, kita harus mengobati lukamu.” Ajak Azura sambil menggenggam tangan kanan pria itu.
“Hentikan!” Pria itu lagi-lagi membentak Azura dan menghempaskan genggaman Azura.
“Heh?”
“Aku bilang hentikan! Mengapa kau tidak mengerti? Apakah kau buta? Kau lihat mayat-mayat itu! mereka mati karena aku! Aku yang memaksa mereka untuk menerimaku ke dalam kelompok berburu.” Kata pria itu dengan nada yang gemetar.
‘Sepertinya aku sudah keterlaluan,’ kata Azura di dalam hati.
“Jadi, aku mohon biarkan aku sendirian. Biarkan aku mati menyusul mereka,” sambung pria itu.
“Kalau kau memang ingin mati, untuk apa aku datang menolongmu ya,” gumam Azura.
Suasana seketika hening. Hembusan angin yang semakin kencang menerpa dedaunan kering di sekeliling.
“Baiklah kalau kau ingin sendirian.” Ujar Azura sambil berjalan menjauh dari pria itu.
‘Kalau begitu, aku akan mengawasinya dari kejauhan saja,’ kata Azura di dalam hati.
Bruk!
Tiba-tiba pria asing itu terjatuh dan tidak sadarkan diri.
“Heh?” Azura menoleh ke arah pria asing itu dan terpaku selama beberapa saat.
“Dia pingsan atau mati?” Tanya Camari sambil terbang di sisi kiri Azura.
***
“Jadi, mau kau apakan pria itu?” tanya Camaro.Azura menatap Camaro dengan tajam. “Apa maksudmu?”“Ya, apa rencanamu mengenai pria itu? Jika dia sadar, kau mau bagaimana?”“Hah.” Azura menghela napasnya seraya menyandarkan tubuh di batang pohon besar.“Mungkin aku akan mengantarnya untuk keluar dari sini,” jawab Azura.“Memangnya kau tahu jalan keluarnya?” tanya Camari.“Tentu saja tidak. Tapi aku bisa bertanya dengan kalian, bukan?”“Kami tidak bisa menampakkan diri ke depan pria itu,” jelas Camari.“Kenapa memangnya?” Azura mengangkat alisnya dengan penuh tanda tanya.“A-a-ah i-it-.” Camari berusaha menjawab pertanyaan Azura, tetapi Camaro dengan cepat menyanggahnya.“Karena aku terlalu tampan dan jenius untuk dilihat oleh pasang mata manusia asing ho ho.”Azura
‘Setelah pohon ceri merah, ambil arah timur…,’ pikir Azura di dalam hati. “Hei Azura! Lihat!” Seru Elenio sambil menunjuk gapura kuno di depan. “Gapura…,” lirih Azura. “Yeay! Akhirnya kita bisa keluar dari hutan ini." Kata Elenio sambil meloncat penuh semangat.Azura terdiam dan hanya berkata di dalam hati. 'Aku kira keluar dari hutan ini membutuhkan perjalanan yang lama.'"Hup, Hah. Aku kira, aku tidak bisa merasakan udara di luar hutan lagi." Ujar Elenio sambil sesekali menghirup udara segar di sekelilingnya.Azura menoleh dan menatap Elenio dengan datar. “Memangnya kau pikir benaran akan mati?” “Tidak, bukan begitu." Sahut Elenio sambil menggelengkan kepala dengan cepat. "Lalu?" Azura memiringkan kepalanya penuh penasaran. "Saat aku dengan kelompokku waktu itu, kami sulit sekali menemukan jalan keluar. Konon, masyarakat mengenal Hutan Florestia itu adalah hutan kramat,” jelas Elenio.“Ha ha.” Azura lantas tertawa setelah mendengar perkataan Elenio yang menohok. “Kau menertawa
Syut! Syut! “Whoa, ternyata kau juga hebat dalam menggunakan pedang!” Puji Elenio sambil memperhatikan Azura dengan mata yang membulat sempurna. “Heh? Ah tidak, tidak. Aku belum pernah belajar seni bela diri pedang. Barusan yang kau lihat itu hanya sedikit adegan pertarungan yang aku baca dari komik kesukaanku,” sahut Azura. “Loh, komik? Apa itu?” Tanya Elenio sambil memiringkan kepalanya dengan penuh penasaran. “Komik it-.” Seketika seorang pria kekar menyanggah perkataan Azura. “Komik itu sejenis buku, tetapi ada gambarnya. Ya, semacam koran gitu, tetapi berisi cerita fiksi.” “Wah! Lion! Lama tidak berjumpa,” sapa Elenio dengan penuh semangat. “Halo Pangeran, bagaimana kabarmu? Kemana saja kau? Sepertinya kau membawa teman baru lagi?” tanya pria kekar bernama Lion tersebut. “He he iya, perkenalkan dia Azura,” ujar Elenio. “Azura Amalthea.” Ujar Azura sambil membungkukkan tubuh selama beberapa saat. “Ah iya, saya Lion, pemilik toko peralatan senjata ini. Senang bertemu denga
Azura terduduk di sebuah sofa abu-abu sambil memperhatikan sekelilingnya.‘Mengapa aku bisa ada di sini? Tugasku adalah menemukan guru sihir, bukan terlibat konflik kerajaan,’ kata Azura di dalam hati.“Selamat sore, Nona.” Sapa seorang pria berpakaian hitam yang lengkap dengan berbagai atribut khas kerajaan.“S-so-sore.” Ucap Azura seraya berdiri dan membungkukkan tubuhnya selama beberapa saat.“He he, senang bertemu denganmu. Silahkan duduk!” seru pria itu.Azura hanya menganggukkan kepalanya dan kembali duduk di kursi abu-abu.“Hah.” Sejenak pria itu menghela napasnya, lalu bersilang kaki dan terduduk santai.‘Siapa dia sebenarnya? Kalau dilihat-lihat dia mirip sekali dengan Elen,’ pikir Azura di dalam hati.“Ah ya. Maaf aku sampai lupa. Perkenalkan, aku Elzenath Damon.” Kata pria itu sambil tersenyum tipis.“Damon…,” lirih Azura.“Ha ha, iya itu nama ayahku. Apakah aku terlihat tidak mirip dengannya?” Pria bernama Elzenath itu bertanya sambil tertawa kecil.Azura dengan cepat meng
Seketika suasana hening. Sinar jingga menyusup masuk dan membiaskan tubuh Azura dan Elzenath.“Yah, kalau begitu, aku akan memanggil Elenio,” ujar Elzenath.Azura hanya menganggukkan kepalanya perlahan.“Aias, tolong bawa Elenio masuk!” teriak Elzenath.Brak.Elenio dengan cepat masuk ke dalam ruangan.“Hei Aias, berhenti memegangku!” seru Elenio.“Maaf Pangeran Zenath, saya telah membawa Pangeran Elenio,” ucap Aias.Elzenath menganggukkan kepalanya, lalu mengangkat kedua alisnya dan menunjuk pintu ruangan tanpa berkata apa pun.“Baik Pangeran.” Aias seolah mengerti isyarat yang diberikan oleh Elzenath. Pria berambut pirang itu pun keluar dari ruangan.“Duduk!” seru Elzenath.“Seenaknya sekali kau memerintahku.” Umpat Elenio sambil hendak duduk di sebelah Elzenath.Duk!Elzenath tiba-tiba menendang bokong Elenio.“Heh?” Azura tercengang melihat kelakuan kakak beradik di depannya.“Zenath bodoh! Apa yang kau lakukan? Mengapa kau menendangk-.”Elzenath dengan santainya langsung memotong
“Tinggi sekali.” Gumam Azura sambil mengadahkan kepalanya menatap sebuah menara runcing yang menjulang tinggi dari kejauhan. “Maaf membuatmu menunggu,” ucap Elzenath yang berada di sebelah kanan Azura. “Tidak apa-apa,” lirih Azura. “Mari kita ke sana!” seru Elzenath. Azura hanya menganggukkan kepalanya sambil mengikuti langkah kaki pangeran kedua di depannya. Terlihat lalu-lalang manusia dengan jubah hitam yang dilengkapi beberapa garis warna yang berbeda-beda setiap orang. “Selamat pagi, Pangeran Elzenath.” Sapa seorang wanita muda yang telah berdiri di depan pintu masuk. “Selamat pagi, Elizabeth.” Kata Elzenath sambil tersenyum tipis. “Anu…, Pangeran….” “Ah maaf aku sampai lupa ha ha. Perkenalkan, ini Azura,” ujar Elzenath. “Azura Amalthea.” Ucap Azura sambil mengulurkan tangan. “Saya Elizabeth, senang bertemu denganmu.” Seloroh Elizabeth sambil membalas uluran tangan Azura. “Sesuai janji temu yang aku buat kemarin, apakah Guru bersedia? Soalnya sampai saat ini, pengawal u
“Guru, sepertinya kau menakuti Azura he he,” kata Elzenath.La Gramarye mengalihkan tatapannya dari Azura, lalu ia bersandar di kursi kayu.“Lalu, apakah Pangeran mengajak Nona itu untuk menemui saya, hanya untuk bercerita mengenai pertemuannya dengan pangeran ketiga?” tanya La Gramarye.Prok!Elzenath bertepuk tangan dan tersenyum lebar. “Kau memang sangat pandai, Guru.”“Berhentilah basa-basi!” seru La Gramarye.“He he, maaf. Sabarlah, bukankah di usiamu yang sekarang, kau harus mengurangi amarahmu?” goda Elzenath kepada La Gramarye.La Gramarye hanya terdiam sambil menaikkan kedua alisnya.“Aku mengajak Azura kesini, selain memperkenalkannya kepadamu. Aku ingin merekomendasikan dia untuk menjadi muridmu.” Ucap Elzenath sambil tersenyum manis.“Saya menolak!” seru La Gramarye dengan tegas.“Wah Guru sangat bla
“Hah.” Azura menghela napas beratnya seraya membangkitkan tubuh dari dipan minimalis yang berada di sudut ruangan. Azura menoleh ke sisi kirinya dan menatap sinar jingga yang mendominasi langit. “Sudah sore saja, cepat sekali,” gumam Azura. Rasa bosan meliputi hati Azura saat ia berada di menara sihir. Sesuai kesepakatan, Azura bersedia untuk menaklukan labirin sihir yang akan dilakukan esok hari. “Kalau saja di dunia ini ada ponsel. Mungkin aku bisa bermain game online,” lirih Azura. Azura beranjak berdiri dan membuka jendela. Semilir angin tanpa permisi langsung mengibaskan rambut tanggungnya. “Hm, lumayan sejuk. Akan tetapi, aku bingung mau apa di sini. Mungkin aku berjalan-jalan saja deh.” Kata Azura sambil berjalan keluar dari kamar. Lorong panjang menyambut Azura dengan penuh kemistisan. “Seram juga,” gumam Azura. Ketika di tengah lorong, tiba-tiba Azura berpapasan dengan Elizabeth. “Hai Elizabeth!” sapa Azura dengan ceria. Elizabeth menghentikan langkahnya, lalu menat