Terimakasih telah membaca chapter <#27 Pertemuan (bagian 1)> ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya! (Kritik dan saran sangat diapresiasi)
Tuk! Drrr… tep! “Haa… hampir saja…” gumam Rosa ketika berhasil menangkap botol kaca yang terjatuh dari atas meja. Di seberangnya, duduk seorang Barrelth yang sudah terlelap. “Hmph, lemah!” ujar Rosa pada lawan minumnya itu. Kemudian, ia beranjak dari duduknya dan berjingkat secara perlahan, menghindari terinjaknya barang-barang yang keras, hingga sampai di ambang pintu sebuah ruangan yang tidak memiliki pintu. “Halo~?” sapanya pada ruangan yang penuh dengan peralatan komputer itu. Sebuah kursi beroda menarik perhatiannya. Brugh! Ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi berbantal tersebut dan mulai berputar. Hmmm… nyaman sekali… Duak! Tak sengaja kaki kirinya menendang pinggiran meja. Rosa buru-buru menghentikan putarannya dan langsung melirik ke arah meja makan. Barrelth yang masih terlelap memutar wajahnya menuju ke arah yang berlawanan. Merasa lega, Rosa pun menghela napas. “Hampir saja jantungku copot…” gumamnya mengelus dada. Eh, aku kan sudah tidak punya jantung lagi… batinya girang
-Lantai 40, pusat restoran- Kenapa ketemu dia lagi…?!!!! batin Visera berteriak dari balik pintu masuk begitu menyadari keberadaan Rosa yang sedang melayani para pengunjung. “Hm..? Kenapa, Sangria?” ujar rekan kerja di sampingnya yang memiliki rambut berwarna hijau fluorescent meskipun dirinya sendiri dipanggil dengan kode nama ‘Fuchsia’. “Tidak… apa-apa. Ayo kita masuk…!” jawab Visera melangkah duluan. Selama berjalan melewati barisan meja depan, ia terus berkomat kamit dalam hatinya. Jangan lihat ke sini…! Jangan lihat ke sini…! Jangan lihat ke sini…! “Fiuh…” ujarnya merasa lega setelah berhasil masuk ke ruang VIP dan duduk di kursinya tanpa gangguan. Dia melirik ke arah luar kaca. “Woah… pertama kali aku melihat seseorang yang memilih untuk mewarnai rambutnya menjadi putih…” gumam rekan kerja yang duduk di samping kirinya. “Dia tidak takut cat-nya luntur apa ya…” tambah Fuchsia yang menengok ke belakang. “Atau pakai wig?” Mendengar itu, Visera teringat akan percakapan merek
“Surat perjanjian itu… kamu setujui ya.” Keesokan harinya, tepatnya ketika aku baru saja sampai di lantai medis setelah susah payah menanjak mengendarai sekuterku selama kurang lebih 3,5 jam, aku mendapat kabar kalau Lizo telah sadar dari komanya. “Uwoohh!! Rasanya memang agak asing… tapi ini keren sih, keren banget!” teriak Lizo kegirangan sambil menggerak-gerakkan tangan, kaki, beserta tubuh barunya itu. Kuakui suara barunya juga terdengar sama persis seperti suara aslinya. “Dan, dan, coba pukul aku!” “Ehhh? Untuk apa??” “Haish, kamu ini…” Buk! Lizo meninju pipinya sendiri. “Wah, benar-benar tidak terasa sakit…” lanjutnya. “Hey bocah, walaupun tidak terasa sakit tapi bukan berarti tangan barumu itu tidak bisa copot!” ucap Kak Megan. Kemudian tidak berapa lama sampai-sampai si dokter koplak yang satu itu datang bersama dengan…. aku tidak yakin, tapi sepertinya kemarin paman itu dipanggil ‘Sean’? Seperti yang kuantisipasi, pria berpakaian formal itu lalu mewakili atasannya, Miste
Jam sebelas malam, waktu dimana sebagian besar para penghuni bungker telah tertidur pulas di ruangannya masing-masing, terutama bagi mereka yang masih anak-anak maupun yang telah cukup berumur. Namun itu tidak berlaku untuk salah satu dari enam pemilik ruangan di quintus, wilayah paling elit sebungker, ini. Ia terbaring di atas tempat tidurnya dengan menggunakan sebuah kacamata transparan khusus yang memiliki warna minimalis yang senada dengan dinding ruangannya. Pip… Pip… [memulai sistem…] Pats! Hal pertama yang dilihatnya ialah sebuah pintu besar dengan layar berisi tulisan ‘ABCD’ di atasnya. Ia menatap bayangannya yang terpantul di pintu. Bayangan seorang wanita belia yang tinggi, anggun dan rupawan. Ia berusaha menyentuh pipinya, tapi tidak terasa apa-apa. Ah iya, ini kan virtual… batinnya merasa malu tanpa sebab. Ia celingukan ke sekelilingnya dan merasa lega karena tidak mendapati keberadaan kamera. Ia lalu menekan tombol yang melayang-layang di samping pintunya. Klik! [Sila
Sudah satu bulan semenjak Lizo pergi meninggalkan Primus. Rutinitas kami berjalan seperti biasanya, kecuali Dan yang sekarang menjadi lebih sering berada di ruangan. | “Sudah pulang?” ujar Visera pada rekan satu ruangannya yang baru saja membuka pintu. Dan mengangguk. Ia melepas sepatunya dan langsung berjalan menuju kamarnya. “Aku berangkat dulu.” sela Visera sebelum Dan menutup pintu kamarnya. “Hm.” Blam! . . . -Lantai 75, pintu masuk bagian barat daya- Pip! “Silahkan masuk.” Pip! “Silahkan masuk.” Selangkah demi selangkah ia maju mengikuti barisan antrian. Sesekali ia menyalakan layar gawainya untuk memeriksa kalau-kalau ada pesan masuk. Namun sedari tadi, hanya ada satu orang yang bolak balik mengirim pesan kepadanya. Ding! Rosa5 : Hai~ Ding! Rosa5 : Lagi jalan ke tempat kerja kan? Ding! Rosa5 : Semangat yaa! Ding! Rosa5 : (stiker) “Hmm...” Pip! [Notifikasi dibisukan selamanya] Sejak beberapa hari yang lalu entah bagaimana dan darimana, cewek ini bisa tahu akun ak
Ketika ia mendapatkan kesadarannya, ia dapat rasakan berbagai tatapan menusuk tajam ke arahnya. Ia membuka kedua matanya. Berbagai macam makhluk hidup, mulai dari yang seukuran telapak tangan hingga yang mengalahkan tinggi pepohonan sekalipun telah berdiri membuat lingkaran di sekeliingnya. Para makhluk udara meminjam tubuh para makhluk darat untuk bertengger di atasnya. Dan daripada semua itu, mata bulat mereka yang terbuka lebar membuat suasana menjadi cukup menyeramkan. Siapa dia? Siapa dia? Aku baru pertama kali melihat dia. Aku juga baru pertama kali melihat dia. Dia tidak memiliki bulu. Dia juga tidak memiliki sayap dan mulut. Tapi benda apa yang tergantung di belakangnya itu? Iya, benda apa itu? Apakah enak? “……..” Ia terdiam. Tidak tahu harus merespon apa. Apa ini? Jerapah bersayap angsa? Babi bertubuh serigala? Tupai berkepala kelelawar? Hah? Srek “!!” “Woi!” Ia refleks berbalik dan berteriak, membuat seekor makhluk yang menggunakan belalainya untuk mengangkat ram
[Hari kesepuluh Rosa berlatih di bawah pengawasan seniornya] Wungg… drap drap drap drap… "Hosh.. hosh... Huff.." Dengan langkah yang panjang dan mantap, ia terus berlari di tempat lantaran terhalang oleh lingkaran besi yang membatasi perpindahannya.. "Lebih cepat lagi!” "Ba... Baik..!" jawabnya dengan napas yang tersengal. Aku memang tidak bisa merasakan sakit, tapi tubuh ini juga butuh istirahat hoi! Angka spidometer yang terpampang di layar monitor terus menunjukkan penurunan. Melihat itu, seniornya yang berdiri di sampingnya itu mengaktifkan sebuah layar pengaturan dan menekan beberapa tombol. Karena sibuk mengambil napas, ia jadi tidak bisa berbicara meskipun ingin bertanya. Pip! Pip…! "Hmm..." Pats! Tiba-tiba pandangannya yang semula adalah ruang latihan berubah menjadi sebuah stadion yang besar dan sangat luas. Sama sekali tidak terlihat ujungnya. Lalu, karena penasaran akan apa yang ada di belakangnya, ia mengambil ancang-ancang untuk menengok ke belakang. Dan ketika m
-Lantai 49, ruang utama- Masih dalam suasana yang kontras seperti sebelumnya. Rosa menghabiskan waktu dalam diam bersama dengan senior yang melatihnya di atas sofa, sementara dua seniornya yang lain masih memperdebatkan persoalan yang sama. “Keras kepala sekali sih! Kita udah empat tahun bareng-bareng kan? Harusnya kamu paham aku itu orang yang bagaimana!” “Justru karena tahu kamu itu orang yang seperti apa makanya aku tidak percaya kata-katamu!” “Oh, perlu bukti? Oke! Hey, Empat!” teriak Dua pada Barrelth yang baru saja masuk ke ruangan. Terlihat segelas minuman menyerupai kopi di tangannya. “Ck, apalagi…” Barrelth berjalan menghindari keduanya. “Perlihatkan rekaman cctv dari ruangan vr sampai ruang utama ini!” “….cari sendiri.” balas Barrelth yang kemudian menyeruput minumannya. “Hey… tolong seniormu ini lahhh…” rengek Dua. Barrelth masih tidak menghiraukan. Akhirnya Dua mengeluarkan jurus menyogoknya– “Nanti aku beliin cemilan deh. Mau yang mana, ambil saja semaumu.” “Di s