Share

Perangkap Cinta Sang Intelijen
Perangkap Cinta Sang Intelijen
Penulis: Joya Janis

Pernikahan Mustahil

Tara Amora menatap dirinya di depan cermin, dia merasa masih tidak percaya jika saat ini dia mengenakan gaun pengantin. Riasannya cantik, tidak menor dan tidak mengubah wajahnya menjadi orang lain, seperti yang sudah diwanti-wanti pada perias pengantin.

“Yaaa Tuhaaan … Bahkan ini bukan gaun pengantin yang kuinginkan, bukan pesta yang kuharapkan sama sekali,” desisnya putus asa. Buket bunga di tangannya diremas dengan kuat, ada rasa nyeri yang dirasakannya menandakan di tidak sedang bermimpi.

“Oooouuuhhh … Kenapa si es batu kejam itu menyetujui pernikahannya ini? Dia bisa menolak dengan tegas karena dia laki-laki! Mama dan papa juga, yaa ampuuun … Ada apa dengan mereka sehingga tidak berpikir dua kali menikahkan putrinya dengan laki-laki yang tidak jelas pekerjaannya, penyendiri, berwajah masam daaan aku—“

“Heeeh … Kau pikir aku tidak berusaha menolak pernikahan ini? Kau pikir hanya kau saja yang merasa tersiksa? kau bukan levelku, kurcaci kecil!” seru suara laki-laki di belakang Tara yang membuatnya terlonjak kaget.

Tara berbalik dan menatap tajam Neo, Neo Qavi Malik, yang menurut mamanya Tara lelaki muda itu masih terhitung kerabat dengannya.

“Kau bilang apa, Kur-kurcaci Kecil?!” Tara mengangkat gaunnya dan menghentak-hentakkan langkahnya mendekati Neo, lalu dia menatap lelaki itu dengan mata yang membulat.

“Iya aku bilang, kurcaci kecil, apa kau tidak sadar bagaimana cara aku melihatmu sekarang ini hah?” ujar Neo yang membungkukkan sedikit tubuhnya, tinggi Tara hanya sebatas dadanya saja meskipun Neo yakin Tara mengenakan sepatu dengan hak tinggi.

“Tinggiku termasuk tinggi rata-rata, jika ada yang salah berarti kau yang terlalu jangkung!” balas Tara dengan sengit. Neo menjauhkan bahunya, dia malas ingin berdebat lagi dengan perempuan yang beberapa jam lalu menjadi istrinya.

“Dengar, aku menyayangi nenekku lebih dari apapun, meskipun akhirnya aku memenuhi permintaan konyol dan tidak masuk akalnya untuk menikahi kurcaci sepertimu. Andai aku punya pilihan lain, aku tidak sudi sekamar denganmu saat ini,” ujar Neo dengan dingin dan kejam. Tara mengeluarkan suara geramnya yang tertahan betapa memuakkannya dia bersama laki-laki yang sombong dan menghina tinggi badannya. Jika tidak ingat mamanya yang mengancam bunuh diri dan papanya yang mengancam memboikot kantor kecilnya itu dia ingin kabur sejauh-jauhnya dari negara ini.  Baik Neo dan Tara sudah berusaha maksimal untuk menentang pernikahan ini tetapi sepertinya takdir yang menjodohkan mereka sehingga malam ini mereka berada di kamar pengantin mereka di sebuah hotel mewah.

Neo membuka jas yang dipakainya juga dasi serta rompi dalamnya, dia sangat lelah dengan prosesi pernikahan yang panjang seharian.

“Mau apa kau?” tanya Tara yang melihat Neo membuka pakaiannya. Neo melirik sekilas ke arah Tara yang masih memakai gaun pengantinnya.

“Aku gerah, cape mau mandi, kau tahu? Di luar sana ada setengah lusin penjaga yang diperintahkan oleh nenekku agar aku tidak kabur, jadi aku tidak bisa kemana-mana dan aku akan mandi dan tidur di sini!” seru Neo sambil terus membuka baju dan celananya. Tara memekik ketika Neo hanya mengenakan boxer dan baju dalam saja, dia berpaling sambil menutup matanya.

“Tapi aku tidak mau berbagi kamar denganmuuuu!” pekik Tara putus asa, dia juga harus membersihkan dirinya serta mengganti pakaiannya.

Saat Neo berada di kamar mandi, Tara bergegas membuka semua pakaiannya dan memakai jubah mandi. Dia pun sama dengan Neo gerah dan lelah, dirinya juga butuh membersihkan diri dan rasanya akan nikmat sekali jika bisa berendam dalam bathup kamar ini. Pelan-pelan Tara menempelkan telinganya di pintu kamar mandi, terdengar suara pancuran air serta samar suara Neo yang sepertinya sedang menelpon seseorang.

“Tolong lah Bro, aku tidak mau berada di dalam kamar ini semalaman, ayo lah ajak aku kemana saja, aku harus punya alasan bagus untuk keluar dari sini!” seru Neo yang juga putus asa atas malam pertamanya dengan perempuan yang menyebalkan baginya.

Tara menjauhkan dirinya dari pintu, dia mencebik, ingin rasanya dia mencakar pintu kamar mandi itu.

“Dia pikir dia siapaaa…? Apa dia pikir aku juga mau menghabiskan waktuku dengannya? Oohhh nasib malam pertamaku yang malang … Kenapa nasibku sial begini?” Tara ingin menangis tetapi air matanya sudah kering, habis ketika orangtuanya tetap memaksanya menikah dengan Neo.

Suara pintu kamar mandi terdengar dibuka, Neo sudah memakai baju kaos dan celana pendek, rambutnya masih basah dan digosok-gosoknya dengan handuk. Kini giliran Tara yang masuk ke kamar mandi semua perlengkapannya dibawa masuk sehingga dia tidak perlu membuka apapun di hadapan Neo. Tara bernapas lega ketika dia bisa mewujudkan keinginannya untuk berendam di dalam bathup. Sambil menikmati rendaman air hangat dan aroma wangi sabun ingatannya kembali kepada saat pertama kali Tara bertemu dengan Neo.

Saat itu ada acara besar tahunan di rumah nenek Neo, hampir semua keluarga besar hadir termasuk keluarga Tara. Dirinya masih kelas enam sekolah dasar ketika bertemu dengan Neo yang sudah masuk sekolah menengah pertama. Dari awal Neo memang sudah pendiam, tak disangka ternyata hari itu adalah hari paling bersejarah kelam dalam hidup Neo. Kabar duka datang ketika acara kumpul-kumpul yang meriah sedang berlangsung, asisten nenek Neo mengabarkan jika di tengah perjalanan menuju acara orangtua Neo mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.

Acara meriah itu berubah menjadi acara duka seketika, Neo mengamuk hebat karena tidak bisa menerima kenyataan dirinya kehilangan orangtua dalam sekejap. Neo remaja melarikan diri ke halaman belakang dan saat itu tanpa sadar Tara mengikutinya.

“Aku turut berduka atas kematian orangtuamu,” ucap Tara perlahan, dia melihat napas Neo naik turun.

“Kau siapa? Aku tidak butuh ucapan belasungkawamu, Anak kecil! Pergi kau, pergi!” usir Neo dengan kasar. Namun, kaki Tara berat untuk melangkah pergi, dia menyaksikan Neo berlutut sambil menangis, Tara kecil ikut merasakan kesedihan Neo remaja. Entah mengapa saat itu rasanya Tara ingin sekali menghibur Neo, meskipun dirinya diusir terang-terangan, Tara tetap saja mendekati Neo.

“Pergi sana! Jangan dekati akuuu…! Aku tidak butuh dikasihani oleh anak kecil seperti kamu!”Neo menepis tangan Tara yang memegang bahunya lalu mendorong Tara dengan keras. Lengan Tara tergores ranting pohon yang tajam ketika dia jatuh, lukanya cukup dalam sehingga mengeluarkan banyak darah. Semenjak itu dia jarang bertemu dengan Neo lagi dan terakhir dia mendengar kabar jika Neo melanjutkan sekolah di luar negeri.

Tara mengusap busa yang menempel di lengannya, lengan sebelah kiri dalam, dekat siku, di sana ada bekas luka sepanjang tujuh sentimeter, luka yang didapatnya ketika Neo mendorongnya, berbekas hingga sekarang.

“Kau tidak akan hidup tenang, Neo Qavi Malik!” seru Tara dengan geramnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status