Wajah Aurora terbayang jelas di benaknya, tatapan gugup itu, tangan kecilnya yang membersihkan garam dari wajahnya, dan jarak yang nyaris tak ada di antara mereka. Rafael menggeleng cepat, mencoba menghapus semuanya.
“Jangan bodoh, Rafael,” katanya pada diri sendiri. “Itu cuma ... kecelakaan kecil. Tidak berarti apa-apa.”Namun, tubuhnya seolah tak mau kompromi. Detak jantungnya tetap liar. Ia segera bangkit dari sandarannya dan melangkah ke kamar mandi dengan cepat.Tanpa membuang waktu, Rafael melepas bajunya dan menyalakan air. Suara gemericik air menjadi satu-satunya hal yang menenangkan dalam ruang itu. Ia berdiri di bawah pancuran, membiarkan air dingin menyiram tubuhnya, berusaha mendinginkan pikirannya yang mulai terbakar oleh perasaan aneh yang bahkan tak bisa ia jelaskan.“Aku butuh fokus,” bisiknya lagi, seolah mengingatkan diri sendiri bahwa Aurora hanyalah pegawai ... atau setidaknya, dulu dia meyakini itu. Tapi mengapa sekarang segal“Selamat pagi,” sapa sang perawat ramah, berjalan mendekat tanpa rasa curiga. “Maaf mengganggu, saya hanya ingin memberikan obat pagi dan memeriksa kondisi pasien.” “Eh, iya… pagi,” jawab Rafael cepat sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan gugup, berusaha terlihat tenang meski matanya masih sedikit panik. Ia melangkah menjauh dan berdiri di dekat sofa, seolah memang tidak tidur di ranjang tadi. Aurora yang masih berbaring menarik selimutnya hingga ke dada, wajahnya sedikit memerah namun senyumnya tak bisa ia sembunyikan. “Gak apa-apa, silakan,” ujarnya lembut pada perawat. Sang perawat tersenyum kecil, lalu mulai memeriksa tekanan darah Aurora dan menyodorkan obat yang harus diminum pagi itu. Rafael hanya berdiri di pojok ruangan sambil pura-pura mengecek ponselnya, sesekali melirik ke arah Aurora yang mencoba tetap tenang. Setelah pemeriksaan selesai, perawat pamit dengan sopan dan keluar dari ruangan. Begitu pintu tertutup kembali, suasana menjadi hening sejenak sebelu
Rafael hanya terkekeh, merasa puas bisa menggoda Aurora yang biasanya sangat tenang dan terkendali. “Tapi kamu senang, kan, aku di sini?” bisiknya sambil bersandar ringan di tepian ranjang.Aurora menatap Rafael sesaat, lalu mengalihkan pandangan. “Aku capek, Rafael. Aku mau tidur,” ucapnya, mengakhiri percakapan dengan suara pelan.Rafael mengangguk lembut. “Oke. Tidurlah yang nyenyak. Aku ada di sini kalau kamu butuh apa-apa.”Aurora pun memejamkan mata, mencoba meredakan debar di dadanya. Sementara Rafael beranjak ke sofa, merapikan posisi dan duduk sambil memperhatikan Aurora dari kejauhan dengan senyum yang tak kunjung hilang dari wajahnya. Malam semakin larut. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Di kamar rawat VVIP yang senyap, hanya suara detak jam dan sesekali deru AC yang terdengar. Aurora terbaring di ranjangnya, matanya terbuka lebar menatap langit-langit, pikirannya penuh sesak.Ia melirik ke arah sofa, tempat Rafael kini berbaring dengan mata terpejam, wajahn
“Aku tidak bohong, Aurora. Kamu bisa tanya Nadine, kalau kamu tidak percaya sama aku,” ujar Rafael lagi, kali ini nada suaranya sedikit lebih serius. “Aku tahu, kamu tipe orang yang tidak mau terlalu percaya begitu saja. Tapi aku juga tidak mau kamu terus menyimpan sesuatu sendiri dan malah menyakiti dirimu sendiri seperti tadi.”Aurora akhirnya menoleh perlahan, menatap Rafael dalam diam. Tidak ada jawaban dari bibirnya, namun genggamannya pada tangan Rafael kini tidak sekeras tadi. Ia membiarkan dirinya sedikit lebih tenang meski hatinya masih berusaha memahami, tapi setidaknya ia tahu, Rafael memilih tetap di sisinya.***Di dalam ruangan rawat VVIP yang sepi dan nyaman itu, keheningan hanya dipecahkan oleh suara detak jam di dinding serta bunyi mesin monitor yang terus memantau kondisi Aurora. Cahaya matahari sore menyelinap lewat sela tirai jendela, menyoroti dua sosok yang duduk di sisi ranjang masih tenggelam dalam percakapan yang emosional.Rafael masih menggenggam tangan Aur
Dokter mengangguk. “Silakan, tapi harap tenang dan jangan membangunkannya jika belum sadar sendiri.” Rafael hanya mengangguk, lalu melangkah masuk ke ruang UGD di mana Aurora terbaring, masih dalam kondisi lemah. Jantungnya mencengkeram hebat melihat wajah pucat Aurora yang terbaring di ranjang itu. Ia menarik kursi dan duduk di sampingnya, lalu meraih tangan Aurora perlahan. “Maaf, Aku seharusnya ada di sana. Seharusnya aku tahu kamu tidak baik-baik saja.” Di ruangan itu, hanya suara mesin monitor yang terdengar. Sementara Rafael duduk diam, menunggu dan berharap Aurora segera membuka mata. *** Kini Aurora sudah dipindahkan ke ruang rawat VVIP. Tirai jendela dibiarkan sedikit terbuka, membiarkan cahaya senja mengintip masuk ke dalam ruangan dengan lembut. Suara detak alat pemantau jantung berdetak tenang, menandakan bahwa Aurora dalam kondisi stabil. Dengan perlahan, kelopak mata Aurora
Ruangan rapat sore itu mulai terisi satu per satu oleh para pejabat penting dari berbagai divisi. Beberapa dari mereka sudah duduk tenang, membuka catatan atau sekadar berbincang ringan sambil menunggu agenda presentasi dimulai. Lampu proyektor telah menyala, layar besar menampilkan judul presentasi yang akan dibawakan oleh Aurora.Aurora berdiri di sisi depan, mengenakan blouse putih dan rok hitam rapi, namun wajahnya tampak sedikit pucat. Tangannya menggenggam alat petunjuk layar erat, mencoba menyembunyikan gemetar halus di jari-jarinya. Dia menoleh ke arah pintu, berharap melihat sosok Rafael muncul dengan langkah tenang seperti biasanya. Tapi pintu itu tetap tertutup, dan waktu terus berjalan.Nadine mendekat dan membisikkan padanya, “Presdir belum bisa hadir sekarang. Tapi beliau meminta rapat dimulai tanpa menunggunya.”Aurora menelan ludah perlahan. “Baik,” gumamnya.Ia berdiri tegak dan mulai mempresentasikan laporan yang telah disusunnya dengan susah payah. Suaranya tetap te
Makanan mereka datang tidak lama kemudian, diantar oleh pelayan yang lain. Spaghetti seafood Rachel tersaji di atas piring putih besar dengan hiasan parsley segar dan parutan keju parmesan yang harum. Sementara tenderloin steak Rafael terlihat sempurna dengan saus merah gelap di sisi piring dan potongan sayuran kukus yang tertata rapi.“Silakan dinikmati,” ucap pelayan dengan sopan sebelum meninggalkan mereka.Rachel mengambil garpunya dan mulai memutar spaghetti dengan gerakan anggun. “Jadi,” katanya sambil melirik Rafael, “tentang proyek kerja sama yang kita bicarakan lewat email itu… aku sudah lihat semua detailnya.”Rafael mengangguk sambil memotong daging steaknya. “Bagaimana menurutmu?”“Aku pikir ada banyak potensi. Terutama di bagian distribusi produk digital. Perusahaanmu kuat di sisi teknologi dan pengembangan, sementara perusahaan kami lebih matang dalam pemasaran dan relasi internasional,” ujar Rachel dengan nada percaya diri.Rafael mengunyah pelan, lalu menatapnya. “Aku