Aurora berdiri mematung di depan sebuah rumah mewah berarsitektur klasik modern, terletak di kawasan elit Kensington. Pilar-pilar tinggi menopang balkon lantai dua, jendela-jendela besar menghadap taman yang begitu tertata rapi hingga tampak seperti lukisan.
Namun yang paling membingungkannya bukan kemegahan rumah itu, melainkan fakta bahwa ia kini berdiri di depan pintu utamanya, tanpa tahu bagaimana bisa sampai ke sini. “Kenapa aku di sini?” gumamnya pelan. Sebuah suara berat dan dalam menyelinap tepat di telinganya, membuat tubuhnya seketika merinding. "Karena mulai hari ini, kau akan tinggal di sini, Aurora." Aurora berbalik cepat dan mendapati Rafael berdiri sangat dekat di belakangnya, dengan senyum tipis yang mengandung terlalu banyak rahasia. “Apa maksudmu?” Aurora menyipitkan mata, curiga. “Kau... mau menjadikanku tawanan?” Rafael terkekeh, tawa rendah dan tajam yang terdengar jauh lebih sinis daripada menyenangkan. “Oh, Aurora. Jangan lebay. Ini bukan penjara. Tapi... rumah baru untukmu.” Ia membuka pintu besar itu dan memberi isyarat agar Aurora masuk. Ragu-ragu, Aurora melangkah masuk dan mendapati interior rumah yang tak kalah mewahnya. Marmer putih, lampu gantung kristal, dan tangga spiral yang menjulang tinggi. Namun semua rasa kagum lenyap ketika Rafael berjalan ke arah sofa, mengambil sesuatu, lalu melemparkannya ke arah Aurora. Gadis itu nyaris tak menangkapnya, lalu menatap benda itu dengan kening berkerut. Itu... seragam pelayan? "Apa ini?" tanyanya tajam. “Seragam kerjamu. Mulai hari ini, kau adalah asisten rumah tangga pribadiku.” Rafael melipat tangan, menyandarkan punggung ke dinding dengan senyum puas. Aurora melotot tak percaya. “Kau gila.” “Bisa jadi,” Rafael menjawab ringan. “Tapi kau tenang saja, aku akan memberimu kamar yang layak, ranjang empuk, dan dua kali makan sehari. Sarapan dan makan malam di rumah. Untuk makan siang, kau akan makan di kantor.” Aurora mengepalkan tangannya. “Aku pegawai marketing, bukan... pembantu.” “Pegawai yang digaji setengah, yang menanggung utang ayahnya, dan tidak punya tempat tinggal yang layak,” sahut Rafael, mendekat. “Kau bisa menolak, tentu saja. Tapi kalau begitu, silakan kembali ke kamar sempitmu dan hidup dengan mi instan setiap malam.” Aurora terdiam. Tawanya kering. “Kau benar-benar ingin mempermalukanku, ya?” “Aku hanya memastikan kau belajar arti tanggung jawab,” jawab Rafael. “Mulai besok, jam lima pagi, kau harus menyiapkan sarapan. Jam enam, pakaian kerjaku harus sudah siap. Dan malam hari, makan malam hangat di meja. Jangan terlambat.” Aurora menatapnya penuh benci, tapi ia tahu tak ada jalan keluar. “Kau pikir aku akan menerima semua permainanmu? Jangan harap! Meski aku harus tinggal di jalanan, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini dan menyiapkan sarapan untukmu!” ucap Aurora dengan lantang dan pergi dari sana. Meninggalkan Rafael yang tersenyum licik, seolah akan ada kejutan lain yang harus diterima oleh Aurora. *** Aurora tiba di kamar sewanya di pinggiran kota. Namun, langkahnya terhenti saat melihat dua koper besarnya digeletakkan begitu saja di depan gerbang rumah kos. Aurora berlari kecil, matanya membelalak tak percaya. Belum sempat ia membuka mulut, pintu rumah kos terbuka. Ibu kos yang bertubuh tambun dan berkacamata keluar, menenteng dompet di tangan. “Apa ini? Kenapa koper saya di luar?” tanya Aurora cepat. Ibu kos menghela napas pendek, lalu menyodorkan amplop kecil berisi uang. “Ini uang sewamu. Aku kembalikan. Maaf, aku tak bisa biarkan kamu tinggal di sini lagi.” Aurora terperangah. “Apa maksudnya? Kenapa? Ini satu-satunya tempat yang bisa aku bayar! Aku nggak punya tempat lain!” “Aku tak bisa menjelaskan,” kata si ibu kos singkat, lalu memutar tubuh hendak kembali ke dalam rumah. “Bu, tolong! Aku sudah kerja sekarang, walau hanya mendapatkan setengah gaji, tapi aku masih bisa bayar.” Ibu kos berhenti sejenak di ambang pintu. “Aku tak ingin masalah. Maaf, Aurora. Lebih baik kau pergi saja.” Tanpa penjelasan lebih lanjut, pintu ditutup. Aurora berdiri terpaku. Matanya menatap kosong pada koper-kopernya yang kini seperti simbol betapa hidupnya sudah benar-benar kehilangan pijakan. Wajahnya tertunduk, merasakan napasnya berat tapi lagi-lagi, tak setetes pun air mata keluar. Hari menjelang malam. Suhu mulai dingin dan perutnya mulai perih. Ia berdiri dengan lelah, menarik koper pelan, dan berjalan menyusuri jalanan kota yang tak lagi ramah. Saat ia melewati sebuah restoran kecil dengan aroma masakan yang menggoda, perutnya kembali berkeroncong. Ia ragu sejenak di depan pintu, lalu masuk. Tidak ada pilihan lain. Ia masih punya sisa uang receh di dompet, cukup untuk makan sederhana malam ini. Aurora duduk di pojok ruangan. Memesan sup kentang dan sepotong roti. Saat pelayan meninggalkan meja, seseorang terburu-buru masuk ke dalam restoran dan menabraknya dengan keras. Aurora terhuyung sedikit, pria itu sempat bergumam minta maaf, tapi wajahnya tertutup hoodie besar dan masker. Ia langsung berlalu dan keluar dari pintu lain tanpa memberi waktu Aurora untuk mencermati. Aurora menggeleng kecil. “Orang-orang semakin aneh,” gumamnya. Ia kembali menikmati makanannya dengan lahap. Namun begitu makanan habis dan tagihan datang, ia membuka tas kecil di pangkuannya... lalu membeku. Dompetnya tak ada. Aurora mengaduk isi tas, menyibak saku jaket, bahkan meraba-raba saku belakang jeansnya. Kosong, bahkan uang sewa kosnya pun hilang. “Tidak… tidak mungkin,” bisiknya panik. Nafasnya tercekat. Pelayan menunggu dengan ekspresi tak sabar. “Maaf, Nona. Pembayaran Anda?” Aurora menatap pelayan dengan wajah hampir menangis, tapi dia tak sanggup untuk bicara. Kini Aurora di kantor polisi. Ia duduk di kursi plastik dingin, memeluk tas kecilnya yang nyaris kosong. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan. Seorang polisi muda sedang menanyainya, sementara pemilik restoran berdiri di dekatnya, bersilang tangan dengan ekspresi kesal. “Aku tidak mencoba kabur,” jelas Aurora untuk kesekian kalinya. Suaranya lirih tapi tegas. “Dompetku dicopet, seseorang menabrakku sebelum aku selesai makan. Aku bisa buat laporan kehilangan.” “Ah, alasan klasik,” gumam si pemilik restoran dengan nada mencibir. “Sudah makan, terus pura-pura dompet hilang. Jangan-jangan itu memang niat awalmu.” Aurora menunduk. Pipinya panas. Jantungnya nyeri, bukan karena takut, tapi karena harga dirinya diinjak-injak. Lalu, suara langkah terdengar di luar ruangan. Tegas, mantap, dan mengisi udara dengan aura dominasi. Pintu terbuka perlahan, dan berdirilah Rafael Valentino dengan setelan jas rapi dan senyum samar di bibir. “Saya akan bayar makan malam nona ini. Dan tambahan kompensasi karena waktu Anda terbuang,” katanya sambil menatap Aurora dengan penuh kemenangan. Si pemilik restoran langsung melunak, senyumnya muncul tiba-tiba. “Ah... terima kasih, Tuan. Kalau begitu saya tidak akan perpanjang urusan ini.” Ia pun keluar dengan cepat, menghindari masalah. Polisi yang tadi memeriksa hanya mengangguk kecil. “Kalau begitu, kami anggap selesai. Tapi sebaiknya Nona tetap melapor soal pencopetan.” Aurora masih terpaku. Matanya menatap Rafael tajam, penuh rasa tak suka. “Apa kau menguntitku?” Rafael terkekeh pelan. “Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya memastikan investasi baruku tidak kelaparan atau tidur di sel semalaman.” “Kau pikir ini lucu?” bisik Aurora, suaranya gemetar. “Kau pikir aku senang menjadi orang yang harus diselamatkan olehmu, setelah semua yang kau lakukan?” Rafael mencondongkan tubuh, menatapnya langsung. “Aku hanya membantu. Tapi jika kau lebih suka kelaparan, aku bisa pergi sekarang,” ucapnya lalu berjalan pergi meninggalkan Aurora yang dilema. Bersambung ...Aurora berdiri bergetar, mencoba menahan emosi yang mulai mengalir seperti retakan kaca yang tak terbendung. Suara ayahnya barusan telah mengoyak semua luka lama yang selama ini ia tutupi rapat-rapat. “Maaf, Aurora... Ayah tidak bisa memberitahumu di mana ayah sekarang,” suara itu terdengar berat, tertekan. “Tapi... tolong, bertahanlah sebentar saja. Percayalah padaku.”Aurora mengerutkan kening, hatinya berdebar hebat.“Bertahan? Apa maksudmu? Apa Ayah tahu apa yang sedang aku alami sekarang?” ucapnya hampir berteriak, membuat beberapa orang menoleh, tapi Aurora tidak peduli.“Aku tahu… semuanya, Aurora.”Suara di seberang terdengar menyesal, namun tegas. Tak ada keraguan bahwa dia memantau dari jauh, tahu betul setiap langkah putrinya.“Kau harus tetap di sana. Teruslah lakukan apa yang sedang kau lakukan sekarang. Jika waktunya tiba… Ayah akan kembali. Dan semua akan tenang lagi. Seperti dulu, seperti sebelum semuanya rusak.”Air mata mulai jatuh tanpa bisa dicegah. Aurora ingin m
Tring! Tring! Tring!Bunyi alarm memekakkan telinga membangunkan Aurora dari tidur lelapnya. Matanya langsung terbuka, napasnya terengah karena kaget. Dengan cepat ia meraba ponsel di samping bantal, mematikannya, lalu menoleh ke jam dinding. Pukul 06.00 pagi. Sudah terlambat satu jam dari perintah Rafael.“Ya ampun!” desisnya, langsung melompat turun dari tempat tidur.Aurora berdiri di tengah kamar barunya, tidak terlalu besar, tapi jauh lebih layak daripada kamar sewa yang kemarin. Ia mengganti piyamanya dengan cepat, mengenakan seragam pelayan yang diberikan Rafael. Baju itu pas di tubuhnya, mungkin terlalu pas. Tapi ia tak punya waktu untuk mengeluh.Dengan sigap, Aurora menuju dapur, menyalakan kompor, dan mulai memanggang adonan wafel. Tangannya lincah, meski pikirannya masih kusut. Satu set wafel hangat tersusun di piring, dilengkapi sirup maple dan potongan buah. Ia menyeduh kopi hitam sesuai permintaan Rafael. Setelah semuanya rapi di meja makan, Aurora menarik napas panjang
Aurora berdiri mematung di depan sebuah rumah mewah berarsitektur klasik modern, terletak di kawasan elit Kensington. Pilar-pilar tinggi menopang balkon lantai dua, jendela-jendela besar menghadap taman yang begitu tertata rapi hingga tampak seperti lukisan. Namun yang paling membingungkannya bukan kemegahan rumah itu, melainkan fakta bahwa ia kini berdiri di depan pintu utamanya, tanpa tahu bagaimana bisa sampai ke sini.“Kenapa aku di sini?” gumamnya pelan.Sebuah suara berat dan dalam menyelinap tepat di telinganya, membuat tubuhnya seketika merinding."Karena mulai hari ini, kau akan tinggal di sini, Aurora."Aurora berbalik cepat dan mendapati Rafael berdiri sangat dekat di belakangnya, dengan senyum tipis yang mengandung terlalu banyak rahasia.“Apa maksudmu?” Aurora menyipitkan mata, curiga. “Kau... mau menjadikanku tawanan?”Rafael terkekeh, tawa rendah dan tajam yang terdengar jauh lebih sinis daripada menyenangkan. “Oh, Aurora. Jangan lebay. Ini bukan penjara. Tapi... rumah
Aurora menatap Rafael tajam, dadanya naik turun menahan emosi. Ia melangkah maju, berdiri di antara Rafael dan pintu keluar, menantang langsung sorot matanya.“Kau tak bisa memaksaku begitu saja,” ucapnya tegas. “Urusanmu dengan ayahku, bukan denganku. Jadi jika kau benar-benar ingin uangmu kembali, pergilah cari dia. Bukan datang ke sini dan mengancamku.”Suasana menjadi senyap sesaat. Mata Rafael menatapnya lekat, lalu perlahan ia tertawa keras dan penuh ejekan. Tawanya menggema di seluruh ruangan yang kosong, membuat Aurora makin membeku.“Tepat sekali, Aurora Marvelo,” kata Rafael sambil berjalan menjauh darinya, ke arah jendela besar yang menghadap danau. “Aku memang harus mengambil uangku dari ayahmu...”Ia berhenti, berbalik. Tatapan matanya kini dingin, wajahnya keras. Ia mengangkat dua jarinya dan menjentikkannya sekali.“...dan karena dia pengecut yang lari seperti anjing, maka aku akan mulai dari satu-satunya warisannya.”Pintu rumah terbuka serempak. Beberapa pria berserag
Udara malam terasa lembap, membalut kulit mereka yang berkeringat di dalam kamar. Lampu gantung tembaga menyinari samar dinding bata yang dingin, kontras dengan desahan hangat dua tubuh yang saling menjelajah. Rafael berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan gelap, napasnya berat, sementara Aurora terbaring di bawahnya, rambut pirangnya berantakan di atas seprai putih.Kemeja Rafael sudah tak beraturan, terbuka hingga dada, menampilkan lekuk otot yang tegang. Tangannya menelusuri tulang selangka Aurora, lalu naik ke rahangnya, mengangkat wajah gadis itu paksa agar menatap matanya.Aurora menahan napas, tubuhnya bergetar antara takut dan rindu akan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Rafael mendekat perlahan, mencium bibirnya dengan tekanan yang tak sepenuhnya lembut, seolah mencampur amarah dengan keinginan yang lama terkubur. Ciuman itu memabukkan membakar syarafnya.Tangannya yang kuat kini bergerak lebih berani, menyusuri tubuh Aurora seolah menandainya, seolah menuntutnya untuk tun