MasukTring! Tring! Tring!
Bunyi alarm memekakkan telinga membangunkan Aurora dari tidur lelapnya. Matanya langsung terbuka, napasnya terengah karena kaget. Dengan cepat ia meraba ponsel di samping bantal, mematikannya, lalu menoleh ke jam dinding. Pukul 06.00 pagi. Sudah terlambat satu jam dari perintah Rafael. “Ya ampun!” desisnya, langsung melompat turun dari tempat tidur. Aurora berdiri di tengah kamar barunya, tidak terlalu besar, tapi jauh lebih layak daripada kamar sewa yang kemarin. Ia mengganti piyamanya dengan cepat, mengenakan seragam pelayan yang diberikan Rafael. Baju itu pas di tubuhnya, mungkin terlalu pas. Tapi ia tak punya waktu untuk mengeluh. Dengan sigap, Aurora menuju dapur, menyalakan kompor, dan mulai memanggang adonan wafel. Tangannya lincah, meski pikirannya masih kusut. Satu set wafel hangat tersusun di piring, dilengkapi sirup maple dan potongan buah. Ia menyeduh kopi hitam sesuai permintaan Rafael. Setelah semuanya rapi di meja makan, Aurora menarik napas panjang. Ada satu tugas tersisa, membangunkan Rafael dan menyiapkan pakaiannya. Dengan langkah hati-hati, ia naik ke lantai dua, menyusuri lorong panjang menuju kamar Rafael. Tangannya sempat ragu mengetuk pintu kayu besar itu. Tapi ia akhirnya melakukannya. Tok tok tok. “Rafael?” panggilnya pelan. Tak ada jawaban. Tapi samar, ia mendengar suara air dari kamar mandi. Dengan sedikit bimbang, Aurora memutar gagang pintu. “Maaf... aku masuk,” katanya perlahan, berharap tidak dianggap lancang. Ia melangkah masuk ke ruang pakaian di sisi kamar. Matanya membulat. Deretan jas tergantung rapi, sepatu-sepatu kulit mahal berjajar di rak seperti pameran butik. Jam-jam tangan eksklusif tersusun dalam kotak kaca, dan dasi-dasi berbagai motif tertata sempurna. “Orang ini benar-benar perfeksionis,” gumam Aurora. Saat ia mengamati deretan jas dan mencoba memilih mana yang cocok untuk hari ini, tiba-tiba terdengar suara berat dari belakangnya. “Lama sekali memilih satu jas?” Aurora membalikkan badan refleks dan langsung menahan napas. Rafael berdiri hanya lima sentimeter darinya, bertelanjang dada, hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Butiran air masih menetes dari rambutnya yang basah, mengalir turun di dada bidangnya. Tatapannya tajam dan intens. Aurora tersentak, mundur selangkah, tapi kakinya tersangkut pada tepi karpet. Ia hampir terjatuh jika Rafael tak sigap menarik tangannya. Dalam sepersekian detik, tubuh Aurora menabrak dada Rafael. Hangat. Tegang. Detak jantung keduanya berdebar begitu keras, nyaris terdengar. Mereka membeku. Hanya suara air dari kamar mandi yang masih mengalir di latar belakang. Lalu, Rafael tersenyum miring. “Kau sedang merayuku, Aurora?” Aurora langsung menjauh, wajahnya memerah. “Jangan mimpi!” serunya, menarik napas kesal dan membuang muka. Rafael tertawa kecil, lalu memandangi seragam yang ia kenakan. “Seragam itu sangat cocok untukmu. Aku jadi ragu, apakah kau harus bekerja di perusahaan?” Aurora memutar bola matanya, lalu melemparkan jas pilihan ke arah Rafael. “Pakai ini. Dan cepat keluar. Sarapanmu sudah dingin.” Ia pun berbalik dan keluar dari ruangan itu secepat mungkin, tak ingin jantungnya yang masih berdegup kencang itu mengkhianatinya. Sementara Rafael tersenyum dengan penuh arti. ** Langkah kaki Rafael terdengar menuruni tangga marmer rumahnya yang mewah. Suara sol sepatunya menggema di ruang makan yang masih sepi pagi itu. Aroma wafel dan kopi menyambutnya, tapi bukan itu yang pertama kali menarik perhatiannya. Di meja makan, Aurora sudah duduk dengan rapi, mengenakan setelan kerja berwarna krem yang sederhana namun elegan. Rambutnya diikat kuda, dan sepatu kerja sudah menempel di kakinya. Di depannya, sepotong wafel setengah habis dan secangkir kopi yang mengepul pelan. Ia tampak menikmati sarapan dengan tenang, seperti tak ada yang salah. Tatapan Rafael langsung mengeras. “Siapa yang menyuruhmu mengganti pakaian sebelum tugasmu selesai?” tanyanya dingin, suaranya menusuk. Aurora menoleh, mengunyah perlahan lalu meneguk kopinya. Matanya menatap Rafael dengan ketegasan yang tak goyah. “Kalau aku tidak bersiap sekarang, aku akan terlambat masuk kerja.” “Dan itu salah siapa?” Rafael menaikkan alis. “Kau bangun satu jam terlambat. Itu kelalaianmu.” Aurora mendesah pelan. Ia tahu Rafael benar. Tapi dia tidak suka dipermalukan seperti itu, ia memilih diam, menunduk sedikit, menahan kata-kata yang nyaris meluncur dari mulutnya. Rafael menyeringai, puas karena Aurora tak mampu membalas. Beberapa menit kemudian, mobil hitam Rafael menunggu di depan rumah. Supir sudah siap, berdiri di sisi pintu belakang. Rafael membuka pintu, hendak masuk. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Aurora mendahuluinya duduk di kursi depan, di samping supir, dengan tas kerja di pangkuan. Tatapan Rafael tajam. “Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya tegas. Aurora menoleh cepat. “Berangkat ke kantor.” Rafael mendengus, lalu tertawa kecil penuh ejekan. “Naik mobilku? Kau pikir kita partner?” Aurora menatapnya, bingung. “Memangnya kenapa? Aku hampir telat, kau tidak berangkat?” Rafael menggeleng perlahan. “Apa kau ingin menjadi asistenku juga di kantor. Dua puluh empat jam, tujuh hari seminggu. Itu bukan ide yang buruk.” Aurora terdiam. Ia menggenggam tasnya erat, lalu mendesah tajam. “Kenapa kau terus saja menindasku!” “Keluarlah, kecuali kau mau melakukannya!” Tanpa menjawab Aurora turun dari mobil, menutup pintu dengan sedikit keras. Rafael pun naik ke kursi belakang, menyandarkan diri dengan senyum mengejek yang jelas terlihat dari kaca jendela mobil. “Pastikan kau tidak telat, Aurora,” katanya datar, sebelum memberi aba-aba pada supir. Mobil melaju, meninggalkan Aurora berdiri sendiri. Matanya menatap tajam ke arah mobil yang menjauh, lalu cepat-cepat ia memutar tubuh dan berlari kecil ke halte busway di ujung jalan. Aurora berdiri sambil berpegangan erat pada pegangan besi di atas kepala. Tubuhnya ikut bergoyang seiring laju busway yang melaju cepat dan terkadang mengerem mendadak. Ia terjepit di antara puluhan penumpang lainnya yang tampak sama lelah dan terburu-buru. Uap panas bercampur aroma parfum dan keringat mengisi udara, membuat napasnya berat. Tiba-tiba, ponselnya yang berada di dalam tas berdering nyaring. Ia buru-buru merogohnya, dan layar ponsel memperlihatkan nomor tak dikenal. Aurora menatap layar itu ragu. Ia hampir saja mengabaikannya. Tapi dering keras itu mulai membuat orang-orang di sekitarnya menoleh dengan tidak nyaman. Beberapa mengerutkan alis, bahkan ada yang mendesah keras. Dengan berat hati, Aurora menggeser ikon hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga. “Halo?” ucapnya pendek. Sesaat sunyi, hanya suara mesin dan rem bus yang terdengar di latar. Lalu, suara seorang pria menyebut namanya dengan lembut namun penuh beban. “Aurora…” Aurora membeku. Tangan yang memegang ponsel terasa lemas, dan pegangan satunya hampir terlepas dari besi di atas kepala. Suara itu… meski hanya sekali terdengar, tak mungkin ia salah. “Ayah?” Penumpang di sekitarnya mulai melupakan keberadaannya, tapi Aurora sendiri seolah terlempar keluar dari bus itu, menembus waktu. “Maafkan Ayah,” suara itu berkata pelan. “Aku tak punya banyak waktu, tapi aku harus bicara denganmu. Tolong jangan tutup dulu.” Aurora mencoba menahan emosi yang mulai mengalir seperti retakan kaca. Suara ayahnya mengoyak luka lama yang sudah lama ia kubur. Rasa kecewa, rindu, amarah, semuanya berkecamuk jadi satu. “Kenapa baru menelponku sekarang?” tanyanya lirih, hampir tak terdengar di antara keramaian. Bersambung ...Aurora menangis lega, tubuhnya lemas tapi senyumnya merekah. “Itu… anak kita,” suaranya bergetar. Suster dengan sigap membersihkan dan membungkus bayi itu dengan selimut hangat sebelum menyerahkannya pada Rafael. Tangan Rafael gemetar saat menerima putra kecilnya untuk pertama kali. “Halo, anakku…” ucapnya pelan, air mata bahagia membasahi wajahnya. Ia mendekat ke Aurora, menunjukkan bayi mereka. “Lihat, sayang… dia sempurna. Kau luar biasa,” Rafael mengecup kening istrinya, suaranya penuh rasa syukur. Aurora menatap bayi mungil itu dengan mata berbinar, lalu menyentuh pipi anaknya yang lembut. “Aku… aku tidak percaya dia benar-benar ada,” katanya sambil tersenyum lemah. Rafael duduk di sampingnya, merangkul Aurora dan bayi mereka sekaligus. Suara tangisan kecil si bayi memenuhi ruangan, namun bagi mereka, itu adalah melodi terindah yang pernah mereka dengar. *** Langit sore tampak cerah ketika mobil Rafael perlahan memasuki halaman rumah mereka. Aurora duduk di kursi b
Di luar, langit malam bertabur bintang, suara deburan ombak mulai terdengar samar. Rafael memeluk Aurora dengan erat menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. “Aku mencintaimu, Aurora. Mulai malam ini, dan untuk selamanya.” Aurora menatapnya dengan senyum tulus, matanya berkilau. “Aku juga mencintaimu, Rafael.” Perlahan mata mereka mulai terpejam di sisa-sisa kenikmatan. Kelelahan dan kebahagiaan malam pengantin itu menambah cinta yang akan terus tumbuh. *** Satu bulan kemudian, di rumah mewah mereka Aurora tengah duduk di tepi ranjang dengan napas berdebar. Di tangannya, sebuah test pack menunjukkan dua garis merah yang jelas. Aurora terdiam beberapa detik, memastikan matanya tidak salah melihat. Saat kesadaran penuh menghampirinya, matanya membesar dan bibirnya terbuka lebar. “Ya Tuhan,” ucapnya lirih, lalu jeritan kecil penuh kebahagiaan meluncur dari bibirnya. “Rafael!” panggilnya dengan suara bergetar. Rafael, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan hand
Mobil pengantin perlahan berhenti di depan sebuah vila mewah yang berdiri di tepi pantai. Lampu-lampu taman memancarkan cahaya lembut, memantulkan siluet pohon kelapa yang bergoyang diterpa angin malam. Suara ombak yang berdebur di kejauhan memberi suasana tenang dan intim, seolah menyambut pasangan pengantin baru itu. Rafael turun lebih dulu, mengenakan tuxedo putihnya yang kini tampak lebih santai dengan dasi kupu-kupu yang dilepaskannya. Ia segera membuka pintu untuk Aurora, yang turun dengan gaun pengantin panjang berkilauan, ujungnya tersapu angin malam. Rafael tersenyum, memandang istrinya dengan penuh cinta. “Selamat datang di tempat kita malam ini,” ucapnya sambil menggenggam tangan Aurora erat. Aurora tersenyum kecil, matanya berbinar sekaligus terasa lelah setelah seharian menjalani prosesi pernikahan. Mereka berjalan beriringan menuju pintu vila. Saat Rafael membukanya, aroma bunga segar dan wangi lilin aromaterapi langsung menyambut. Ruangan itu dihias dengan sentuhan
Di tengah sorakan dan tepuk tangan, mereka berdua berjalan menuruni altar dengan tangan yang saling menggenggam erat. Senyum merekah di wajah keduanya. Menjadi tanda kebahagiaan yang akan selalu hadir dalam pernikahan mereka. *** Ballroom hotel mewah itu dipenuhi cahaya keemasan dari lampu kristal yang berkilauan, menciptakan suasana yang elegan sekaligus hangat. Meja-meja bundar berlapis taplak putih berhiaskan vas bunga mawar dan lilin beraroma lembut, sementara musik klasik mengalun pelan, menemani para tamu menikmati pesta resepsi yang baru saja dimulai setelah akad nikah yang mengharukan. Aurora menatap sekeliling, matanya berkaca-kaca melihat begitu banyak orang yang datang merayakan kebahagiaan mereka. “Aku masih tidak percaya semua ini nyata,” bisiknya pada Rafael. Rafael tersenyum lembut, menepuk tangan istrinya. “Ini nyata, Aurora. Kamu istriku sekarang, dan mulai hari ini, kita akan memulai hidup baru.” Mereka berjalan beriringan menyapa para tamu. Marissa, yang k
Tamu-tamu undangan mulai berdiri, menoleh ke arah pintu besar ballroom yang tertutup rapat. Detik-detik penuh harap terasa begitu panjang. Lalu, perlahan pintu besar itu terbuka, memperlihatkan sosok Aurora. Aurora berdiri di depan pintu, anggun bagaikan seorang putri dari negeri dongeng. Gaunnya panjang berkilauan, terbuat dari satin putih dengan detail payet yang memantulkan cahaya. Roknya menjuntai anggun, dengan ekor gaun yang mengikuti setiap langkahnya. Rambutnya diatur rapi dengan gelombang lembut, dihiasi mahkota kecil yang berkilau di bawah cahaya lampu. Di tangannya, ia menggenggam buket bunga mawar putih bercampur lily sederhana namun elegan. Senyumnya lembut, namun matanya berkilat penuh emosi, mencerminkan kebahagiaan yang ia rasakan. Sorakan kagum terdengar dari para tamu. Marissa yang datang bersama dengan Reynaldo menitikkan air mata melihat betapa anggun dan bahagianya Aurora malam itu. Aurora menarik napas panjang, menenangkan degup jantungnya yang berdebar cepat.
Panggilan keberangkatan untuk penerbangan mereka terdengar dari pengeras suara, membuat suasana semakin nyata. Marissa menggandeng Rey, yang melambaikan tangan kecilnya sambil tersenyum tipis. “Dadah, Kakak Aurora… Om Rafael.” Aurora melambaikan tangan dengan mata sembab, Rafael berdiri di sampingnya dengan ekspresi serius namun matanya menyiratkan emosi yang sama. Mereka berdua melihat Marissa dan Rey berjalan menjauh, melewati pemeriksaan, hingga akhirnya menghilang di balik pintu keberangkatan. Aurora menghela napas panjang, merasakan kehampaan saat sosok kecil Rey tak lagi terlihat. Rafael meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Mereka akan baik-baik saja,” ucap Rafael tenang. Aurora menoleh padanya, matanya masih berkaca. “Aku tahu… Tapi rasanya sulit melepas mereka begitu saja.” Rafael menarik Aurora ke dalam pelukannya. “Kita sudah melakukan yang terbaik. Sekarang, saatnya mereka mendapatkan ketenangan.” Aurora menutup mata, membiarkan dirinya larut dalam pelukan Rafae







