LOGINPOV Angela
Aku segera menepis pikiran konyol yang sempat terlintas. Tidak mungkin ini ada hubungan dengan Aaron Carter. Hanya mendengar nama Carter saja sudah membuat tubuhku tegang. Aku pasti sudah kehilangan akal kalau mengaitkan semua ini padanya.
Aku tak bertanya lebih jauh. "Baiklah, kalau begitu. Saya akan pergi."
Aku berbalik, bersiap meninggalkan tempat itu. Tapi langkahku terhenti.
Di kejauhan, di antara deretan pohon anggur, seseorang berdiri menyamping. Sosok tinggi dengan setelan yang terlihat mahal, tangan di saku celana, postur tubuh yang begitu familiar...
Jantungku mencelos.
Perlahan, pria itu menoleh. Dan saat wajahnya terlihat jelas, napasku tercekat.
Aaron Carter.
Mataku membelalak. Jantungku berdetak lebih cepat saat kesadaranku menangkap siapa yang berdiri di sana.
Tidak salah lagi. Itu dia. Aaron.
Aku menahan napas saat dia tiba-tiba melangkah ke arah kami. Semakin dekat dia, semakin sulit untuk mengabaikannya. Aku menatapnya, wajah yang sudah kukenal selama bertahun-tahun.
Dia selalu tampan, tapi sekarang... dia jauh lebih berbahaya. Setelan jas itu melekat sempurna pada tubuhnya yang tegap, posturnya memancarkan wibawa yang tenang, dan cara dia membawa dirinya dengan kepercayaan diri yang tampak alami, membuatnya terlihat semakin mengintimidasi.
Jari-jariku sedikit gemetar. Aku tidak ingin dia mendekat.
Tapi kemudian aku menyadari sesuatu. Aaron bahkan tidak melihatku. Dia berjalan melewatiku tanpa sedikit pun melirik.
Dia tidak datang untukku. Dia menuju pria yang entah sejak kapan berdiri di sampingku.
Pria itu tampaknya berusia empat puluhan, mengenakan setelan yang pas dengan sentuhan elegan yang kasual, rapi tapi tidak terlalu formal.
"Mr. Whitmore," sapa Aaron, suaranya rendah dan tegas.
Mr. Whitmore menjabat tangan Aaron dengan anggukan. "Mr. Carter. Maaf membuat Anda menunggu. Saya pikir Anda langsung menuju ruang pertemuan."
"Aku ingin melihat kebun anggurnya dulu," jawab Aaron, matanya menyapu pemandangan hamparan kebun anggur yang membentang di hadapan kami.
Mr. Whitmore mengangguk. "Solace Winery berkembang pesat, tapi ekspansi ke pasar internasional membutuhkan strategi yang lebih matang. Kami butuh mitra distribusi yang tepat, dan aku ingin memastikan Carter Holdings masih tertarik."
Aaron memasukkan tangannya ke dalam saku. "Tergantung pada kesepakatannya, Mr. Whitmore."
Mr. Whitmore tertawa kecil. "Kalau begitu, mari kita bahas di dalam."
Saat itu juga, Mr. Whitmore melirik ke arahku, alisnya sedikit berkerut. Saat itulah aku sadar, aku masih berdiri di sana, diam, mengamati mereka.
"Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu," kataku cepat. "Silakan lanjutkan. Saya akan pergi sekarang."
Namun sebelum aku sempat melangkah, suara Mr. Whitmore menghentikanku.
“Kau terlihat familiar.”
Aku menegang. Seharusnya aku sudah pergi. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan sedari tadi, berdiri di sini seperti orang bodoh. Dan sekarang, aku terjebak.
Dia menatapku beberapa detik, lalu ekspresinya berubah. "Aku yakin pernah melihatmu di film yang baru-baru ini kutonton."
Aku menarik napas dalam, memaksakan senyum tipis meskipun tubuhku menjerit ingin segera pergi. "Ya, benar. Saya Angela Jones. Saya baru memulai karir di dunia film."
Senyum lebar muncul di wajahnya. "Ah, jadi benar. Kau memang seorang artis."
Aku mengangguk sambil tersenyum.
Dia mengulurkan tangan, "Jonathan Whitmore. Senang bertemu denganmu, Miss Jones."
Aku menyambut uluran tangannya. "Panggil Angela saja. Senang bertemu juga, Mr. Whitmore."
Dia mengangguk sebelum kembali menoleh ke Aaron. "Jadi, kalian saling kenal?"
Darahku seakan berhenti mengalir.
Sebelum aku sempat membuka mulut, suara Aaron terdengar. Datar dan dingin.
"Aku tidak mengenalnya. Dia hanya mengembalikan ponselku."
Kata-katanya menghantamku seperti pukulan telak. Tidak seharusnya mengejutkanku... tapi tetap saja terasa menyesakkan.
Aku memaksakan senyum. "Ya. Hanya itu."
Tanganku refleks mengeratkan genggaman pada tali tas di bahuku.
"Kalau begitu, aku pamit dulu."
Aku tidak menunggu lagi. Dengan langkah cepat, aku meninggalkan mereka, masuk ke mobil, dan menyalakan mesin.
Aku menarik napas panjang.
Tolong... biarkan ini menjadi terakhir kalinya aku melihat Aaron.
Sekilas, aku melirik ke luar jendela. Aaron dan Mr. Whitmore terlihat berjalan menuju sebuah bangunan, mungkin ruang pertemuan. Aaron... Dia bahkan tidak menganggap aku pantas untuk dikenali.
Dengan desahan berat, aku meraih ponselku. Puluhan panggilan tak terjawab dan pesan memenuhi layar. Mataku langsung tertuju pada pesan Beth.
Angela, kau di mana?!
Kita perlu bicara. Angkat teleponmu.
Edward baru saja mengonfirmasi rumor bahwa kau dan dia memang memiliki hubungan spesial. Apa itu benar?!
Perutku mencelos.
Apa?!
Beth melampirkan beberapa tangkapan layar artikel berita. Judulnya membuat darahku membeku.
"Edward Kane secara terbuka mengakui bahwa dia memiliki hubungan spesial dengan Angela Jones. Jadi benar kalau Angela Jones memanfaatkan Edward Kane demi peran utama?"
Astaga...
Apa-apaan ini?
Bagaimana bisa dia mengatakan sesuatu seperti itu, padahal hubungan kami murni profesional?
Tidak. Aku harus kembali ke L.A. sekarang juga dan menyelesaikan kekacauan ini sebelum semuanya semakin di luar kendali.
Dalam perjalanan kembali, aku mencoba menelepon Edward Kane beberapa kali untuk meminta penjelasan. Tapi, tidak ada jawaban.
Sial.
Frustasi, aku melempar ponsel ke kursi penumpang dan menekan pedal gas lebih dalam.
Langit mulai meredup saat aku menyusuri jalan menuju Los Angeles. Perbukitan hijau dan kebun anggur di kejauhan kini berselimut senja. Jalanan cukup sepi, hanya sesekali ada mobil yang melintas dari arah berlawanan.
Aku mencoba fokus ke jalan, tapi pikiranku terus berputar pada semua masalahku. Aku nyaris tidak sadar saat ponselku berdering.
Edward Kane?
Aku melambatkan mobil dan menepi sebelum mengangkatnya. "Halo?"
Tidak ada suara.
Beberapa detik hening, lalu...
"Angela."
Rahangku mengeras ketika mendengar suara yang tak asing itu. "Mr. Kane, apa yang Anda katakan ke media barusan menghancurkan reputasi saya. Apa maksud Anda melakukan itu?"
Dia terdengar menghela napas sebelum menjawab. "Aku minta maaf. Aku tidak punya pilihan."
"Tidak punya pilihan?" Aku mencengkeram ponsel lebih erat. "Satu kalimat Anda membuat semua orang menganggap saya wanita murahan yang menjual diri demi peran. Dan Anda bilang tidak punya pilihan?"
"Seseorang mengancamku. Orang itu tahu sesuatu tentangku dan memerintahku untuk mengatakan ini ke media. Aku benar-benar tidak punya pilihan."
Napasku tersengal mendengar pengakuannya. "Siapa?"
Hening.
"Mr. Kane." Kali ini nadaku lebih dingin. "Saya bertanya, siapa yang menyuruh Anda mengatakan itu?"
"Aku tidak bisa memberitahumu," suaranya nyaris berbisik. "Dia orang yang berkuasa. Aku tidak bisa melawannya."
Jantungku berdegup tak beraturan. Otakku berputar cepat.
Berkuasa?
Aku menarik napas pelan, mencoba menenangkan diriku yang hampir meledak.
"Anda menyeret saya ke dalam skandal, dan sekarang Anda bilang tidak bisa memberitahu siapa dalangnya?"
Dia terdiam beberapa saat, lalu terdengar gumaman pelan. "Angela... aku menyesal. Tapi aku terpaksa melakukan ini."
Lalu dia bertanya hal yang membuat darahku terasa membeku.
"Apa kau punya musuh yang menyimpan dendam padamu?"
Dendam?
Mataku menyipit. Satu nama langsung terlintas di benakku.
Aaron.
Mungkinkah dia? Baru-baru ini dalam wawancara, dia juga mengungkit tentang dendam padaku.
Cengkeramanku pada setir semakin menguat. Aku memutuskan panggilan tanpa sepatah kata pun.
Perasaan tidak enak merayap ke dadaku. Aku memutar setir. Aku harus bicara dengan Aaron sekarang juga.
POV AaronLyla melangkah lebih dekat, matanya masih menatap ke arah koridor, seolah ingin memastikan benar-benar tidak ada orang di sana.Aku meraih pergelangan tangannya, menariknya perlahan sampai tatapannya kembali padaku."Aku akan datang ke pesta itu," kataku, mencoba mengalihkan perhatiannya.Sudut bibir Lyla perlahan terangkat membentuk senyuman. "Kau serius?"Aku mengangguk kecil, menyelipkan satu tanganku ke saku celana. "Ya."Senyumnya melebar. "Akhirnya."Aku memberi isyarat dengan dagu ke arah sofa. "Duduklah."Dia sempat menatapku sebelum berjalan pelan ke sofa dan duduk. Sementara, aku menuju ke meja bar kecil."Kau mau minum?" tanyaku."Air putih saja," jawabnya.Aku mengambil dua botol air dari pendingin, membuka tutupnya, lalu menuangkannya ke dua gelas. Suara gelembung kecil naik dari dasar gelas, satu-satunya suara yang terdengar di ruangan.Aku meleta
POV AngelaDia berhenti di tengah langkah. Perlahan, dia berbalik. Tatapannya gelap dan dingin. Lalu dia mulai berjalan ke arahku — langkahnya pelan, mantap, tapi tiap langkah seperti memadatkan udara di antara kami.Aku mundur satu langkah tanpa sadar, tapi dia terus maju sampai jarak di antara kami nyaris hilang.Tangannya terulur, jari-jarinya mencengkeram rahangku, keras tapi terkendali."Aku terlihat lelah, hah?" suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. "Jangan coba-coba menganalisis aku. Kau tidak tahu apa-apa tentang rasa sakitku."Dia mendekat. Suaranya turun jadi bisikan di telingaku. "Justru rasa sakit ini menjadi alasan aku untuk terus hidup."Jantungku berdetak cepat. "Aku tahu aku melukaimu," bisikku.Aaron tertawa pendek — tanpa humor, tanpa rasa. "Melukaiku?" katanya pelan. "Kau menghancurkanku, Angela.""Ya, aku tahu," suaraku nyaris bergetar, tapi aku tetap menatap matanya. "
POV AngelaTunggu... Apa?Mataku bergerak cepat menelusuri layar.Sudah kuduga. Dia tidak kelihatan seperti tipe begitu. Rekaman CCTV membuktikannya.Foto-foto itu palsu. Diedit.Edward Kane yang seharusnya minta maaf.Maaf sudah menilaimu.Dia tidak pantas diperlakukan begitu.Jangan menyerah, Angela.Aku menggulir lebih cepat, jantungku berdegup kencang. Semua postingan isinya sama. Dukungan. Simpati. Kepercayaan."Apa-apaan ini..." bisikku.Aku mengetuk salah satu tautan berita yang memenuhi inbox-ku. Judulnya langsung menohok mataku."Bukti Baru Membersihkan Nama Angela Jones — Rekaman CCTV Membuktikan Tidak Ada Perselingkuhan."Artikel itu menjelaskan semuanya — rekaman restoran, sudut kamera, dan bagaimana "ciuman" itu sebenarnya hanya saat Edward mencondongkan tubuh untuk mengambil gelas. Satu detik, satu
POV AngelaKata-kata itu masih bergema di kepalaku. "Kau ada di sini karena izinku. Bukan karena kau berarti."Sialan dia. Benar-benar dingin dan tak berperasaan.Aaron keluar begitu saja dari mobil tanpa menoleh. Aku turun beberapa detik kemudian, membanting pintu sedikit lebih keras. Garasinya bersih tanpa cela — lantai beton mengilap, semuanya tertata rapi. Tiga mobil berjejer seperti pajangan di pameran.Dia berjalan di depan tanpa peduli apakah aku mengikutinya atau tidak.Pintu samping langsung mengarah ke dalam rumah. Begitu aku melangkah masuk, langkahku terhenti.Tempat itu tampak seperti halaman depan majalah arsitektur. Dinding kaca dari lantai ke langit-langit, garis-garis tajam, tanpa sedikit pun sentuhan pribadi. Tak ada foto, tak ada barang kecil yang menunjukkan siapa pemiliknya. Tempat itu terasa seperti dirinya. Dingin, terkontrol, dan tak tersentuh."Berapa lama kau mau berdiri di situ?
POV AaronAku melirik ke bawah, pada tangan Angela yang masih menempel di lenganku."Lepaskan," kataku datar.Dia ragu sejenak, lalu perlahan melepaskan genggaman. Tangannya turun, tapi matanya tetap menatapku. "Kau berdarah."Aku menatap garis merah di buku jariku, sisa dari perkelahian tadi."Kau mungkin harus mengobatinya," katanya.Aku menatapnya dingin. "Jangan berpura-pura peduli, Angela.""Aku tidak berpura-pura," sahutnya. "Hanya mengatakan apa yang kulihat.""Aku tahu cara mengurus diriku sendiri."Dia tidak berkedip. "Oke, kalau begitu. Tapi bukan berarti kau harus berdarah buat membuktikannya.""Kau bicara terlalu banyak untuk seseorang yang seharusnya tidak ikut campur urusanku."Tatapannya tak bergeser. "Aku hanya memperhatikan apa yang terjadi di sekitarku. Bukan berarti aku ikut campur. Aku akan melakukan hal yang sama untuk siapa saja, bukan cuma untukmu."Itu
POV AaronAku memelintir pergelangan tangan Bennett sampai uratnya menonjol di bawah kulit. Dia meraung, keras dan serak, tapi aku tidak mengendurkan cengkeramanku, justru semakin menguatkannya.Wajahnya menegang, rahangnya mengeras, tapi matanya masih menyimpan kesombongan. "Kau pikir kau cukup besar buat menantangku, Carter?" desisnya tajam, napas tersengal menahan sakit.Aku menatapnya datar. Suaraku tenang dan dingin. "Kau pikir nama Bennett membuatmu kebal? Nama keluargamu mungkin berarti sesuatu di atas kertas. Tapi kau tidak lebih dari bajingan pengecut yang hidup dari nama itu."Lalu aku melepaskannya dengan satu hentakan cepat. Dia terhuyung ke belakang, wajahnya memerah menahan amarah.Aku menoleh ke arah Angela yang masih terpaku di dekat pagar paddock. "Masuk mobil," kataku datar.Dia sempat ragu sepersekian detik, tapi akhirnya menurut. Pintu mobil tertutup di belakangnya, meninggalkan aku berdua dengan Bennett







