Akhirnya, aku kembali ke winery itu. Aku berhenti di area parkir, menyalakan mesin mobil, dan duduk menunggu. Lampu-lampu di winery mulai redup, hanya beberapa mobil yang masih terparkir.
Aku mengetuk-ngetukkan jemariku ke kemudi, mencoba mengusir kegelisahan yang semakin menggerogoti dadaku. Jam terus berlalu. Tapi aku tidak pergi. Kini, langit telah berubah menjadi gelap pekat.
Lalu, akhirnya aku melihat Aaron, asistennya, dan Mr. Whitmore berjalan menuju tempat parkir.
Aku membuka pintu mobil dan turun, menutupnya dengan sekali hentakan. Aaron baru saja hendak berjalan menuju mobilnya ketika aku melangkah cepat ke arahnya.
"Kita perlu bicara," kataku.
Aaron berhenti melangkah. Sekilas, tatapannya mengarah padaku sebelum beralih ke asistennya. “Pergilah dengan Mr. Whitmore. Aku akan menyusul."
Asistennya hanya mengangguk tanpa pertanyaan, lalu pergi, meninggalkan kami berdua di tengah parkiran yang sepi.
Aaron menatapku beberapa detik, lalu mengisyaratkan ke mobilnya. “Masuk.”
Nada suaranya tajam. Itu lebih terdengar seperti perintah, bukan undangan.
Aku mendegus, menatapnya dengan sinis. "Kau suka memerintah orang, ya?"
Dia tidak menanggapi. Hanya membuka pintu dan duduk di dalam. Sialan.
Aku mengepalkan tangan, lalu mengikutinya. Begitu aku duduk dan menutup pintu mobilnya, keheningan langsung menyergap.
Aaron duduk tenang, satu tangan di kemudi, tatapannya lurus ke depan, seolah aku tak ada di sana.
Aku tidak membuang waktu. "Ini ulahmu, kan?"
Dia tidak menjawab, hanya menyalakan mesin, membiarkan deru suara itu mengisi kekosongan di antara kami.
"Aaron," kataku, kali ini lebih pelan, tapi jelas. "Jawab aku."
Akhirnya, dia menoleh, ekspresinya tetap dingin. "Kau harus lebih spesifik. Aku melakukan banyak hal dalam sehari."
Aku bisa merasakan darahku mendidih mendengar responnya.
"Skandal ini," desisku. "Karirku hancur, namaku diseret ke media, dan semua orang berpikir aku perusak rumah tangga orang. Kau ingin aku percaya ini semua kebetulan?"
Dia mengangkat alis. "Kau terlalu sibuk mencari kambing hitam. Bisa saja ini memang salahmu sendiri."
"Aku tahu kau masih menyimpan dendam padaku."
Dia tak membantah. Tak juga mengiyakan. Hanya bersandar lebih dalam ke joknya.
"Aku ingin jawaban, Aaron," desakku.
Dia menoleh padaku perlahan, tatapannya menajam. "Kalau aku menyangkal, apa kau akan percaya?"
Aku menggertakkan gigi. "Aku hanya ingin tahu kebenarannya."
Dia tersenyum miring, terlihat dingin dan sinis. "Kebenaran? Kata itu terdengar lucu keluar dari mulutmu."
Aku menarik napas panjang. "Aku tahu kau marah padaku. Aku tak pernah bilang aku tak bersalah. Aku masih muda saat itu. Aku..."
"Tapi kau tidak keberatan menjadikanku iblis di depan semua orang," potongnya tajam.
"Aku yang harus membayar harganya," lanjutnya. "Aku kehilangan segalanya. Semua karena kau."
Tatapanku bertemu dengan matanya. Dingin. Seperti tak ada ampun di sana. Sorot matanya seperti mengandung luka lama yang masih belum juga kering. Dan aku tahu... dia tak bisa melupakan semua kejadian itu.
"Jadi ini balas dendammu?" tanyaku lirih.
Aaron mengetuk kemudi dengan jemarinya. Lalu, dia menatapku dengan dingin.
"Kalau iya," katanya. "Apa yang akan kau lakukan?"
Jantungku berdetak kencang. Tenggorokanku seperti terkunci, seolah udara pun enggan masuk saat Aaron mencondongkan tubuhnya ke arahku.
"Apa kau akan melawan, Angela?" bisiknya rendah. "Atau akhirnya mengakui kalau ini memang hukuman yang pantas kau terima?"
Aku tidak bisa menjawab. Tenggorokanku terasa tercekat.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan, lalu dia melirik jam tangannya.
"Kita selesai di sini," suaranya datar dan tegas.
Lalu tanpa ragu, dia berkata, "Keluar."
Aku tetap diam. Tubuhku tak segera bereaksi. Mataku masih terpaku padanya. Bisa kulihat, tatapannya semakin mengeras dan rahangnya mengencang.
"Jangan buat aku mengulanginya."
Aku ingin membalas, ingin mengatakan sesuatu yang tajam, sesuatu yang bisa menusuknya seperti kata-katanya menusukku. Tapi itu tidak akan mengubah apapun. Aku telah mengubah Aaron yang kukenal sepenuhnya.
Tanpa sepatah kata, aku membuka pintu mobil dan melangkah turun. Pintunya kubanting dengan keras. Angin malam menerpa wajahku, tapi rasanya masih lebih hangat dibandingkan tatapan terakhirnya tadi.
Mesin mobilnya meraung. Lampu depan menerangi kakiku sebelum mobilnya melaju, meninggalkanku di parkiran yang sepi dan gelap.
Aku berdiri di sana, menatap kepergiannya, napas masih tertahan di dadaku.
"Sialan," gumamku pelan, hampir seperti doa putus asa.
Aku menggigit bibir, menolak rasa panas yang mengancam naik ke mataku. Tidak. Aku tidak akan menangis. Tidak di sini. Tidak karena semua masalah ini.
Aku menarik napas dalam, menekan perasaan yang bergejolak di dadaku, lalu melangkah menuju mobil. Begitu pintu tertutup, aku menyandarkan kepala ke jok, membiarkan diri tenggelam dalam keheningan sejenak sebelum meraih ponsel di dasbor.
Layar menyala. Notifikasi membanjiri layarku seperti gelombang pasang yang tak terbendung.
"Artis pendatang baru itu benar-benar tak tahu malu!"
"Kukira dia artis berbakat, ternyata hanya perusak rumah tangga."
"Kasihan istrinya. Bertahun-tahun mendukung suaminya, lalu datang wanita ini dan menghancurkan segalanya."
"Hollywood harus blacklist dia!"
"Pemeran utama wanita itu seharusnya Lila Emerson. Dia tidak pantas!"
Aku menutup mata. Sekuat tenaga menahan diri agar tidak membuang ponselku ke luar jendela. Aku juga manusia. Dan manusia... bisa terluka juga. Tapi, siapa yang akan peduli padaku?
Aku memang belum lama di industri ini, tapi cukup untuk tahu betapa kejamnya dunia hiburan bisa memperlakukan orang sepertiku, pendatang baru, nyaris tanpa perlindungan.
Namaku baru saja mulai dikenal, bukan di acara penghargaan dengan mendapatkan gelar artis terbaik, hanya di pojok artikel yang menyebutku sebagai "wajah baru yang menjanjikan." Tapi sekarang, nama itu kembali muncul karena sesuatu yang bahkan bukan salahku. Skandal. Rumor murahan.
Jari-jariku mencengkeram ponsel lebih erat. Aku bisa mengabaikan ini, bisa berpura-pura tak peduli, tapi melihat namaku dihancurkan di depan publik, melihat betapa mudahnya orang-orang percaya tanpa ragu, tetap saja menyakitkan.
Aku melempar ponsel ke kursi penumpang, rahangku mengeras. Aku tidak perlu membaca lebih banyak lagi. Setiap kata hanya terus menambah luka yang sudah cukup dalam.
Tanpa pikir panjang, aku menginjak gas, melaju kembali ke Los Angeles.
Dua jam lebih di jalan, akhirnya aku tiba di kota yang benderangnya bertolak belakang dengan pikiranku yang kacau. Aku mengemudi melewati jalanan yang sibuk, tapi semuanya terasa seperti latar belakang yang tidak penting.
Aku akhirnya tiba di kawasan North Hollywood, tempat apartemen kecilku berada. Bukan tempat glamor. Dindingnya tipis, suara dari unit sebelah kadang bisa bikin tidur terganggu. Tapi di sinilah satu-satunya tempat yang bisa kusebut rumah sekarang.
Begitu tiba di rumah, aku duduk sejenak, menarik napas. Lalu menuju dapur dan menuang air ke gelas.
Belum sempat aku meneguknya, ponselku berdering.
Aku melihat ponsel dan nama Beth, manajerku terpampang di layar.
Aku menarik napas dan akhirnya menekan tombol jawab.
"Jesus, Angela! Kau di mana?"
Akhirnya, aku kembali ke winery itu. Aku berhenti di area parkir, menyalakan mesin mobil, dan duduk menunggu. Lampu-lampu di winery mulai redup, hanya beberapa mobil yang masih terparkir.Aku mengetuk-ngetukkan jemariku ke kemudi, mencoba mengusir kegelisahan yang semakin menggerogoti dadaku. Jam terus berlalu. Tapi aku tidak pergi. Kini, langit telah berubah menjadi gelap pekat.Lalu, akhirnya aku melihat Aaron, asistennya, dan Mr. Whitmore berjalan menuju tempat parkir.Aku membuka pintu mobil dan turun, menutupnya dengan sekali hentakan. Aaron baru saja hendak berjalan menuju mobilnya ketika aku melangkah cepat ke arahnya."Kita perlu bicara," kataku.Aaron berhenti melangkah. Sekilas, tatapannya mengarah padaku sebelum beralih ke asistennya. “Pergilah dengan Mr. Whitmore. Aku akan menyusul."Asistennya hanya mengangguk tanpa pertanyaan, lalu pergi, meninggalkan kami berdua di tengah parkiran yang sepi.
POV AngelaAku segera menepis pikiran konyol yang sempat terlintas. Tidak mungkin ini ada hubungan dengan Aaron Carter. Hanya mendengar nama Carter saja sudah membuat tubuhku tegang. Aku pasti sudah kehilangan akal kalau mengaitkan semua ini padanya.Aku tak bertanya lebih jauh. "Baiklah, kalau begitu. Saya akan pergi."Aku berbalik, bersiap meninggalkan tempat itu. Tapi langkahku terhenti.Di kejauhan, di antara deretan pohon anggur, seseorang berdiri menyamping. Sosok tinggi dengan setelan yang terlihat mahal, tangan di saku celana, postur tubuh yang begitu familiar...Jantungku mencelos.Perlahan, pria itu menoleh. Dan saat wajahnya terlihat jelas, napasku tercekat.Aaron Carter.Mataku membelalak. Jantungku berdetak lebih cepat saat kesadaranku menangkap siapa yang berdiri di sana.Tidak salah lagi. Itu dia. Aaron.Aku menahan napas saat dia tiba-tiba melangkah ke arah kami.
Tanganku bergerak untuk menyingkap selimut, dan saat itu aku menyadari sesuatu yang membuat dadaku mencelos. Aku tidak mengenakan pakaianku semalam. Sebaliknya, aku mengenakan sebuah kemeja pria yang terasa terlalu besar untuk tubuhku."Sial... apa yang terjadi semalam?" aku merutuk, panik mulai merayap pikiranku. Aku mencoba mengingat. Potongan-potongan kejadian semalam berkelebat di kepalaku, tapi semuanya kabur.Tiba-tiba, suara air dari kamar mandi terdengar samar. Tubuhku menegang. Ada orang lain di sini.Jantungku berdetak kencang. Aku harus keluar dari sini. Sekarang juga.Aku mencari pakaianku dengan panik, dan akhirnya menemukannya tergeletak di lantai dekat sofa, bercampur dengan syal dan kacamataku. Dengan cepat, aku memungutnya, tetapi saat tanganku meraih pakaian yang kupakai semalam, aku langsung mencium bau sedikit asam dan menyengat.Aku mengeryit.Semua kejadian tadi malam masih buram. Aku hanya bisa
Angela POVSepuluh Tahun KemudianDeburan ombak di Santa Barbara mengisi kesunyian sore. Aku duduk di kursi santai di tepi pantai, mengenakan kacamata hitam, topi lebar, dan syal yang menutupi sebagian wajahku. Aku tidak ingin siapa pun mengenali sosokku, tidak sekarang, tidak di tempat ini. Angin laut menyentuh wajahku, tetapi tidak dapat mengusir resah yang terus menggerogoti pikiranku.Tablet di pangkuanku menyala, memperlihatkan berita yang terus menghantuiku. Judul besar itu terpampang jelas di layar: "Pendatang Baru Angela Jones Mendapatkan Peran Utama Berkat Hubungan Spesial dengan Sutradara Edward Kane."Mataku terpaku pada foto-foto yang menyertai artikel tersebut. Foto itu diambil di sebuah restoran, memperlihatkan Edward Kane mencodongkan tubuhnya ke arahku. Tapi framing yang licik membuatnya tampak seperti kami sedang berciuman. "Kedekatan Angela Jones dan Edward Kane memunculkan spekulasi : apakah peran utama di film debutnya murni kare
POV Angela"Angela," suara Aaron terdengar rendah, namun menusuk. "Apa maksud semua ini?"Aku membeku, napasku tercekat. "Aaron," bisikku lirih. Aku berusaha menenangkan diri, tapi suara detak jantungku yang begitu kencang membuat semuanya semakin sulit. Lututku terasa lemas, hampir menyerah menopang tubuhku.Rahasia yang selama ini kukubur begitu dalam, kini terbongkar. Aku tidak pernah menyangka semuanya akan terungkap seperti ini. Aku sudah cukup melukai Aaron, dan jika dia mengetahui kebenaran tentang taruhan itu... aku akan menghancurkannya sepenuhnya. Evelyn menyeringai lebar, senyumannya lebih terlihat seperti ejekan. "Menarik sekali," katanya, matanya berpindah ke teman-temannya sejenak, lalu kembali menatapku. "Biar kutebak. Aaron belum tahu tentang taruhan kita?"Aku memelototi Evelyn, mulutku terbuka seakan ingin membalas, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Pikiranku berputar liar, mencoba menemukan cara untuk menghentikan mimpi buruk ini. "Aaron," Evelyn memulai. "A
POV AngelaSeorang suster keluar dari ruang ICU. "Apakah Anda keluarga dari Mrs. Jones?"Aku segera berdiri dan mendekat. "Ya, saya putrinya. Bagaimana kondisinya?" tanyaku, cemas. "Saat ini, Dr. Smith sedang menyelesaikan catatan pasca-operasinya," jawabnya. "Dia akan menemui Anda di ruangannya sebentar lagi. Mari saya antar ke sana."Aku mengangguk dan mengikuti suster itu ke ruang dokter. "Selamat sore, Miss Jones," sapa Dr. Smith saat dia melangkah masuk ke ruangannya."Sore, Dokter," jawabku cepat. "Bagaimana keadaan Mom? Apakah operasinya berjalan lancar?""Operasi berjalan dengan lancar. Kami berhasil membuka penyumbatan di arteri utama, dan aliran darah ke jantungnya kini sudah stabil," jawab Dr. Smith, memberikan sedikit senyuman yang menenangkan. Aku menghela napas lega, meskipun kekhawatiranku belum sepenuhnya hilang. "Apakah dia akan baik-baik saja?""Masih perlu dipantau, tapi jika tak ada komplikasi, pemulihannya bisa baik. Kami akan terus memonitor selama 24 hingga 4