Home / Romansa / Perangkap Dendam Tuan Miliarder / Jadi Ini Balas Dendammu?

Share

Jadi Ini Balas Dendammu?

Author: Von Hsu
last update Last Updated: 2025-09-30 09:00:00

Akhirnya, aku kembali ke winery itu. Aku berhenti di area parkir, menyalakan mesin mobil, dan duduk menunggu. Lampu-lampu di winery mulai redup, hanya beberapa mobil yang masih terparkir.

Aku mengetuk-ngetukkan jemariku ke kemudi, mencoba mengusir kegelisahan yang semakin menggerogoti dadaku. Jam terus berlalu. Tapi aku tidak pergi. Kini, langit telah berubah menjadi gelap pekat. 

Lalu, akhirnya aku melihat Aaron, asistennya, dan Mr. Whitmore berjalan menuju tempat parkir. 

Aku membuka pintu mobil dan turun, menutupnya dengan sekali hentakan. Aaron baru saja hendak berjalan menuju mobilnya ketika aku melangkah cepat ke arahnya. 

"Kita perlu bicara," kataku. 

Aaron berhenti melangkah. Sekilas, tatapannya mengarah padaku sebelum beralih ke asistennya. “Pergilah dengan Mr. Whitmore. Aku akan menyusul."

Asistennya hanya mengangguk tanpa pertanyaan, lalu pergi, meninggalkan kami berdua di tengah parkiran yang sepi.

Aaron menatapku beberapa detik, lalu mengisyaratkan ke mobilnya. “Masuk.”

Nada suaranya tajam. Itu lebih terdengar seperti perintah, bukan undangan.

Aku mendegus, menatapnya dengan sinis. "Kau suka memerintah orang, ya?"

Dia tidak menanggapi. Hanya membuka pintu dan duduk di dalam. Sialan. 

Aku mengepalkan tangan, lalu mengikutinya. Begitu aku duduk dan menutup pintu mobilnya, keheningan langsung menyergap. 

Aaron duduk tenang, satu tangan di kemudi, tatapannya lurus ke depan, seolah aku tak ada di sana. 

Aku tidak membuang waktu. "Ini ulahmu, kan?" 

Dia tidak menjawab, hanya menyalakan mesin, membiarkan deru suara itu mengisi kekosongan di antara kami. 

"Aaron," kataku, kali ini lebih pelan, tapi jelas. "Jawab aku."

Akhirnya, dia menoleh, ekspresinya tetap dingin. "Kau harus lebih spesifik. Aku melakukan banyak hal dalam sehari." 

Aku bisa merasakan darahku mendidih mendengar responnya. 

"Skandal ini," desisku. "Karirku hancur, namaku diseret ke media, dan semua orang berpikir aku perusak rumah tangga orang. Kau ingin aku percaya ini semua kebetulan?"

Dia mengangkat alis. "Kau terlalu sibuk mencari kambing hitam. Bisa saja ini memang salahmu sendiri."

"Aku tahu kau masih menyimpan dendam padaku."

Dia tak membantah. Tak juga mengiyakan. Hanya bersandar lebih dalam ke joknya. 

"Aku ingin jawaban, Aaron," desakku. 

Dia menoleh padaku perlahan, tatapannya menajam. "Kalau aku menyangkal, apa kau akan percaya?"

Aku menggertakkan gigi. "Aku hanya ingin tahu kebenarannya."

Dia tersenyum miring, terlihat dingin dan sinis. "Kebenaran? Kata itu terdengar lucu keluar dari mulutmu."

Aku menarik napas panjang. "Aku tahu kau marah padaku. Aku tak pernah bilang aku tak bersalah. Aku masih muda saat itu. Aku..."

"Tapi kau tidak keberatan menjadikanku iblis di depan semua orang," potongnya tajam.

"Aku yang harus membayar harganya," lanjutnya. "Aku kehilangan segalanya. Semua karena kau."

Tatapanku bertemu dengan matanya. Dingin. Seperti tak ada ampun di sana. Sorot matanya seperti mengandung luka lama yang masih belum juga kering. Dan aku tahu... dia tak bisa melupakan semua kejadian itu. 

"Jadi ini balas dendammu?" tanyaku lirih. 

Aaron mengetuk kemudi dengan jemarinya. Lalu, dia menatapku dengan dingin. 

"Kalau iya," katanya. "Apa yang akan kau lakukan?"

Jantungku berdetak kencang. Tenggorokanku seperti terkunci, seolah udara pun enggan masuk saat Aaron mencondongkan tubuhnya ke arahku. 

"Apa kau akan melawan, Angela?" bisiknya rendah. "Atau akhirnya mengakui kalau ini memang hukuman yang pantas kau terima?"

Aku tidak bisa menjawab. Tenggorokanku terasa tercekat. 

Beberapa detik berlalu dalam keheningan, lalu dia melirik jam tangannya. 

"Kita selesai di sini," suaranya datar dan tegas. 

Lalu tanpa ragu, dia berkata, "Keluar."

Aku tetap diam. Tubuhku tak segera bereaksi. Mataku masih terpaku padanya. Bisa kulihat, tatapannya semakin mengeras dan rahangnya mengencang. 

"Jangan buat aku mengulanginya."

Aku ingin membalas, ingin mengatakan sesuatu yang tajam, sesuatu yang bisa menusuknya seperti kata-katanya menusukku. Tapi itu tidak akan mengubah apapun. Aku telah mengubah Aaron yang kukenal sepenuhnya. 

Tanpa sepatah kata, aku membuka pintu mobil dan melangkah turun. Pintunya kubanting dengan keras. Angin malam menerpa wajahku, tapi rasanya masih lebih hangat dibandingkan tatapan terakhirnya tadi. 

Mesin mobilnya meraung. Lampu depan menerangi kakiku sebelum mobilnya melaju, meninggalkanku di parkiran yang sepi dan gelap.

Aku berdiri di sana, menatap kepergiannya, napas masih tertahan di dadaku. 

"Sialan," gumamku pelan, hampir seperti doa putus asa. 

Aku menggigit bibir, menolak rasa panas yang mengancam naik ke mataku. Tidak. Aku tidak akan menangis. Tidak di sini. Tidak karena semua masalah ini. 

Aku menarik napas dalam, menekan perasaan yang bergejolak di dadaku, lalu melangkah menuju mobil. Begitu pintu tertutup, aku menyandarkan kepala ke jok, membiarkan diri tenggelam dalam keheningan sejenak sebelum meraih ponsel di dasbor. 

Layar menyala. Notifikasi membanjiri layarku seperti gelombang pasang yang tak terbendung. 

"Artis pendatang baru itu benar-benar tak tahu malu!"

"Kukira dia artis berbakat, ternyata hanya perusak rumah tangga."

"Kasihan istrinya. Bertahun-tahun mendukung suaminya, lalu datang wanita ini dan menghancurkan segalanya."

"Hollywood harus blacklist dia!"

"Pemeran utama wanita itu seharusnya Lila Emerson. Dia tidak pantas!"

Aku menutup mata. Sekuat tenaga menahan diri agar tidak membuang ponselku ke luar jendela. Aku juga manusia. Dan manusia... bisa terluka juga. Tapi, siapa yang akan peduli padaku?

Aku memang belum lama di industri ini, tapi cukup untuk tahu betapa kejamnya dunia hiburan bisa memperlakukan orang sepertiku, pendatang baru, nyaris tanpa perlindungan. 

Namaku baru saja mulai dikenal, bukan di acara penghargaan dengan mendapatkan gelar artis terbaik, hanya di pojok artikel yang menyebutku sebagai "wajah baru yang menjanjikan." Tapi sekarang, nama itu kembali muncul karena sesuatu yang bahkan bukan salahku. Skandal. Rumor murahan. 

Jari-jariku mencengkeram ponsel lebih erat. Aku bisa mengabaikan ini, bisa berpura-pura tak peduli, tapi melihat namaku dihancurkan di depan publik, melihat betapa mudahnya orang-orang percaya tanpa ragu, tetap saja menyakitkan.

Aku melempar ponsel ke kursi penumpang, rahangku mengeras. Aku tidak perlu membaca lebih banyak lagi. Setiap kata hanya terus menambah luka yang sudah cukup dalam. 

Tanpa pikir panjang, aku menginjak gas, melaju kembali ke Los Angeles. 

Dua jam lebih di jalan, akhirnya aku tiba di kota yang benderangnya bertolak belakang dengan pikiranku yang kacau. Aku mengemudi melewati jalanan yang sibuk, tapi semuanya terasa seperti latar belakang yang tidak penting.

Aku akhirnya tiba di kawasan North Hollywood, tempat apartemen kecilku berada. Bukan tempat glamor. Dindingnya tipis, suara dari unit sebelah kadang bisa bikin tidur terganggu. Tapi di sinilah satu-satunya tempat yang bisa kusebut rumah sekarang. 

Begitu tiba di rumah, aku duduk sejenak, menarik napas. Lalu menuju dapur dan menuang air ke gelas. 

Belum sempat aku meneguknya, ponselku berdering.

Aku melihat ponsel dan nama Beth, manajerku terpampang di layar. 

Aku menarik napas dan akhirnya menekan tombol jawab. 

"Jesus, Angela! Kau di mana?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Badai Dalam Diam (POV Aaron)

    POV AaronLyla melangkah lebih dekat, matanya masih menatap ke arah koridor, seolah ingin memastikan benar-benar tidak ada orang di sana.Aku meraih pergelangan tangannya, menariknya perlahan sampai tatapannya kembali padaku."Aku akan datang ke pesta itu," kataku, mencoba mengalihkan perhatiannya.Sudut bibir Lyla perlahan terangkat membentuk senyuman. "Kau serius?"Aku mengangguk kecil, menyelipkan satu tanganku ke saku celana. "Ya."Senyumnya melebar. "Akhirnya."Aku memberi isyarat dengan dagu ke arah sofa. "Duduklah."Dia sempat menatapku sebelum berjalan pelan ke sofa dan duduk. Sementara, aku menuju ke meja bar kecil."Kau mau minum?" tanyaku."Air putih saja," jawabnya.Aku mengambil dua botol air dari pendingin, membuka tutupnya, lalu menuangkannya ke dua gelas. Suara gelembung kecil naik dari dasar gelas, satu-satunya suara yang terdengar di ruangan.Aku meleta

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Terlambat untuk Meminta Maaf

    POV AngelaDia berhenti di tengah langkah. Perlahan, dia berbalik. Tatapannya gelap dan dingin. Lalu dia mulai berjalan ke arahku — langkahnya pelan, mantap, tapi tiap langkah seperti memadatkan udara di antara kami.Aku mundur satu langkah tanpa sadar, tapi dia terus maju sampai jarak di antara kami nyaris hilang.Tangannya terulur, jari-jarinya mencengkeram rahangku, keras tapi terkendali."Aku terlihat lelah, hah?" suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. "Jangan coba-coba menganalisis aku. Kau tidak tahu apa-apa tentang rasa sakitku."Dia mendekat. Suaranya turun jadi bisikan di telingaku. "Justru rasa sakit ini menjadi alasan aku untuk terus hidup."Jantungku berdetak cepat. "Aku tahu aku melukaimu," bisikku.Aaron tertawa pendek — tanpa humor, tanpa rasa. "Melukaiku?" katanya pelan. "Kau menghancurkanku, Angela.""Ya, aku tahu," suaraku nyaris bergetar, tapi aku tetap menatap matanya. "

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Saat Kebenaran Berpihak Kembali

    POV AngelaTunggu... Apa?Mataku bergerak cepat menelusuri layar.Sudah kuduga. Dia tidak kelihatan seperti tipe begitu. Rekaman CCTV membuktikannya.Foto-foto itu palsu. Diedit.Edward Kane yang seharusnya minta maaf.Maaf sudah menilaimu.Dia tidak pantas diperlakukan begitu.Jangan menyerah, Angela.Aku menggulir lebih cepat, jantungku berdegup kencang. Semua postingan isinya sama. Dukungan. Simpati. Kepercayaan."Apa-apaan ini..." bisikku.Aku mengetuk salah satu tautan berita yang memenuhi inbox-ku. Judulnya langsung menohok mataku."Bukti Baru Membersihkan Nama Angela Jones — Rekaman CCTV Membuktikan Tidak Ada Perselingkuhan."Artikel itu menjelaskan semuanya — rekaman restoran, sudut kamera, dan bagaimana "ciuman" itu sebenarnya hanya saat Edward mencondongkan tubuh untuk mengambil gelas. Satu detik, satu

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Kata Baik Pertama

    POV AngelaKata-kata itu masih bergema di kepalaku. "Kau ada di sini karena izinku. Bukan karena kau berarti."Sialan dia. Benar-benar dingin dan tak berperasaan.Aaron keluar begitu saja dari mobil tanpa menoleh. Aku turun beberapa detik kemudian, membanting pintu sedikit lebih keras. Garasinya bersih tanpa cela — lantai beton mengilap, semuanya tertata rapi. Tiga mobil berjejer seperti pajangan di pameran.Dia berjalan di depan tanpa peduli apakah aku mengikutinya atau tidak.Pintu samping langsung mengarah ke dalam rumah. Begitu aku melangkah masuk, langkahku terhenti.Tempat itu tampak seperti halaman depan majalah arsitektur. Dinding kaca dari lantai ke langit-langit, garis-garis tajam, tanpa sedikit pun sentuhan pribadi. Tak ada foto, tak ada barang kecil yang menunjukkan siapa pemiliknya. Tempat itu terasa seperti dirinya. Dingin, terkontrol, dan tak tersentuh."Berapa lama kau mau berdiri di situ?

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Bertindaklah Sesuai Peranmu (POV Aaron)

    POV AaronAku melirik ke bawah, pada tangan Angela yang masih menempel di lenganku."Lepaskan," kataku datar.Dia ragu sejenak, lalu perlahan melepaskan genggaman. Tangannya turun, tapi matanya tetap menatapku. "Kau berdarah."Aku menatap garis merah di buku jariku, sisa dari perkelahian tadi."Kau mungkin harus mengobatinya," katanya.Aku menatapnya dingin. "Jangan berpura-pura peduli, Angela.""Aku tidak berpura-pura," sahutnya. "Hanya mengatakan apa yang kulihat.""Aku tahu cara mengurus diriku sendiri."Dia tidak berkedip. "Oke, kalau begitu. Tapi bukan berarti kau harus berdarah buat membuktikannya.""Kau bicara terlalu banyak untuk seseorang yang seharusnya tidak ikut campur urusanku."Tatapannya tak bergeser. "Aku hanya memperhatikan apa yang terjadi di sekitarku. Bukan berarti aku ikut campur. Aku akan melakukan hal yang sama untuk siapa saja, bukan cuma untukmu."Itu

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Luka yang Mengikat (POV Aaron)

    POV AaronAku memelintir pergelangan tangan Bennett sampai uratnya menonjol di bawah kulit. Dia meraung, keras dan serak, tapi aku tidak mengendurkan cengkeramanku, justru semakin menguatkannya.Wajahnya menegang, rahangnya mengeras, tapi matanya masih menyimpan kesombongan. "Kau pikir kau cukup besar buat menantangku, Carter?" desisnya tajam, napas tersengal menahan sakit.Aku menatapnya datar. Suaraku tenang dan dingin. "Kau pikir nama Bennett membuatmu kebal? Nama keluargamu mungkin berarti sesuatu di atas kertas. Tapi kau tidak lebih dari bajingan pengecut yang hidup dari nama itu."Lalu aku melepaskannya dengan satu hentakan cepat. Dia terhuyung ke belakang, wajahnya memerah menahan amarah.Aku menoleh ke arah Angela yang masih terpaku di dekat pagar paddock. "Masuk mobil," kataku datar.Dia sempat ragu sepersekian detik, tapi akhirnya menurut. Pintu mobil tertutup di belakangnya, meninggalkan aku berdua dengan Bennett

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status