Share

Mimpi Buruk

Penulis: Von Hsu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-28 09:00:00

Tanganku bergerak untuk menyingkap selimut, dan saat itu aku menyadari sesuatu yang membuat dadaku mencelos. Aku tidak mengenakan pakaianku semalam. Sebaliknya, aku mengenakan sebuah kemeja pria yang terasa terlalu besar untuk tubuhku.

"Sial... apa yang terjadi semalam?" aku merutuk, panik mulai merayap pikiranku. Aku mencoba mengingat. Potongan-potongan kejadian semalam berkelebat di kepalaku, tapi semuanya kabur. 

Tiba-tiba, suara air dari kamar mandi terdengar samar. Tubuhku menegang. Ada orang lain di sini. 

Jantungku berdetak kencang. Aku harus keluar dari sini. Sekarang juga.

Aku mencari pakaianku dengan panik, dan akhirnya menemukannya tergeletak di lantai dekat sofa, bercampur dengan syal dan kacamataku. Dengan cepat, aku memungutnya, tetapi saat tanganku meraih pakaian yang kupakai semalam, aku langsung mencium bau sedikit asam dan menyengat. 

Aku mengeryit. 

Semua kejadian tadi malam masih buram. Aku hanya bisa mengingat samar, aku sempat muntah, mendengar seorang pria mengumpat, lalu semuanya menjadi gelap.

Sepertinya saat aku muntah ke baju pria asing itu semalam, ada yang ikut terciprat ke bajuku juga. Tidak terlalu banyak, tapi cukup untuk meninggalkan bau yang menyengat. 

Tidak ada waktu untuk memikirkan ini sekarang. 

Aku buru-buru mengenakan pakaianku secepat mungkin, kacamata dan syalku menyusul. Setelah selesai berpakaian lengkap, aku mendengar suara air dari kamar mandi yang tiba-tiba berhenti mengalir. 

Sial. 

Tatapanku beralih ke arah nakas di samping tempat tidur. Ada ponsel di sana. Ponselku? Aku tidak yakin, tapi aku tidak punya waktu untuk memeriksanya. Tanpa berpikir panjang, aku meraihnya dan bergegas keluar sebelum pintu kamar mandi itu terbuka. 

Begitu berhasil keluar dari kamar itu, aku menghela napas lega. Namun, aku segera menyadari sesuatu. Pria asing itu juga menginap di hotel yang sama denganku. Jadi, saat berjalan menyusuri koridor, aku langsung mencari nomor kamarku sendiri. 

Setelah akhirnya menemukan kamarku, aku masuk dan mengunci pintu. Bersandar pada pintu, aku mencoba mengatur napas.

"Apa yang terjadi semalam?" 

Aku berusaha mengingat, tetapi kepalaku terasa kosong. Frustasi, aku menyerah dan masuk ke kamar mandi, membiarkan air hangat mengalir deras di tubuhku. Aku berdiri diam, membiarkan keteganganku luruh bersama air yang mengalir. Aku menghabiskan waktu cukup lama di sana, menenangkan diri dan menata kembali pikiranku yang kacau. 

Begitu selesai, aku mengenakan pakaian seadanya, sweater oversized, celana jeans, dan sneakers. Aku menarik hoodie sweaterku ke atas kepala, lalu memasang kacamata hitam serta masker. Samaran sederhana, tapi cukup untuk menghindari perhatian. 

Santa Barbara terlalu indah untuk dilewatkan, dan aku butuh udara segar. Setelah semua kekacauan ini, aku harus mengambil napas sebelum kembali menghadapi kenyataan dan skandal yang menantiku. 

Aku melangkah keluar dari hotel, menuju area parkir, masuk ke mobil, lalu melajukan kendaraan ke arah Stearns Wharf. Begitu tiba, aku memarkir mobil dan berjalan santai di atas dermaga kayu.

Angin laut menerpa wajahku, aroma asin bercampur dengan wangi ikan bakar dari kios-kios makanan. Orang-orang berlalu lalang, ada yang memancing, berfoto, atau sekedar menikmati es krim sambil berbincang.

Aku berhenti di salah satu kios makanan yang menjual fish and chips. Seorang pria paruh baya dengan celemek menyapaku dari balik konter.

"Apa pesanannya, Nona?" tanyanya dengan senyum hangat. 

Aku melirik menu sejenak sebelum menjawab. "Satu porsi fish and chips, to-go."

Dia mengangguk sambil menyiapkan pesananku. Aku menunggu sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Aku masih merasa cukup aman, sampai telingaku menangkap suara berbisik dari arah belakang. 

"Hei, dia mirip sekali dengan Angela Jones."

Aku menegang seketika. 

"Jangan-jangan itu benar dia?" suara lain menyahut. 

Refleks, aku menundukkan kepala dan menarik hoodieku lebih dalam. Aku menyesal telah melepaskan maskerku tadi di dalam mobil. Aku merapatkan tubuh ke konter, berpura-pura tidak mendengar mereka.

"Pesananmu, Nona," kata pria di balik konter sambil menyodorkan bungkusan makananku.

Aku mengambilnya cepat. "Terima kasih."

Tanpa membuang waktu, aku berjalan cepat ke mobil sebelum ada yang benar-benar mengenaliku. Saat sudah duduk di kursi kemudi, aku menghembuskan napas panjang. Nyaris saja. 

Aku membuka bungkusan makananku dan mulai menyantapnya dengan lahap. Aku baru sadar betapa laparnya aku. 

Namun, di tengah suapan, sebuah suara seperti notifikasi pesan di ponsel membuatku berhenti mengunyah. 

Aku menoleh ke tas yang tergeletak di kursi sebelah. Seingatku, aku tidak mengaktifkan ponselku sejak semalam. 

Jadi, bagaimana mungkin ada pesan masuk?

Aku merogoh tas dan menarik ponselku keluar. Begitu melihat layar, napasku tercekat. Wallpapernya bukan fotoku. Tampilannya pun berbeda.

Ini bukan ponselku. 

"Sial. Ini pasti ponsel pria asing itu."

Aku kembali mengingat kejadian tadi pagi, saat aku terburu-buru meninggalkan kamar pria asing itu. Aku asal meraih ponsel di nakas tanpa memeriksa dulu. Betapa cerobohnya aku! 

Layar itu terkunci sehingga aku tidak bisa langsung mengakses kontak di dalamnya. Aku harus segera menukarnya kembali. Aku pun memutuskan untuk kembali ke hotel, namun di tengah perjalanan, tiba-tiba ponsel itu berdering. 

Layar terkunci itu menampilkan notifikasi panggilan masuk, dan nomorku sendiri tertera di sana. Mungkin saja pria asing itu mencoba menghubungiku menggunakan ponselku. Dengan sedikit ragu, aku akhirnya mengangkat panggilan itu. 

"Halo?" kataku, suaraku bergetar karena gugup.

Di seberang sana, suara pria itu terdengar tegas. "Sepertinya ponsel kita tertukar."

Aku terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian sebelum berkata. "Maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Aku akan kembali ke hotel untuk menukarnya."

"Aku sudah tidak lagi di sana." Suaranya tenang, tapi ada nada otoratif di dalamnya. "Aku sedang berada di perkebunan wine di Santa Ynez Valley. Kau bisa menyusul ke sini."

Aku mengerutkan kening. Santa Ynez Valley?

Aku memang tidak terlalu familiar dengan area sekitar Santa Barbara, tapi yang kutahu daerah ini memang terkenal dengan perkebunan anggurnya. 

"Tunggu sebentar," potongku cepat. 

Aku merogoh tas, mencari sesuatu, lalu menarik keluar pena dan kertas kecil. "Oke, sekarang katakan lokasinya."

Dia menyebutkan alamatnya dengan jelas dan aku mencatatnya dengan cepat. Setelahnya, aku menarik napas dalam, membaca ulang catatanku untuk memastikan semuanya benar. 

"Aku akan segera ke sana," kataku akhirnya. 

Tanpa menjawab, pria itu langsung menutup telepon. Aku berniat untuk menghindari pertemuan dengan pria asing itu. Sayangnya, aku tidak punya pilihan lain. 

Aku akhirnya memutar kemudi menuju Santa Ynez Valley. Perjalanan dari Stearns Wharf ke sana memakan waktu hampir empat puluh lima menit. 

Setibanya di perkebunan anggur yang dimaksud, aku melihat deretan pohon anggur yang tertata rapi. Sebuah bangunan berdiri megah di tengah area, dengan teras luas dan jendela besar yang menghadap ladang anggur.

Aku melangkah keluar dari mobil, mengedarkan pandangan. Bagaimana aku bisa menemukan pria itu di tempat sebesar ini?

Tiba-tiba, seorang pria muda dengan jas rapi mendekat. 

Aku menegang. 

Apakah dia pria asing yang semalam membawaku ke kamarnya?

Pria itu berhenti di depanku dengan ekspresi tenang dan profesional. Matanya sekilas menatap ponsel di tanganku sebelum akhirnya berbicara.

"Saya datang untuk mengambil ponsel itu." 

Nada suaranya datar, nyaris tanpa emosi.

Aku mengangguk, buru-buru menyerahkan ponsel tersebut. "Ah, iya. Aku datang untuk mengembalikannya."

Sebagai gantinya, dia menyodorkan ponselku. "Terima kasih. Saya yakin ini cukup merepotkan Anda," katanya. 

Aku menerima ponselku kembali sambil menghela napas. "Maaf soal ini. Saya benar-benar tidak sengaja. Untuk kejadian semalam, aku yang sempat muntah..."

Sebelum aku melanjutkan kalimatku, pria itu memotong. "Saya bukan orang yang Anda temui semalam."

Aku terdiam, keningku berkerut. "Apa?"

"Saya hanya asisten pribadinya," katanya, dengan nada formal. "Mr. Carter sedang menyelesaikan urusan di sini. Saya diminta untuk mengambil ponselnya."

Aku membeku. 

Carter?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Seratus Lima Puluh Ribu Dolar

    POV Angela"Aku sudah di rumah," kataku."Aku sudah menghubungimu puluhan kali," suara Beth terdengar cepat dan tajam di ujung telepon. "Kau sadar situasi kita sekarang?"Aku memejamkan mata, memijat pelipis. "Aku butuh waktu, Beth. Sedikit ruang untuk bernapas.""Bernapas? Ini bukan waktunya, Angela," suaranya berubah serius. "Kita sedang berada dalam krisis. Krisis yang bisa menghancurkanmu!"Aku menarik napas dalam. Diam. Tak tahu harus berkata apa."Film ini baru rilis tiga hari. Tapi yang menjadi headline bukan aktingmu, melainkan foto bodoh itu. Skandal ini menyeret semua kerja keras kita ke lubang.""Rating film kita jatuh. Salah satu kritikus bahkan menulis kalau film itu lebih cocok dibintangi oleh aktris profesional, bukan... wanita simpanan. Dan kalimat itu langsung viral di forum-forum industri."Kata-kata itu menghantam keras. Aku bukan simpanan siapa pun, tapi publik sudah memutuskan versinya sendiri.

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Jadi Ini Balas Dendammu?

    Akhirnya, aku kembali ke winery itu. Aku berhenti di area parkir, menyalakan mesin mobil, dan duduk menunggu. Lampu-lampu di winery mulai redup, hanya beberapa mobil yang masih terparkir.Aku mengetuk-ngetukkan jemariku ke kemudi, mencoba mengusir kegelisahan yang semakin menggerogoti dadaku. Jam terus berlalu. Tapi aku tidak pergi. Kini, langit telah berubah menjadi gelap pekat.Lalu, akhirnya aku melihat Aaron, asistennya, dan Mr. Whitmore berjalan menuju tempat parkir.Aku membuka pintu mobil dan turun, menutupnya dengan sekali hentakan. Aaron baru saja hendak berjalan menuju mobilnya ketika aku melangkah cepat ke arahnya."Kita perlu bicara," kataku.Aaron berhenti melangkah. Sekilas, tatapannya mengarah padaku sebelum beralih ke asistennya. “Pergilah dengan Mr. Whitmore. Aku akan menyusul."Asistennya hanya mengangguk tanpa pertanyaan, lalu pergi, meninggalkan kami berdua di tengah parkiran yang sepi.

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Bertemu Kembali

    POV AngelaAku segera menepis pikiran konyol yang sempat terlintas. Tidak mungkin ini ada hubungan dengan Aaron Carter. Hanya mendengar nama Carter saja sudah membuat tubuhku tegang. Aku pasti sudah kehilangan akal kalau mengaitkan semua ini padanya.Aku tak bertanya lebih jauh. "Baiklah, kalau begitu. Saya akan pergi."Aku berbalik, bersiap meninggalkan tempat itu. Tapi langkahku terhenti.Di kejauhan, di antara deretan pohon anggur, seseorang berdiri menyamping. Sosok tinggi dengan setelan yang terlihat mahal, tangan di saku celana, postur tubuh yang begitu familiar...Jantungku mencelos.Perlahan, pria itu menoleh. Dan saat wajahnya terlihat jelas, napasku tercekat.Aaron Carter.Mataku membelalak. Jantungku berdetak lebih cepat saat kesadaranku menangkap siapa yang berdiri di sana.Tidak salah lagi. Itu dia. Aaron.Aku menahan napas saat dia tiba-tiba melangkah ke arah kami.

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Mimpi Buruk

    Tanganku bergerak untuk menyingkap selimut, dan saat itu aku menyadari sesuatu yang membuat dadaku mencelos. Aku tidak mengenakan pakaianku semalam. Sebaliknya, aku mengenakan sebuah kemeja pria yang terasa terlalu besar untuk tubuhku."Sial... apa yang terjadi semalam?" aku merutuk, panik mulai merayap pikiranku. Aku mencoba mengingat. Potongan-potongan kejadian semalam berkelebat di kepalaku, tapi semuanya kabur.Tiba-tiba, suara air dari kamar mandi terdengar samar. Tubuhku menegang. Ada orang lain di sini.Jantungku berdetak kencang. Aku harus keluar dari sini. Sekarang juga.Aku mencari pakaianku dengan panik, dan akhirnya menemukannya tergeletak di lantai dekat sofa, bercampur dengan syal dan kacamataku. Dengan cepat, aku memungutnya, tetapi saat tanganku meraih pakaian yang kupakai semalam, aku langsung mencium bau sedikit asam dan menyengat.Aku mengeryit.Semua kejadian tadi malam masih buram. Aku hanya bisa

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Melarikan Diri

    Angela POVSepuluh Tahun KemudianDeburan ombak di Santa Barbara mengisi kesunyian sore. Aku duduk di kursi santai di tepi pantai, mengenakan kacamata hitam, topi lebar, dan syal yang menutupi sebagian wajahku. Aku tidak ingin siapa pun mengenali sosokku, tidak sekarang, tidak di tempat ini. Angin laut menyentuh wajahku, tetapi tidak dapat mengusir resah yang terus menggerogoti pikiranku.Tablet di pangkuanku menyala, memperlihatkan berita yang terus menghantuiku. Judul besar itu terpampang jelas di layar: "Pendatang Baru Angela Jones Mendapatkan Peran Utama Berkat Hubungan Spesial dengan Sutradara Edward Kane."Mataku terpaku pada foto-foto yang menyertai artikel tersebut. Foto itu diambil di sebuah restoran, memperlihatkan Edward Kane mencodongkan tubuhnya ke arahku. Tapi framing yang licik membuatnya tampak seperti kami sedang berciuman. "Kedekatan Angela Jones dan Edward Kane memunculkan spekulasi : apakah peran utama di film debutnya murni kare

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Kehancuran

    POV Angela"Angela," suara Aaron terdengar rendah, namun menusuk. "Apa maksud semua ini?"Aku membeku, napasku tercekat. "Aaron," bisikku lirih. Aku berusaha menenangkan diri, tapi suara detak jantungku yang begitu kencang membuat semuanya semakin sulit. Lututku terasa lemas, hampir menyerah menopang tubuhku.Rahasia yang selama ini kukubur begitu dalam, kini terbongkar. Aku tidak pernah menyangka semuanya akan terungkap seperti ini. Aku sudah cukup melukai Aaron, dan jika dia mengetahui kebenaran tentang taruhan itu... aku akan menghancurkannya sepenuhnya. Evelyn menyeringai lebar, senyumannya lebih terlihat seperti ejekan. "Menarik sekali," katanya, matanya berpindah ke teman-temannya sejenak, lalu kembali menatapku. "Biar kutebak. Aaron belum tahu tentang taruhan kita?"Aku memelototi Evelyn, mulutku terbuka seakan ingin membalas, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Pikiranku berputar liar, mencoba menemukan cara untuk menghentikan mimpi buruk ini. "Aaron," Evelyn memulai. "A

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status