MasukTanganku bergerak untuk menyingkap selimut, dan saat itu aku menyadari sesuatu yang membuat dadaku mencelos. Aku tidak mengenakan pakaianku semalam. Sebaliknya, aku mengenakan sebuah kemeja pria yang terasa terlalu besar untuk tubuhku.
"Sial... apa yang terjadi semalam?" aku merutuk, panik mulai merayap pikiranku. Aku mencoba mengingat. Potongan-potongan kejadian semalam berkelebat di kepalaku, tapi semuanya kabur.
Tiba-tiba, suara air dari kamar mandi terdengar samar. Tubuhku menegang. Ada orang lain di sini.
Jantungku berdetak kencang. Aku harus keluar dari sini. Sekarang juga.
Aku mencari pakaianku dengan panik, dan akhirnya menemukannya tergeletak di lantai dekat sofa, bercampur dengan syal dan kacamataku. Dengan cepat, aku memungutnya, tetapi saat tanganku meraih pakaian yang kupakai semalam, aku langsung mencium bau sedikit asam dan menyengat.
Aku mengeryit.
Semua kejadian tadi malam masih buram. Aku hanya bisa mengingat samar, aku sempat muntah, mendengar seorang pria mengumpat, lalu semuanya menjadi gelap.
Sepertinya saat aku muntah ke baju pria asing itu semalam, ada yang ikut terciprat ke bajuku juga. Tidak terlalu banyak, tapi cukup untuk meninggalkan bau yang menyengat.Tidak ada waktu untuk memikirkan ini sekarang.
Aku buru-buru mengenakan pakaianku secepat mungkin, kacamata dan syalku menyusul. Setelah selesai berpakaian lengkap, aku mendengar suara air dari kamar mandi yang tiba-tiba berhenti mengalir.
Sial.
Tatapanku beralih ke arah nakas di samping tempat tidur. Ada ponsel di sana. Ponselku? Aku tidak yakin, tapi aku tidak punya waktu untuk memeriksanya. Tanpa berpikir panjang, aku meraihnya dan bergegas keluar sebelum pintu kamar mandi itu terbuka.
Begitu berhasil keluar dari kamar itu, aku menghela napas lega. Namun, aku segera menyadari sesuatu. Pria asing itu juga menginap di hotel yang sama denganku. Jadi, saat berjalan menyusuri koridor, aku langsung mencari nomor kamarku sendiri.
Setelah akhirnya menemukan kamarku, aku masuk dan mengunci pintu. Bersandar pada pintu, aku mencoba mengatur napas.
"Apa yang terjadi semalam?"
Aku berusaha mengingat, tetapi kepalaku terasa kosong. Frustasi, aku menyerah dan masuk ke kamar mandi, membiarkan air hangat mengalir deras di tubuhku. Aku berdiri diam, membiarkan keteganganku luruh bersama air yang mengalir. Aku menghabiskan waktu cukup lama di sana, menenangkan diri dan menata kembali pikiranku yang kacau.
Begitu selesai, aku mengenakan pakaian seadanya, sweater oversized, celana jeans, dan sneakers. Aku menarik hoodie sweaterku ke atas kepala, lalu memasang kacamata hitam serta masker. Samaran sederhana, tapi cukup untuk menghindari perhatian.
Santa Barbara terlalu indah untuk dilewatkan, dan aku butuh udara segar. Setelah semua kekacauan ini, aku harus mengambil napas sebelum kembali menghadapi kenyataan dan skandal yang menantiku.
Aku melangkah keluar dari hotel, menuju area parkir, masuk ke mobil, lalu melajukan kendaraan ke arah Stearns Wharf. Begitu tiba, aku memarkir mobil dan berjalan santai di atas dermaga kayu.
Angin laut menerpa wajahku, aroma asin bercampur dengan wangi ikan bakar dari kios-kios makanan. Orang-orang berlalu lalang, ada yang memancing, berfoto, atau sekedar menikmati es krim sambil berbincang.
Aku berhenti di salah satu kios makanan yang menjual fish and chips. Seorang pria paruh baya dengan celemek menyapaku dari balik konter.
"Apa pesanannya, Nona?" tanyanya dengan senyum hangat.
Aku melirik menu sejenak sebelum menjawab. "Satu porsi fish and chips, to-go."
Dia mengangguk sambil menyiapkan pesananku. Aku menunggu sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Aku masih merasa cukup aman, sampai telingaku menangkap suara berbisik dari arah belakang.
"Hei, dia mirip sekali dengan Angela Jones."
Aku menegang seketika.
"Jangan-jangan itu benar dia?" suara lain menyahut.
Refleks, aku menundukkan kepala dan menarik hoodieku lebih dalam. Aku menyesal telah melepaskan maskerku tadi di dalam mobil. Aku merapatkan tubuh ke konter, berpura-pura tidak mendengar mereka.
"Pesananmu, Nona," kata pria di balik konter sambil menyodorkan bungkusan makananku.
Aku mengambilnya cepat. "Terima kasih."
Tanpa membuang waktu, aku berjalan cepat ke mobil sebelum ada yang benar-benar mengenaliku. Saat sudah duduk di kursi kemudi, aku menghembuskan napas panjang. Nyaris saja.
Aku membuka bungkusan makananku dan mulai menyantapnya dengan lahap. Aku baru sadar betapa laparnya aku.
Namun, di tengah suapan, sebuah suara seperti notifikasi pesan di ponsel membuatku berhenti mengunyah.
Aku menoleh ke tas yang tergeletak di kursi sebelah. Seingatku, aku tidak mengaktifkan ponselku sejak semalam.
Jadi, bagaimana mungkin ada pesan masuk?
Aku merogoh tas dan menarik ponselku keluar. Begitu melihat layar, napasku tercekat. Wallpapernya bukan fotoku. Tampilannya pun berbeda.
Ini bukan ponselku.
"Sial. Ini pasti ponsel pria asing itu."
Aku kembali mengingat kejadian tadi pagi, saat aku terburu-buru meninggalkan kamar pria asing itu. Aku asal meraih ponsel di nakas tanpa memeriksa dulu. Betapa cerobohnya aku!
Layar itu terkunci sehingga aku tidak bisa langsung mengakses kontak di dalamnya. Aku harus segera menukarnya kembali. Aku pun memutuskan untuk kembali ke hotel, namun di tengah perjalanan, tiba-tiba ponsel itu berdering.
Layar terkunci itu menampilkan notifikasi panggilan masuk, dan nomorku sendiri tertera di sana. Mungkin saja pria asing itu mencoba menghubungiku menggunakan ponselku. Dengan sedikit ragu, aku akhirnya mengangkat panggilan itu.
"Halo?" kataku, suaraku bergetar karena gugup.
Di seberang sana, suara pria itu terdengar tegas. "Sepertinya ponsel kita tertukar."
Aku terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian sebelum berkata. "Maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Aku akan kembali ke hotel untuk menukarnya."
"Aku sudah tidak lagi di sana." Suaranya tenang, tapi ada nada otoratif di dalamnya. "Aku sedang berada di perkebunan wine di Santa Ynez Valley. Kau bisa menyusul ke sini."
Aku mengerutkan kening. Santa Ynez Valley?
Aku memang tidak terlalu familiar dengan area sekitar Santa Barbara, tapi yang kutahu daerah ini memang terkenal dengan perkebunan anggurnya.
"Tunggu sebentar," potongku cepat.
Aku merogoh tas, mencari sesuatu, lalu menarik keluar pena dan kertas kecil. "Oke, sekarang katakan lokasinya."
Dia menyebutkan alamatnya dengan jelas dan aku mencatatnya dengan cepat. Setelahnya, aku menarik napas dalam, membaca ulang catatanku untuk memastikan semuanya benar.
"Aku akan segera ke sana," kataku akhirnya.
Tanpa menjawab, pria itu langsung menutup telepon. Aku berniat untuk menghindari pertemuan dengan pria asing itu. Sayangnya, aku tidak punya pilihan lain.
Aku akhirnya memutar kemudi menuju Santa Ynez Valley. Perjalanan dari Stearns Wharf ke sana memakan waktu hampir empat puluh lima menit.
Setibanya di perkebunan anggur yang dimaksud, aku melihat deretan pohon anggur yang tertata rapi. Sebuah bangunan berdiri megah di tengah area, dengan teras luas dan jendela besar yang menghadap ladang anggur.
Aku melangkah keluar dari mobil, mengedarkan pandangan. Bagaimana aku bisa menemukan pria itu di tempat sebesar ini?
Tiba-tiba, seorang pria muda dengan jas rapi mendekat.
Aku menegang.
Apakah dia pria asing yang semalam membawaku ke kamarnya?
Pria itu berhenti di depanku dengan ekspresi tenang dan profesional. Matanya sekilas menatap ponsel di tanganku sebelum akhirnya berbicara.
"Saya datang untuk mengambil ponsel itu."
Nada suaranya datar, nyaris tanpa emosi.
Aku mengangguk, buru-buru menyerahkan ponsel tersebut. "Ah, iya. Aku datang untuk mengembalikannya."
Sebagai gantinya, dia menyodorkan ponselku. "Terima kasih. Saya yakin ini cukup merepotkan Anda," katanya.
Aku menerima ponselku kembali sambil menghela napas. "Maaf soal ini. Saya benar-benar tidak sengaja. Untuk kejadian semalam, aku yang sempat muntah..."
Sebelum aku melanjutkan kalimatku, pria itu memotong. "Saya bukan orang yang Anda temui semalam."
Aku terdiam, keningku berkerut. "Apa?"
"Saya hanya asisten pribadinya," katanya, dengan nada formal. "Mr. Carter sedang menyelesaikan urusan di sini. Saya diminta untuk mengambil ponselnya."
Aku membeku.
Carter?
POV AaronLyla melangkah lebih dekat, matanya masih menatap ke arah koridor, seolah ingin memastikan benar-benar tidak ada orang di sana.Aku meraih pergelangan tangannya, menariknya perlahan sampai tatapannya kembali padaku."Aku akan datang ke pesta itu," kataku, mencoba mengalihkan perhatiannya.Sudut bibir Lyla perlahan terangkat membentuk senyuman. "Kau serius?"Aku mengangguk kecil, menyelipkan satu tanganku ke saku celana. "Ya."Senyumnya melebar. "Akhirnya."Aku memberi isyarat dengan dagu ke arah sofa. "Duduklah."Dia sempat menatapku sebelum berjalan pelan ke sofa dan duduk. Sementara, aku menuju ke meja bar kecil."Kau mau minum?" tanyaku."Air putih saja," jawabnya.Aku mengambil dua botol air dari pendingin, membuka tutupnya, lalu menuangkannya ke dua gelas. Suara gelembung kecil naik dari dasar gelas, satu-satunya suara yang terdengar di ruangan.Aku meleta
POV AngelaDia berhenti di tengah langkah. Perlahan, dia berbalik. Tatapannya gelap dan dingin. Lalu dia mulai berjalan ke arahku — langkahnya pelan, mantap, tapi tiap langkah seperti memadatkan udara di antara kami.Aku mundur satu langkah tanpa sadar, tapi dia terus maju sampai jarak di antara kami nyaris hilang.Tangannya terulur, jari-jarinya mencengkeram rahangku, keras tapi terkendali."Aku terlihat lelah, hah?" suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. "Jangan coba-coba menganalisis aku. Kau tidak tahu apa-apa tentang rasa sakitku."Dia mendekat. Suaranya turun jadi bisikan di telingaku. "Justru rasa sakit ini menjadi alasan aku untuk terus hidup."Jantungku berdetak cepat. "Aku tahu aku melukaimu," bisikku.Aaron tertawa pendek — tanpa humor, tanpa rasa. "Melukaiku?" katanya pelan. "Kau menghancurkanku, Angela.""Ya, aku tahu," suaraku nyaris bergetar, tapi aku tetap menatap matanya. "
POV AngelaTunggu... Apa?Mataku bergerak cepat menelusuri layar.Sudah kuduga. Dia tidak kelihatan seperti tipe begitu. Rekaman CCTV membuktikannya.Foto-foto itu palsu. Diedit.Edward Kane yang seharusnya minta maaf.Maaf sudah menilaimu.Dia tidak pantas diperlakukan begitu.Jangan menyerah, Angela.Aku menggulir lebih cepat, jantungku berdegup kencang. Semua postingan isinya sama. Dukungan. Simpati. Kepercayaan."Apa-apaan ini..." bisikku.Aku mengetuk salah satu tautan berita yang memenuhi inbox-ku. Judulnya langsung menohok mataku."Bukti Baru Membersihkan Nama Angela Jones — Rekaman CCTV Membuktikan Tidak Ada Perselingkuhan."Artikel itu menjelaskan semuanya — rekaman restoran, sudut kamera, dan bagaimana "ciuman" itu sebenarnya hanya saat Edward mencondongkan tubuh untuk mengambil gelas. Satu detik, satu
POV AngelaKata-kata itu masih bergema di kepalaku. "Kau ada di sini karena izinku. Bukan karena kau berarti."Sialan dia. Benar-benar dingin dan tak berperasaan.Aaron keluar begitu saja dari mobil tanpa menoleh. Aku turun beberapa detik kemudian, membanting pintu sedikit lebih keras. Garasinya bersih tanpa cela — lantai beton mengilap, semuanya tertata rapi. Tiga mobil berjejer seperti pajangan di pameran.Dia berjalan di depan tanpa peduli apakah aku mengikutinya atau tidak.Pintu samping langsung mengarah ke dalam rumah. Begitu aku melangkah masuk, langkahku terhenti.Tempat itu tampak seperti halaman depan majalah arsitektur. Dinding kaca dari lantai ke langit-langit, garis-garis tajam, tanpa sedikit pun sentuhan pribadi. Tak ada foto, tak ada barang kecil yang menunjukkan siapa pemiliknya. Tempat itu terasa seperti dirinya. Dingin, terkontrol, dan tak tersentuh."Berapa lama kau mau berdiri di situ?
POV AaronAku melirik ke bawah, pada tangan Angela yang masih menempel di lenganku."Lepaskan," kataku datar.Dia ragu sejenak, lalu perlahan melepaskan genggaman. Tangannya turun, tapi matanya tetap menatapku. "Kau berdarah."Aku menatap garis merah di buku jariku, sisa dari perkelahian tadi."Kau mungkin harus mengobatinya," katanya.Aku menatapnya dingin. "Jangan berpura-pura peduli, Angela.""Aku tidak berpura-pura," sahutnya. "Hanya mengatakan apa yang kulihat.""Aku tahu cara mengurus diriku sendiri."Dia tidak berkedip. "Oke, kalau begitu. Tapi bukan berarti kau harus berdarah buat membuktikannya.""Kau bicara terlalu banyak untuk seseorang yang seharusnya tidak ikut campur urusanku."Tatapannya tak bergeser. "Aku hanya memperhatikan apa yang terjadi di sekitarku. Bukan berarti aku ikut campur. Aku akan melakukan hal yang sama untuk siapa saja, bukan cuma untukmu."Itu
POV AaronAku memelintir pergelangan tangan Bennett sampai uratnya menonjol di bawah kulit. Dia meraung, keras dan serak, tapi aku tidak mengendurkan cengkeramanku, justru semakin menguatkannya.Wajahnya menegang, rahangnya mengeras, tapi matanya masih menyimpan kesombongan. "Kau pikir kau cukup besar buat menantangku, Carter?" desisnya tajam, napas tersengal menahan sakit.Aku menatapnya datar. Suaraku tenang dan dingin. "Kau pikir nama Bennett membuatmu kebal? Nama keluargamu mungkin berarti sesuatu di atas kertas. Tapi kau tidak lebih dari bajingan pengecut yang hidup dari nama itu."Lalu aku melepaskannya dengan satu hentakan cepat. Dia terhuyung ke belakang, wajahnya memerah menahan amarah.Aku menoleh ke arah Angela yang masih terpaku di dekat pagar paddock. "Masuk mobil," kataku datar.Dia sempat ragu sepersekian detik, tapi akhirnya menurut. Pintu mobil tertutup di belakangnya, meninggalkan aku berdua dengan Bennett







