LOGINPOV Angela
Aku tidak menyangka akan tertangkap seperti ini.
Tatapan Aaron tetap tertuju padaku. Tidak terkejut. Tidak juga marah. Justru itu yang membuat dadaku menegang.
"Aaron..."
"Kau dengar telepon itu?" tanyaku.
"Pembacaan naskah hari senin?" jawabnya datar, suaranya sedikit serak, tapi tetap tegas.
Aku menghela napas pelan. "Aku tidak berniat menyembunyikannya."
"Tapi kau melakukannya," katanya. Sebuah batuk tipis lolos dari bibirnya, cepat dan singkat. Dia menutup mulutnya dengan kepalan tangan, lalu menatapku kembali. "Setelah aku memperingatkan apa yang akan terjadi jika kau berbohong padaku lagi."
"Aku tidak berbohong," kataku. "Aku hanya menunda untuk mengatakannya padamu."
Matanya tetap menatap tajam padaku. "Itu tetap bohong."
"Tidak," kataku pelan. "Aku mencoba mencari cara menyampaikannya tanpa memulai pertengkaran."
Aku memejamkan mataku sebentar.
“
POV AngelaAku menatap layar. Nama Aaron masih menyala di sana. Ibu jariku menggantung di atasnya.Aku memutuskan untuk tidak mengangkat telepon itu hingga dering itu berhenti dengan sendirinya.Aku menghela napas perlahan, tidak yakin apa yang akan dilakukan Aaron karena aku mengabaikannya seperti ini.Aku menyalakan mesin dan terus mengemudi, tanpa tujuan.Ponselku berdering lagi.Aku mengeluarkannya dari tas dan melihat namanya muncul untuk kedua kalinya.Kali ini tanpa ragu, aku langsung menekan tolak.Layar menjadi gelap.Cengkeramanku di setir mengencang. Aku bahkan tidak tahu ke mana tujuanku sekarang.Tanpa benar-benar merencanakannya, aku berbelok.Beberapa menit kemudian, rumah ayahku muncul di ujung jalan.Aku memarkir mobil di tepi jalan dan duduk diam sejenak, menatap pintu depan. Rumah itu tampak sama seperti biasanya. Bersih. Rapi. Tak ada yang berubah.Aku tur
POV AngelaAku tidak menyangka akan tertangkap seperti ini.Tatapan Aaron tetap tertuju padaku. Tidak terkejut. Tidak juga marah. Justru itu yang membuat dadaku menegang."Aaron...""Kau dengar telepon itu?" tanyaku."Pembacaan naskah hari senin?" jawabnya datar, suaranya sedikit serak, tapi tetap tegas.Aku menghela napas pelan. "Aku tidak berniat menyembunyikannya.""Tapi kau melakukannya," katanya. Sebuah batuk tipis lolos dari bibirnya, cepat dan singkat. Dia menutup mulutnya dengan kepalan tangan, lalu menatapku kembali. "Setelah aku memperingatkan apa yang akan terjadi jika kau berbohong padaku lagi.""Aku tidak berbohong," kataku. "Aku hanya menunda untuk mengatakannya padamu."Matanya tetap menatap tajam padaku. "Itu tetap bohong.""Tidak," kataku pelan. "Aku mencoba mencari cara menyampaikannya tanpa memulai pertengkaran."Aku memejamkan mataku sebentar.“
POV AaronAku juga teringat pertanyaannya tentang ayahnya tadi sambil menatap wajahnya yang terlelap. Benar. Akulah yang membantu ayahnya mendapatkan pekerjaan di perusahaanku. Aku tidak punya alasan yang masuk akal. Aku hanya melakukannya.Kelopak matanya bergerak tiba-tiba. Lalu perlahan, dia membuka mata. Ada jeda singkat sebelum kesadarannya benar-benar kembali. Matanya menyipit, fokusnya terkunci ke wajahku.Dia menggeser tubuhnya, duduk, lalu mengucek mata dengan punggung tangannya.“Kerjaanmu sudah selesai?” suaranya serak, masih setengah mengantuk.Aku tidak menjawab.Dia menoleh ke sekeliling kamar. “Kau membawaku ke sini?”Tetap tidak ada jawabanku.Dia merogoh ponselnya dari saku celana. Cahaya ponsel memantul ke wajahnya.“Jam berapa ini?” gumamnya pelan.Aku berbalik, berniat meninggalkannya. Tapi jarinya langsung menahan pergelangan tanganku.
POV AaronAku tertawa pelan—pendek dan datar. “Jangan mulai.”Dia membuka mulut, tapi aku sudah menyela. “Kalau kau tidak punya hal lain untuk dibicarakan, keluar.” Suaraku dingin, tanpa ruang untuk negosiasi. “Aku punya pekerjaan yang harus diselesaikan.”Angela tidak bergerak.Entah keras kepala… atau bodoh.“Aku bilang keluar,” ulangku, lebih tajam. "Aku tidak butuh penonton.”Bukannya pergi, dia malah melangkah melewati mejaku dan duduk di sofa kulit di sudut ruangan.Aku mendesis pendek. “Angela.”“Aku tidak akan pergi,” katanya tanpa melihatku. “Sebelum kau berhenti bekerja dan pergi istirahat.”Aku menatapnya lama. Sangat lama. Sampai rahangku mengeras.“Jangan bertingkah seolah kau punya urusan dengan kondisiku,” gumamku, suara rendah dan kasar.Dia mengangkat wajah, akhirny
POV AngelaAku mendongak.Dad berdiri di sana dengan kemeja kerjanya yang sederhana. Garis kerutan di wajahnya terlihat bertambah dibanding terakhir kali kulihat.“Dad…” bisikku.Dia tersenyum tipis. "Aku gak terlambat, kan?”Aku menggeleng cepat. “Tidak. Aku juga baru datang.”Dia duduk di depanku. "Kau sudah pesan?"“Belum. Aku menunggu Dad.”Dia memanggil pelayan dan kami memesan kopi masing-masing. Setelah pelayan pergi, hening kembali menyelimuti. Bukan hening yang dingin, tapi canggung, seperti dua orang yang tidak tahu harus mulai dari mana.Dad membuka pembicaraan duluan.“Aku senang kau datang," katanya. “Sudah lama."“Aku juga senang kita ketemu.”Dia mengangguk pelan, lalu menautkan jemarinya di atas meja. "Angela… kau benar-benar baik-baik saja?”"Aku baik-baik saja," jawabku cepat. Su
POV AngelaSuara itu membuat tengkukku merinding. Aku langsung mengenalinya bahkan sebelum aku berbalik.Pelan-pelan aku menoleh.Dan di sana, bersandar di dinding dengan tangan terlipat, berdiri wanita yang paling tidak ingin kulihat hari ini.Evelyn Ross.Wajahnya masih sama seperti dulu di sekolah—cantik, berbahaya, mata tajam, senyum yang tidak pernah benar-benar hangat. Tapi kini dia lebih dewasa, lebih mahal.Dia memindaiku dari ujung rambut sampai ujung sepatu dengan senyum sinisnya yang naik sedikit."Yah, lihat siapa yang muncul. Tidak kusangka bakal melihatmu masuk ruangan yang sama denganku lagi."Aku menelan ludah. “Apa yang kau lakukan di sini?”Dia mengangkat sebelah alis. "Tenanglah. Aku bukan datang untukmu," nada suaranya datar tapi sedikit menusuk. "Aku di sini untuk audisi, sama seperti kau.”Dia mengayunkan naskah di tangannya. "Proyek kecil. Aku kenal







