Home / Romansa / Perangkap Dendam Tuan Miliarder / Seratus Lima Puluh Ribu Dolar

Share

Seratus Lima Puluh Ribu Dolar

Author: Von Hsu
last update Last Updated: 2025-10-01 13:00:00

POV Angela

"Aku sudah di rumah," kataku.

"Aku sudah menghubungimu puluhan kali," suara Beth terdengar cepat dan tajam di ujung telepon. "Kau sadar situasi kita sekarang?"

Aku memejamkan mata, memijat pelipis. "Aku butuh waktu, Beth. Sedikit ruang untuk bernapas."

"Bernapas? Ini bukan waktunya, Angela," suaranya berubah serius. "Kita sedang berada dalam krisis. Krisis yang bisa menghancurkanmu!"

Aku menarik napas dalam. Diam. Tak tahu harus berkata apa. 

"Film ini baru rilis tiga hari. Tapi yang menjadi headline bukan aktingmu, melainkan foto bodoh itu. Skandal ini menyeret semua kerja keras kita ke lubang."

"Rating film kita jatuh. Salah satu kritikus bahkan menulis kalau film itu lebih cocok dibintangi oleh aktris profesional, bukan... wanita simpanan. Dan kalimat itu langsung viral di forum-forum industri."

Kata-kata itu menghantam keras. Aku bukan simpanan siapa pun, tapi publik sudah memutuskan versinya sendiri.

"Beth, aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Edward. Itu hanya foto yang disalahartikan," kataku pelan, nyaris putus asa. 

"Angela, dengar aku baik-baik," suara Beth menjadi lebih pelan. "Mereka tidak peduli tentang kebenaran. Mereka peduli tentang citramu. Dan citramu sekarang... berantakan."

Aku bisa mendengar napasnya di ujung telepon sebelum kalimat berikutnya menghantam.

"Kita bukan dari agensi besar. Kita tidak punya investor kuat yang bisa menutupi semua ini. Dan lebih parahnya lagi... agensi sudah mengambil keputusan."

Aku menegang. "Keputusan apa?"

"Mereka memutuskan untuk mengeluarkanmu, Angela."

Jantungku seperti berhenti sejenak. "Tunggu. Maksudmu... aku dikeluarkan?"

"Ya," jawabnya tegas. "Agensi kita ditekan habis-habisan. Direktur casting yang kita incar minggu depan sudah mundur. Pihak sponsor juga mulai menarik diri. Agensi tidak mau ambil risiko lebih besar. Dan sesuai klausul, kau tetap harus membayar penalti."

"Berapa?" tanyaku lirih, suaraku tercekat. 

"Sekitar seratus lima puluh ribu dolar."

Aku membeku. Angka itu terasa seperti jerat di leherku. 

"Itu termasuk penalti pelanggaran kontrak dan ganti rugi promosi yang gagal karena sponsor mundur sebelum kampanye selesai," lanjut Beth. 

"Beth... aku tidak memiliki uang sebanyak itu. Aku bahkan belum menerima sisa pembayaran honor finalku."

"Studio menahan pembayarannya karena kontrak mereka memungkinkan untuk menahan pembayaran kalau terjadi kerusakan reputasi sebelum promosi selesai. Apalagi sekarang rating film jatuh drastis," kata Beth. 

Aku menunduk, menatap kosong ke lantai. "Tapi ini semua cuma berdasarkan beberapa foto yang tidak benar. Tidak ada bukti apa pun."

"Angela," suara Beth terdengar berat, tapi nadanya tetap tegas. "Mereka tidak peduli itu benar atau tidak. Mereka cuma tidak mau ambil risiko. Dan barusan... email pemutusan kontraknya sudah masuk ke inbox-mu."

Tanganku melemah. Aku masih memegang ponsel, tapi rasanya tidak nyata lagi. Kata-kata Beth terus terngiang di kepalaku. Direktur casting yang mundur, pihak sponsor yang mulai menarik diri, agensi yang menghentikan kerja sama. 

Semua mimpiku, semua yang kubangun, runtuh begitu saja. 

Apa ini mungkin ada hubungannya dengan Aaron lagi? Satu skandal saja tetapi semua pihak tidak mau terlibat lagi denganku. Jika benar, dia berhasil. Dia menjatuhkanku saat aku hampir berhasil meraih mimpiku.

Aku membiarkan ponselku terlepas ke sofa. Duniaku serasa ikut jatuh bersamanya. 

Seratus lima puluh ribu dolar. Honor yang tertahan. Karir yang bisa kukatakan... musnah. 

Aku bukan artis besar. Aku belum punya tabungan, belum punya kontrak lanjutan, bahkan belum sempat menikmati hasil kerja kerasku. Jadi, dari mana aku bisa memiliki uang sebanyak itu? Semua perjuanganku lenyap. Bukan karena kesalahanku. Tapi karena dunia memutuskan aku bersalah. 

Mataku mulai panas, tapi aku menahan air mataku. Kelelahan, rasa malu, dan ketakutan menumpuk seperti beban di dadaku. 

***

Keesokan pagi, aku terbangun di sofa dengan punggung pegal dan kepala yang berat. 

Aku tak ingat kapan tertidur. Mungkin setelah menatap kosong langit-langit terlalu lama.

Sebelum aku mengumpulkan kesadaranku, aku meraih ponselku. Jam sudah lewat pukul delapan pagi. 

Tanpa pikir panjang, aku membuka email. Mataku langsung mencari satu hal, pemutusan kontrak yang Beth sebutkan semalam. Kujelajahi isi email, mencari detail yang membuat kepalaku semakin berat.

Ditempatkan di bagian akhir paragraf keempat, kalimat itu terasa vonis. Tenggat waktu pembayaran penalti : tujuh hari kerja.

Tujuh hari?

Mataku terpaku di layar, membacanya berulang kali. Tubuhku terhempas ke sandaran sofa. 

Nominal seratus lima puluh ribu dolar terus berputar di benakku. Angka yang terasa sangat menyesakkan untukku. 

Aku terduduk lama, menatap langit-langit apartemen kecilku. Udara terasa pengap. Rasanya semua dinding merapat ke arahku, menghimpit. 

Aku butuh uang. Cepat. Banyak. Dan aku hanya punya tujuh hari. 

Aku melangkah ke lemari. Menatap deretan tas branded yang dulu kukumpulkan dari kerja sama endorsement kecil-kecilan, dari pemotretan, dari momen-momen saat aku masih dianggap 'bintang baru yang menjanjikan'... semua kini hanya simbol dari sesuatu yang sudah mati. Apakah aku akan bisa bangkit lagi setelah semua ini? Entahlah. 

Aku mulai memotret satu per satu dan mulai mengunggahnya ke situs penjualan barang bekas. 

Aku mencantumkan deskripsi yang jujur. 

"Kondisi sangat baik. Pemakaian hanya sekali. Barang dari kerja sama endorsement."

Tapi saat kuselesaikan unggahan terakhir, aku sadar, ini tidak akan cukup. 

Kalaupun semua laku, nilainya tak akan menutup angka seratus lima puluh ribu dalam tujuh hari. 

Mataku akhirnya melirik ke tab browser. Dan di sana, salah satu iklan muncul, situs yang menawarkan "Companionship Service."

Pacar Sewaan. 

Aku membaca deskripsinya. 

"Jadilah pendamping untuk semalam. Tidak ada tuntutan fisik. Kau yang menentukan batasannya. Hanya kencan makan malam, acara privat, atau menemani dalam acara sosial saja."

Aku menatap layar. Tanganku gatal ingin menutup. Tapi, aku terus membaca testimonial dari pengguna yang mengklaim mendapat dua ribu dolar dalam semalam hanya untuk menemani dinner seorang kolektor seni. 

Ada juga cerita tentang seorang mantan model yang diminta menemani seorang pengusaha ke gala amal dengan bayaran fantastis hanya untuk tampil dan bicara seperlunya. 

Aku akhirnya mulai mengisi formulir pendaftaran. Kupilih fotoku yang paling sederhana tapi tetap menawan. Kutambahkan portofolio kecil. Kutulis syarat jelas : Tidak ada layanan seksual. Tidak menginap.

Ponselku bergetar dua jam kemudian. 

Permintaan pertama masuk. 

Nama klien : Ronald. 

Durasi permintaan : Pesta private. 

Catatan : Menginginkan pendamping profesional, mampu berbicara dengan percaya diri. Tidak ada permintaan khusus soal fisik. 

Bayaran : $2.500.

Aku menatap layar itu cukup lama. 

Jantungku berdetak lebih cepat. Takut. Tapi juga... harapan? 

Accept. 

Klik.

Aku akhirnya menerima permintaan itu setelah menimbang cukup lama. 

***

Malam harinya, aku akhirnya tiba di hotel mewah. Di meja depan, seorang resepsionis dengan senyum ramah menyapa, "Selamat malam, Nona. Bagaimana kami bisa membantu Anda?"

"Saya ada jadwal untuk acara pribadi malam ini."

Dengan cekatan, resepsionis itu memverifikasi undanganku di ponsel dan memberikan akses ke ruang acara di lantai atas. 

Saat memasuki lift menuju lantai atas, aku bisa merasakan kegelisahan di hati. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi malam ini, tapi aku tidak punya pilihan. Aku harus menyelesaikan malam ini dengan baik, dapatkan bayaran, dan keluar tanpa masalah. 

Lift berhenti di lantai rooftop, dan aku melangkah keluar dengan jantung yang berdetak kencang. Suara musik memadu dengan gelak tawa tamu berpakaian glamor.

Aku menahan napas, menatap gaun satin biru tua yang kupakai, dan menyesuaikan anting-anting mutiara palsu di telingaku.

"Angela Jones?" seseorang menepuk bahuku membuatku berbalik seketika. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Badai Dalam Diam (POV Aaron)

    POV AaronLyla melangkah lebih dekat, matanya masih menatap ke arah koridor, seolah ingin memastikan benar-benar tidak ada orang di sana.Aku meraih pergelangan tangannya, menariknya perlahan sampai tatapannya kembali padaku."Aku akan datang ke pesta itu," kataku, mencoba mengalihkan perhatiannya.Sudut bibir Lyla perlahan terangkat membentuk senyuman. "Kau serius?"Aku mengangguk kecil, menyelipkan satu tanganku ke saku celana. "Ya."Senyumnya melebar. "Akhirnya."Aku memberi isyarat dengan dagu ke arah sofa. "Duduklah."Dia sempat menatapku sebelum berjalan pelan ke sofa dan duduk. Sementara, aku menuju ke meja bar kecil."Kau mau minum?" tanyaku."Air putih saja," jawabnya.Aku mengambil dua botol air dari pendingin, membuka tutupnya, lalu menuangkannya ke dua gelas. Suara gelembung kecil naik dari dasar gelas, satu-satunya suara yang terdengar di ruangan.Aku meleta

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Terlambat untuk Meminta Maaf

    POV AngelaDia berhenti di tengah langkah. Perlahan, dia berbalik. Tatapannya gelap dan dingin. Lalu dia mulai berjalan ke arahku — langkahnya pelan, mantap, tapi tiap langkah seperti memadatkan udara di antara kami.Aku mundur satu langkah tanpa sadar, tapi dia terus maju sampai jarak di antara kami nyaris hilang.Tangannya terulur, jari-jarinya mencengkeram rahangku, keras tapi terkendali."Aku terlihat lelah, hah?" suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. "Jangan coba-coba menganalisis aku. Kau tidak tahu apa-apa tentang rasa sakitku."Dia mendekat. Suaranya turun jadi bisikan di telingaku. "Justru rasa sakit ini menjadi alasan aku untuk terus hidup."Jantungku berdetak cepat. "Aku tahu aku melukaimu," bisikku.Aaron tertawa pendek — tanpa humor, tanpa rasa. "Melukaiku?" katanya pelan. "Kau menghancurkanku, Angela.""Ya, aku tahu," suaraku nyaris bergetar, tapi aku tetap menatap matanya. "

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Saat Kebenaran Berpihak Kembali

    POV AngelaTunggu... Apa?Mataku bergerak cepat menelusuri layar.Sudah kuduga. Dia tidak kelihatan seperti tipe begitu. Rekaman CCTV membuktikannya.Foto-foto itu palsu. Diedit.Edward Kane yang seharusnya minta maaf.Maaf sudah menilaimu.Dia tidak pantas diperlakukan begitu.Jangan menyerah, Angela.Aku menggulir lebih cepat, jantungku berdegup kencang. Semua postingan isinya sama. Dukungan. Simpati. Kepercayaan."Apa-apaan ini..." bisikku.Aku mengetuk salah satu tautan berita yang memenuhi inbox-ku. Judulnya langsung menohok mataku."Bukti Baru Membersihkan Nama Angela Jones — Rekaman CCTV Membuktikan Tidak Ada Perselingkuhan."Artikel itu menjelaskan semuanya — rekaman restoran, sudut kamera, dan bagaimana "ciuman" itu sebenarnya hanya saat Edward mencondongkan tubuh untuk mengambil gelas. Satu detik, satu

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Kata Baik Pertama

    POV AngelaKata-kata itu masih bergema di kepalaku. "Kau ada di sini karena izinku. Bukan karena kau berarti."Sialan dia. Benar-benar dingin dan tak berperasaan.Aaron keluar begitu saja dari mobil tanpa menoleh. Aku turun beberapa detik kemudian, membanting pintu sedikit lebih keras. Garasinya bersih tanpa cela — lantai beton mengilap, semuanya tertata rapi. Tiga mobil berjejer seperti pajangan di pameran.Dia berjalan di depan tanpa peduli apakah aku mengikutinya atau tidak.Pintu samping langsung mengarah ke dalam rumah. Begitu aku melangkah masuk, langkahku terhenti.Tempat itu tampak seperti halaman depan majalah arsitektur. Dinding kaca dari lantai ke langit-langit, garis-garis tajam, tanpa sedikit pun sentuhan pribadi. Tak ada foto, tak ada barang kecil yang menunjukkan siapa pemiliknya. Tempat itu terasa seperti dirinya. Dingin, terkontrol, dan tak tersentuh."Berapa lama kau mau berdiri di situ?

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Bertindaklah Sesuai Peranmu (POV Aaron)

    POV AaronAku melirik ke bawah, pada tangan Angela yang masih menempel di lenganku."Lepaskan," kataku datar.Dia ragu sejenak, lalu perlahan melepaskan genggaman. Tangannya turun, tapi matanya tetap menatapku. "Kau berdarah."Aku menatap garis merah di buku jariku, sisa dari perkelahian tadi."Kau mungkin harus mengobatinya," katanya.Aku menatapnya dingin. "Jangan berpura-pura peduli, Angela.""Aku tidak berpura-pura," sahutnya. "Hanya mengatakan apa yang kulihat.""Aku tahu cara mengurus diriku sendiri."Dia tidak berkedip. "Oke, kalau begitu. Tapi bukan berarti kau harus berdarah buat membuktikannya.""Kau bicara terlalu banyak untuk seseorang yang seharusnya tidak ikut campur urusanku."Tatapannya tak bergeser. "Aku hanya memperhatikan apa yang terjadi di sekitarku. Bukan berarti aku ikut campur. Aku akan melakukan hal yang sama untuk siapa saja, bukan cuma untukmu."Itu

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Luka yang Mengikat (POV Aaron)

    POV AaronAku memelintir pergelangan tangan Bennett sampai uratnya menonjol di bawah kulit. Dia meraung, keras dan serak, tapi aku tidak mengendurkan cengkeramanku, justru semakin menguatkannya.Wajahnya menegang, rahangnya mengeras, tapi matanya masih menyimpan kesombongan. "Kau pikir kau cukup besar buat menantangku, Carter?" desisnya tajam, napas tersengal menahan sakit.Aku menatapnya datar. Suaraku tenang dan dingin. "Kau pikir nama Bennett membuatmu kebal? Nama keluargamu mungkin berarti sesuatu di atas kertas. Tapi kau tidak lebih dari bajingan pengecut yang hidup dari nama itu."Lalu aku melepaskannya dengan satu hentakan cepat. Dia terhuyung ke belakang, wajahnya memerah menahan amarah.Aku menoleh ke arah Angela yang masih terpaku di dekat pagar paddock. "Masuk mobil," kataku datar.Dia sempat ragu sepersekian detik, tapi akhirnya menurut. Pintu mobil tertutup di belakangnya, meninggalkan aku berdua dengan Bennett

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status