MasukPOV Angela
Aku melangkah pelan ke sisi ranjang, menahan napas seperti sedikit suara saja bisa membangunkannya. Aaron tiba-tiba bergerak — pelan, berat, bergeser dari posisi tengkurap ke miring sampai setengah tubuhnya jatuh ke arahku.
Dan saat itulah aku melihatnya.
Cahaya lampu samping ranjang menyorot sisi tubuhnya. Ada bekas luka panjang di sana, tepat di sisi kiri perutnya. Warnanya pucat keperakan. Bukan luka kecil. Ini luka dalam — luka yang butuh lebih dari sekedar jahitan untuk menyelamatkan nyawa.
Aku terpaku. Selama ini, aku tidak pernah benar-benar memperhatikannya. Bahkan tidak pernah membayangkan sesuatu seperti itu ada di tubuhnya.
Aku menatap bekas luka itu lama. Jari-jariku hampir terulur sebelum kutarik kembali. Rasanya seperti aku sedang melihat bagian dari dirinya yang tidak pernah dia biarkan siapa pun lihat — sebagian besar hidupnya yang dia sembunyikan.
Dan tiba-tiba ucapa
POV AaronAku tertawa pelan—pendek dan datar. “Jangan mulai.”Dia membuka mulut, tapi aku sudah menyela. “Kalau kau tidak punya hal lain untuk dibicarakan, keluar.” Suaraku dingin, tanpa ruang untuk negosiasi. “Aku punya pekerjaan yang harus diselesaikan.”Angela tidak bergerak.Entah keras kepala… atau bodoh.“Aku bilang keluar,” ulangku, lebih tajam. "Aku tidak butuh penonton.”Bukannya pergi, dia malah melangkah melewati mejaku dan duduk di sofa kulit di sudut ruangan.Aku mendesis pendek. “Angela.”“Aku tidak akan pergi,” katanya tanpa melihatku. “Sebelum kau berhenti bekerja dan pergi istirahat.”Aku menatapnya lama. Sangat lama. Sampai rahangku mengeras.“Jangan bertingkah seolah kau punya urusan dengan kondisiku,” gumamku, suara rendah dan kasar.Dia mengangkat wajah, akhirny
POV AngelaAku mendongak.Dad berdiri di sana dengan kemeja kerjanya yang sederhana. Garis kerutan di wajahnya terlihat bertambah dibanding terakhir kali kulihat.“Dad…” bisikku.Dia tersenyum tipis. "Aku gak terlambat, kan?”Aku menggeleng cepat. “Tidak. Aku juga baru datang.”Dia duduk di depanku. "Kau sudah pesan?"“Belum. Aku menunggu Dad.”Dia memanggil pelayan dan kami memesan kopi masing-masing. Setelah pelayan pergi, hening kembali menyelimuti. Bukan hening yang dingin, tapi canggung, seperti dua orang yang tidak tahu harus mulai dari mana.Dad membuka pembicaraan duluan.“Aku senang kau datang," katanya. “Sudah lama."“Aku juga senang kita ketemu.”Dia mengangguk pelan, lalu menautkan jemarinya di atas meja. "Angela… kau benar-benar baik-baik saja?”"Aku baik-baik saja," jawabku cepat. Su
POV AngelaSuara itu membuat tengkukku merinding. Aku langsung mengenalinya bahkan sebelum aku berbalik.Pelan-pelan aku menoleh.Dan di sana, bersandar di dinding dengan tangan terlipat, berdiri wanita yang paling tidak ingin kulihat hari ini.Evelyn Ross.Wajahnya masih sama seperti dulu di sekolah—cantik, berbahaya, mata tajam, senyum yang tidak pernah benar-benar hangat. Tapi kini dia lebih dewasa, lebih mahal.Dia memindaiku dari ujung rambut sampai ujung sepatu dengan senyum sinisnya yang naik sedikit."Yah, lihat siapa yang muncul. Tidak kusangka bakal melihatmu masuk ruangan yang sama denganku lagi."Aku menelan ludah. “Apa yang kau lakukan di sini?”Dia mengangkat sebelah alis. "Tenanglah. Aku bukan datang untukmu," nada suaranya datar tapi sedikit menusuk. "Aku di sini untuk audisi, sama seperti kau.”Dia mengayunkan naskah di tangannya. "Proyek kecil. Aku kenal
POV AngelaLangkah kaki itu semakin mendekat. Aku menahan napas, tubuhku otomatis menegang. Tapi begitu sosok pria berjas hitam dan rapi muncul, napasku langsung jatuh lega.Itu cuma asisten Aaron. Darren."Miss Jones?" suaranya rendah dan sopan.Aku mengusap wajahku cepat. "Tuhan, aku kira..." Aku menggigit bibir, menghentikan kalimat itu sebelum nama itu keluar.Dia tidak bertanya. Tidak menatap terlalu lama."Tuan Carter meminta saya mengantarkan beberapa barang milik Anda."Dia mengangkat dua tas travel dan meletakkannya di hadapanku."Ada beberapa pakaian yang Anda tinggalkan di Malibu. Dan..." Dia mengulurkan sesuatu yang berkilat. "Kunci mobil Anda."Aku terpaku sejenak. Aku memang meninggalkan mobilku di Malibu karena mesinnya yang tak mau hidup hari itu."Mobil Anda sudah diperbaiki," katanya, seolah menjawab pertanyaanku sebelum aku sempat bertanya.
POV AngelaAaron menarik napas tipis, rahangnya mengeras. "Apa pun yang kubilang semalam — lupakan."Begitu saja. Lupakan.Seolah suara seraknya, rasa sakit yang lolos dari bibirnya, semua cuma angin lalu.Aku menatapnya, tak berkedip. "Bagaimana kalau aku tidak bisa melupakannya?" tanyaku, pelan tapi jelas.Tatapan Aaron langsung berubah. Mata itu naik menatapku penuh, dingin, dan tajam. Dalam sekejap, dinding itu kembali berdiri, tebal, tinggi, dan tak tersentuh."Apa maksudmu?" katanya datar, tapi nada peringatannya tajam.Aku menelan ludah, memaksa diriku tetap tegak. "Aaron... semalam itu bukan cuma omongan orang mabuk. Setidaknya, aku tidak merasa begitu."Wajahnya mengeras. Dia tidak suka. Bukan cuma tidak suka, dia ingin keluar dari pembicaraan ini. Tapi aku tidak berhenti."Aku ingin bertanya sesuatu," lanjutku, suaraku lebih lembut. "Tentang semalam... tentang itu." Mat
POV AngelaAku melangkah pelan ke sisi ranjang, menahan napas seperti sedikit suara saja bisa membangunkannya. Aaron tiba-tiba bergerak — pelan, berat, bergeser dari posisi tengkurap ke miring sampai setengah tubuhnya jatuh ke arahku.Dan saat itulah aku melihatnya.Cahaya lampu samping ranjang menyorot sisi tubuhnya. Ada bekas luka panjang di sana, tepat di sisi kiri perutnya. Warnanya pucat keperakan. Bukan luka kecil. Ini luka dalam — luka yang butuh lebih dari sekedar jahitan untuk menyelamatkan nyawa.Aku terpaku. Selama ini, aku tidak pernah benar-benar memperhatikannya. Bahkan tidak pernah membayangkan sesuatu seperti itu ada di tubuhnya.Aku menatap bekas luka itu lama. Jari-jariku hampir terulur sebelum kutarik kembali. Rasanya seperti aku sedang melihat bagian dari dirinya yang tidak pernah dia biarkan siapa pun lihat — sebagian besar hidupnya yang dia sembunyikan.Dan tiba-tiba ucapa







