Share

Dua Kali Lipat

Author: Von Hsu
last update Huling Na-update: 2025-10-02 13:00:00

Di hadapanku berdiri seorang pria berjas hitam. Senyum ramah tersungging di wajah tampannya. 

"Ronald?"

"Ya, itu aku," jawabnya, lalu tanpa permisi langsung meraih pinggangku. 

Aku hanya tersenyum tipis. Tubuhku kaku, tidak nyaman dengan sentuhannya yang mendadak. Tapi aku menelan keberatanku. Dua ribu lima ratus dolar. Aku harus bertahan.

Ronald membawaku berkeliling, mengenalkanku pada para pria berjas dan wanita bergaun mahal. "Pacarku," katanya berkali-kali, seolah aku benar-benar miliknya. Tangannya tak pernah lepas dari pinggangku. 

Aku berusaha menjaga sikap. Bicara seperlunya. Tersenyum saat perlu. Aku hanya berharap malam ini bisa cepat berakhir, dan aku bisa pergi dengan uangku. 

Sampai mataku menangkap sosok yang paling tak ingin kulihat malam ini. 

Aaron. 

Dia berdiri di dekat meja minuman, berbincang santai dengan sekelompok pria. Matanya tidak melihat ke arahku, tapi kehadirannya langsung memukul jantungku. 

Kenapa dia ada di sini?

"Angela, coba ini," kata Ronald sambil menyodorkan segelas minuman. 

"Tidak, terima kasih," tolakku pelan. 

"Oh, ayolah." Dia memaksakan gelas itu ke tanganku. "Kau di sini bukan untuk membuat aturan. Sedikit saja, untuk bersenang-senang."

Dengan berat hati, aku menerima gelas itu. Aku ingin menjaga kesadaranku tetapi sepertinya untuk mendapatkan uang, aku terpaksa harus minum. 

"Terima kasih," gumamku. 

Ronald kembali menyeretku ke lingkaran rekan-rekannya. Salah satu menatapku lama, matanya menyipit, sebelum berkata,"Sepertinya aku pernah melihatmu. Apakah kau artis pendatang baru itu, Angela Jones?"

Aku tersenyum dan menjawab dengan anggukan ringan. "Ya, benar. Aku Angela Jones."

"Oh," sahut pasangan pria itu sambil menyesap minumannya. "Kau... benar-benar memiliki hubungan dengan sutradara itu?"

Pertanyaan itu membuat napasku tercekat, mengingatkanku kembali kepada semua masalahku. 

"Itu tidak benar," jawabku cepat. Nadaku datar, mataku menatap lurus. Aku tak perlu membela diri lebih dari itu. Yang penting, jawaban singkatku sudah cukup menjelaskan semua skandal itu tidak benar. Tetapi dari tatapan mata mereka, aku melihat ada keraguan di sana. Terserah jika mereka tidak percaya, aku juga tidak akan peduli.

Pesta terus berlanjut. Musik mengalun, tawa pecah di sana-sini. Ronald masih sibuk berbincang dengan rekan bisnisnya, sementara mataku menyapu ruangan. Mencari satu sosok. 

Aaron. Ke mana dia?

"Apa yang kau cari?" tanya Ronald tiba-tiba. 

"Ah, tidak ada."

"Aku tahu kau bosan," Ronald langsung meraih tanganku. "Ayo cari udara segar. Terlalu ramai di sini."

Dia menarikku menjauh dari area utama lounge. Kami naik beberapa anak tangga kecil menuju sisi rooftop lounge yang lebih tenang, di mana cahaya lampu redup dan hanya ada beberapa tamu yang duduk berpasangan, menikmati malam.

Musik dari area utama masih terdengar samar, tapi di sini angin malam lebih terasa, menenangkan. Pemandangan kota yang gemerlap terbentang luas di bawah.

"Akhirnya kita bisa sendiri," napas Ronald menguar bau alkohol. Dia menggenggam tanganku, mengelusnya perlahan sampai ke lengan atas. "Kau sangat cantik."

Aku menarik sedikit tanganku, tapi dia malah melingkarkan lengannya ke pinggangku. 

"Ronald, kita cuma pura-pura pacaran, bukan..."

Dia hanya terkekeh dan tidak menjawab. 

Tetapi tangannya masih terus bergerak, menyusuri sisi pinggangku, turun sedikit ke pinggul. Gerakannya lambat, seolah menguji reaksiku. 

Aku langsung mundur setapak. "Cukup, Ronald."

Dia menatapku sambil tersenyum, tapi matanya seperti mulai kabur karena efek alkohol. "Ayolah, Angela. Aku sudah bayar mahal, dan kau luar biasa seksi malam ini." Dia terkekeh. "Lima belas ribu lagi, kalau kau mau temani aku semalaman."

Aku membeku. 

Sebelum sempat berkata apa pun, dia mendekatiku kembali. Mengecup pipiku, turun ke rahang, lalu ke leher. Aku menahan napas, tubuhku menegang.

Ini bukan lagi pura-pura. Ini pelecehan. 

Aku mendorong dadanya. Tanpa pikir panjang, aku menyiramkan isi gelasku ke wajahnya. Beberapa tamu menoleh ke arah kami. 

Dari sudut mataku, aku kembali melihat Aaron. Ternyata dia masih berada di pesta ini. 

Dia berdiri di batas area lounge, tak jauh dari kami, menyaksikan semuanya dengan tatapan datar. Satu tangannya menggenggam gelas kristal, menatapku seperti aku hanya bagian dari hiburan malam ini.

"Berhenti. Aku bukan pelacur," kataku pada Ronald. 

Ronald tiba-tiba mencengkeram lenganku kasar. "Jangan main-main denganku. Kau pikir kau siapa?" bisiknya di telingaku.

Satu tangannya menahan daguku, yang lain masih mencengkeram lenganku. 

"Biarkan aku pergi!" bisikku, berusaha menarik lenganku yang masih dalam cengkeramannya. Tapi dia terlalu kuat.

"Kau pikir ada yang peduli kalau aku membawamu paksa ke kamar?" Suaranya rendah, nadanya penuh ancaman.

Aku menatapnya tajam. "Beberapa orang melihat kita. Kau tak cukup bodoh untuk menghancurkan reputasimu di tengah orang-orang penting ini," kataku.

Matanya menyipit, lalu sebuah senyum terukir di bibirnya. 

"Kau sangat berani. Aku mulai menyukaimu."

Dia menahan tengkukku dengan satu tangan, kasar, lalu memiringkan wajahnya mendekat ke arahku. Napasnya yang panas dan bau alkohol menyapu kulit pipiku. Napasku tercekat. Bibirnya hampir menyentuhku.

Aku menoleh cepat, menolak, tapi cengkeramannya pada tengkukku malah menguat. 

"Ronald, hentikan," bisikku tajam, suaraku gemetar tapi mataku tidak. Aku ingin terlihat kuat, meski di dalam, perutku sudah terasa seperti diikat simpul. "Kau sudah melewati batas."

"Jangan pura-pura polos," desisnya. "Kau datang ke pesta ini dengan gaun seperti itu, memamerkan tubuhmu padaku. Jangan bohongi dirimu sendiri."

Tangannya turun ke punggungku, menekan pelan, mencoba membuatku tunduk. Tapi aku menegakkan kepala, menahan napas, dan menguatkan tubuh. Aku menolaknya tanpa suara, seluruh tubuhku menegang. 

Jantungku berdetak kencang, bukan karena godaan, tapi karena jijik dan takut.

Tepat saat bibirnya nyaris menyentuh bibirku, sebuah suara dingin dan tegas menggema dari balik kerumunan. 

"Lepaskan dia."

Aku menoleh.

Aaron.

Dia berdiri di bawah cahaya lampu gantung rooftop, gelas di tangannya masih penuh. Sikapnya tenang, tapi tatapan matanya tajam.

"Pak Ca-Carter..." gumam Ronald, terdengar nada gugup dari suaranya. Sepertinya Ronald mengenal Aaron. 

Aaron hanya menatapnya sekilas sebelum matanya jatuh padaku. Kemudian dia melangkah maju, menarik lenganku dari cengkeraman Ronald. Dia tak menunggu persetujuan dan menarikku begitu saja, kasar dan penuh otoritas.

"Pak Carter..." Ronald mencoba menyela. "Maaf, tapi dia adalah wanita saya malam ini."

Aaron tak menjawab. Cengkeramannya di lenganku tak berkurang sedikit pun. Sementara Ronald sepertinya mulai menyadari bahwa tindakannya mulai mengundang perhatian dari beberapa tamu undangan.

"Perdebatan kecil antar pasangan," katanya kepada sepasang tamu di dekat kami. "Tidak ada yang perlu dilihat di sini."

Sebagian tamu memang mulai berbalik, mungkin tak ingin ikut campur.

Ronald mencoba mendekat padaku, berusaha menarikku kembali. Tapi Aaron tidak melepaskanku. Tatapan tajam Aaron membuat Ronald langsung berhenti di tempat.

"Pak Carter," Ronald mendesis. "Apakah Anda mengenal wanita ini?"

Aaron tidak bergeming. Hanya matanya yang bergerak, menatapku dingin dan mungkin juga jijik.

Ronald tertawa sinis. "Tidak mungkin Anda mengenali... wanita murahan seperti ini, bukan?"

Tubuhku menegang. Darahku mendidih mendengar perkataan Ronald. Wanita murahan seperti apa yang dia maksud? Aku?

Aaron tetap diam. Tatapannya jatuh padaku seperti menilai sampah.

Ronald mendesak, "Dia ini wanita bayaran. Aku membayarnya. Dia milikku malam ini."

Namun Aaron masih juga tidak melepaskan lenganku. Sebaliknya, cengkeramannya semakin kuat, membuatku sedikit meringis kesakitan.

Akhirnya, Aaron berbicara. Suaranya pelan, datar, tetapi keras.

"Aku akan mengganti semuanya," katanya. "Berapapun yang kau bayar, aku bayar dua kali lipat."

Ronald membuka mulut, tapi Aaron memotong cepat.

"Malam ini," katanya, nadanya menggeram sambil melirik ke arahku. "Wanita ini milikku."

"T-tapi..." Ronald berusaha berbicara tetapi tatapan dingin Aaron membuatnya terdiam. 

Ronald akhirnya mendecakkan lidah, seperti tidak senang, tetapi sesaat kemudian dia mengangkat tangannya. "Baiklah, Pak Carter. Silakan... nikmati 'barang' Anda."

Aku merasa marah mendengar caranya bicara tentangku. Tapi Aaron tetap tenang, seolah aku memang hanya transaksi untuknya.

Setelah memberikan uang pada Ronald, Aaron menarikku menjauh dari sisi rooftop. Cengkeramannya kuat, tak memberiku ruang untuk berontak. Aku hampir terseret mengikuti langkahnya yang panjang dan terburu-buru.

Kami masuk ke koridor eksklusif lounge yang mengarah ke penthouse pribadi. Musik dan keramaian semakin jauh. Sepanjang jalan, Aaron tak melepaskan tanganku.

"Aaron, lepaskan!" seruku, berusaha menarik lenganku, tapi dia justru memojokkan tubuhku ke dinding. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Saat Kebenaran Berpihak Kembali

    POV AngelaTunggu... Apa?Mataku bergerak cepat menelusuri layar.Sudah kuduga. Dia tidak kelihatan seperti tipe begitu. Rekaman CCTV membuktikannya.Foto-foto itu palsu. Diedit.Edward Kane yang seharusnya minta maaf.Maaf sudah menilaimu.Dia tidak pantas diperlakukan begitu.Jangan menyerah, Angela.Aku menggulir lebih cepat, jantungku berdegup kencang. Semua postingan isinya sama. Dukungan. Simpati. Kepercayaan."Apa-apaan ini..." bisikku.Aku mengetuk salah satu tautan berita yang memenuhi inbox-ku. Judulnya langsung menohok mataku."Bukti Baru Membersihkan Nama Angela Jones — Rekaman CCTV Membuktikan Tidak Ada Perselingkuhan."Artikel itu menjelaskan semuanya — rekaman restoran, sudut kamera, dan bagaimana "ciuman" itu sebenarnya hanya saat Edward mencondongkan tubuh untuk mengambil gelas. Satu detik, satu

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Kata Baik Pertama

    POV AngelaKata-kata itu masih bergema di kepalaku. "Kau ada di sini karena izinku. Bukan karena kau berarti."Sialan dia. Benar-benar dingin dan tak berperasaan.Aaron keluar begitu saja dari mobil tanpa menoleh. Aku turun beberapa detik kemudian, membanting pintu sedikit lebih keras. Garasinya bersih tanpa cela — lantai beton mengilap, semuanya tertata rapi. Tiga mobil berjejer seperti pajangan di pameran.Dia berjalan di depan tanpa peduli apakah aku mengikutinya atau tidak.Pintu samping langsung mengarah ke dalam rumah. Begitu aku melangkah masuk, langkahku terhenti.Tempat itu tampak seperti halaman depan majalah arsitektur. Dinding kaca dari lantai ke langit-langit, garis-garis tajam, tanpa sedikit pun sentuhan pribadi. Tak ada foto, tak ada barang kecil yang menunjukkan siapa pemiliknya. Tempat itu terasa seperti dirinya. Dingin, terkontrol, dan tak tersentuh."Berapa lama kau mau berdiri di situ?

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Bertindaklah Sesuai Peranmu (POV Aaron)

    POV AaronAku melirik ke bawah, pada tangan Angela yang masih menempel di lenganku."Lepaskan," kataku datar.Dia ragu sejenak, lalu perlahan melepaskan genggaman. Tangannya turun, tapi matanya tetap menatapku. "Kau berdarah."Aku menatap garis merah di buku jariku, sisa dari perkelahian tadi."Kau mungkin harus mengobatinya," katanya.Aku menatapnya dingin. "Jangan berpura-pura peduli, Angela.""Aku tidak berpura-pura," sahutnya. "Hanya mengatakan apa yang kulihat.""Aku tahu cara mengurus diriku sendiri."Dia tidak berkedip. "Oke, kalau begitu. Tapi bukan berarti kau harus berdarah buat membuktikannya.""Kau bicara terlalu banyak untuk seseorang yang seharusnya tidak ikut campur urusanku."Tatapannya tak bergeser. "Aku hanya memperhatikan apa yang terjadi di sekitarku. Bukan berarti aku ikut campur. Aku akan melakukan hal yang sama untuk siapa saja, bukan cuma untukmu."Itu

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Luka yang Mengikat (POV Aaron)

    POV AaronAku memelintir pergelangan tangan Bennett sampai uratnya menonjol di bawah kulit. Dia meraung, keras dan serak, tapi aku tidak mengendurkan cengkeramanku, justru semakin menguatkannya.Wajahnya menegang, rahangnya mengeras, tapi matanya masih menyimpan kesombongan. "Kau pikir kau cukup besar buat menantangku, Carter?" desisnya tajam, napas tersengal menahan sakit.Aku menatapnya datar. Suaraku tenang dan dingin. "Kau pikir nama Bennett membuatmu kebal? Nama keluargamu mungkin berarti sesuatu di atas kertas. Tapi kau tidak lebih dari bajingan pengecut yang hidup dari nama itu."Lalu aku melepaskannya dengan satu hentakan cepat. Dia terhuyung ke belakang, wajahnya memerah menahan amarah.Aku menoleh ke arah Angela yang masih terpaku di dekat pagar paddock. "Masuk mobil," kataku datar.Dia sempat ragu sepersekian detik, tapi akhirnya menurut. Pintu mobil tertutup di belakangnya, meninggalkan aku berdua dengan Bennett

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Pertemuan Dua Iblis

    POV AngelaWajah pria muda itu langsung tampak pucat. "Tuan, saya...""Itu salahku!" potongku cepat, melangkah ke depan. "Aku yang mengikutinya masuk. Dia bahkan sempat bilang jika bukan tamu dilarang masuk paddock. Jadi jangan salahkan dia."Aaron menoleh padaku perlahan. Tatapannya tajam dan dingin. Dia mendekat satu langkah lebih dekat, cukup dekat untuk membuatku menahan napas."Jangan berlagak jadi penyelamat," katanya rendah, tapi nadanya sarkastik.Aku terdiam. Lidahku kelu.Aaron kembali menatap pria muda itu, kali ini dengan sorot matanya yang membuatku yakin siapa pun yang berdiri di posisinya pasti ingin menghilang dari bumi. "Kau biarkan orang asing naik kudaku, masuk ke paddock-ku, hampir mencelakakan dirinya. Kau tahu apa artinya itu?"Pria muda itu menunduk, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. "Maaf, Tuan..."Aku spontan bersuara, kali ini lebih keras. "Aku sudah bilang, itu salahku, bukan dia!"

  • Perangkap Dendam Tuan Miliarder   Penyelamatan yang Berbahaya

    POV Angela"B-bagaimana Anda bisa masuk sini?" suara pria muda itu terdengar tegang, hampir terbata.Aku mendesah pelan, mencoba menahan kesal yang masih tersisa karena Aaron. "Aku tidak bermaksud mengikutimu," kataku cepat. "Tapi Aaron Carter sialan itu menyeretku ke ranch-nya, lalu meninggalkanku begitu saja. Dan ketika aku melihat lapangan ini... yah, aku akhirnya masuk."Ekpresi pria muda itu berubah seketika. Nada suaranya melunak, bahkan terdengar agak gugup. "Jadi... Anda tamu Pak Carter? Maaf, saya... benar-benar tidak tahu."Tamu? Aku nyaris tertawa mendengarnya. Apakah aku bisa dibilang tamunya? Lebih tepatnya, tawanan yang ditinggalkan di sebuah ranch kuda. Aku mengalihkan pandangan ke lapangan di belakangnya."Boleh aku lihat-lihat sebentar?" tanyaku."Seharusnya pengunjung tidak boleh masuk tanpa izin. Tapi kalau Anda benar tamu Pak Carter, saya rasa tidak apa," jawabnya.Setelah itu, kami pun berjalan d

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status