MasukPOV Angela
SUV itu melambat, lalu berhenti hanya beberapa meter dariku. Kaca depannya memantulkan bayangan wajahku sendiri yang putus asa.
Beep!
Suara klakson tajam memecah udara pagi, tapi aku tidak bergeming. Aku tetap berdiri di tengah jalur keluar, menatap lurus ke arah mobil itu.
Pintu pengemudi akhirnya terbuka. Aaron keluar dengan wajah dinginnya, rahangnya menegang.
"Apa kau mau mati, Angela?" suaranya datar tapi tajam.
"Mobilku mogok," kataku cepat. "Uber gak ada di sini. Aku cuma butuh tumpangan, setidaknya sampai jalan utama."
Dia menatapku lama, lalu menghela napas kasar. Tatapannya menusuk.
"Dan kau pikir aku sopirmu?" suaranya dingin. "Aku punya urusan penting. Minggir."
Aku menggeleng, tetap berdiri di jalur mobilnya. "Kalau begitu, biarkan aku ikut. Cukup sampai jalan utama di mana aku bisa cari transportasi. Itu saja."
Dia mendengus pendek. "Itu masalahmu."
Aku
POV AngelaKata-kata itu masih bergema di kepalaku. "Kau ada di sini karena izinku. Bukan karena kau berarti."Sialan dia. Benar-benar dingin dan tak berperasaan.Aaron keluar begitu saja dari mobil tanpa menoleh. Aku turun beberapa detik kemudian, membanting pintu sedikit lebih keras. Garasinya bersih tanpa cela — lantai beton mengilap, semuanya tertata rapi. Tiga mobil berjejer seperti pajangan di pameran.Dia berjalan di depan tanpa peduli apakah aku mengikutinya atau tidak.Pintu samping langsung mengarah ke dalam rumah. Begitu aku melangkah masuk, langkahku terhenti.Tempat itu tampak seperti halaman depan majalah arsitektur. Dinding kaca dari lantai ke langit-langit, garis-garis tajam, tanpa sedikit pun sentuhan pribadi. Tak ada foto, tak ada barang kecil yang menunjukkan siapa pemiliknya. Tempat itu terasa seperti dirinya. Dingin, terkontrol, dan tak tersentuh."Berapa lama kau mau berdiri di situ?
POV AaronAku melirik ke bawah, pada tangan Angela yang masih menempel di lenganku."Lepaskan," kataku datar.Dia ragu sejenak, lalu perlahan melepaskan genggaman. Tangannya turun, tapi matanya tetap menatapku. "Kau berdarah."Aku menatap garis merah di buku jariku, sisa dari perkelahian tadi."Kau mungkin harus mengobatinya," katanya.Aku menatapnya dingin. "Jangan berpura-pura peduli, Angela.""Aku tidak berpura-pura," sahutnya. "Hanya mengatakan apa yang kulihat.""Aku tahu cara mengurus diriku sendiri."Dia tidak berkedip. "Oke, kalau begitu. Tapi bukan berarti kau harus berdarah buat membuktikannya.""Kau bicara terlalu banyak untuk seseorang yang seharusnya tidak ikut campur urusanku."Tatapannya tak bergeser. "Aku hanya memperhatikan apa yang terjadi di sekitarku. Bukan berarti aku ikut campur. Aku akan melakukan hal yang sama untuk siapa saja, bukan cuma untukmu."Itu
POV AaronAku memelintir pergelangan tangan Bennett sampai uratnya menonjol di bawah kulit. Dia meraung, keras dan serak, tapi aku tidak mengendurkan cengkeramanku, justru semakin menguatkannya.Wajahnya menegang, rahangnya mengeras, tapi matanya masih menyimpan kesombongan. "Kau pikir kau cukup besar buat menantangku, Carter?" desisnya tajam, napas tersengal menahan sakit.Aku menatapnya datar. Suaraku tenang dan dingin. "Kau pikir nama Bennett membuatmu kebal? Nama keluargamu mungkin berarti sesuatu di atas kertas. Tapi kau tidak lebih dari bajingan pengecut yang hidup dari nama itu."Lalu aku melepaskannya dengan satu hentakan cepat. Dia terhuyung ke belakang, wajahnya memerah menahan amarah.Aku menoleh ke arah Angela yang masih terpaku di dekat pagar paddock. "Masuk mobil," kataku datar.Dia sempat ragu sepersekian detik, tapi akhirnya menurut. Pintu mobil tertutup di belakangnya, meninggalkan aku berdua dengan Bennett
POV AngelaWajah pria muda itu langsung tampak pucat. "Tuan, saya...""Itu salahku!" potongku cepat, melangkah ke depan. "Aku yang mengikutinya masuk. Dia bahkan sempat bilang jika bukan tamu dilarang masuk paddock. Jadi jangan salahkan dia."Aaron menoleh padaku perlahan. Tatapannya tajam dan dingin. Dia mendekat satu langkah lebih dekat, cukup dekat untuk membuatku menahan napas."Jangan berlagak jadi penyelamat," katanya rendah, tapi nadanya sarkastik.Aku terdiam. Lidahku kelu.Aaron kembali menatap pria muda itu, kali ini dengan sorot matanya yang membuatku yakin siapa pun yang berdiri di posisinya pasti ingin menghilang dari bumi. "Kau biarkan orang asing naik kudaku, masuk ke paddock-ku, hampir mencelakakan dirinya. Kau tahu apa artinya itu?"Pria muda itu menunduk, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. "Maaf, Tuan..."Aku spontan bersuara, kali ini lebih keras. "Aku sudah bilang, itu salahku, bukan dia!"
POV Angela"B-bagaimana Anda bisa masuk sini?" suara pria muda itu terdengar tegang, hampir terbata.Aku mendesah pelan, mencoba menahan kesal yang masih tersisa karena Aaron. "Aku tidak bermaksud mengikutimu," kataku cepat. "Tapi Aaron Carter sialan itu menyeretku ke ranch-nya, lalu meninggalkanku begitu saja. Dan ketika aku melihat lapangan ini... yah, aku akhirnya masuk."Ekpresi pria muda itu berubah seketika. Nada suaranya melunak, bahkan terdengar agak gugup. "Jadi... Anda tamu Pak Carter? Maaf, saya... benar-benar tidak tahu."Tamu? Aku nyaris tertawa mendengarnya. Apakah aku bisa dibilang tamunya? Lebih tepatnya, tawanan yang ditinggalkan di sebuah ranch kuda. Aku mengalihkan pandangan ke lapangan di belakangnya."Boleh aku lihat-lihat sebentar?" tanyaku."Seharusnya pengunjung tidak boleh masuk tanpa izin. Tapi kalau Anda benar tamu Pak Carter, saya rasa tidak apa," jawabnya.Setelah itu, kami pun berjalan d
POV AngelaSUV itu melambat, lalu berhenti hanya beberapa meter dariku. Kaca depannya memantulkan bayangan wajahku sendiri yang putus asa.Beep!Suara klakson tajam memecah udara pagi, tapi aku tidak bergeming. Aku tetap berdiri di tengah jalur keluar, menatap lurus ke arah mobil itu.Pintu pengemudi akhirnya terbuka. Aaron keluar dengan wajah dinginnya, rahangnya menegang."Apa kau mau mati, Angela?" suaranya datar tapi tajam."Mobilku mogok," kataku cepat. "Uber gak ada di sini. Aku cuma butuh tumpangan, setidaknya sampai jalan utama."Dia menatapku lama, lalu menghela napas kasar. Tatapannya menusuk."Dan kau pikir aku sopirmu?" suaranya dingin. "Aku punya urusan penting. Minggir."Aku menggeleng, tetap berdiri di jalur mobilnya. "Kalau begitu, biarkan aku ikut. Cukup sampai jalan utama di mana aku bisa cari transportasi. Itu saja."Dia mendengus pendek. "Itu masalahmu."Aku







