Share

Bab 2. Lelaki Luar Biasa

“Aku mau. Aku bersedia menjadi pacarmu,” ujar lelaki itu dengan suara dalam. Dia menunduk pada wajah kecil gadis di depannya.

Sontak seisi klub gempar. Ini bukan jawaban yang ada dalam ekspektasi semua orang. Entah gadis gila ini beruntung atau memang tuan Zavier sedang bosan dan ingin bermain-main.

Namun baru saja lelaki yang tampak mendominasi itu mengatakan jika dia tidak suka bermain-main. Lalu, apakah dia serius dengan ucapannya?

Udara klub yang pengap oleh bau asap rokok dan alkohol kini dipenuhi dengung penasaran dari pengunjung. Seakan-akan ada banyak tanda tanya mengapung memenuhi atmosfirnya.

Qiana sendiri nyaris lumpuh segenap persendiannya. Laki-laki di depannya tampak luar biasa dengan aura gelapnya. Itu tak disadari Qiana sebelumnya saat Shein menunjuk seseorang yang tengah duduk di sofa. Suasana klub yang suram membuatnya keliru menilai. Laki-laki ini bukanlah orang kebanyakan.

“Ka... kakak, jangan anggap serius kata-kataku barusan. Aku... cuma sedang melaksanakan sebuah... tantangan. Kakak... kakak tidak perlu menjawabnya...” Qiana mengatakan itu sambil bergerak mundur.

Lelaki di depannya mengerutkan keningnya. “Aku sudah menjawabnya. Aku mau menjadi pacarmu.” Dia melangkah maju mengikuti gerakan mundur Qiana hingga jarak mereka tidak pernah berkurang. “Jadi sekarang, kita adalah sepasang kekasih.”

Qiana menggeleng karena kehilangan kata-kata. Laki-laki ini memang luar biasa, tapi mereka bahkan baru saling melihat beberapa menit yang lalu. Bagaimana mungkin mereka bisa menjadi pasangan?

“Tidak mau?” ujar laki-laki itu dengan wajah suram.

“Bu... bukan begitu.” Entah kenapa Qiana takut menyinggung perasaan laki-laki ini.

Dan langkah Qiana membentur meja bar. Dia tak bisa lagi menghindar.

“Kalau begitu mulai sekarang kau adalah kekasihku. Semua orang yang datang malam ini akan menjadi saksinya.”

Ucapan lelaki itu terdengar bagai vonis kematian bagi Qiana.

“Kakak... tidak bisa begitu. Kita bahkan baru bertemu....” Qiana merasa jengkel dengan gema suaranya sendiri.

Dimana pengeras suara itu? Dimana mic-nya? Qiana terlihat cemas. Tangannya sesekali masih mencoba mencari benda itu di sekitar gaunnya.

Lelaki yang kini sudah tidak bisa dihindari Qiana meraih pinggang gadis itu. Dia membalikkan tubuh mungil Qiana, mengamati sejenak dan melepaskan sesuatu di dekat ikat rambut lalu membuat gadis itu kembali menghadapnya.

“Mencari ini?” ujarnya sambil memperlihatkan benda kecil hitam mirip mic di depan mata Qiana.

Gadis itu menatap marah pada benda menjengkelkan di tangan lelaki itu. Namun sebelum Qiana berhasil mengambilnya dari tangan orang yang dipanggil tuan Zavier itu, benda itu sudah dijatuhkan ke lantai dan diinjak hingga berkeping-keping.

Tak ada lagi gema suara  Qiana di ruangan besar itu. Hanya dengung dari suara pengunjung klub yang tersisa.

“Aku Ned. Ned Zavier.” Lelaki itu tersenyum sedikit. Dia tidak mengulurkan tangan layaknya orang yang berkenalan, tapi malah meraih sejumput rambut yang menjuntai di depan wajah Qiana lalu menyelipkannya ke belakang telinga gadis itu.

“Siapa namamu?” ujarnya lagi waktu melihat Qiana hanya terdiam dengan mulut setengah terbuka.

“Qi... Qiana.” Qiana menyebutkan namanya dengan tergagap. Dia menyilangkan tangan di depan dada membentuk semacam perlindungan diri.

Ned menyeringai melihat tingkah gadis itu yang seperti kuatir akan sesuatu. “Nama yang indah,” ujar lelaki itu singkat. “Ikutlah denganku !” Diraihnya lengan Qiana dan menarik gadis itu mengikutinya.

“Kakak... ma... mau kemana?” Qiana mencoba menarik tangannya, melepaskan pegangan kuat lelaki itu. Tapi biarpun dia mencoba sekeras mungkin, lengannya masih dalam genggaman Ned.

Qiana dibawa ke tempat awal Ned duduk, sofa besar di sudut ruangan.

Kerumunan segera bubar, musik kembali dinyalakan dan orang-orang mulai melanjutkan kesenangannya.

Ned mendudukkan Qiana di sebelahnya

Gadis itu menjadi tidak nyaman dengan beberapa tatapan iri yang dilontarkan padanya. Ini tentu saja tidak benar, tapi dia akan meluruskannya segera. Mereka akan bicara baik-baik, tentu saja.

Ned Zavier bukan seperti orang yang mudah diprovokasi.

“Aku rasa, aku pulang saja.” Qiana bicara tanpa menoleh pada Ned di sebelahnya.

 Mata gadis itu mencari di antara pengunjung, sosok teman-temannya. Tapi bahkan bayangan mereka sudah lama tidak terlihat.

Qiana ingin meminta pertanggungjawaban mereka atas kekacauan yang di luar kendali ini. Lagipula Qiana akan menagih kompensasi dari tantangan ini. Bukankah dia sudah melakukannya, walaupun bonusnya sungguh mencengangkan?

Qiana melirik pada Ned di sebelahnya. Lelaki itu ternyata tengah memperhatikannya. Senyumnya bagai racun yang mematikan semua panca indera.

“Tak perlu buru-buru. Kau bahkan baru datang dan kita belum menjadi lebih dekat. Aku akan memesankan minuman.” Ned memberi isyarat dengan tangannya pada seseorang.  Seseorang itu segera mendekat dengan terburu-buru.

“Kau ingin minum apa, Sayang?” tanya Ned pada gadis di sampingnya.

Qiana melotot mendengar panggilan intim itu hingga membuat Ned menyeringai.

“Kenapa? Tidak boleh? Kau ‘kan pacarku?” Ned tidak suka menggoda. Semua yang mengenalnya tahu. Jika orang-orang itu melihat tingkahnya saat ini, mereka pasti akan menjatuhkan dagu mereka.

Qiana tidak bisa menerima jika mereka sekarang adalah pasangan. Tapi saat ini dia tidak bisa memikirkan cara untuk melepaskan diri.

Mungkin setelah malam ini, setelah dia pulang pada kehidupannya di luar sana, drama ini akan berakhir. Qiana tidak akan pernah datang lagi ke tempat terkutuk ini dan mereka tidak akan bertemu lagi.

Setelah sesaat menekuk bibir sambil berpikir, Qiana menyahut juga. “Apa saja selain alkohol.”

Ned tersenyum miring. “Kau takut mabuk?”

Gadis itu menggeleng. “Aku hanya ingin bisa pulang dengan selamat.”

Kali ini Ned sungguh-sungguh tertawa.

Garis wajah lelaki itu saat tertawa sangat mempesona hingga Qiana terpana untuk beberapa detik. Saat tersadar, dia berkedip beberapa kali dan memijit kepalanya  sedikit karena menjadi pusing tanpa sebab.

“Apanya yang lucu?” Qiana mengalihkan tatapan dari lelaki di sebelahnya sambil mengerutkan kening, takut tertangkap basah sempat terpesona oleh Ned.

“Tak akan ada yang berani mengganggu gadisku. Kalaupun kau mabuk, siapa yang akan berani mati menyentuhmu?” Ned memastikan keselamatan gadis itu dengan percaya diri.

Di sebelahnya, tanpa bisa dikendalikan, Qiana memutar bola matanya. Kalau Qiana sampai kehilangan kesadaran, orang pertama yang sebenarnya  perlu diwaspadai  justru lelaki di sebelahnya ini.

“Bawakan dia segelas jus lemon,” ujar Ned pada pelayan.

Jus lemon? Tatapan Qiana refleks kembali pada Ned. Bagaimana lelaki ini tahu minuman kesukaannya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status