Share

Bab 3. Aku Harus Pulang

Qiana masih tinggal selama beberapa saat di klub. Dia hanya duduk dengan cemberut di sebelah Ned sambil sesekali menanggapi kata-kata yang dilontarkan lelaki itu. Waktu beberapa orang mulai bermain kartu, Ned menawarinya bermain untuk lelaki itu.

“Kalau kau kalah, aku yang akan membayar.  Kalau menang, kau boleh ambil uangnya.”

“Aku tidak bisa bermain kartu. Aku mau mencari teman-temanku saja. Mereka harus membayar padaku....” Qiana tidak tertarik dengan tawaran Ned. Matanya terus mencari di antara hilir-mudik pengunjung. Sebelum pulang, dia harus mendapatkan uang yang mereka janjikan.

Ned menarik punggungnya ke sandaran. Dari tadi gadis di sebelahnya ini selalu mengabaikannya. Berulangkali Ned mencoba membuat Qiana memperhatikannya, tapi cuma sekilas gadis itu menatapnya lalu fokusnya kembali pada hal lain.

“Kau mengabaikan hal yang lebih besar untuk mendapatkan hal yang kecil?” Ned berujar sinis.

“Eh?” Qiana menoleh pada Ned. Nada suara lelaki itu tidak enak di dengar. “Apa maksudmu?”

“Berapa uang yang temanmu janjikan untukmu?” tanya Ned, kali ini dengan nada meremehkan.

“”Bukan urusanmu....” Untuk apa dia menyebutkan nominalnya pada lelaki yang baru dikenalnya ini? Pasti dia akan meremehkan karena dari penampilannya saja Qiana bisa membaca deretan angka tak terhingga di kartunya.

“Sebutkan saja dan aku akan menggantinya seratus kali lipat.” Ned meraih gelas berisi cairan memabukkan di meja, membuat Qiana kuatir jika lelaki itu akan mabuk karena minuman itu.

“Lagipula mungkin temanmu sedang bercanda dan tidak benar-benar akan memberimu uangnya,” sambung Ned tanpa perasaan.

Qiana sudah melalui sebuah lelucon paling memalukan malam ini dan biang keladi dari masalah ini justru kabur sebelum membayar, dia tentu tidak akan membiarkannya.

Sementara lelaki aneh di sebelahnya sungguh tak berguna. Dia malah memanasi Qiana dengan kata-kata yang kejam.

“Mereka akan membayarnya, aku jamin. Aku akan menagihnya. Kalau tidak malam ini, besok, lusa atau kapan saja, aku pasti akan menemukan mereka.” Qiana mengepalkan tangan halusnya dengan sorot mata berapi-api.

“Jangan hiraukan mereka. Aku akan memberi berapa pun yang kau inginkan.” Ned mengembalikan gelas yang kosong ke meja. “Gadisku takkan merendahkan diri untuk uang yang tak seberapa.”

Qiana menjadi bungkam oleh ucapan Ned yang sombong, yang menyatakan kepemilikannya pada Qiana.

Mungkin memang sebaiknya Qiana menutup mulutnya. Sekarang ini dia harus mencari cara agar bisa cepat pergi dan terlepas segera dari Ned.

“Aku harus ke kamar mandi,” ujar Qiana tiba-tiba sambil bangkit berdiri.

Ned memejamkan matanya sejenak mendengar kata-kata gadis itu.  Dia tidak yakin Qiana akan kembali meski benar-benar ke kamar mandi. Mungkin dari sana gadis ini akan langsung keluar klub dan pergi.

Saat lelaki itu membuka mata beberapa detik kemudian dia berkata, “Pergilah.”

Qiana hampir bersorak saat mendengar Ned mengatakan itu dengan berat. Laki-laki itu curiga tapi tak bisa menahannya pergi.

Susah-payah Qiana berusaha melangkah dengan santai. Dia menyelinap di antara keramaian menuju ke kamar mandi. Ini bukan alasan semata, Qiana memang benar-benar ingin ke kamar mandi, tapi tentu saja dia takkan kembali.

Begitu menyelesaikan urusannya, Qiana malah bertemu seorang teman yang datang bersamanya, Beatrice. Saat melihat gadis itu, Qiana menariknya ke sudut gelap klub.

“Mana yang llain Dimana Shein” Qiana mendorong Beatrice ke tembok yang dingin.

Beatrice tampak pucat begitu melihat Qiana. Apalagi waktu gadis itu mendorongnya dengan keras, dia menjadi ketakutan.

Sebenarnya mereka baru berteman. Qiana mengenal Beatrice karena mereka sama-sama orang asing di kota ini. Mereka mahasiswi baru di universitas yang sama.

“Aku tidak tahu. Begitu orang-orang bubar, kami memisahkan diri. Aku juga tidak begitu mengenal mereka.” Suara Beatrice terdengar mencicit.

“Aku tidak percaya.” Qiana menggeleng, antara sedih dan marah.

“Qiana, kau bisa mempercayaiku. Kita sama-sama asing dengan kota ini. Aku juga tidak kenal dengan orang yang dipanggil tuan Zavier itu. Aku tidak tahu kalau dia memiliki pengaruh yang besar di sini. Terlebih, aku juga tidak menyangka kalau dia adalah pemilik tempat ini....”

“A... apa?!” Mata Qiana nyaris melompat keluar. “Di... dia yang memiliki tempat ini?”

Qiana melepaskan tangannya yang tadi masih mencengkeram bahu Beatrice.

Ini benar-benar kacau!

Ned adalah pemilik tempat ini. Qiana pernah mendengar selentingan tentang seorang yang sangat ditakuti di ibukota. Tak ada nama yang jelas yang didengarnya, tapi dia mengingat satu hal, laki-laki itu adalah pemilik klub malam terbesar di sini.

Qiana tidak tahu apakah dia bisa melepaskan diri dari jeratan Ned. Atau ini memang hanya drama satu malam yang akan segera berakhir begitu masing-masing dari mereka pergi meninggalkan tempat ini.

“Lalu, mana uangnya? Uangku?” ujar Qiana teringat tiba-tiba.

“Shein yang berjanji akan membayarmu. Aku tidak tahu apa-apa. Kau dengar sendiri dia bicara.” Beatrice menjelaskan.

“Aku pikir saat kau bicara tentang pekerjaan, kau benar-benar tahu apa yang kau katakan. Untuk inilah aku datang ke sini. Kupikir aku bisa mendapatkan tambahan uang untuk ibuku.” Qiana kini menyesal menerima ajakan Beatrice ke klub.

“Shein yang mengatakan kalau dia tahu sesuatu yang bisa dilakukan di sini untuk mendapatkan uang....”

“Shein lagi, Shein lagi. Kau tidak bertanya apa pekerjaannya? Kenapa kau mendadak jadi idiot?” tukas Qiana marah. Sekarang dia menjadi korban kebodohan temannya sendiri.

“Aku... aku lupa. Kupikir....”

Dan Qiana membalikkan badan dengan kesal. Dia meninggalkan gadis temannya dan menuju pintu keluar. Dia sangat ingin pulang dan menenangkan pikiran di apartemen sempitnya. Lagipula ibunya akan bertanya-tanya alasan dia pulang selarut ini.

Di luar, saat Qiana sampai di pinggir jalan raya menunggu taksi yang lewat, sebuah Maybach berhenti tepat di depannya.

 

 

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Dimana info dia sekarang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status