Bolehkah William merasa senang melihat reaksi Amanda? Pupil gadis di depannya membesar dan tubuh Amanda bergetar. Walau gadis itu berusaha keras untuk menyembunyikan reaksi tubuhnya, William bisa melihatnya dengan jelas. Mengemaskan. Ia membatin.
Rasanya kehidupan bersama Amanda akan sangat menarik. Setiap pagi ia akan melihat wajah cantik Amanda. Kadang-kadang melihat kilatan kemarahan di mata gadis ini. Lalu bisa jadi ia akan melihat cinta. Untuk semua hal yang bisa dilakukan, William bersedia mengorbankan apapun untuk menjadikan Amanda istri kontraknya.
Amanda mendorong tubub William untuk mundur dari dirinya. Kemudian ia memeluk dirinya sendiri untuk bisa menghentikan getaran dari perasaan takut yang menjalarinya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya William mulai sedikit khawatir.
Amanda memang terlihat kuat. Namun, masalah yang tumpeng tindih menimpanya bukan sesuatu yang bisa dihadapi manusia yang waras untuk tidak terguncang.
“Jangan mencoba bersikap baik padaku!” ingat Amanda. Ia memukul tangan William yang terulur ke arahnya.
Yang ada di depannya sekarang bukanlah seorang malaikat seperti yang disangkanya pertama kali, tetapi iblis. Kenapa waktu itu Amanda bisa tertipu dan menyangka hal yang sebaliknya.
William menyeringai. Ia mengangkat tangan ke atas sebagai isyarat bahwa tak akan mencoba mendekati Amanda lagi. Sebagai gantinya, ia memilih untuk mundur. Pikir William sudah cukup membuat Amanda menyadari keberadaannya seperti saat ini. Ia tidak mau kalau gadis itu kemudian memilih kabur jika diintimidasi lebih dari ini.
Begitu William tidak terlihat lagi oleh Amanda, ia memejamkan mata dan menarik napas lega. Syukurlah semua perasaannya yang membuatnya pusing sudah berakhir. Ia ingin segera keluar dari tempat pesta yang memberinya kenangan buruk ini, tetapi Amanda sadar kalau tas jinjingnya yang dibawa tadi tertinggal di dalam.
Tidak. Aku tidak mau masuk kembali!
Amanda mulai berpikir pasti saat ini baik sekali kalau ia memiliki kemampuan telepati. Ia bisa menghubungi Prisilla hanya dengan berpikir saja.
“Harusnya aku tidak datang ke sini,” keluh Amanda pelan.
Dengan berat hati di langkahkan kaki menuju ke dalam ruangan lagi. Ia berdiri di pintu sebentar mencari keberadaan William dan Alex. Lega karena tidak menemukan salah satu atau keduanya dari yang diwaspadai Amanda melangkah mencari Prisilla. Ia menemukan temannya itu sedang mengobrol dengan asyik dengan beberapa orang.
“Ini temanku,” kata Prisilla memperkenalkan Amanda.
Mereka bulan orang-orang yang bisa bergaul dengan Prisilla. Setelah apa yang terjadi pada Amanda di masa liburannya, ia menjadi sedikit waspada. Ia tak mau Prisilla yang ramah dan baik hati menjadi murung.
“Sini!” Setelah menjauh dari kelompok orang yang berkerumun, Amanda melambai memanggil.
Prisilla keheranan, tapi ia tak bertanya apa yang terjadi. Ia mendekati Amanda segera. “Ada apa?” bisiknya di telinga Amanda.
“Aku melihat Alex.”
Mata Prisilla melotot. Ia langsung menegakkan badan dan mencari keberadaan cecungguk yang sudah membuat sahabatnya menangis. Ia tak berhasil menemukannya.
“Ke mana dia? Kamu tahu ke arah mana bajingan itu pergi?” desis Prisilla menahan amarah.
“Biarkan dia. Ayo kembali, aku sudah merasa tidak enak.” Amanda memeluk dirinya sendiri lagi. Tubuhnya kembali gemetar karena mengingat pertemuan dengan dua orang yang sangat ingin dihindari.
Prisilla menyetujuinya. Ia kemudian pergi ke arah teman-teman barunya untuk pamit. Mereka sedikit keberatan, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
“Ayo!” Prisilla mengandeng Amanda pergi.
***
“Kenapa kalian menahanku? Lepas!” Alex menyentak kedua lengannya yang dipegangi.
Ia tidak kenal dengan orang-orang yang tiba-tiba mencegatnya saat akan keluar dari tempat pesta. Para pria bertubuh kekar tersebut tak sedikit pun memberi celah padanya untuk melarikan diri. Alex yakin mereka bukan bagian dari renternir yang memberinya utang dan kemudian mengancam akan melenyapkannya jika tidak segera melunasi.
“Suaramu masih tetap saja keras, ya?”
Alex menyipitkan mata ke asa suara. Awalnya ia tidak bisa melihat siapa yang sedang bicara karena tempat kemunculan orang tersebut cukup gelap. Namun, seringaian segera muncul di wajahnya.
“Wah, superhero datang. Sekarang siapa lagi yang ingin Anda selamatkan? Wanitanya sudah bersama Anda, kan?” sindir Alex.
William sama sekali tidak terpengaruh. Wajahnya yang sudah tampan semakin rupawan dengan senyum yang muncul perlahan. “Kamu benar. Hanya saja … aku tidak suka jika kamu mengusik milikku.”
Alex meludah. Mana mungkin ia percaya pada William. Ia kenal banyak pria kaya dan tidak ada satu pun yang benar-benar serius berhubungan dengan gadis seperti Amanda. Bukankah William hanya akan bermain dengan Amanda? Kenapa ia tidak boleh ikut serta?
“Sepertinya gadis itu hanya dimiliki satu malam saja. Anda tidak mungkin mengurusi setiap gadis yang berhubungan dengan Anda bukan? Apa saya salah?”
“Apa aku terlihat seperti seorang pria yang tidak bisa mengurusi milikku untukmu? Aku membayar cukup mahal, ingat itu.”
Alex mencebik. Yang dikatakan William benar. Uang yang masuk ke rekening Alex besar sekali sehingga ia melunasi utang dan masih bersisa untuk berpesta.
“Itu tidak adil untuk saya,” keluh Alex.
Jika manusia biasanya menyesal setelah berbuat kesalahan, Alex tidak begitu. Ia sama sekali tidak menyesal sudah memperlakukan Amanda sedikit kejam. Jika saja Amanda adalah gadis yang bisa diajak kerjasama ia pasti membagi hasilnya dengan seimbang. Sayang, mantan kekasihnya adalah orang kolot.
“Jika aku melihatmu sekali lagi menganggu milikku, akan kupatakan kaki dan tanganmu.”
William nyaris tak pernah main-main dengan ancamannya. Ia berjalan dan berhenti di sisi Alex, menepuk bahu pria tersebut sebagai tambahan peringatan. Sebuah mobil berhenti di depan jalan setapak, Willaim meninggalkan Alex terpaku, begitu juga dengan orang-orangnya.
“Orang kaya benar-benar menyebalkan!” desah Alex sambil bernapas lega.
Ia menyugar rambutnya dengan kesal. Kalau saja ia memiliki sepertiga saja kekayaan seperti William dan menjadi pewaris tunggal suatu perusahaan, tidak mungkin hal buruk seperti ini akan terjadi padanya.
Alex mendengar langkah kaki yang mendekatinya berhenti. Dilihatnya ada Amanda dan Prisilla berdiri tak jauh darinya.
“Wah, kita benar-benar berjodoh, ya, Amanda?” Alex merentangkan tangan menyambut kedatangan mantan kekasihnya.
Walau berdiri tegak, tubuh Amanda tak bisa berhenti bergetar. Bukan hanya karena takut, tetapi marah dan rasa dendam yang membara. Jika saja tak memiliki pengendalian diri yang baik, ia sudah sejak tadi mengambur dan menghajar Alex.
Prisilla rupanya sudah mengantikan Amanda. Tangan sahabatnya itu sudah menempel di pipi Alex, membuat pria brengsek itu terpaku di tempat. Lalu ditariknya Amanda untuk meninggalkan tempat itu.
“Aku tidak akan lagi pergi ke pesta,” bisik Prisilla pada Amanda. “Jika bertemu dengan si brengsek itu, aku tidak tahu apakah cukup waras untuk tidak berusaha membunuhnya.”
Amanda tertawa dan memeluk Prisilla erat-erat. Senang rasanya memiliki teman seperti Prisilla.
Kuburan Wyatt terletak di dekat makan Anna. Nama Wyatt terpampang jelas di sana. William sangat keberatan dengan kedatangan William ke makan Wyatt. Menurutnya tak perlu melakukan hal yang berlebihan menunjukkan rasa hormat yang tak seharusnya tak diterima Wyatt. “Usia kandunganku sekarang tiga bulan! William sangat tidak suka saat aku mengusulkan ke sini! Tapi, aku harus pergi ke sini!” Amanda bermonolog sendiri. Ia berhenti dan menoleh ke arah jalan masuk tempat ia datang. Ada Azzar di sana dan juga Inel. Ia berhasil menyuruh dua orang itu berhenti di pintu masuk. Jadi ia bisa mengatakan apa yang ingin dikatakan di sini. “Aku sama sekali tidak merasa sedih karena kematianmu! Hubungan kita tidak sampai seperti itu, bukan! Kamu tidak menyukaiku, aku juga tidak!” Ia lalu meletakan salah satu buket bunga yang dibawa di makam Wyatt dan satunya lagi di tempat Anna. “Ibu menceritakan padaku seperti apa Anna. Kami berhasil menemukan salah satu foto tua wanita yang kamu cintai itu. Dia .
“Kenapa kamu muncul di sini lagi? Astaga!” Stefani terpekik di depan pintu. Kepala William muncul kembali. Kalau Amanda tak salah hitung itu sudah terjadi sebanyak tiga kali dengan intensitas sepuluh menit sekali. Amanda yang mengetahui perbuatan William hanya berpura-pura saja tak mendengar dan tetap fokus pada riasannya yang sedang dikerjakan. “Apa riasannya sudah selesai?” tanya William datar. “Kalau dia sudah selesai, aku akan mengantarnya ke depan pintu! Pergilah dari sini atau aku akan membawa kabur istrimu!” Ancaman keluar dari mulut Stefani. Saat wanita yang menjadi perancang busana itu menutup pintu dengan dibanting keras, ia masih saja merungut panjang pendek. “Lihat bagaimana pria menyebalkan itu menjadi posesif pada apa yang dimilikinya!” tambahnya sambil menyentak-nyentak ujung gaun Amanda sehingga semakin cantik jatuhnya. “Maafkan dia!” pinta Amanda mewakili William. “Pastikan dia membayar dua kali lipat. Biaya jasa dan permintaan maaf karena sudah menganggu!” seru
Amanda memandangi bayangannya di cermin. Tak menyangka akan bersama William semalam. Mereka berdua bahkan melupakan makan malam. Lalu pagi tadi, William bangun di sampingnya tersenyum dan mengucapkan kata “pagi” dengan senyum cerah.“Jantungku tidak akan kuat!” keluh Amanda.Mengingat bagaimana William begitu menginginkannya saja sudah membuat Amanda meledak karena senang. Benar seperti ini, kan, rasanya dicintai?” Tanya Amanda di dalam hati.Suara ketukan di pintu kamar menyentak lamunan Amanda. Ia menoleh. “Siapa?” tanyanya. Dalam hati ia menebak, Jangan-jangan itu William?Setelah selesai mandi, William bergegas pergi. Amanda sempat melihat Azzar ada di pintu tadi. Ia akan memarahi Azzar nanti saat hanya ada mereka berdua saja.“Ini Inel, Nyonya! Sarapannya mau di kamar atau di ruang makan saja?” tanya Inel.“Ruang makan saja!” seru Amanda.Ia benar
“Astaga ... Pak Azzar! Kenapa berdiri di depan pintu!” seru Amanda kaget.Ia menutup pintu dengan sangat hati-hati supaya tidak terdengar sampai ke dalam kamar mandi. Tetapi, malah hampir menabrak Azzar yang entah bagaimana telah berdiri di sana. Amanda yakin kalau saat ia masuk beberapa saat lalu, tidak ada siapapun di sana. Bahkan saat Inel pelayan yang membantu Amanda membuka pintu, masih tidak ada siapa-siapa.“Tuan William mengirimi saya pesan untuk berada di sekitar sini jika ada apa-apa!” Setelah mengatakan itu Azzar berdehem. Ia sepertinya sedikit malu dengan perintah yang diberikan padanya. Amanda jadi penasaran apa isi perintah sebenarnya. “Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Azzar pada Amanda.“Prisilla sebentar lagi akan datang!”Jika William bahkan menempatkan Azzar di depan pintu, maka sepertinya pembicaraan yang akan dilakukan suaminya itu begitu penting.“Jadi?” tanya
“Maafkan aku!” Esme hampir terjatuh karena membungkuk untuk minta maaf pada Amanda.Sementara itu Amanda sama sekali tidak mengerti kenapa wanita yang menjadi ibu suaminya itu minta maaf. Tetapi, Amanda berhasil menyambut tubuh Esme dan membantunya duduk dengan benar kembali.“Jangan lakukan hal yang berbahaya, Bu!” William terdengar memperingatkan dengan kesal.Di telinga Amanda walau terdengar ketus, peringatan William terdengar tulus. Suara dingin setiap kali berbicara pada ibunya yang keras didengar Amanda sudah tidak lagi ada. Ia benar-benar senang mendapati perubaha selama dirinya tak ada.“Ibu mau minum teh denganku di taman?” tanya Amanda.Ia telah banyak tidur di atas pesawat dan penerbangan yang tak sampai dua jam tersebut sama sekali tidak memberinya efek buruk seperti mabuk. Dilihatnya Esme menoleh dahulu pada William.“Tidak ....”Sebelum William selesai mengatakan penolakan
Amanda menatap awan-awan tipis yang ada di bawahnya. Beberapa saat lalu ia melihat hamparan berwarna biru yang diyakini sebagai laut. Kini ada pepohonan dan rumah-rumah yang seperti kotak korek api. Walau Amanda tidak pernah suka dengan getaran yang dirasakan saat pesawat pertama kali naik dan mendarat. Semua terbayarkan dengan apa yang dilihat sekarang.“Kamu menyukainya?” tanya William.Amanda menoleh dan mengangguk senang. Sejak tadi pipinya ia tersenyum dan rahangnya akan mencapai batasnya sebentar lagi. Ia bisa merasakan sentakan rasa ngilu pada persendian rahang. Akan tetapi, ia merasa sangat senang bisa bersama William, bergenggaman tangan, dan tak harus bersikap tak tertarik pada pria yang menjadi suaminya itu. Ia bahkan siap membayar dengan apapun yang dimiliki karena sudah melangar kontrak.“Apa lagi yang kamu sukai?” tanya William selanjutnya.Senyum Amanda tak lantas menghilang walau saat ini ia sedang berpikir. “