Share

Bik Onah

Aku menghempaskan diri di kasur. Tanganku terulur mengambil tas dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat.

"Banyak amat, Neng. Duit dari siapa?" Bik Onah duduk mendekatiku.

Aku sedang menghitung uang yang diserahkan Ummi tadi sore. Aku selalu melakukannya di kamar setelah semua anak-anak tertidur. Rahasia dapur biarlah aku saja yang mengetahuinya.

"Dari Ummi sama Abah. Uang hasil jual ini panti Bik, dibagi buat anak-anak."

Bik Onah terdiam. Raut wajahnya terlihat sedih. Jika panti ini dijual dan kami tidak dapat tempat pengganti, bagaimana nasib ke depannya. Dia sudah tidak punya keluarga. Akulah satu-satunya harapan tempat dia bernaung.

Sejak awal dia bersama kami, dia sudah menyerahkan hidupnya. Aku berjanji akan merawatnya di sisa usia, menemaninya sampai senja. Menganggap dia sebagai orang tua sendiri.

Simbiosis mutualisme.

Aku mulai menghitung satu persatu. Mataku segar melihat uang merah berlembar-lembar di hadapanku. Dunia serasa hidup kembali. Paling tidak, ada oksigen untuk kami bertahan hidup beberapa waktu ke depan.

"Tadi neng mampir ke sana, gitu?"

"Iya, di panggil Ummi. Di telepon pas di toko. Lin pikir apa, ternyata mau di kasih uang segepok." Aku tersenyum senang. Dikasih uang sebanyak ini, siapa yang tidak mau?

"Jadi udah di jual ya, Neng? Terus nanti kita mau tinggal di mana?" Tampak rasa kecewa terlihat dari raut wajah tuanya. Aku menghela napas.

"Belum tau, Bik. Elin belum ada uang buat bayar kontrakan baru. Mahal-mahal sekarang harga rumah." Aku mencoba menjelaskan secara perlahan dan memberikan pengertian kepada orang tua tidaklah sama dengan berbicara kepada anak-anak.

Kecenderungan lansia yang paling jelas terlihat adalah rasa ketakutan yang berlebihan. Lumrah, semua lansia mengalaminya. Bik Onah termasuk salah satunya. Dia sampai tidak bisa tidur berhari-hari sejak panti dinyatakan akan di jual.

Aku berusaha untuk tidak panik dan bersikap setenang mungkin agak suasana tetap kondusif. Anak-anak sih tahu apa? Mereka tahunya hanya makan dan bermain. Selama masih bisa bermain sampai puas, hati mereka senang dan tidak mengkhawatirkan apa pun.

"Terus anak-anak gimana. Mau di lepas di jalanan? Kasian mereka, Neng. Bibik engga tega." Mata Bik Onah terfokus melihat uang yang kuhitung. Ah, nanti akan kuselipkan selembar untuknya. Untuk dia simpan, mana tahu ada keperluan sendiri.

Aku menggeleng. "Engga. Bibik tenang aja. Tadi Lin udah ketemu sama pembeli rumah ini. Kita masih di kasih tambahan waktu sebulan lagi. Tapi setelah itu ..." Aku terdiam.

Lembar terakhir selesai ku hitung. Pas, lima puluh lembar uang seratus ribuan. Untuk operasional ini banyak, tapi untuk bayar kontrakan baru jelaslah kurang.

Kemana aku akan mencari sisanya? Tak usah dipikirkan Lin, rezeki itu akan ada saja. Jangan meragukan Dia Yang Maha Pemberi. Alhamdulillah. Aku mengucap syukur dalam hati.

"Yang beli rumah ini baik ya, Neng. Kalau orang lain udah di usir kali kita."

"Iya, Bik. Ternyata kakak kelas Elin dulu waktu masih kuliah." Aku sedikit bercerita. Selama ini memang Bik Onah tempat aku mengadu. Dia yang selalu ada menemani, seperti ibu kandung sendiri bagiku. Begitu sebaliknya, menganggap aku putri kandungnya dan anak-anak seperti cucunya sendiri.

"Ooo, sudah sukses dia?" Wanita tua itu nampak penasaran. Memangnya masih ada orang sebaik itu di dunia ini? Biasanya juga main usir saja, tidak perduli si pengontrak mau tinggal dimana setelahnya.

"Yah, memang dasar orang tuanya kaya, Bik. Dia mau apa saja bisa." Aku tidak akan menjelaskan panjang lebar. Cukup dia tau sekilas. Biarlah selebihnya menjadi rahasiaku sendiri.

"Cakep ga, Neng? Kali-kali aja jodoh kan udah kenal." Wanita itu tertawa geli. Kalau soal lelaki, dia suka menggodaku. Dia berharap aku segera mendapatkan jodoh.

Mulai lagi. Kenapa semua orang menginginkan aku segera menikah. Mereka tidak tahu apa, aku masih belum memikirkan hal itu. Hanya anak-anak yang menjadi prioritas-ku sekarang.

"Udah punya istri, Bik. Udah punya anak juga," jawabku. Dia nampak terkejut. Pupus harapannya setelah tahu, mungkin dia berharap masih single.

Lelaki mapan, tampan nan rupawan dan masih single di saat ini sudah langka. Kebanyakan sudah beristri dan mempunyai anak. Kalaupun ada hanya dua kemungkinan, maho atau impoten? Eh!

"Terus kalau mepet waktu kita belum dapat tempat baru gimana?"

"Mungkin Elin bakal nerima tawaran Pak Broto." Pilihan terakhir hanyalah itu. Biar bandotan juga dia kaya raya. Anak-anakku tetap akan sejahtera jika aku bersuamikan dia.

"Ya Alloh, Neng. Jangan." Nada suaranya menandakan rasa tidak terima. Dia tidak suka. Katanya tidak pantas. Tapi kita tidak tau jodoh kan? Jika memang sudah takdirku, mau apa lagi?

"Mau gimana lagi." Aku pasrah saja kalau begini.

"Emang eneng rela perawan eneng di bobol si tua bangka itu? Bibik ga rela." Dia mencibir.

Ha ... ha ... ha ... Aku tertawa mendengarnya.

"Ya ga tau juga. Nanti Elin coba ngomong lagi sama yang beli rumah. Kali dapat keringanan lagi." Aku berusaha menenangkan.

"Iya, Neng. Kalau dia kaya jadi bini keduanya juga ga apa-apa."

Eh apa ini? Kenapa malah menyarankan aku jadi perebut suami orang?

"Yeeee ... bibik. Mending jadi istri Pak Broto. Ga ngambil suami orang." Aku menggeleng. Jangan ah, aku tidak tega jika sampai itu terjadi. Sesama wanita tidak boleh saling menikung. Camkan itu!

"Kalau bibik biar aja sih jadi istri kedua tapi lakinya muda cakep. Neng pan cantik, masa dapet kakek-kakek peyot." Bibirnya kembali mencibir. Mungkin membayangkan wajah Broto yang duduk bersanding denganku di kursi pelaminan.

Ada-ada saja.

"Ya Alloh, Bik" Aku tertawa dalam hati.

"Mudah-mudahan ada jalan ya, Neng. Jangan sampai jadi nyonya Broto. Bibik ga sanggup ngeliatnya. Biar aja jomlo dulu. Kali-kali aja nanti ada jodoh selain si Broto ntu."

Lah, gantian malah dia yang tertawa. Aku menggelengkan kepala. Bibik, pandai juga bercanda.

"Amin. Semoga ya, Bik. Semoga di kasih yang terbaik buat kita."

Aku memeluknya erat. Rasanya nyaman berada di pelukan wanita ini. Kami melanjutkan perbincangan sambil tidur-tiduran di kasur.

Seperti bisanya setiap malam sebelum tidur, saling berbagi cerita. Aku menceritakan kegiatan selama di toko, dia menceritakan kejahilan anak-anak di panti.

Bibik yang selalu mengeluhkan tingkah anak-anak yang nakal, yang membuatnya pusing. Aku hanya mendengarkan, aku tahu dia hanya lelah tapi tak pernah meninggalkan kami.

Mulutnya yang super bawel saat memarahkan anak-anak, tapi penuh kasih sayang merawat jika ada salah satu yang sakit. Hal ini membuatku sadar bahwa aku tidak sendirian menghadapi semua ini. Ada mereka bersamaku, menjadi penguat dan pelindung menghadapi semua cobaan yang akan datang.

Maka nikmat mana lagi yang hendak kau dustakan?


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status