Share

Emergency Morning

Sret!

Panji merebut kunci mobil dari tangan Sana. “Kamu pulang sendiri, ada yang harus kubicarakan dengan Nona Angsana,” ucapnya, ditujukan pada Selma.

Acara fitting baju pengantin gagal total, bahkan sampai jam operasional butik hampir selesai pun tidak ada yang bisa diperoleh melainkan sebuah kerumitan. Dari tatapan pria itu, Selma memiliki firasat yang tidak baik. Kendati demikian, gadis itu seratus persen yakin bahwa Sana tidak seperti yang Madam Runi dan Panji bicarakan.

“Hati-hati, ya, Om! Kalau sampai Sana kenapa-kenapa,” Selma menudingkan telunjuk, “urusannya sama saya!” peringat gadis itu.

“Justru kalian yang akan berada dalam masalah karena mencoba menipu saya.” Selesai dengan kalimatnya, Panji menarik Sana dengan kasar. Calon pengantin baru itu meninggalkan butik lebih dulu.

“Siapa yang menipu siapa, perasaan dari tadi nggak ada satu pun omongan gue yang dipercaya. Ampun, deh!” Selma lantas menoleh Madam Runi di sebelahnya, mengatakan, “Madam, saya permisi dulu. Terima kasih untuk hari ini.”

Madam Runi menekuk leher dengan hormat. “Tidak perlu berterima kasih, Nona. Saya justru harus meminta maaf pada Anda atas apa yang terjadi hari ini. Mohon Nona Selmara tidak tersinggung, saya berharap yang terbaik untuk Nona sekeluarga,” ucapnya, dengan tulus.

“Tidak masalah, saya bukan tipe orang yang mudah terpikirkan sesuatu. Mari, Madam.”

Selma bergegas hengkang dari butik, harap-harap kecepatan mengemudinya bisa menyusul mobil Panji untuk memastikan Sana baik-baik saja. Jalanan malam yang tidak pernah lengang, tapi tidak satu pun dari baris roda itu menunjukkan milik pria itu. Ferrari hitam yang nomor polisinya entahlah, sangat menguji kejelian mata Selma.

Roda empat berpoles merah ceri yang dikendarai gadis itu memaksa speedometer bekerja hingga melewati angka enam puluh kilometer, tentu saja dengan isi kepala yang bekerja sama kerasnya mengolah beberapa masalah. Kesampingkan dulu masalah Viko, karena sejujurnya Selma telah meninggalkan keparat itu sejak Panji menambahkan masalah baru padanya.

“Lho, mobilnya Sana kok kamu yang bawa? Anaknya mana?”

Baru turun dari mobil saja sudah disambut dengan kalimat demikian, apalah yang bisa Selma berikan selain tatapan keledai payah. Jelas, Sana belum tiba di rumah. Jika sudah, mana mungkin dihadang pertanyaan seperti itu.

“Sana belum pulang, ya, Tante?” tanya Selma pada Gianti –ibunya Sana.

Gianti meletakkan cangkir teh, lantas menghampiri Selma. “Emang kamu nggak sama dia?” tanyanya kembali.

“Dia tadi sama Om Panji.”

Gianti tertawa singkat, lalu mengatakan, “Kenapa panggilnya Om, dia cuma selisih setahun sama Damar.”

“Ah, Tante bercanda. Selisih setahun sama Kak Damar, itu artinya berjarak sepuluh tahun sama aku,” timpal Selma.

“Ya udah, kamu pulang dulu sana. Kamu hilang dari siang, ‘kan? Mama kamu nyari dari tadi,” suruh Gianti.

“T-tapi, Sana gimana, Tan?”

“Biarin, sama calon suaminya sendiri kenapa dipermasalahin?” Nada bicara dan sorot mata Gianti tampak ringan, tenang-tenang saja membiarkan anaknya dibawa Panji.

Dengan pasrah bin terpaksa, Selma menelusuri jalanan paving yang menghubungkan tiga rumah di kompleks bernama Vallregency tersebut. Gadis itu lelah, sampai-sampai keberadaan kakek dan neneknya di gazebo hanya disapa dengan lambai tangan beriring senyum kaku.

Yang ada di pikiran Selma saat ini adalah Panji, pria itu tidak seperti bisa memperlakukan wanita dengan layak. Baiklah, tidak apa jika itu dirinya, tapi kali ini adalah Sana. Wanita anggun yang menjadi putri mahkota kebanggaan keluarga itu bisa tergores kalau dihadapkan dengan sarkasme tangan Panji.

“Mama Lea, anakmu pulang!” pekik Selma, volumenya tidak sekuat hari-hari biasa.

Azalea–ibu Selma–menjemput putrinya yang baru memasuki ambang pintu. “Ingat pulang juga kamu, Mama pikir nunggu bulan ganti shift,” ledeknya, sembari mengiringi langkah Selma.

“Aku yakin Mama nggak bakal ngomong kaya gitu kalau tahu apa aja yang udah terjadi hari ini.” Selma menimpakan tubuhnya ke sofa.

“Kamu nggak usah banyak drama, buruan mandi sana! Jangan mandi malam-malam, nanti disamperin kuyang baru tahu rasa kamu.”

“Disamperin kuyang juga biarin. Itu lebih baik daripada ketemu manusia, tapi isinya bukan manusia,”jawab Selma.

“Kayanya serius, nih. Habis bikin masalah sama siapa lagi kamu? Coba kaya Sana itu. Udah kalem, lihatnya juga bikin hati adem.”

Alah, kumat lagi. Selma sudah kebal, mengunggulkan anak orang memang penyakit seluruh ibu di muka bumi ini. Tidak menampik, karena ia sendiri juga mengakui bahwa Sana memang sepantas itu untuk dibanggakan. Namun, asumsi itu sedikit goyah setelah memikirkan klaim Madam Runi di butik tadi. Bagus, pulang ke rumah bukannya tenang malah mamanya membuat pikiran Selma membuncah lagi.

Selma bangkit dari sofa, kemudian dengan malas mengatakan, “Daripada ngomongin anak orang, mending Mama pikirin dulu anak sendiri yang habis diselingkuhin ini.”

“Selingkuh? Siapa yang selingkuhin kamu? Viko, ya? Hei, Sayang, jelasin dulu ke Mama. Selma, tunggu dulu!”

Kehebohan Azalea hanya mendengung di telinga Selma. Tanpa merasa berdosa, si anak tunggal itu meninggalkan ibunya dan mengunci diri di kamar. Peduli amat, penjelasan tidak lengkap itu sepele bagi Selma. Namun, setelah sampai ke telinga Azalea akan berbeda cerita lagi. Bukan apa-apa, minimal Viko akan masuk daftar hitam dalam beberapa sektor kekuasaan keluarga Vallence.

***

“Selma, bangun!”

Suara gedoran papan kayu itu mengganggu tidur cantik Selma, siapa lagi pelakunya kalau bukan Azalea. Kode darurat, gadis yang tersimpan di balik selimut itu buru-buru memotong mimpi indahnya. Tidak biasanya ia dibangunkan sampai seheboh itu, toh setiap pagi selalu disambut Selma tanpa harus dipaksa terlebih dahulu. Padahal sedang seru-serunya menginjak wajah Viko, tapi ibu negaranya memaksa pesta fana itu untuk usai.

Separuh nyawa yang telah kembali digunakan Selma untuk membuka pintu. “Ini masih jam enam, lho, Ma. Kalau tulangku lagi baik, aku juga udah bangun dari tadi. Kenapa, sih?” sambut gadis itu.

Oh, kenapa air muka ibunya seperti baru mendapat kabar perang dunia, tegang sekali. Materi seminar yang belum siap, jadwal mengajar yang dimajukan, jangan sampai pula ibunya itu menambah beban baru dalam daftar tugasnya.

“Cepat bereskan dirimu, Kakek ingin kita berkumpul di rumahnya pagi ini.”

Gedubrak!

Tanpa mengindahkan ekspresi ibunya, Selma langsung membanting pintu dan bertempur di dalam kamar mandi. Ini bukan undangan sarapan, kakeknya tidak mungkin memerintah kalau bukan karena sesuatu yang benar-benar mendesak. Tidak ingin berpikiran buruk, gadis itu menenangkan pikirannya dengan menduga bahwa ini adalah pengumuman resmi pasal pernikahan Sana dan Panji. Santai, memang semudah itu bagi Selma membuat wajahnya awet muda.

Entah sebrutal apa pun kelakuannya, soal penampilan tetaplah yang utama. Terlebih lagi jika menghadap Kakek Sagara, larangan keras bagi Selma untuk membawa gaya premannya ke dalam rumah utama. Dress lilac selutut telah dipatut pada tubuh, dengan sedikit tergesa gadis itu mencari sepatu teplek untuk mengalasi kakinya.

Plak, plek!

Jarum panjang yang hampir menyentuh angka dua belas membuat Selma ngebut menuruni tangga. Ibu dan ayahnya tidak tampak di mana-mana, sudah jelas ia ditinggalkan. Tidak apa, lagi pula Selma biasa keluar-masuk rumah kakeknya tanpa pendampingan mereka.

“Mobilnya Om Panji bukan, sih?” lirih gadis itu, mencoba mengingat roda empat yang tersimpan di parkiran.

Bruk!

“Aw, Sana!” pekik Selma, memegangi bahu bekas ditubruk sepupunya.

Tidak merespon apalagi meminta maaf, Sana langsung kabur dari hadapan Selma. Mungkin ini bukan pertemuan baik seperti yang ada di bayangan Selma. Gadis itu melihat dengan jelas anak sungai yang dicetak sudut mata Sana. Sekuat apa pun sepupunya itu membekap mulut, suara isakannya masih sampai ke telinga Selma.

“Sana, tunggu!” pekik Gianti, mata basahnya mengiringi sang putri yang menuju parkiran.

“Selma, masuk! Kakek mau bicara sama kamu,” teriak Sasmara–ayah Selma–yang tampil setelah ibunya Sana.

Apalah daya, Selma justru mengejar Sana daripada menuruti panggilan sang ayah. Sialnya, sepupu perempuan itu sudah kabur menggunakan Honda City merah ceri kesayangan, menyisakan Selma yang diseret Sasmara ke dalam rumah.

Kakek Sagara muncul di ambang pintu. “Kejar dia, aku mau Sana ada di sini sebelum tengah hari!” perintahnya, lantas jajaran pengawal berseragam hitam berlari keluar dari rumah utama.

Ini buruk, entah apa yang akan terjadi pada dua putri mahkota keluarga Vallence. Selma pikir, ini semua masih ada kaitan dengan pria yang saat ini duduk di ruang tamu kakeknya, Panji Antaraxa.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Upen Supenti
wow...serrruuuu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status