Home / Romansa / Perawan Untuk Om Duda / Emergency Morning

Share

Emergency Morning

Author: Daisyster
last update Last Updated: 2022-03-24 16:15:40

Sret!

Panji merebut kunci mobil dari tangan Sana. “Kamu pulang sendiri, ada yang harus kubicarakan dengan Nona Angsana,” ucapnya, ditujukan pada Selma.

Acara fitting baju pengantin gagal total, bahkan sampai jam operasional butik hampir selesai pun tidak ada yang bisa diperoleh melainkan sebuah kerumitan. Dari tatapan pria itu, Selma memiliki firasat yang tidak baik. Kendati demikian, gadis itu seratus persen yakin bahwa Sana tidak seperti yang Madam Runi dan Panji bicarakan.

“Hati-hati, ya, Om! Kalau sampai Sana kenapa-kenapa,” Selma menudingkan telunjuk, “urusannya sama saya!” peringat gadis itu.

“Justru kalian yang akan berada dalam masalah karena mencoba menipu saya.” Selesai dengan kalimatnya, Panji menarik Sana dengan kasar. Calon pengantin baru itu meninggalkan butik lebih dulu.

“Siapa yang menipu siapa, perasaan dari tadi nggak ada satu pun omongan gue yang dipercaya. Ampun, deh!” Selma lantas menoleh Madam Runi di sebelahnya, mengatakan, “Madam, saya permisi dulu. Terima kasih untuk hari ini.”

Madam Runi menekuk leher dengan hormat. “Tidak perlu berterima kasih, Nona. Saya justru harus meminta maaf pada Anda atas apa yang terjadi hari ini. Mohon Nona Selmara tidak tersinggung, saya berharap yang terbaik untuk Nona sekeluarga,” ucapnya, dengan tulus.

“Tidak masalah, saya bukan tipe orang yang mudah terpikirkan sesuatu. Mari, Madam.”

Selma bergegas hengkang dari butik, harap-harap kecepatan mengemudinya bisa menyusul mobil Panji untuk memastikan Sana baik-baik saja. Jalanan malam yang tidak pernah lengang, tapi tidak satu pun dari baris roda itu menunjukkan milik pria itu. Ferrari hitam yang nomor polisinya entahlah, sangat menguji kejelian mata Selma.

Roda empat berpoles merah ceri yang dikendarai gadis itu memaksa speedometer bekerja hingga melewati angka enam puluh kilometer, tentu saja dengan isi kepala yang bekerja sama kerasnya mengolah beberapa masalah. Kesampingkan dulu masalah Viko, karena sejujurnya Selma telah meninggalkan keparat itu sejak Panji menambahkan masalah baru padanya.

“Lho, mobilnya Sana kok kamu yang bawa? Anaknya mana?”

Baru turun dari mobil saja sudah disambut dengan kalimat demikian, apalah yang bisa Selma berikan selain tatapan keledai payah. Jelas, Sana belum tiba di rumah. Jika sudah, mana mungkin dihadang pertanyaan seperti itu.

“Sana belum pulang, ya, Tante?” tanya Selma pada Gianti –ibunya Sana.

Gianti meletakkan cangkir teh, lantas menghampiri Selma. “Emang kamu nggak sama dia?” tanyanya kembali.

“Dia tadi sama Om Panji.”

Gianti tertawa singkat, lalu mengatakan, “Kenapa panggilnya Om, dia cuma selisih setahun sama Damar.”

“Ah, Tante bercanda. Selisih setahun sama Kak Damar, itu artinya berjarak sepuluh tahun sama aku,” timpal Selma.

“Ya udah, kamu pulang dulu sana. Kamu hilang dari siang, ‘kan? Mama kamu nyari dari tadi,” suruh Gianti.

“T-tapi, Sana gimana, Tan?”

“Biarin, sama calon suaminya sendiri kenapa dipermasalahin?” Nada bicara dan sorot mata Gianti tampak ringan, tenang-tenang saja membiarkan anaknya dibawa Panji.

Dengan pasrah bin terpaksa, Selma menelusuri jalanan paving yang menghubungkan tiga rumah di kompleks bernama Vallregency tersebut. Gadis itu lelah, sampai-sampai keberadaan kakek dan neneknya di gazebo hanya disapa dengan lambai tangan beriring senyum kaku.

Yang ada di pikiran Selma saat ini adalah Panji, pria itu tidak seperti bisa memperlakukan wanita dengan layak. Baiklah, tidak apa jika itu dirinya, tapi kali ini adalah Sana. Wanita anggun yang menjadi putri mahkota kebanggaan keluarga itu bisa tergores kalau dihadapkan dengan sarkasme tangan Panji.

“Mama Lea, anakmu pulang!” pekik Selma, volumenya tidak sekuat hari-hari biasa.

Azalea–ibu Selma–menjemput putrinya yang baru memasuki ambang pintu. “Ingat pulang juga kamu, Mama pikir nunggu bulan ganti shift,” ledeknya, sembari mengiringi langkah Selma.

“Aku yakin Mama nggak bakal ngomong kaya gitu kalau tahu apa aja yang udah terjadi hari ini.” Selma menimpakan tubuhnya ke sofa.

“Kamu nggak usah banyak drama, buruan mandi sana! Jangan mandi malam-malam, nanti disamperin kuyang baru tahu rasa kamu.”

“Disamperin kuyang juga biarin. Itu lebih baik daripada ketemu manusia, tapi isinya bukan manusia,”jawab Selma.

“Kayanya serius, nih. Habis bikin masalah sama siapa lagi kamu? Coba kaya Sana itu. Udah kalem, lihatnya juga bikin hati adem.”

Alah, kumat lagi. Selma sudah kebal, mengunggulkan anak orang memang penyakit seluruh ibu di muka bumi ini. Tidak menampik, karena ia sendiri juga mengakui bahwa Sana memang sepantas itu untuk dibanggakan. Namun, asumsi itu sedikit goyah setelah memikirkan klaim Madam Runi di butik tadi. Bagus, pulang ke rumah bukannya tenang malah mamanya membuat pikiran Selma membuncah lagi.

Selma bangkit dari sofa, kemudian dengan malas mengatakan, “Daripada ngomongin anak orang, mending Mama pikirin dulu anak sendiri yang habis diselingkuhin ini.”

“Selingkuh? Siapa yang selingkuhin kamu? Viko, ya? Hei, Sayang, jelasin dulu ke Mama. Selma, tunggu dulu!”

Kehebohan Azalea hanya mendengung di telinga Selma. Tanpa merasa berdosa, si anak tunggal itu meninggalkan ibunya dan mengunci diri di kamar. Peduli amat, penjelasan tidak lengkap itu sepele bagi Selma. Namun, setelah sampai ke telinga Azalea akan berbeda cerita lagi. Bukan apa-apa, minimal Viko akan masuk daftar hitam dalam beberapa sektor kekuasaan keluarga Vallence.

***

“Selma, bangun!”

Suara gedoran papan kayu itu mengganggu tidur cantik Selma, siapa lagi pelakunya kalau bukan Azalea. Kode darurat, gadis yang tersimpan di balik selimut itu buru-buru memotong mimpi indahnya. Tidak biasanya ia dibangunkan sampai seheboh itu, toh setiap pagi selalu disambut Selma tanpa harus dipaksa terlebih dahulu. Padahal sedang seru-serunya menginjak wajah Viko, tapi ibu negaranya memaksa pesta fana itu untuk usai.

Separuh nyawa yang telah kembali digunakan Selma untuk membuka pintu. “Ini masih jam enam, lho, Ma. Kalau tulangku lagi baik, aku juga udah bangun dari tadi. Kenapa, sih?” sambut gadis itu.

Oh, kenapa air muka ibunya seperti baru mendapat kabar perang dunia, tegang sekali. Materi seminar yang belum siap, jadwal mengajar yang dimajukan, jangan sampai pula ibunya itu menambah beban baru dalam daftar tugasnya.

“Cepat bereskan dirimu, Kakek ingin kita berkumpul di rumahnya pagi ini.”

Gedubrak!

Tanpa mengindahkan ekspresi ibunya, Selma langsung membanting pintu dan bertempur di dalam kamar mandi. Ini bukan undangan sarapan, kakeknya tidak mungkin memerintah kalau bukan karena sesuatu yang benar-benar mendesak. Tidak ingin berpikiran buruk, gadis itu menenangkan pikirannya dengan menduga bahwa ini adalah pengumuman resmi pasal pernikahan Sana dan Panji. Santai, memang semudah itu bagi Selma membuat wajahnya awet muda.

Entah sebrutal apa pun kelakuannya, soal penampilan tetaplah yang utama. Terlebih lagi jika menghadap Kakek Sagara, larangan keras bagi Selma untuk membawa gaya premannya ke dalam rumah utama. Dress lilac selutut telah dipatut pada tubuh, dengan sedikit tergesa gadis itu mencari sepatu teplek untuk mengalasi kakinya.

Plak, plek!

Jarum panjang yang hampir menyentuh angka dua belas membuat Selma ngebut menuruni tangga. Ibu dan ayahnya tidak tampak di mana-mana, sudah jelas ia ditinggalkan. Tidak apa, lagi pula Selma biasa keluar-masuk rumah kakeknya tanpa pendampingan mereka.

“Mobilnya Om Panji bukan, sih?” lirih gadis itu, mencoba mengingat roda empat yang tersimpan di parkiran.

Bruk!

“Aw, Sana!” pekik Selma, memegangi bahu bekas ditubruk sepupunya.

Tidak merespon apalagi meminta maaf, Sana langsung kabur dari hadapan Selma. Mungkin ini bukan pertemuan baik seperti yang ada di bayangan Selma. Gadis itu melihat dengan jelas anak sungai yang dicetak sudut mata Sana. Sekuat apa pun sepupunya itu membekap mulut, suara isakannya masih sampai ke telinga Selma.

“Sana, tunggu!” pekik Gianti, mata basahnya mengiringi sang putri yang menuju parkiran.

“Selma, masuk! Kakek mau bicara sama kamu,” teriak Sasmara–ayah Selma–yang tampil setelah ibunya Sana.

Apalah daya, Selma justru mengejar Sana daripada menuruti panggilan sang ayah. Sialnya, sepupu perempuan itu sudah kabur menggunakan Honda City merah ceri kesayangan, menyisakan Selma yang diseret Sasmara ke dalam rumah.

Kakek Sagara muncul di ambang pintu. “Kejar dia, aku mau Sana ada di sini sebelum tengah hari!” perintahnya, lantas jajaran pengawal berseragam hitam berlari keluar dari rumah utama.

Ini buruk, entah apa yang akan terjadi pada dua putri mahkota keluarga Vallence. Selma pikir, ini semua masih ada kaitan dengan pria yang saat ini duduk di ruang tamu kakeknya, Panji Antaraxa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Upen Supenti
wow...serrruuuu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Perawan Untuk Om Duda   Duda's Issue

    “Nona Selma, apa nggak nunggu Tuan Panji pulang? Sebentar lagi jamnya, ‘toh?” Selma melirik matahari yang sudah mulai tumbang, lalu kembali merapikan boxwood yang mulai liar di halaman. “Biarin aja, Bi, udah gedhe. Ada aku atau enggak sama aja,” balasnya, pada maid yang mendampinginya sejak tadi. “Nggak sama, lho, Non,” bantah maid tersebut, “Tuan Panji biasanya pulang larut malam, kadang malah nggak pulang. Baru setelah menikah ini Tuan mau pulang sore setiap hari,” pungkasnya. Alah, Selma pikir itu akal-akalan Panji saja, malu sama karyawannya kalau masih pengantin baru malah lembur. Nanti kalau sudah 3 bulan menikah, pria itu pasti kembali ke setelan pabrik. Sejak kejadian di danau, Selma berusaha menyibukkan diri di samping mengunjungi toko bunga. Ia memang lebih menjaga jarak dari suaminya. Kadang para maid sampai terheran-heran, gadis itu suka tiba-tiba muncul dan nimbrung pekerjaan mereka. “Bibi udah lama jadi maid di sini?” tanya Selma, me

  • Perawan Untuk Om Duda   Logika VS Hati = Infinity

    “Oh, ini?” Damar menenteng amplop rahasianya. “Cuma … eum, anu … materi presentasi!” celetuknya, asal.Selma yang masih terkejut, langsung cengo menatap sepupunya itu. “Ah, iya. Materi presentasi.” Gadis itu kikuk.“Presentasi apa?” Panji menimpali.“Kak Damar mau presentasi, dia nanya apa materinya udah jelas apa belum gitu, Om,” terang Selma, memakan umpan Damar.Pria yang merasa hidup dan mati di antara sepasang suami-istri itu sedikit bernapas lega. Untung saja Selma cepat berpikir, ia selalu bangga dengan kemampuan sepupunya itu. Cepat berpikir dan cepat bertindak, tetapi 50% dalam artian negatif, alias gadis itu sebenarnya impulsif. Namun, napas Damar belum sepenuhnya lega sebelum Panji menyatakan percaya.“Apa sekretarismu tidak tahu cara bekerja dengan benar?” Panji mendekat, meletakkan kotak yang ia tenteng sedari tadi.Damar tertawa sumbang. “Ya, begitulah. Dia sudah bekerja dengan cukup baik. Hanya saja, aku yang tidak cepat puas,” alibi pria itu.Panji mengangguk-angguk, l

  • Perawan Untuk Om Duda   Kunjungan Rahasia Adamar

    “Gimana kalau udah diperjuangin, tapi ada hal lain di luar kendali yang bikin layang-layang itu nggak bisa terbang?” Selma berdiri. “Angin, misalnya,” tutup gadis itu. “Itulah. Tanpa angin jadi nggak seru, tapi kalau anginnya terlalu kencang juga jadi rusak.” Sepasang bola mata Selma bertubrukan dengan milik pria itu, Panji. Angin yang terlalu sepoi itu menggoyang anak rambut yang menjulur berantakan di sekitar telinganya, mengundang tangan Panji untuk bermain di sana. Sungguh di luar rencana, ia sama sekali tidak mengharapkan suaminya itu datang tiba-tiba. Sekarang apa lagi, rencana rahasianya bisa gagal jika begini caranya. Selma memalingkan muka, menghindari tangan Panji. “Ngapain Om Panji di sini?” tanya gadis itu, datar. “Kelihatannya kamu kecewa. Kenapa? Padahal saat berkeliling mencari tadi seperti semangat sekali,” jawab pria itu, curiga. Tangannya nekat mengatur anak rambut yang terlepas lalu menyematkan pucuk daun di telinga Selm

  • Perawan Untuk Om Duda   Layang-Layang Tanpa Angin

    "Om, Om, aku juga mau dong punya mainan kaya punya Om Panji." Pria yang semula fokus menggulir layar tablet itu melirik aneh pada istrinya yang membuat pose tembak menggunakan jari. Sejak kemarin, Panji lebih sedikit berbicara, tidak tergoyahkan meski Selma banyak membual tentang florist, bihun gulung, bahkan Dafa ikut menjadi bahan. Satu hal yang menyita perhatiannya, istri kecil itu tidak membahas apa pun soal telepon di kantor kemarin, padahal ia yakin suaranya cukup jelas didengar telinga mereka berdua. Panji bersandar, mengetuk meja dengan irama teratur. "Itu bukan mainan, tidak sembarang orang bisa memilikinya," timpal pria itu. "Jadi, itu beneran bisa buat nembak? Aku juga mau punya, Om!" Mata Selma berbinar, antusias. Tidak ada niatan menjawab. Panji segera menyibukkan diri dengan potongan sandwich di dalam mulut, masa bodoh dengan denting kesal di seberangnya. Dijelaskan juga percuma, ia malas mendebat istrinya yang sampai kapan pun tidak

  • Perawan Untuk Om Duda   Penyergapan Kaliber 25

    Bruak! Glodhak! “Selma, cepat minggir!” Gadis yang diteriaki itu sontak membuka mata dan menemukan Enricko tersungkur. Patung yang sepertinya akan digunakan untuk memukuli Selma tadi sudah terjatuh di dekat galon kosong yang masih menggelinding pelan. Panji. Entah dari mana suaminya mendapat galon besar itu. Meskipun sedikit susah, ia segera beringsut menjauh. “Kamu tidak akan ke mana-mana.” Enricko mencekal pergelangan kaki Selma, tangannya merogoh saku lantas menodongkan pisau lipat yang berkilauan ke arah Panji. “Honestly, aku tidak ingin memakai ini, tapi kalian memaksa.” “Letakkan pisau itu sebelum kau menyesal!” tegas Panji. Sorot matanya dingin, melirik tajam seolah bisa menguliti siapa pun dengan sekali tatap. “Hei, ini bukan situasi di mana Anda bisa mengancam saya, Tuan Taraxa. Lihat, istri Anda ada dalam genggaman saya. Kecuali perusahaan Anda mau bekerja sama, mungkin akan saya pikir ulang untuk melepaskannya.” Senyum percaya diri menghiasi wajah En

  • Perawan Untuk Om Duda   S.O.S - Selma On Scared

    "Sel ... ma ...." SaatPanji merogoh saku hendak menunjukkan foto Selma, ada panggilan masuk dari orang yang ia cari. "Sel, kamu di–" 'Om, esh ... to–long aku ....' Decit suara dari seberang membuat Panji membeku dan siaga dalam sewaktu. "Hei, kamu di mana? Kenapa?" paniknya. 'Ak–' Tutt ..., tutt .... Sembari mengendarai kembali mobilnya, Panji mengalihkan panggilan ke asisten andalannya. "Lacak keberadaan ponsel Selma. Aku mau titiknya sekarang juga. Cepat!" Pria itu tidak memberi kesempatan Dafa untuk berbicara, tubuh dan pikirannya mengendalikan roda empat ke sembarang arah hingga sang asisten berhasil mengirimkan keberadaan Selma. Inikah menikah? Panji benci merasakan ini. Namun, gadis yang kerap mengabaikannya itu terlahir ceroboh, ia tidak bisa mengabaikan naluri alamiahnya sebagai seorang suami. Dan karena dia adalah Selma, Panji tidak bisa berhenti peduli.Sementara itu, gadis yang disebut ceroboh saat ini sedang kacau di dalam Camry Red Mica keluaran t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status