Share

Perceraian yang Terindah
Perceraian yang Terindah
Penulis: Dwi Nella Mustika

Part 1

PERCERAIAN YANG TERINDAH

Part 1

"Lan ... Mas bisa jelasin apa yang terjadi di kamar hotel tadi." Mas Arfan memegang tanganku. Namun, kulepaskan dengan pelan. Kancing baju kemeja merah maroon tampak terpasang tidak sesuai pada mestinya.

"Tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi, Mas." Kutatap netranya yang memerah mungkin menyesal setelah aku memergokinya sedang 'bermain' di kamar hotel. Tak lupa kuukir senyum manis pada Mas Arfan - lelaki yang sudah lima tahun menikahiku, akan tetapi belum dikaruniai buah hati.

"Kamu serius, Lan? Kamu tidak marah sama Mas?" tanyanya penuh selidik, seolah tak yakin dengan jawabanku tadi. Dia memutar tubuhku hingga kini aku berhadapan dengan lelaki berambut hitam pekat nan ikal itu.

"Tidak, Mas," jawabku sigap tetap dengan mengukir senyum. Dan, kembali membersihkan meja makan lepas pakai tadi. 

"Mas, janji sama kamu, Lan. Mas akan berubah dan tidak akan berhubungan lagi dengan Angel. Maaf ya, Mas sudah khilaf. Mas sadar istri sebaik kamu tidak pantas Mas zolimi."

"Apa yang perlu kamu sesali, Mas? Bukankah menyenangkan kegiatan di atas ranjang tadi? Kau begitu menikmatinya, bukan?" Aku bertolak ke dapur hendak mencuci piring bekas pakai makan malam bersama ibu mertua dan iparku yang sudah duluan masuk ke kamar masing-masing sehabis makan tadi.

"Ini ada apa sih ribut-ribut. Kamu juga Arfan, tidak perlu minta maaf pada istrimu yang tidak bisa memberikan keturunan itu. Baguslah kalau dia sudah tahu, jadi tidak ada yang perlu ditutupi lagi. Segeralah kamu menikahi, Angel!" ucap Mama. Aku mendengar dengar jelas apa yang dilontarkan dari mulut wanita yang melahirkan Mas Arfan tiga puluh lima tahun yang lalu.

"Ma!" sergah Mas Arfan.

"Apa? Memang begitu 'kan kenyataannya." Mama menyerang Mas Arfan balik.

"Mas Arfan, apaan sih teriak-teriak! Nggak malu apa kedengaran sama tetangga. Gara-gara perempuan yang nggak bisa memberikan Mas anak itu, Mas tega membentak mama," timbrung Ayudia -- adik Mas Arfan.

"Mama mu benar, Mas. Nikahi lah kekasihmu itu, agar hidupmu tidak dibalut dengan zina berkepanjangan. Sudah lah, tidak perlu berdebat lagi, lalukan apa yang diminta mama dan adikmu," ujarku sembari berlalu melewati Mas Arfan yang masih mematung di dekat meja makan. Dan menatap mama dan Ayudia bergantian yang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya.

Sorot mata kedua perempuan yang sangat berarti bagi Mas Arfan memang sama sekali tak bersahabat menatapku, tentu ini bukan kali pertama.

"Nah gitu, dong. Jadi perempuan kudu tahu diri. Masa selama lima tahun keguguran mulu!" tambah Mama. Namun, aku enggan menanggapinya dan tetap melanjutkan langkah.

"Tidak, Lan. Aku tidak akan menikahi Angel. Aku hanya ingin memiliki satu istri, yaitu kamu." Dia mengikutiku dari belakang sewaktu masuk ke dalam kamar. Memegang pundakku, akan tetapi kutepis pelan.

"Jangan berbohong padaku, Mas. Aku tahu, dari lubuk hatimu terdalam pasti kamu juga ingin mempunyai keturunan. Dan ... benar apa yang dikatakan mama, tak perlu berharap banyak dariku, istri yang selalu keguguran."

"Tapi ... Lan?"

Aku menatapnya, "mandilah! Aku tidak ingin tidur dengan tubuhmu yang belum suci."

💔💔💔

"Halo, Vi. Apa kabar? Tumben nelfon?" sapaku ketika telfon tersambung dengan Vita temanku di kantor lama sebelum memutuskan resign tiga tahun belakang. Aku yang tengah menyetrika pakaian terhenti seketika mendengar dering ponsel.

"Enggak, kamu dimana? Aku lagi di hotel Brisma, barusan lihat Mas Arfan, suami kamu berduaan dengan perempuan. Kamu segera ke sini ya! Aku takutnya salah ngasih info dan takut juga menyebar fitnah."

"Apa? Kamu serius? Atau jangan-jangan salah orang, Vi? Atau mungkin rekan kerjanya Mas Arfan kali, Vi. Biasanya Mas Arfan memang biasa meeting di hotel, Vi," sahutku tak percaya.

"Duh, Lan. Mana ada rekan kerja kalau jalan rangkulan, pelukan gitu. Makanya kamu ke sini saja, udah dulu ya, aku cuma nyampein itu aja."

Sambungan telepon dengan Vita terputus, aku masih mematung. Rasanya tidak percaya akan apa yang dikatakan Vita, tetapi ...

"Ma, aku pergi dulu ya mau ke supermarket," pamitku pada mama mertua yang sedang menonton televisi di ruang tengah sendirian. Aku terpaksa berbohong, takutnya nanti malah mama menghubungi anaknya, dan bisa-bisa aku gagal membuktikan ucapan Vita.

"Halah ... bilang aja mau shopping. Kamu keenakan jadi istri, Lan. Udah nggak kerja, nggak bisa punya anak, bisanya cuma ngabisin uang Arfan saja. Jadi istri itu kudu tahu diri dikit."

"Iya, Ma," jawabku pelan dan berlalu. Ini bukan kali pertama mama mertua berceloteh seperti itu, mungkin sudah ratusan bahkan ribuan kali. Terlebih sejak aku memutuskan untuk resign dari pekerjaanku sebagai sekretaris tiga tahun lalu karena ingin program punya anak.

Kulaju mobil sedan hitam metalik dengan kecepatan sedang menuju hotel yang alamatnya sudah dikirim Vita via W******p padaku. Tadinya aku sempat tak ingin membuktikan omongan Vita tadi, namun demi menjawab semua kecurigaanku beberapa bulan ini. Tidak ada salahnya aku bergerak dan melihat sendiri apakah benar yang dikatakan Vita.

Setelah memarkir mobil, sasaranku menemui receptionist terlebih dahulu. 

"Mbak, apakah di sini ada tamu yang bernama Bapak Arfan Broto?" tanyaku pada perempuan berbalut busana dongker itu.

"Sebentar, Bu. Saya cari dulu." Dia langsung memainkan keyboardnya.

"Ada, Bu. Memangnya ada perlu apa, Bu?"

"Saya boleh minta kunci serepnya? Dia suami saya, yang tengah bersama dengan perempuan lain di dalam kamar."

"Tapi ... Bu. Saya tidak bisa menyerahkannya, ini privasi tamu, dan -,"

"Mbak mau hotel ini saya viralkan di sosial media karena menampung pasangan mesum?" potongku dengan nada mengancam.

Dengan gemetar dia langsung menyerahkan kunci berbentuk ATM itu padaku. Mungkin takut.

Memasuki lift menuju lantai lima dan berjalan di lorong-lorong kamar, suasana sepi mungkin karena aku datang di jam kerja. Aku mengatur napas dan beristighfar, meminta pada sang Pemilik agar dikuatkan jika memang hal terburuk yang aku lihat. Napasku mulai tak beraturan, tubuh semakin gemetar, jantung memompa darah sudah tak normal lagi.

Menempelkan kartu dan menekan handle pelan, aku berusaha agar tidak menimbulkan bunyi. 

Kret!

Rupanya pintu mengeluarkan bunyi ketika aku membukanya. Dan ... seketika netraku memanas menyaksikan mereka yang sedang 'bergelut' di atas ranjang. Aku berusaha agar air mata tak tumpah. Dua pasang mata itu terperangah, aktivitas yang mengasyikkan itu seketika terhenti, dan menatapku yang berdiri di ambang pintu.

"Laniara ..." Mas Arfan dan Angel serentak menyebut namaku.

Dia, Angel. Aku tahu betul siapa wanita yang tengah membersamai suamiku itu.

Mereka kelimpungan saat tertangkap basah, kocar-kacir mengambil pakaian yang berserakan di lantai kamar.

"Tidak perlu kocar-kacir seperti itu, Mas. Lanjutkan saja aktivitas yang mengasyikkan bagimu itu!" Kutinggalkan mereka dengan pintu menganga.

"Lan ... tunggu! Mas bisa jelasin semuanya ..." sorak Mas Arfan yang masih terdengar olehku walaupun samar. Aku mempercepat jalanku, agar lelaki yang masih berstatus suami itu tidak bisa mengejarku.

Tidak perlu dia melihat aku menangis bahkan rapuh akan sakit yang sudah dia goreskan barusan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
ada ya seorang istri yg betah dihina mertua dan ipar juga jadi babu di rumah suaminya. apalagi dulunya seorang sekretaris. pantas aja diselingkuhi krn tolol
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status