PoV Arfan
"Mas, gimana di rumah? Laniara marah nggak?" tiba-tiba Angel menghampiriku yang tengah berjalan di lobi. Mengiringi jalanku di sisi sebelah kanan, jaraknya pun sangat dekat."Sssttttt ... nanti saja bahasnya. Kamu nggak liat karyawan pada liatin. Aku nggak mau memancing kecurigaan mereka. Jaga sikap, Ngel!" ujarku berbisik sembari terus berjalan tanpa menoleh ke Angel. Kondisi lobi kantor memang agak ramai, ya, wajar saja karena sudah menunjukkan pukul setengah delapan lewat ketika mataku tertuju pada sebuah jam besar yang menempel di dinding lobi."Ih ... kamu nyebelin deh, Mas," gerutu Angel lalu terdengar hentakan kakinya. Namun, tak kuhiraukan daripada mengundang segudang tanda tanya para pasang mata. Dia tertinggal di belakang karena aku berjalan dengan cepat.Aku pun sedikit heran mengapa para karyawan di lobi menatap aneh padaku. Hmm ... atau mungkin mereka terkesima melihat ketampananku, tapi aku tak mengacuhkan makanya mereka sakit hati. Ah ... bisa jadi. Ya iyalah, sekarang aku adalah seorang manager salah satu divisi di perusahaan yang bergerak di bidang farmasi.Apalagi, akhir-akhir ini aku merasa beberapa pasang mata perempuan terlihat ingin menggodaku ketika berselisih di jalan di koridor gedung. Jelas sekali wanita zaman sekarang.Kebanyakan wanita itu memang matre dan jelalatan, tidak bisa melihat ketampanan lelaki dan berduit sedikit saja. Dulu, se-rapi apapun aku berpakaian ke kantor, tak ada pasang mata yang terkesima melihatku ketika berjalan. Oh iya, dulu aku hanya karyawan biasa di sebuah perusahan yang bergerak di bidang jual beli mobil bekas dan sangat berbeda kasta dengan sekarang."Mas, kamu keterlaluan banget sih tadi!" protes Angel yang tiba-tiba masuk begitu saja ke dalam ruanganku. Wanita yang memakai rok span berwarna hitam dan kemeja ketat berbahan katun itu duduk di atas meja kerjaku. Aroma parfumnya saja sudah membuatku tergoda."Ya ampun, Ngel!" keluhku tepuk jidat. Ini masih pagi, kita kerja dulu.""Iya, aku tahu ini masih pagi tapi aku 'kan pengen tahu apa yang terjadi di rumah kamu semalam, Mas," jawabnya lembut. Angel membelai wajahku dengan tangan halusnya. Amarahku seketika lenyap di telan udara, Angel memang pandai mengendalikan diriku.Aku menghela napas pelan, lalu menggenggam tangannya yang membelai wajahku tadi, "Sayang, 'kan kemarin aku sudah bilang. Semua akan aman terkendali, apa yang kamu takutkan kemarin, itu sama sekali tidak terjadi." ucapku menyakinkan wanita yang begitu piawai ini. Aku beranjak lalu berdiri di depan wanita berpoles lipstik merah terang di bibirnya."Jadi, itu artinya Laniara nggak marah sama kita, Sayang?" tanya Angel masih tidak percaya. Aku mengangguk pelan."'Kan kemarin aku sudah bilang, aku ini piawai dalam menaklukkan hati wanita terlebih Laniara. Sudah paham betul siapa dia, dan sekarang aku minta kamu tidak usah membahas itu lagi. Lebih baik kita rencanain kedepannya bagaimana.""Aaaaa ...," pekik Angel bahagia, lalu memeluk erat. "Aku seneng dengernya, Mas. Aku pikir setelah kejadian kemarin semua akan hancur lebur, nyatanya tidak." Angel melepaskan pelukannya, aku sedikit merasakan sesak, mungkin kekurangan oksigen saking eratnya dia memelukku hingga rongga dada ini terasa begitu sempit."Udah, ya. Sekarang lanjut dulu kerjanya," suruhku lembut."Okeeeeyyy ... sebagai hadiah karena kamu sudah bisa menyelesaikan semua ini dengan manis. Nanti sehabis pulang kerja aku akan kasih pelayanan VVIP padamu, Mas. Gimana?" tawarnya. Nah, 'kan ... Angel begitu pandai memancing kelelakikanku. Dan lebih hebatnya aku bisa mencurahkan kapan saja, tidak dengan Laniara selalu alasannya tamu bulanan."Ih ... kamu udah bikin kamu gemes pagi-pagi." Kucubit manja kedua pipinya yang begitu kenyal berisi itu. "Ya udah balik gih keruanganmu!" pintaku lembut.Namun Angel masih berdiri, tak mau beranjak. "Apa lagi, Sayang?" tanyaku heran."Gitu aja, Mas. Masa nyuruhnya kayak orang biasa," bibir seksinya manyun."Nih, udah 'kan?" tanyaku selepas mengecup kening, hidung, pipi kiri dan pipi kanannya."Belum, tinggal satu area lagi, Mas!" rengeknya manja.Ketika ingin mendekati area yang dimaksud Angel tiba-tiba ... terdengar seseorang membuka pintu ruanganku.Mataku membelalak melihat sosok yang berdiri di ambang pintu, Angel pun sontak membalikkan badannya dan kaget setelah mengetahui sosok yang berdiri di ambang pintu."Wah ... wah ... hebat ya kalian berdua. Melakukan perzinanan di kantor ini," ujarnya tersenyum tapi menyindir lalu menepuk kedua tangannya. Suaranya begitu lantang."P-pak Sanjaya. A-aku -," ucapku terbata dan bergetar. Seluruh tubuh ini terasa tak bertulang, darahku seketika berhenti mengalir, dada ini terasa begitu sangat sesak, lebih sesak dari pelukan Angel yang begitu erat memelukku tadi."Ma-maaf, Pak. Sa-saya pe-permisi du-dulu," tambah Angel yang berujar ikut terbata-bata. Lalu hendak melangkah."Eeeiiiiittttss ... kamu mau kemana? Masa pas saya datang jadi udahan mesra-mesraannya," sindirnya lagi. Angel mematung tak jadi melanjutkan langkahnya."Anda bener-bener seorang lelaki yang tak tahu diri ya, Pak Arfan. Baru juga menduduki kursi sebagai Manager kurang lebih empat bulan, sudah mencoreng nama baik perusahaan ini." Mata Pak Sanjaya menyalang sempurna menatapku, bak lawan yang sedang menatap musuhnya, ingin menerkam lebih tepatnya."A-aku, bi-bisa -," jawabku berusaha membela diri. Sungguh, aku tidak ingin kehilangan pekerjaan ini."Anda tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi. Sekarang kemasi semua barang-barang, Anda. Dan, angkat kaki sekarang juga dari kantor ini!" potong Pak Sanjaya sebelum aku menyelesaikan ucapanku."Ta-tapi, Pak?" sahutku cepat. Aku masih ingin membela diri."Anda mau keluar dengan sendirinya, atau perlu saya panggilkan satpam untuk menyeret Anda keluar dari sini?" ancamnya. Aku sungguh tidak berkutik lagi, dengan gontai aku merapikan perkakas pribadiku dan memasukannya ke dalam tas kerja.Dengan langkah gontai aku berjalan menuju pintu ruangan."Hei ... itu wanita simpananmu nggak dibawa?" Aku menoleh ke arah Angel."Ma-maksud, Ba-bapak, A-apa?" jawab Angel terbata dan begitu gugup."Kamu angkat kaki juga dari sini. Saya tidak ingin ada wanita penzina dan mur*h*n di kantor ini! teriaknya. Begitu menusuk hulu hatiku, di saat aku mendengar dia menyebut Angel wanita murahan.Angel bergeming, aku pun juga tidak bisa berbuat banyak melindunginya kali ini."Kenapa kalian diam? Dasar memang mental pengecut!""Pak! Cukup Anda menghina saya!" hardikku tak tahan."Lho, bukannya benar apa yang saya katakan. Mau seperti apapun kamu berkilah, saya sudah lihat sendiri perbuatan senonoh yang kalian lakukan.""Harusnya kamu malu, Fan. Saya pikir nyalimu besar, ternyata sebaliknya. Payah!"Ruangan kerja yang biasanya penuh gairah, kini suram mencukam. Aku menyisir setiap sudut hingga peralatan yang ada. Setelah ini tentu tidak akan pernah aku sentuh serta lihat lagi.Gimana pendapat kalian?PoV SantosoSelepas Subuh aku sudah bersiap, tentu saja ingin menyelidik perempuan itu. Aku yakin dia pasti akan berbuat hal yang tidak-tidak. Dan, akan kubuktikan pada Sanjaya bahwa dia bukan perempuan yang tepat menjadi istri serta menantu di rumah ini.Langit pekat mulai beranjak perlahan, kukemudikan mobil dengan laju kecepatan sedang. Semoga saja perempuan itu masih ada di wisma. Untung juga tadi ketika aku berpamitan sama Sanjaya dia tidak banyak bertanya dan semoga saja dia tidak menaruh curiga.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, akhirnya aku tiba di wisma tempat Laniara menginap. Kutepikan mobil beberapa sentimeter dari gerbang, kebetulan di tempat aku memarkir langsung tertuju pada pintu masuk utama wisma. Ini sangat membantuku untuk melihat siapa saja yang keluar masuk.Tepat pukul 07. 00 pagi, targetku keluar dari persembunyiannya. Pasti hari ini ada misi buruk yang akan dia lakukan, kalau tidak mengapa dua musti pergi dari rumah. Jikalau dia benar-benar men
Santoso menaruh kembali botol yang berisikan air minum di kursi tunggu ruang ICU. Selain membawa bekal makanan, Rita juga membawa dua botol minum berukuran sedang serta yang kecil. Sedang berisi air mineral dan yang kecil berisi kopi yang sudah mulai mendingin, tentunya untuk suaminya tercinta."Kenapa Papa jadi salah tingkah? Apa benar dugaan Mama?" tanya Rita penuh selidik.Derap langkah dr. Laila dan dr. Vincen semakin mendekati pintu ruang ICU. Bobby ditangani oleh dua orang dokter saraf, yang mana sebelumnya ditindak sama dr. Laila, tapi selama Bobby di ICU dr. Vincen pun turut turun tangan. Karena dr. Vincen memang bertugas di ruangan ICU serta beberapa ruangan lainnya.Fokus mereka menjadi buyar yang tadinya tertuju pada Santoso, kini beralih pada dua dokter yang semakin mendekati mereka."Nanti bakal Papa ceritain, itu dokter yang nanganin Bobby sudah datang," bisiknya."Itu 'kan dr. Laila, dokter yang pernah kamu maki-maki, Pa.""Sstttt ... iya," sahut Santoso kesal.Rita, San
Kembali ke PoV Laniara ya ..."Terus selama di sana kamu nginap di mana?" tanya Mama Rita sembari melepaskan pelukan perlahan."Tidak jauh dari pemukiman itu ada wisma, di situ aku menginap, Ma."Pakaian kamu bagaimana, Sayang? Bahkan pas pulang tadi kamu tidak membawa apapun dari rumah."Aku menatap kedua manik mata Mas Sanjaya, ada rasa bersalah saat aku memutuskan pergi tanpa minta persetujuannya terlebih dahulu."Mas ... sebenarnya aku ingin cerita sama kamu soal niat aku ini. Cuma ketika melihat Mama terbaring lemah tidak berdaya kuputuskan untuk ngelakuinnya sendiri tanpa melibatkan kamu. Dan ... kalau aku jujur, pasti kamu akan melarang aku, pasti kamu akan selalu bilang ini semua ujian. Lalu, aku akan larut dalam rasa bersalahku ketika mata ini menatap Mama yang lemah dan telinga ini akan mendengar soal Bobby yang belum ada perkembangannya. Dan, semua pakaian ku masih berada di wisma, Mas."Mata Mas Sanjaya makin berkaca-kaca."Aku akan semakin merasa bersalah tanpa melakukan
Bobby masih terbaring lemas sembari bangun dari koma selama lebih kurang dua Minggu lamanya."Permisi, Mbak," sapa Santoso yang lebih dulu ingin masuk ke ruangan Bobby."Iya, Pak. Jangan lupa cuci tangan dan pakai baju ini dulu, ya!" ucap Sonia, perawat ruang ICU yang berjaga shift malam."Iya, Mbak. Bobby beneran baru sadar, Mbak?""Iya, Pak. Tak lama Bobby sadar, saya langsung menghibungi Bapak. Alhamdulillah banget ya, Pak. Bobby bisa sadar secepatnya ini. Bener-bener takdir Allah itu tak disangka-sangka. Soalnya saya sangat jarang menemukan pasien yang sadar secepat ini sadar dari koma, Pak.""Benarkah, Mbak?" tanya Santoso tidak percaya. Hal yang wajar jikalau Santoso tercengang seperti itu, mengingat belum ada keluarganya yang pernah koma."Iya, Pak. Selama saya mengabdi kurang lebih sepuluh tahun, ini sungguh keajaiban sang Pencipta. Apalagi Bobby mengalami luka cukup parah ditambah kondisi tubuhnya sudah lemah." Ya wajar saja, karena Bobby anak yang punya pergaulan bebas entah
"Gimana, Mama saya, Dok?" tanyaku pada seorang dokter yang berdiri di sisi tempat tidur Mama."Kita berbicara di ruangan saya saja, Pak," jawabnya. Membuat rongga dadaku semakin sempit."Baik, Dokter."Aku mengekori sang dokter menuju ruangannya. Papa? Dia tidak ikut. Aku pun juga tidak menawarinya untuk ikut dengan ku ataupun meminta Papa untuk tegap berada di dekat Mama."Jadi bagaimana keadaan Mama saya, Dok?" tanyaku ketika aku sudah dipersilakan duduk oleh dr. Laura di ruangannya yang tidak jauh dari ruangan IGD."Apa Mama, Bapak sedang lagi dalam masalah besar? Tampaknya beliau depresi berat.""Saya tidak tahu pasti, Dok. Tapi yang jelas, sekarang adik saya masih belum sadar pasca operasi kemarin."Dr. Laura mengangguk paham."Untuk sementara waktu, mamanya dirawat di sini dulu sampai benar-benar pulih. Karena obat penenang yang dia telan melebihi dosis dan itu juga yang menyebabkan pada akhirnya beliau pingsan.""Jadi, Mama minum obat penenang, Dok? Obat yang tadi itu, penenang
PoV SanjayaAku dan Laniara terbelalak melihat Mama tergeletak di lantai. Masih memakai pakaian semalam. Serentak aku dan istri berjalan setengah berlari menghampiri Mama. Kamar Mama cukup luas, berukuran tujuh kali tujuh meter. Ya, cukup besar dan lengkap."Ma ... bangun ... Bangun, Ma ...." Laniara mengguncang serta menepuk lembut pipi Mama sembari terus memanggil. Aku masih terperangah tak berdaya menatap dalam kedua wanita yang sudah melahirkanku itu yang masih terpejam. Mulutku terasa berat untuk berucap. Tanganku gemetar ketika memegang tubuh Mama yang tidak berdaya. Wajah Mama juga pucat pasi."Mas ... ini obat apa?" tanya Laniara sembari memperlihatkan beberapa butir obat yang dia punguti dari lantai.Aku tak menyahut, bibir ini begitu kelu."Denyut nadi Mama masih ada kok, Mas. Kamu jangan panik," ujar istriku menenangkan. Namun, sekalipun begitu tak ampuh bagiku saat ini.Terdengar Laniara kembali memanggil Mama, tapi Mama tak juga sadar. Jangan 'kan menyahut merespon dengan