Share

Part 5

last update Last Updated: 2022-03-31 19:24:05

PERCERAIAN YANG TERINDAH

Part 5

Aku mengatur napas setelah memarkir mobil di dalam garasi rumah yang kubeli sebelum menikah dengan Mas Arfan. Sederhana dan tidak begitu luas, akan tetapi ada rasa kebanggaan padaku di usia masih muda sudah diberikan kemampuan oleh Allah untuk berteduh.

Alhamdulillah, aku sudah sedikit lebih tenang setelah mengonsumsi obat selepas makan tadi. Dadaku sudah tidak terasa sesak lagi, detak jantungku sudah terasa normal lagi. Selain obat, sepanjang jalan pulang tadi aku selalu beristighfar, agar semakin damai.

"Assalamu'alaikum."

"Heh! Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang? Tuh, rapikan meja makan! Gara-gara kamu terlambat pulang kami harus memesan makan online," sergah mama dengan mata yang menyalang sempurna ketika pintu utama terbuka lebar. Bukannya menjawab salamku terlebih dahulu. Namun, ini memang kebiasaan mama yang sudah bertahun-tahun.

Tidak pernah kurasakan sambutan hangat kecuali setahun menikah. Mama, adik ipar begitu manis memperlakukanku bak putri kerajaan disanjung, dihormati, dan disegani. Malah selepas pulang bekerja mama selalu menyiapkan air hangat untukku mandi karena aku hampir setiap hari pulang selepas Ba'da Isya terkadang Ba'da Magrib. Sangat jarang jika sore aku sudah berada di rumah.

Sebentar, aku baru ingat mama berubah ketika aku keguguran di usia lima minggu. Aku dinyatakan oleh dokter kandungan positif hamil setelah umur pernikahanku baru berusia sepuluh bulan. Namun, ....

'Sabar, Laniara. Jaga emosimu, permainan sebentar lagi akan dimulai. Jangan terpancing.'

"Iya, Ma. Nantiku bereskan. Mama beristirahatlah dengan tenang. Aku mau mandi dulu," jawabku seramah mungkin, meskipun berat aku tetap mengukir senyum. Wanita yang masih kupanggil dengan sebutan mertua itu yang masih suka memakai daster selutut meski usianya kini sudah menginjak 50 tahun itupun berlalu.

"Dasar perempuan tak berguna dan tak sempurna," gerutunya, begitu jelas terdengar di kedua telingaku.

"Apa lagi sih, Ma. Nyerocos terus, telingaku sakit dengernya!" timpal Ayudia kesal yang secara tiba-tiba keluar dari kamarnya.

"Apa lagi kalau bukan soal kakak ipar kamu yang susah hamil itu."

"Kamu juga, Kak. Kalau mau pergi itu beresin dulu semuanya termasuk lauk-pauk yang akan kami makan."

Aku berlalu tanpa menggubris apa yang dikatakan Ayudia.

"Ih, nggak sopan. Orang lagi bicara di anggap angin lalu saja. Pantes aja Allah belum ngasih kamu keturunan," umpatnya.

Selesai mandi lalu aku sholat Magrib, bermunajat kepada Allah dan berserah diri. Aku kuat? Sepenuhnya tidak, selain fisikku yang lemah, bathinku juga tersiksa dan tertekan. Tapi aku selalu berprasangka baik, bahwa Allah tidak akan memberikan ujian pada umat-Nya di luar kesanggupan umat tersebut.

Perilaku mama yang tak berattitude juga tidak pernah kuadukan pada Mas Arfan, karena aku tidak ingin dianggap sepertu mengadu domba satu sama lain. Selepas mama memakiku atas ketidaksempurnaan yang ada pada diriku mentalku mulai terserang, obat penenang lah yang membantu aku untuk menetralkan emosi yang tak bisa kusalurkan.

Terkadang aku berteriak di kamar mandi jikalau mama dan iparku sedang tidak berada di rumah. Aku memang tidak pernah melawan selama ini, mungkin karena didikan ibu. Sesakit apapun aku berusaha tidak menyakiti orang lain dengan kata-kata kebencian yang keluar dari mulutku.

Mas Arfan pulang ketika aku sedang membersihkan meja makan bekas pakai mama dan iparku. Tidak mudah bagiku untuk bersikap biasa saja di depan Mas Arfan. Apalagi ketika menatap wajahnya ada samaran wajah Angel yang menempel di sana.

Namun, aku harus bisa sekuat tenaga bersandiwara. Terkadang kita memang perlu bersikap baik demi melumpuhkan musuh, apalagi musuhnya adalah orang yang selama ini ... ah, sudahlah.

💔💔💔

Ketika Mas Arfan mandi, aku meminum obat tidur agar aku dengan mudahnya terlelap. Iya, beberapa tahun ke belakang, aku memang banyak mengonsumsi sejumlah obat demi tubuhku.

'Apa? Dia ingin menafkahi bathinku? Dia pikir aku perempuan remahan seperti Angel. Kemarin-kemarin dia memang bisa lolos, aku tetap melayaninya jika tidak kedatangan tamu bulanan yang kelewat posesif menempel dihidupku selama pulaluhan tahun belakangan ini.

Aku terbangun di jam yang banyak digunakan para umat islam dalam menunaikan sholat Tahajud. Mas Arfan? Entah dimana? Tak kutemukan bobotnya di sampingku. Aku pun juga tidak ingin mengetahui keberadannya. Tak berguna dan tak peduli, soalnya.

"Ya Allah, maafkan hamba. Maafkan jika bersarang dendam di hati ini. Mungkin karena terlalu sakit, Ya Allah. Mohon tuntun aku selalu, ya Rabb"

Sebenarnya aku sedang tidak kedatangan tamu bulanan, baru bersih dari hari kemarin. Mas Arfan tak perlu dan tak berhak lagi untuk tahu tentang pribadiku setelah pengkhianatan yang dia torehkan. 

Aku kembali setelah alarm untuk sholat Subuh berbunyi, lagi-lagi tak kutemui sosok pengkhianat itu tidur di sampingku. Baguslah, aku sangat merasa jijik seranjang dengan tubuh bekas pakai wanita lain. 

"Lan, Mas berangkat kerja dulu. Oh iya, Mas baru ingat. Hari ini bukannya jadwal kamu konsul ke dokter kandungan, Lan? Mau pergi jam berapa? Biar Mas antar nanti," Mas Arfan yang bersiap-siap berangkat kerja.

'Apa? Tumben dia ingat jadwal konsulku, setelah beberapa bulan ini dia tak mau menemani sama sekali. Ugh ... jangan dia pikir aku tidak mencium bau busuk sandiwara yang sedang dia mainkan.'

"Nggak, Mas. Nggak, jadi hari ini, dokternya lagi cuti," jawabku tanpa menoleh. Aku masih berpura-pura sibuk menata pakaian yang sudah terlipat di dalam lemari.

"Oh, gitu. Ya sudah, Mas berangkat kerja dulu, ya."

"Iya."

Diam sejenak ...

"Kamu tidak ingin menyalami dan mencium tangan Mas, Lan?" tanyanya penuh penekanan.

"Aku belum mau menyentuh kulitmu, sebelum kamu mandi dengan kembang tujuh rupa, Mas," jawabku santai.

"Kamu masih marah sama Mas, Lan? Sampai-sampai tidak mau menyalami, Mas." Terdengar rintih suaranya berujar yang berselimut dengan kepura-puraan.

"Marah? Nggak kok, hanya saja aku ingin kamu mandi kembang dulu, Mas."

"Ya sudah, nanti Mas beli kembangnya, biar kita bisa bersentuhan seperti dulu lagi."

'Apa? Seperti dulu?'

Isi perutku seakan minta keluar mendengar ucapannya barusan.

💔💔💔

"Ma, aku keluar sebentar, ya," pamitku pada mama yang tengah sibuk menonton TV, tidak ada kegiatannya selain mematut diri di depan TV layar datar itu.

"Mau kemana lagi, Kamu?!" sergahnya.

"Ada urusan, Ma."

"Urusan atau mau pergi selingkuh? Kamu 'kan sakit hati pasti setelah tahu kalau Arfan punya selingkuhan yang lebih dari segala dibanding kamu," sindirnya.

"Nggak kok, Ma. Aku keluar memang ada perlu, mau ngasih hadiah ke mama," jawabku santai dengan mengukir senyum semanis mungkin.

"Apa?" wanita mata duitan itu terperanjat, sontak berdiri dan menghampiriku.

"Kamu mau ngasih hadiah, Lan?" tanyanya sekali lagi, seakan tak yakin.

Aku mengangguk, "iya, Ma. Apa sih yang nggak buat, Mama," pujiku tapi dusta.

"Hati-hati ya, Lan. Cepat pulang," ucapnya kegirangan.

Weleh-weleh ... Mukanya ditarok di mana, sih? Kok nggak ... 

Isi sendiri yaa titik-titiknya 😁

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
ini othor di bikin bodoh di jadikan pembantu istrinya
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing, drama tolol mu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Perceraian yang Terindah   EP 4

    PoV SantosoSelepas Subuh aku sudah bersiap, tentu saja ingin menyelidik perempuan itu. Aku yakin dia pasti akan berbuat hal yang tidak-tidak. Dan, akan kubuktikan pada Sanjaya bahwa dia bukan perempuan yang tepat menjadi istri serta menantu di rumah ini.Langit pekat mulai beranjak perlahan, kukemudikan mobil dengan laju kecepatan sedang. Semoga saja perempuan itu masih ada di wisma. Untung juga tadi ketika aku berpamitan sama Sanjaya dia tidak banyak bertanya dan semoga saja dia tidak menaruh curiga.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, akhirnya aku tiba di wisma tempat Laniara menginap. Kutepikan mobil beberapa sentimeter dari gerbang, kebetulan di tempat aku memarkir langsung tertuju pada pintu masuk utama wisma. Ini sangat membantuku untuk melihat siapa saja yang keluar masuk.Tepat pukul 07. 00 pagi, targetku keluar dari persembunyiannya. Pasti hari ini ada misi buruk yang akan dia lakukan, kalau tidak mengapa dua musti pergi dari rumah. Jikalau dia benar-benar men

  • Perceraian yang Terindah   EP 3

    Santoso menaruh kembali botol yang berisikan air minum di kursi tunggu ruang ICU. Selain membawa bekal makanan, Rita juga membawa dua botol minum berukuran sedang serta yang kecil. Sedang berisi air mineral dan yang kecil berisi kopi yang sudah mulai mendingin, tentunya untuk suaminya tercinta."Kenapa Papa jadi salah tingkah? Apa benar dugaan Mama?" tanya Rita penuh selidik.Derap langkah dr. Laila dan dr. Vincen semakin mendekati pintu ruang ICU. Bobby ditangani oleh dua orang dokter saraf, yang mana sebelumnya ditindak sama dr. Laila, tapi selama Bobby di ICU dr. Vincen pun turut turun tangan. Karena dr. Vincen memang bertugas di ruangan ICU serta beberapa ruangan lainnya.Fokus mereka menjadi buyar yang tadinya tertuju pada Santoso, kini beralih pada dua dokter yang semakin mendekati mereka."Nanti bakal Papa ceritain, itu dokter yang nanganin Bobby sudah datang," bisiknya."Itu 'kan dr. Laila, dokter yang pernah kamu maki-maki, Pa.""Sstttt ... iya," sahut Santoso kesal.Rita, San

  • Perceraian yang Terindah   EP 2

    Kembali ke PoV Laniara ya ..."Terus selama di sana kamu nginap di mana?" tanya Mama Rita sembari melepaskan pelukan perlahan."Tidak jauh dari pemukiman itu ada wisma, di situ aku menginap, Ma."Pakaian kamu bagaimana, Sayang? Bahkan pas pulang tadi kamu tidak membawa apapun dari rumah."Aku menatap kedua manik mata Mas Sanjaya, ada rasa bersalah saat aku memutuskan pergi tanpa minta persetujuannya terlebih dahulu."Mas ... sebenarnya aku ingin cerita sama kamu soal niat aku ini. Cuma ketika melihat Mama terbaring lemah tidak berdaya kuputuskan untuk ngelakuinnya sendiri tanpa melibatkan kamu. Dan ... kalau aku jujur, pasti kamu akan melarang aku, pasti kamu akan selalu bilang ini semua ujian. Lalu, aku akan larut dalam rasa bersalahku ketika mata ini menatap Mama yang lemah dan telinga ini akan mendengar soal Bobby yang belum ada perkembangannya. Dan, semua pakaian ku masih berada di wisma, Mas."Mata Mas Sanjaya makin berkaca-kaca."Aku akan semakin merasa bersalah tanpa melakukan

  • Perceraian yang Terindah   EP 1

    Bobby masih terbaring lemas sembari bangun dari koma selama lebih kurang dua Minggu lamanya."Permisi, Mbak," sapa Santoso yang lebih dulu ingin masuk ke ruangan Bobby."Iya, Pak. Jangan lupa cuci tangan dan pakai baju ini dulu, ya!" ucap Sonia, perawat ruang ICU yang berjaga shift malam."Iya, Mbak. Bobby beneran baru sadar, Mbak?""Iya, Pak. Tak lama Bobby sadar, saya langsung menghibungi Bapak. Alhamdulillah banget ya, Pak. Bobby bisa sadar secepatnya ini. Bener-bener takdir Allah itu tak disangka-sangka. Soalnya saya sangat jarang menemukan pasien yang sadar secepat ini sadar dari koma, Pak.""Benarkah, Mbak?" tanya Santoso tidak percaya. Hal yang wajar jikalau Santoso tercengang seperti itu, mengingat belum ada keluarganya yang pernah koma."Iya, Pak. Selama saya mengabdi kurang lebih sepuluh tahun, ini sungguh keajaiban sang Pencipta. Apalagi Bobby mengalami luka cukup parah ditambah kondisi tubuhnya sudah lemah." Ya wajar saja, karena Bobby anak yang punya pergaulan bebas entah

  • Perceraian yang Terindah   Bab 34

    "Gimana, Mama saya, Dok?" tanyaku pada seorang dokter yang berdiri di sisi tempat tidur Mama."Kita berbicara di ruangan saya saja, Pak," jawabnya. Membuat rongga dadaku semakin sempit."Baik, Dokter."Aku mengekori sang dokter menuju ruangannya. Papa? Dia tidak ikut. Aku pun juga tidak menawarinya untuk ikut dengan ku ataupun meminta Papa untuk tegap berada di dekat Mama."Jadi bagaimana keadaan Mama saya, Dok?" tanyaku ketika aku sudah dipersilakan duduk oleh dr. Laura di ruangannya yang tidak jauh dari ruangan IGD."Apa Mama, Bapak sedang lagi dalam masalah besar? Tampaknya beliau depresi berat.""Saya tidak tahu pasti, Dok. Tapi yang jelas, sekarang adik saya masih belum sadar pasca operasi kemarin."Dr. Laura mengangguk paham."Untuk sementara waktu, mamanya dirawat di sini dulu sampai benar-benar pulih. Karena obat penenang yang dia telan melebihi dosis dan itu juga yang menyebabkan pada akhirnya beliau pingsan.""Jadi, Mama minum obat penenang, Dok? Obat yang tadi itu, penenang

  • Perceraian yang Terindah   Bab 33

    PoV SanjayaAku dan Laniara terbelalak melihat Mama tergeletak di lantai. Masih memakai pakaian semalam. Serentak aku dan istri berjalan setengah berlari menghampiri Mama. Kamar Mama cukup luas, berukuran tujuh kali tujuh meter. Ya, cukup besar dan lengkap."Ma ... bangun ... Bangun, Ma ...." Laniara mengguncang serta menepuk lembut pipi Mama sembari terus memanggil. Aku masih terperangah tak berdaya menatap dalam kedua wanita yang sudah melahirkanku itu yang masih terpejam. Mulutku terasa berat untuk berucap. Tanganku gemetar ketika memegang tubuh Mama yang tidak berdaya. Wajah Mama juga pucat pasi."Mas ... ini obat apa?" tanya Laniara sembari memperlihatkan beberapa butir obat yang dia punguti dari lantai.Aku tak menyahut, bibir ini begitu kelu."Denyut nadi Mama masih ada kok, Mas. Kamu jangan panik," ujar istriku menenangkan. Namun, sekalipun begitu tak ampuh bagiku saat ini.Terdengar Laniara kembali memanggil Mama, tapi Mama tak juga sadar. Jangan 'kan menyahut merespon dengan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status