Share

Part 5

PERCERAIAN YANG TERINDAH

Part 5

Aku mengatur napas setelah memarkir mobil di dalam garasi rumah yang kubeli sebelum menikah dengan Mas Arfan. Sederhana dan tidak begitu luas, akan tetapi ada rasa kebanggaan padaku di usia masih muda sudah diberikan kemampuan oleh Allah untuk berteduh.

Alhamdulillah, aku sudah sedikit lebih tenang setelah mengonsumsi obat selepas makan tadi. Dadaku sudah tidak terasa sesak lagi, detak jantungku sudah terasa normal lagi. Selain obat, sepanjang jalan pulang tadi aku selalu beristighfar, agar semakin damai.

"Assalamu'alaikum."

"Heh! Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang? Tuh, rapikan meja makan! Gara-gara kamu terlambat pulang kami harus memesan makan online," sergah mama dengan mata yang menyalang sempurna ketika pintu utama terbuka lebar. Bukannya menjawab salamku terlebih dahulu. Namun, ini memang kebiasaan mama yang sudah bertahun-tahun.

Tidak pernah kurasakan sambutan hangat kecuali setahun menikah. Mama, adik ipar begitu manis memperlakukanku bak putri kerajaan disanjung, dihormati, dan disegani. Malah selepas pulang bekerja mama selalu menyiapkan air hangat untukku mandi karena aku hampir setiap hari pulang selepas Ba'da Isya terkadang Ba'da Magrib. Sangat jarang jika sore aku sudah berada di rumah.

Sebentar, aku baru ingat mama berubah ketika aku keguguran di usia lima minggu. Aku dinyatakan oleh dokter kandungan positif hamil setelah umur pernikahanku baru berusia sepuluh bulan. Namun, ....

'Sabar, Laniara. Jaga emosimu, permainan sebentar lagi akan dimulai. Jangan terpancing.'

"Iya, Ma. Nantiku bereskan. Mama beristirahatlah dengan tenang. Aku mau mandi dulu," jawabku seramah mungkin, meskipun berat aku tetap mengukir senyum. Wanita yang masih kupanggil dengan sebutan mertua itu yang masih suka memakai daster selutut meski usianya kini sudah menginjak 50 tahun itupun berlalu.

"Dasar perempuan tak berguna dan tak sempurna," gerutunya, begitu jelas terdengar di kedua telingaku.

"Apa lagi sih, Ma. Nyerocos terus, telingaku sakit dengernya!" timpal Ayudia kesal yang secara tiba-tiba keluar dari kamarnya.

"Apa lagi kalau bukan soal kakak ipar kamu yang susah hamil itu."

"Kamu juga, Kak. Kalau mau pergi itu beresin dulu semuanya termasuk lauk-pauk yang akan kami makan."

Aku berlalu tanpa menggubris apa yang dikatakan Ayudia.

"Ih, nggak sopan. Orang lagi bicara di anggap angin lalu saja. Pantes aja Allah belum ngasih kamu keturunan," umpatnya.

Selesai mandi lalu aku sholat Magrib, bermunajat kepada Allah dan berserah diri. Aku kuat? Sepenuhnya tidak, selain fisikku yang lemah, bathinku juga tersiksa dan tertekan. Tapi aku selalu berprasangka baik, bahwa Allah tidak akan memberikan ujian pada umat-Nya di luar kesanggupan umat tersebut.

Perilaku mama yang tak berattitude juga tidak pernah kuadukan pada Mas Arfan, karena aku tidak ingin dianggap sepertu mengadu domba satu sama lain. Selepas mama memakiku atas ketidaksempurnaan yang ada pada diriku mentalku mulai terserang, obat penenang lah yang membantu aku untuk menetralkan emosi yang tak bisa kusalurkan.

Terkadang aku berteriak di kamar mandi jikalau mama dan iparku sedang tidak berada di rumah. Aku memang tidak pernah melawan selama ini, mungkin karena didikan ibu. Sesakit apapun aku berusaha tidak menyakiti orang lain dengan kata-kata kebencian yang keluar dari mulutku.

Mas Arfan pulang ketika aku sedang membersihkan meja makan bekas pakai mama dan iparku. Tidak mudah bagiku untuk bersikap biasa saja di depan Mas Arfan. Apalagi ketika menatap wajahnya ada samaran wajah Angel yang menempel di sana.

Namun, aku harus bisa sekuat tenaga bersandiwara. Terkadang kita memang perlu bersikap baik demi melumpuhkan musuh, apalagi musuhnya adalah orang yang selama ini ... ah, sudahlah.

💔💔💔

Ketika Mas Arfan mandi, aku meminum obat tidur agar aku dengan mudahnya terlelap. Iya, beberapa tahun ke belakang, aku memang banyak mengonsumsi sejumlah obat demi tubuhku.

'Apa? Dia ingin menafkahi bathinku? Dia pikir aku perempuan remahan seperti Angel. Kemarin-kemarin dia memang bisa lolos, aku tetap melayaninya jika tidak kedatangan tamu bulanan yang kelewat posesif menempel dihidupku selama pulaluhan tahun belakangan ini.

Aku terbangun di jam yang banyak digunakan para umat islam dalam menunaikan sholat Tahajud. Mas Arfan? Entah dimana? Tak kutemukan bobotnya di sampingku. Aku pun juga tidak ingin mengetahui keberadannya. Tak berguna dan tak peduli, soalnya.

"Ya Allah, maafkan hamba. Maafkan jika bersarang dendam di hati ini. Mungkin karena terlalu sakit, Ya Allah. Mohon tuntun aku selalu, ya Rabb"

Sebenarnya aku sedang tidak kedatangan tamu bulanan, baru bersih dari hari kemarin. Mas Arfan tak perlu dan tak berhak lagi untuk tahu tentang pribadiku setelah pengkhianatan yang dia torehkan. 

Aku kembali setelah alarm untuk sholat Subuh berbunyi, lagi-lagi tak kutemui sosok pengkhianat itu tidur di sampingku. Baguslah, aku sangat merasa jijik seranjang dengan tubuh bekas pakai wanita lain. 

"Lan, Mas berangkat kerja dulu. Oh iya, Mas baru ingat. Hari ini bukannya jadwal kamu konsul ke dokter kandungan, Lan? Mau pergi jam berapa? Biar Mas antar nanti," Mas Arfan yang bersiap-siap berangkat kerja.

'Apa? Tumben dia ingat jadwal konsulku, setelah beberapa bulan ini dia tak mau menemani sama sekali. Ugh ... jangan dia pikir aku tidak mencium bau busuk sandiwara yang sedang dia mainkan.'

"Nggak, Mas. Nggak, jadi hari ini, dokternya lagi cuti," jawabku tanpa menoleh. Aku masih berpura-pura sibuk menata pakaian yang sudah terlipat di dalam lemari.

"Oh, gitu. Ya sudah, Mas berangkat kerja dulu, ya."

"Iya."

Diam sejenak ...

"Kamu tidak ingin menyalami dan mencium tangan Mas, Lan?" tanyanya penuh penekanan.

"Aku belum mau menyentuh kulitmu, sebelum kamu mandi dengan kembang tujuh rupa, Mas," jawabku santai.

"Kamu masih marah sama Mas, Lan? Sampai-sampai tidak mau menyalami, Mas." Terdengar rintih suaranya berujar yang berselimut dengan kepura-puraan.

"Marah? Nggak kok, hanya saja aku ingin kamu mandi kembang dulu, Mas."

"Ya sudah, nanti Mas beli kembangnya, biar kita bisa bersentuhan seperti dulu lagi."

'Apa? Seperti dulu?'

Isi perutku seakan minta keluar mendengar ucapannya barusan.

💔💔💔

"Ma, aku keluar sebentar, ya," pamitku pada mama yang tengah sibuk menonton TV, tidak ada kegiatannya selain mematut diri di depan TV layar datar itu.

"Mau kemana lagi, Kamu?!" sergahnya.

"Ada urusan, Ma."

"Urusan atau mau pergi selingkuh? Kamu 'kan sakit hati pasti setelah tahu kalau Arfan punya selingkuhan yang lebih dari segala dibanding kamu," sindirnya.

"Nggak kok, Ma. Aku keluar memang ada perlu, mau ngasih hadiah ke mama," jawabku santai dengan mengukir senyum semanis mungkin.

"Apa?" wanita mata duitan itu terperanjat, sontak berdiri dan menghampiriku.

"Kamu mau ngasih hadiah, Lan?" tanyanya sekali lagi, seakan tak yakin.

Aku mengangguk, "iya, Ma. Apa sih yang nggak buat, Mama," pujiku tapi dusta.

"Hati-hati ya, Lan. Cepat pulang," ucapnya kegirangan.

Weleh-weleh ... Mukanya ditarok di mana, sih? Kok nggak ... 

Isi sendiri yaa titik-titiknya 😁

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
ini othor di bikin bodoh di jadikan pembantu istrinya
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing, drama tolol mu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status