Share

Bab 10

Author: Ayudhia
Sebenarnya, videonya agak panjang dibandingkan video pendek lainnya. Namun, Jeremy justru terus memutarnya sampai selesai. Setelah itu, dia membukanya dan menonton lagi dari awal.

Jeremy mendengar suara Vanessa dan melihat jari-jarinya. Wajahnya dingin dan menawan. Mata hitamnya tampak gelap. Kemudian, dia memejamkan matanya sambil membayangkan sosok Vanessa.

Jeremy memeluk Vanessa, merasakan ciuman karena dorongan gairah. Bibirnya yang lembut dan aroma tubuhnya yang menyeruak. Meskipun hanya beberapa detik saja, rasanya seperti semua detail begitu jelas.

Setelah videonya berakhir lagi, Jeremy tiba-tiba berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Suara air terdengar cukup lama.

....

Keesokan paginya, Alika sudah selesai makan sarapan. Begitu keluar, yang dia lihat bukan mobil yang biasa dipakai untuk mengantar dan menjemputnya, melainkan mobil Jeremy.

Jendela mobil diturunkan. Jeremy dari awal sudah menunggunya di kursi belakang. Dia berkata, "Naik."

Alika merasa aneh, tetapi tetap naik ke mobil. Dia bertanya, "Paman, kenapa mengantarku?"

Jeremy menjawab dengan datar, "Searah."

"Oh," sahut Alika.

Alika tidak curiga. Mungkin kebetulan pamannya ada pekerjaan di tempat lain dan lewat sekolahnya. Itu hal yang wajar.

Di dalam mobil, Alika memainkan ponsel. Dia menuliskan banyak komentar di video Vanessa dan melihat statistiknya.

Alika juga memuji Vanessa. Katanya, "Bibi Vanessa benar-benar hebat sekali. Bukan hanya masakannya yang enak, video yang dia rekam juga sangat bagus dari komposisi sampai tampilan gambarnya. Paman, ada unduh aplikasi video ini nggak? Kalau ada, bantu ikuti akun Bibi Vanessa juga dong."

Jeremy tidak menjawab. Alika juga tidak peduli dan hanya sekadar bicara. Dia tahu pamannya bukan tipe orang yang bisa santai menonton video.

Alika tiba-tiba terpikirkan sesuatu. Dia bertutur, "Oh, iya. Paman, Bibi Vanessa sudah bekerja di rumah kita, tapi belum dibayar. Kita nggak boleh membiarkan Bibi Vanessa kerja sia-sia, 'kan?"

Jeremy menengadah menatap ekspresi bingung Alika. Dia tersenyum tipis sambil membalas, "Paman akan hubungi Bu Vanessa untuk membicarakan bayarannya. Kamu nggak perlu cemas soal ini."

"Oh, oke," sahut Alika. Dia tidak mengerti kenapa pamannya tiba-tiba terlihat senang.

Setibanya di depan sekolah, kebetulan ada Giselle. Alika langsung berlari menghampirinya dengan gembira. Begitu bertemu, kedua gadis kecil ini langsung membicarakan tentang video Vanessa, lalu masuk tanpa berpamitan pada orang tua.

Marvin yang mengantar putrinya agak terkejut saat melihat Jeremy yang ada di dalam mobil. Dia langsung turun, lalu berjalan ke samping mobil Jeremy dan sedikit membungkuk untuk menatap pria itu.

"Pak Jeremy, kebetulan sekali. Hari ini, kamu antar Alika ya? Aku Marvin, dari perusahaan teknologi Grup Tanrio," sapa Marvin.

Mata hitam Jeremy terangkat dengan santai. Wajahnya yang berwibawa dan dingin tampak angkuh. Dia mengangguk pelan, lalu memerintahkan sopir, "Jalan."

Tanpa menunggu Marvin berbicara, mobil Jeremy sudah melaju. Seiring jendela mobil dinaikkan, suara Marvin pun terputus.

Melihat mobil Jeremy pergi, wajah tampan Marvin menunjukkan sedikit rasa malu. Sorot matanya menggelap. Kemudian, dia naik ke mobilnya dan melaju pergi.

Setelah tiba di perusahaan, Marvin langsung bertanya pada sekretaris, "Bagaimana perkembangan proyek Grup Faraday?"

"Masih dalam tahap komunikasi dengan mereka. Hanya saja, dua pesaing kita memang perusahaan baru, tapi kekuatannya nggak biasa. Pak Tanto bilang dia akan bicara lagi dengan penanggung jawab Grup Faraday," jelas sekretaris.

"Panggil Tanto kemari. Aku mau tahu sebenarnya bagaimana rencananya. Bukannya waktu itu dia berani membual akan segera mendapatkan semua proyek Grup Faraday?" ujar Marvin.

Namun kenyataannya, penanggung jawab Grup Faraday yang sedang diperjuangkan Tanto masih ragu di antara tiga perusahaan. Produk AI mereka memang kompetitif, tetapi pendatang baru juga agresif.

"Selain itu, Pak Jayadi dari Grup Faraday bilang kalau bos mereka mungkin lebih condong ke perusahaan lain," lapor Tanto.

Usai menyuruh Tanto pergi, Marvin teringat pada hubungan putrinya dan Alika yang sangat dekat tadi pagi. Matanya menyiratkan adanya niat tersembunyi. Kemudian, dia menghubungi Vanessa.

Vanessa sedang menulis skrip dan membuat rencana untuk perekaman video selanjutnya.

"Ada masalah?" tanya Vanessa dengan sangat datar.

Nada bicara Marvin malah sangat lembut. Dia tersenyum sembari berujar, "Van, aku dengar dari Giselle, makanan yang kamu siapkan untuk pesta Putri Keluarga Faraday waktu itu sangat sukses. Aku sudah berpikir dengan serius. Seharusnya aku nggak menghalangimu lakukan apa pun yang kamu mau."

"Langsung ke intinya saja," tegas Vanessa.

Marvin memilih kata-kata dengan hati-hati. Katanya, "Giselle memang nggak bilang apa-apa, tapi dia pasti sedih soal perceraian kita. Aku mau lakukan sesuatu biar dia senang."

Marvin meneruskan, "Van, aku juga sayang putri kita. Biarpun kita benar-benar bercerai, ke depannya aku juga berharap Giselle nggak direndahkan atau hatinya terluka karena hal ini."

Ucapan Marvin menyentuh hati Vanessa. Vanessa tidak bisa membantah. Dia bertanya, "Apa yang mau kamu lakukan?"

"Waktu itu, kamu urus pesta untuk Putri Keluarga Faraday. Kali ini, gimana kalau kita juga adakan acara untuk Giselle, minta dia undang teman-teman dan orang tua mereka? Biar mereka lihat kasih sayang kita sama Giselle. Kita belum pernah adakan acara seperti ini sebelumnya. Kali ini, kita bisa buat Giselle bahagia," jelas Marvin.

Tak bisa dipungkiri, ide Marvin memang sangat bagus. Entah Marvin bersungguh-sungguh atau hanya berpura-pura, Vanessa tetap menyetujuinya. Namun, mereka harus meminta persetujuan Giselle dulu. Jadi, pada sore hari, Vanessa pergi ke sekolah untuk menjemput Giselle.

Begitu melihat Vanessa, Alika juga ikut Giselle ke rumah Vanessa untuk makan. Ketika makan, Vanessa memberi tahu Giselle tentang ide Marvin.

Setelah berpikir sejenak, Giselle menanggapi, "Apa Mama mau adakan? Nggak perlu memikirkanku. Aku nggak selemah yang Papa bilang."

Giselle adalah anak yang dikelilingi kasih sayang sejak kecil. Setiap hari, Vanessa akan selalu mengatakan menyayanginya. Beberapa tahun terakhir, Marvin memang agak mengabaikan putrinya. Namun, selama bertahun-tahun, Marvin juga benar-benar menyayangi Giselle.

Itu sebabnya, perceraian Vanessa dan Marvin sebenarnya sama sekali tidak terlalu berpengaruh terhadap Giselle, karena Giselle tidak meragukan kasih sayang orang tuanya. Mengenai perceraian mereka, itu hanya masalah perasaan orang dewasa.

Vanessa seketika tersenyum. Matanya yang indah penuh kelembutan.

Vanessa menyahut, "Mama mau adakan. Sebenarnya, yang terpenting itu Mama dan Papa akan bercerai. Kita juga harus menunjukkan ke orang luar kalau kamu tetap putri yang kami sayangi. Ini nggak akan berubah. Biar mereka nggak bilang hal yang buruk."

Tidak peduli seperti apa sikap Marvin. Namun, selama ada Marvin sebagai ayah, Giselle tetap akan mendapat dukungan.

Giselle mengangguk sembari bertutur, "Kalau begitu, adakan saja."

Alika menyarankan, "Kali ini, Bibi Vanessa juga mau turun tangan sendiri ya? Biar mereka lihat Bibi itu sangat hebat dan luar biasa."

Belakangan ini, banyak orang yang tahu Vanessa tidak lagi menjadi istri Marvin dan malah keluar memasak untuk orang. Teman-teman di kelas Giselle diam-diam membicarakan hal yang kurang enak didengar.

Ada beberapa hal yang mungkin didengar dari mulut orang tua. Mereka mengatakan bahwa Vanessa sengaja keluar membuat malu dan keributan untuk menantang suaminya.

Ada juga yang mengatakan bahwa Vanessa main media sosial untuk membuat sensasi supaya terkenal. Dia sudah lama menjadi istri orang kaya, jadi mau cari perhatian untuk mendapatkan kembali hati suaminya.

Giselle sudah mendengar semua ucapan seperti ini. Namun, dia tidak pernah memberi tahu Vanessa.

Alika berpikir untuk mematahkan prasangka buruk orang-orang. Itu berarti mereka harus lihat sendiri bahwa Vanessa benar-benar hebat.

"Papa dan mamaku memang nggak ada di sini, tapi ada aku dan pamanku. Nanti, kami akan dukung Bibi dan Giselle," ucap Alika.

Senyuman di wajah Vanessa terhenti sejenak. Tatapan lembutnya menunjukkan kecanggungan yang hampir tak terlihat. Apakah Jeremy juga akan datang?
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 100

    Semudah ini?Vanessa sendiri tidak menyangka Jeremy akan langsung setuju begitu saja. Dia mendongak dengan kaget. Tatapannya bertemu dengan mata Jeremy yang menyiratkan senyum samar. Sepertinya suasana hati Jeremy hari ini memang sedang baik."Kalau kamu yang bilang, aku pasti setuju."Kalimat ini agak ....Vanessa menjadi canggung. Dia menyelipkan sedikit rambut yang tergerai ke belakang telinga, lalu sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain, asal bukan wajah Jeremy.Berbeda dengannya, tatapan Jeremy yang duduk santai dengan kaki bersilang tak beranjak sedikit pun dari sosok wanita di hadapannya. Terang-terangan, tanpa upaya menyamarkan.Jantung Vanessa mulai berdegup kencang. Dia buru-buru mencari alasan agar bisa menghindari tatapan Jeremy. "Kalau begitu, Pak Jeremy, aku pamit ....""Vanessa!"Jeremy meletakkan rokok yang belum dinyalakan itu. Dia bangkit, mendekat, dan mencondongkan badannya ke hadapan Vanessa.Wajah tampan dan tegas itu kini berada sangat dekat. Mata hitamnya me

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 99

    Sudut bibir Vanessa terangkat, matanya yang jernih melengkung penuh senyum. "Sebenarnya hukuman seperti ini justru bagus untuk Alika, lho.""Memang sih, tapi melelahkan."Vanessa tak bisa membantah. Semua anak memang tidak suka belajar, apalagi kalau harus belajar di luar jam sekolah.Di luar, Alika masih sempat menangis meraung-raung. Entah apa yang dikatakan Lukman padanya, tiba-tiba gadis kecil itu berlari masuk ke dapur dan memeluk Vanessa sambil merengek."Bibi Vanessa, tolong aku, ya. Aku bener-bener nggak mau ikut les tambahan, apalagi kalau Kak Robby yang ngajar. Tolong bilang ke Paman, dong. Bibi kan baik banget, masa tega lihat bunga bangsa seimut ini disiksa?"Vanessa tak kuasa menahan tawa, lalu melirik Lukman yang tersenyum lebar di dekat pintu. Sepertinya ini memang ide dari Lukman. Namun, kenapa Alika malah disuruh minta bantuan dirinya?Jantung Vanessa berdetak sedikit lebih cepat. Dia mengalihkan pandangan dari tatapan penuh arti Lukman, kembali menunduk menatap wajah

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 98

    Jeremy mengulurkan bunga di tangannya kepada Vanessa. "Selamat, Vanessa."Kedua mata Vanessa berkedip saat menerima bunga tersebut. "Terima kasih."Sembari menunduk, dia memandangi rangkaian iris ungu di pelukannya. Bunga ini melambangkan cahaya dan kebebasan. Entah Jeremy benar-benar paham maknanya, atau hanya kebetulan saja.Di ruang tamu, dua gadis kecil itu sontak terkejut melihat Jeremy datang membawa bunga.Alika bergumam dengan kecewa, "Duh, kita juga seharusnya beri bunga ke Bibi Vanessa. Kok bisa lupa, ya? Makasih Paman sudah ingat."Jeremy belum sempat menanggapi, Alika sudah nyerocos lagi."Tapi, biasanya urusan beli hadiah itu diurus Kak Robby, 'kan? Jangan-jangan Paman ingat gara-gara diingatkan Kak Robby, atau jangan-jangan ini Kak Robby yang beli?"Vanessa langsung mendongak. Matanya yang berbinar bertemu dengan pandangan Jeremy.Jelas terlihat, pria ini sedang marah karena ucapan polos dari Alika. Bibirnya terkatup tipis, sebelum akhirnya dia menatap Vanessa dan menjela

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 97

    Setelah libur musim panas tiba, Vanessa berencana membawa Giselle menginap beberapa hari di rumah orang tuanya. Setelah itu barulah dia akan menceritakan semuanya pada mereka.Sore itu, Vanessa sibuk membereskan rumah. Terpikir jaraknya lebih dekat dengan sekolah anak-anak, dia memutuskan untuk menjemput Giselle dan Alika.Mulai besok, Giselle akan kembali ke rumah Marvin. Vanessa ingin memanfaatkan waktu hari ini untuk berbicara berdua dengan putrinya. Begitu tiba di gerbang sekolah, beberapa orang tua murid langsung melirik ke arahnya.Sejak insiden di pesta ulang tahun keluarga Arkan, berbagai gosip miring beredar tentang dirinya. Vanessa pun jarang lagi menunjukkan keterampilannya yang dulu sering dibicarakan, seperti datang ke rumah orang untuk memasak.Meskipun ucapan Paula belum tentu benar, sebagian besar orang tua murid tetap memandang rendah perilaku Vanessa. Bahkan ada yang khawatir dia akan merebut suami orang dengan wajahnya yang cantik.Vanessa mengabaikan tatapan penuh s

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 96

    Sekretaris Calvin baru kembali ke kantor hukum setelah mengantar Vanessa ke rumah sendiri.Setibanya di kantor, sekretaris Calvin buru-buru mendatangi ruangan Calvin. Melihat Calvin sedang menelepon, dia tak berani menyela, hanya berdiri tenang di sisi ruangan.Calvin melirik berkas di tangan sekretarisnya, alisnya sedikit terangkat. Dia segera mengakhiri panggilan itu secepat mungkin. Begitu telepon ditutup, sang sekretaris langsung menyerahkan berkas tersebut."Sudah beres, surat cerainya sudah di tangan. Nggak ada hambatan sama sekali, semuanya lancar."Calvin memeriksa berkas itu. Selain kesepakatan yang sebelumnya sudah ditandatangani Marvin dan dinyatakan sah, ada tambahan soal hak asuh, bahkan Marvin masih menambahkan uang tunjangan sebesar seratus juta per bulan untuk Vanessa.Nominalnya memang tidak fantastis, tapi mengingat sikap Marvin yang dulu perhitungan setengah mati, perubahan ini terasa seperti berbalik seratus delapan puluh derajat.Calvin tercengang, lalu menoleh ke

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 95

    Calvin mengernyit. "Apa Marvin bakal datang?""Dia pasti datang."Calvin merasa heran dengan nada Vanessa yang begitu yakin. "Bu Vanessa yakin? Cuma perlu sekretarisku mengantarkan dokumennya?""Yakin. Tolong titipkan saja ke sekretaris Bapak.""Baik."Setelah menutup telepon, Calvin memanggil sekretarisnya dan menjelaskan situasinya."Pagi-pagi besok, serahkan dokumen-dokumen itu ke Bu Vanessa. Tapi nggak perlu langsung kembali. Aku penasaran, gimana cara dia bisa membujuk Marvin?""Kamu pantau di tempat, lihat apa Marvin benar-benar akan pisah baik-baik dengannya. Terus, apa dia bisa terima perjanjian cerai yang Vanessa ajukan."Sekretaris Calvin juga penasaran. Oleh karena itu, dia sudah menunggu di depan Pengadilan Negeri sejak pagi keesokan harinya.Melihat Vanessa tiba, dia menyerahkan dokumen yang diminta, lalu bertanya sambil menatap Vanessa, "Ibu yakin semua bakal berjalan lancar?"Vanessa tersenyum tipis. "Tenang saja. Kalau kamu ada perlu, pulang dulu saja.""Ah ... nggak us

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status