Share

Bab 5

Author: Ayudhia
Vanessa terkejut, tetapi informasi ini membuatnya tenang. Setidaknya tidak akan menimbulkan kesalahpahaman.

Giselle berbisik kepada Alika sambil tersenyum. Sepertinya dia mengatakan apa ada sesuatu yang bermasalah dengan paman Alika sehingga masih jomlo. Senyumannya sangat ambigu. Remaja seusia mereka sudah memahami hal seperti ini.

Vanessa yang merasa tidak berdaya mendesak, "Makan dulu. Jangan mengobrol lagi."

Giselle dan Alika baru buru-buru makan. Setelah selesai makan, mereka membantu Vanessa membuat rencana dengan bersemangat. Seperti bagaimana caranya merekam video dan menarik perhatian. Mereka lebih memahami tentang video pendek, anak muda sangat kreatif dalam bidang ini.

Vanessa mencatat semuanya dengan serius. Dia juga menerima pendapat mereka. Waktu berlalu sangat cepat. Sewaktu sopir datang menjemput, Alika pergi dengan perasaan tidak rela.

Vanessa mengantar Alika ke lantai bawah. Mobil sudah berhenti di depan gedung. Vanessa kaget melihat mobilnya. Ini adalah mobil Jeremy tadi pagi.

Alika juga kaget. Dia menceletuk, "Ini mobil Paman."

Kemudian, jendela mobil dibuka dan sosok Jeremy terlihat. Di tengah kegelapan malam, cahaya lampu jalan terpancar ke dalam mobil. Bayangan cahaya menutupi rahang Jeremy yang tegas.

Jeremy mendongak. Tatapan matanya yang kelam terlihat tajam dan dingin.

Alika menyindir, "Paman, orang sibuk sepertimu masih sempat jemput aku? Aku nggak menyangka tiba-tiba diperhatikan kamu."

Sudah jelas Alika tidak terlalu senang, tetapi dia tetap memperkenalkan, "Bibi, ini pamanku. Paman, ini ibunya teman baikku, Giselle. Bibi Vanessa, sebelumnya kalian pernah bertemu nggak?"

Vanessa menyahut seraya tersenyum, "Pernah. Halo, Pak Jeremy. Alika, cepat naik ke mobil. Ke depannya kamu datang ke rumah Bibi lagi kalau ada waktu. Bibi menyambut kedatanganmu kapan saja."

"Oke. Sampai jumpa, Bibi," pamit Alika. Dia naik ke mobil.

Jeremy mengangguk kepada Vanessa. Kaca jendela mobil perlahan naik, lalu mobil pun melaju pergi.

Di dalam mobil, Alika mengkritik Jeremy, "Paman baru pulang kerja jam begini ya? Paman, aku bukan mau salahkan kamu, tapi kamu itu pecandu kerja. Kamu masih nggak mau nikah padahal sudah tua, hidupmu pasti membosankan sekali."

Jeremy menanggapi dengan dingin, "Jadi, hidupmu menarik karena kamu sudah pacaran di usia remaja?"

Alika bagaikan hewan kecil yang tercekik. Wajahnya merah padam dan dia tidak bisa berkutik. Alika menyangkal, "Aku ... nggak pacaran. Jangan asal tuduh aku."

Jeremy menimpali, "Setelah orang tuamu pulang, aku akan beri tahu mereka."

Alika memohon, "Jangan ... Paman, aku salah. Aku bukan pacaran ... aku cuma ... penasaran, tapi aku nggak melakukan apa-apa. Aku nggak bohong, aku memang salah."

Jeremy terdiam dan memejamkan matanya. Alika tidak berani bicara sembarangan lagi saat melihat Jeremy mendongak dan beristirahat. Hanya saja, dia tetap khawatir pamannya memberi tahu hal ini kepada orang tuanya.

Alika berbicara dengan hati-hati, "Paman, sebenarnya hidupmu sekarang cukup bagus. Kamu nggak nikah dan jomlo, rasanya pasti menyenangkan. Seperti Bibi Vanessa, sekarang dia juga sudah kembali menjadi jomlo. Hidupnya sangat bebas sendirian."

Jeremy perlahan membuka matanya. Dia memandang Alika dengan tatapan muram seraya bertanya, "Dia ... sendirian?"

Alika menyahut, "Iya, dia sudah cerai. Tapi, Giselle bilang mereka lagi mengurus prosesnya dan belum buat akta cerai. Jadi, Bibi Vanessa baru pindah ke sini dan tinggal sendiri."

Jeremy tidak bicara lagi. Dia hanya mendengar ocehan Alika dan juga tidak menyela Alika yang berbicara sendiri, "Bibi Vanessa cantik dan juga pandai memasak. Rumah kecil ini sudah lama, tapi menjadi begitu hangat setelah didekorasi Bibi Vanessa. Bahkan sangat berkarakter."

"Aku juga mengambil banyak foto. Selain itu ... masakan Bibi Vanessa super enak, benar-benar lebih enak daripada masakan koki di rumah kita yang dibayar dengan mahal .... Bibi Vanessa lagi cari kerja, tapi dia berencana mempromosikan diri di sosial media dulu. Dia juga menerima pesanan makanan khusus untuk keperluan pribadi," lanjut Alika.

Alika menambahkan, "Ke depannya aku pasti akan mendukung Bibi Vanessa. Paman, belakangan ini kita ada acara nggak? Kita bisa mengundang Bibi Vanessa datang ke rumah kita untuk memasak, kita berikan pesanan pertama untuknya ...."

Alika tidak berharap Jeremy akan menanggapi ucapannya. Tidak disangka, Jeremy menceletuk, "Bukannya kamu menggambar lukisan yang menurutmu cukup bagus? Kamu bisa undang temanmu untuk melihat lukisanmu."

"Ha?" sahut Alika. Dia terkejut, apa cara begini juga bisa?

Seketika Alika tidak kepikiran alasan yang bagus. Seharusnya cara ini memang bisa digunakan. Dia menambahkan, "Begini ... juga bisa."

Jeremy berucap, "Kalau begitu, minggu depan aku ...."

Alika menyela, "Minggu ini juga bisa."

"Kenapa begitu buru-buru?" tanya Jeremy sambil menyipitkan matanya. Dia memandangi keponakannya.

Alika merasa dirinya salah bicara. Dia menyahut, "Sebenarnya nggak buru-buru. Sekarang Bibi Vanessa butuh kerjaan secepatnya untuk memulai bisnisnya. Sudah seharusnya kita bergerak cepat."

Alika melanjutkan, "Kalau begitu, besok aku beri tahu Bibi Vanessa. Aku undang dia ke rumah kita lusa nanti. Kebetulan kali ini bisa dianggap uji coba ...."

Setelah pulang, Alika masuk ke kamarnya. Dia mandi, lalu keluar dan memainkan ponselnya. Alika memberi tahu Giselle hal ini.

Vanessa yang berada di samping mendengar percakapan mereka. Dia mengatakan akan menyiapkan dengan cermat. Hanya saja, sekarang sudah malam. Jadi, mereka tidak membicarakannya secara terperinci.

Keesokan harinya, Vanessa langsung membuat rencana. Dia bertanya berapa orang yang akan diundang Alika, begitu pula makanan kesukaan dan makanan yang tidak disukai mereka. Akhirnya, Vanessa menetapkan menunya dan mengirimkannya kepada Alika.

Setelah bertanya kepada temannya, Alika langsung menyetujui menu yang dibuat Vanessa. Mengenai bahan makanan, Alika menyuruh pelayan untuk membelinya sesuai permintaan Vanessa.

Pada hari Minggu, Vanessa pergi ke rumah Keluarga Faraday pagi-pagi. Dia bersiap-siap lebih awal. Vanessa membawa Giselle pergi ke rumah Keluarga Faraday.

Rumah Keluarga Faraday yang mereka datangi adalah vila Jeremy. Ini adalah area perumahan mewah yang baru dikembangkan Grup Faraday beberapa tahun lalu.

Pemandangan alami di kawasan ini sangat indah. Perumahannya dikelilingi gunung dan danau. Setiap vila yang terpisah tampak menyatu dengan pemandangan indah itu.

Orang tua Alika tinggal di luar negeri untuk jangka panjang. Biasanya Alika tinggal di rumah lama Keluarga Faraday bersama kakek dan neneknya. Rumah lama Keluarga Faraday terletak di kawasan kota tua.

Belakangan ini, kakek dan nenek Alika pergi berlibur. Jadi, Alika dibawa ke vila Jeremy.

Vanessa menaiki taksi. Setelah melewati beberapa pos pemeriksaan, Vanessa baru masuk ke Vila Jemmy Asri. Ini adalah vila yang disisakan Jeremy untuk dirinya sendiri. Vanessa diantar sampai ke depan pintu, lalu dia mengetuk pintu dan berjalan masuk ke vila.

Vanessa yang dibawa masuk oleh kepala pelayan langsung bertemu dengan Jeremy. Sepertinya Jeremy baru selesai berolahraga. Di cuaca yang agak sejuk pagi hari ini, Vanessa merasakan dengan jelas hawa panas dari tubuh Jeremy setelah berolahraga.

Jeremy memakai setelan olahraga berwarna abu-abu. Keringat di dahinya menetes ke ototnya yang tidak tertutupi dan membasahi kerah bajunya.

Rambut hitam Jeremy yang dibasahi keringat terurai di wajahnya. Penampilannya berbeda dengan sebelumnya. Kala itu, Vanessa melihat Jeremy yang memakai setelan jas tampak sedikit mengintimidasi. Sekarang Jeremy yang baru selesai berolahraga tampak lebih santai.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 100

    Semudah ini?Vanessa sendiri tidak menyangka Jeremy akan langsung setuju begitu saja. Dia mendongak dengan kaget. Tatapannya bertemu dengan mata Jeremy yang menyiratkan senyum samar. Sepertinya suasana hati Jeremy hari ini memang sedang baik."Kalau kamu yang bilang, aku pasti setuju."Kalimat ini agak ....Vanessa menjadi canggung. Dia menyelipkan sedikit rambut yang tergerai ke belakang telinga, lalu sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain, asal bukan wajah Jeremy.Berbeda dengannya, tatapan Jeremy yang duduk santai dengan kaki bersilang tak beranjak sedikit pun dari sosok wanita di hadapannya. Terang-terangan, tanpa upaya menyamarkan.Jantung Vanessa mulai berdegup kencang. Dia buru-buru mencari alasan agar bisa menghindari tatapan Jeremy. "Kalau begitu, Pak Jeremy, aku pamit ....""Vanessa!"Jeremy meletakkan rokok yang belum dinyalakan itu. Dia bangkit, mendekat, dan mencondongkan badannya ke hadapan Vanessa.Wajah tampan dan tegas itu kini berada sangat dekat. Mata hitamnya me

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 99

    Sudut bibir Vanessa terangkat, matanya yang jernih melengkung penuh senyum. "Sebenarnya hukuman seperti ini justru bagus untuk Alika, lho.""Memang sih, tapi melelahkan."Vanessa tak bisa membantah. Semua anak memang tidak suka belajar, apalagi kalau harus belajar di luar jam sekolah.Di luar, Alika masih sempat menangis meraung-raung. Entah apa yang dikatakan Lukman padanya, tiba-tiba gadis kecil itu berlari masuk ke dapur dan memeluk Vanessa sambil merengek."Bibi Vanessa, tolong aku, ya. Aku bener-bener nggak mau ikut les tambahan, apalagi kalau Kak Robby yang ngajar. Tolong bilang ke Paman, dong. Bibi kan baik banget, masa tega lihat bunga bangsa seimut ini disiksa?"Vanessa tak kuasa menahan tawa, lalu melirik Lukman yang tersenyum lebar di dekat pintu. Sepertinya ini memang ide dari Lukman. Namun, kenapa Alika malah disuruh minta bantuan dirinya?Jantung Vanessa berdetak sedikit lebih cepat. Dia mengalihkan pandangan dari tatapan penuh arti Lukman, kembali menunduk menatap wajah

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 98

    Jeremy mengulurkan bunga di tangannya kepada Vanessa. "Selamat, Vanessa."Kedua mata Vanessa berkedip saat menerima bunga tersebut. "Terima kasih."Sembari menunduk, dia memandangi rangkaian iris ungu di pelukannya. Bunga ini melambangkan cahaya dan kebebasan. Entah Jeremy benar-benar paham maknanya, atau hanya kebetulan saja.Di ruang tamu, dua gadis kecil itu sontak terkejut melihat Jeremy datang membawa bunga.Alika bergumam dengan kecewa, "Duh, kita juga seharusnya beri bunga ke Bibi Vanessa. Kok bisa lupa, ya? Makasih Paman sudah ingat."Jeremy belum sempat menanggapi, Alika sudah nyerocos lagi."Tapi, biasanya urusan beli hadiah itu diurus Kak Robby, 'kan? Jangan-jangan Paman ingat gara-gara diingatkan Kak Robby, atau jangan-jangan ini Kak Robby yang beli?"Vanessa langsung mendongak. Matanya yang berbinar bertemu dengan pandangan Jeremy.Jelas terlihat, pria ini sedang marah karena ucapan polos dari Alika. Bibirnya terkatup tipis, sebelum akhirnya dia menatap Vanessa dan menjela

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 97

    Setelah libur musim panas tiba, Vanessa berencana membawa Giselle menginap beberapa hari di rumah orang tuanya. Setelah itu barulah dia akan menceritakan semuanya pada mereka.Sore itu, Vanessa sibuk membereskan rumah. Terpikir jaraknya lebih dekat dengan sekolah anak-anak, dia memutuskan untuk menjemput Giselle dan Alika.Mulai besok, Giselle akan kembali ke rumah Marvin. Vanessa ingin memanfaatkan waktu hari ini untuk berbicara berdua dengan putrinya. Begitu tiba di gerbang sekolah, beberapa orang tua murid langsung melirik ke arahnya.Sejak insiden di pesta ulang tahun keluarga Arkan, berbagai gosip miring beredar tentang dirinya. Vanessa pun jarang lagi menunjukkan keterampilannya yang dulu sering dibicarakan, seperti datang ke rumah orang untuk memasak.Meskipun ucapan Paula belum tentu benar, sebagian besar orang tua murid tetap memandang rendah perilaku Vanessa. Bahkan ada yang khawatir dia akan merebut suami orang dengan wajahnya yang cantik.Vanessa mengabaikan tatapan penuh s

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 96

    Sekretaris Calvin baru kembali ke kantor hukum setelah mengantar Vanessa ke rumah sendiri.Setibanya di kantor, sekretaris Calvin buru-buru mendatangi ruangan Calvin. Melihat Calvin sedang menelepon, dia tak berani menyela, hanya berdiri tenang di sisi ruangan.Calvin melirik berkas di tangan sekretarisnya, alisnya sedikit terangkat. Dia segera mengakhiri panggilan itu secepat mungkin. Begitu telepon ditutup, sang sekretaris langsung menyerahkan berkas tersebut."Sudah beres, surat cerainya sudah di tangan. Nggak ada hambatan sama sekali, semuanya lancar."Calvin memeriksa berkas itu. Selain kesepakatan yang sebelumnya sudah ditandatangani Marvin dan dinyatakan sah, ada tambahan soal hak asuh, bahkan Marvin masih menambahkan uang tunjangan sebesar seratus juta per bulan untuk Vanessa.Nominalnya memang tidak fantastis, tapi mengingat sikap Marvin yang dulu perhitungan setengah mati, perubahan ini terasa seperti berbalik seratus delapan puluh derajat.Calvin tercengang, lalu menoleh ke

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 95

    Calvin mengernyit. "Apa Marvin bakal datang?""Dia pasti datang."Calvin merasa heran dengan nada Vanessa yang begitu yakin. "Bu Vanessa yakin? Cuma perlu sekretarisku mengantarkan dokumennya?""Yakin. Tolong titipkan saja ke sekretaris Bapak.""Baik."Setelah menutup telepon, Calvin memanggil sekretarisnya dan menjelaskan situasinya."Pagi-pagi besok, serahkan dokumen-dokumen itu ke Bu Vanessa. Tapi nggak perlu langsung kembali. Aku penasaran, gimana cara dia bisa membujuk Marvin?""Kamu pantau di tempat, lihat apa Marvin benar-benar akan pisah baik-baik dengannya. Terus, apa dia bisa terima perjanjian cerai yang Vanessa ajukan."Sekretaris Calvin juga penasaran. Oleh karena itu, dia sudah menunggu di depan Pengadilan Negeri sejak pagi keesokan harinya.Melihat Vanessa tiba, dia menyerahkan dokumen yang diminta, lalu bertanya sambil menatap Vanessa, "Ibu yakin semua bakal berjalan lancar?"Vanessa tersenyum tipis. "Tenang saja. Kalau kamu ada perlu, pulang dulu saja.""Ah ... nggak us

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status