Share

Bab 6

Author: Ayudhia
Melihat penampilan Jeremy yang seperti ini, Vanessa sedikit canggung. Mungkin karena kehangatan tubuh Jeremy, atau mungkin Vanessa sudah lama tidak merasakan rangsangan hormon yang begitu kuat secara visual.

Vanessa segera mundur selangkah. Dia mencoba untuk menenangkan diri, lalu menyapa dengan lembut dan tenang, "Pagi, Pak Jeremy."

Giselle juga menyapa, "Halo, Paman Jeremy."

Jeremy melirik Vanessa. Hari ini, wajah Vanessa tanpa riasan, tetapi tetap terlihat cantik. Kulitnya putih tanpa cacat sedikit pun.

Vanessa mengenakan kaus simpel dan celana jins ketat. Seharusnya itu penampilan biasa saja, tetapi malah menonjolkan lekuk tubuhnya yang dewasa. Pakaian sederhana itu secara tidak langsung memancarkan daya tarik yang tidak dia sadari. Pesonanya yang memikat membuat siapa pun tak kuasa menahan diri untuk memilikinya.

Jakun Jeremy bergerak pelan. Ekspresinya justru tetap dingin. Dia mengangguk pelan pada Vanessa dan Giselle sambil membalas, "Pagi. Kalian bebas saja."

Selesai melontarkan ucapannya, Jeremy berbalik ke lantai atas.

Giselle dibawa pergi untuk mencari Alika, sedangkan Vanessa ikut kepala pelayan ke dapur.

Andre adalah kepala koki di Vila Jemmy Asri, tetapi hari ini dia membantu Vanessa. Andre sama sekali tidak marah karena dia bekerja untuk Jeremy. Vanessa hanya diundang oleh Alika untuk menyiapkan pesta hari ini. Tidak ada konflik kepentingan di antara mereka berdua.

Apalagi, saat pertama kali bertemu Vanessa, Andre yang biasanya tampak sangat tegas, kini telinganya terus memerah. Jelas sekali, dia terpesona oleh Vanessa sampai merasa sedikit malu-malu. Dia hanya bisa bekerja sambil menunduk.

Di lantai atas, Alika terbangun dari tidurnya karena Giselle. Dia bermalas-malasan di tempat tidur untuk beberapa saat. Setelah keduanya turun, kebetulan mereka melihat Jeremy juga turun.

Jeremy mengenakan kemeja hitam dan celana hitam tanpa mengikat dasi. Kerahnya sedikit terbuka hingga memperlihatkan tulang selangka yang jelas. Lengan kemejanya digulung sampai lengan bawah, memberi kesan santai. Tubuhnya tinggi dan ramping.

Alika bertanya dengan terkejut, "Paman, hari ini nggak kerja ya?"

Ekspresi Jeremy tampak cuek dan dingin. Jawabnya, "Hari ini akhir pekan."

"Oh .... Aku pikir Paman gila kerja dan nggak ada akhir pekan. Kenapa sebelumnya aku nggak lihat Paman istirahat waktu akhir pekan? Akhirnya Paman tahu sudah tidak muda dan badannya nggak kuat lagi, 'kan?" timpal Alika.

Candaan ini langsung dibalas Jeremy dengan tatapan tajam. Alika menunduk sambil terkekeh-kekeh, lalu menarik Giselle turun dulu.

Alika berjalan sembari berbisik pada Giselle, "Aku juga nggak salah bilang. Umurnya sudah 40 tahun, memang sudah nggak muda. Tubuhnya pasti nggak kuat lagi."

Giselle teringat saat baru datang tadi, dia melihat Jeremy baru selesai berolahraga. Dia berkomentar, "Masih oke lah? Bukannya pamanmu rajin olahraga? Dia juga kelihatan sangat muda kok."

"Siapa yang tahu? Mungkin hanya terlihat kuat di luar," balas Alika.

Setelah berbicara, mereka berdua pergi ke ruang makan. Pas sekali, Vanessa sudah menyiapkan sarapan untuk Alika dengan bahan masakan yang ada.

"Alika, Giselle bilang kamu suka makan siomai buatan Bibi. Bibi bawakan sedikit dari rumah. Tadi Bibi juga buatkan beberapa roti lapis dan bubur ketan. Makan seadanya saja ya," kata Vanessa.

"Wah, Bibi Vanessa, apa pun yang Bibi masak, aku suka," sahut Alika.

Alika langsung makan dengan tidak sabar. Giselle duduk di sampingnya dan ikut makan.

Jeremy datang ke ruang makan. Baru saja duduk, sarapannya juga sudah disiapkan. Melihat roti lapis ayam dan susu seperti biasa di hadapannya, mata hitam Jeremy yang gelap melirik sekilas sarapan di hadapan Alika.

Makanannya bermacam-macam. Aromanya lezat. Bubur ketan itu tampak menarik. Siomai yang berbentuk kecil-kecil berkilau keemasan. Bisa terlihat jelas isian telur asin di dalamnya.

Roti lapis itu dibuat dengan pinggiran bergelombang, dipotong kecil-kecil, dan ditata di atas piring yang cantik. Di sampingnya, ada hiasan kucing kecil yang dibuat dari saus tomat. Imut dan menggemaskan.

Mungkin karena Jeremy melihatnya terlalu lama, Alika jadi merasa aneh. Namun, dia tanpa sadar menutupi piringnya dengan tangan sebelum bertanya, "Paman, lihat apa?"

Tidak mungkin ngiler lihat sarapan Alika, 'kan? Seharusnya tidak. Selama ini, sarapan Jeremy hanya roti lapis dan susu yang membosankan. Jika mau makan yang lain, dia pasti sudah meminta koki untuk memasaknya sejak awal. Pasti bukan ngiler.

Jeremy mengalihkan pandangannya yang dingin, lalu segera menghabiskan sarapannya. Ketika bangkit untuk meninggalkan ruang makan, dia tanpa sengaja melirik sekilas wanita di dapur. Sosoknya yang anggun sedang fokus bekerja.

Jeremy hanya melihat sekilas. Langkahnya tidak berhenti sedetik pun.

....

Teman-teman Alika datang satu per satu ke Vila Jemmy Asri. Ada senior SMA yang lebih tua dan teman-teman sekelas Alika. Selain itu, ada juga beberapa anak dari keluarga terpandang yang memiliki hubungan dengan Keluarga Faraday.

Orang yang diundang di pesta Alika tidak banyak. Anak-anak muda makan, minum, dan bersenda gurau. Semuanya sangat wajar. Melihat lukisan hanya alasan. Yang terpenting adalah ini relasi mereka, anak-anak dari lingkaran kalangan atas Kota Harvan. Status mereka bisa dikatakan setara.

Camilan dan teh bunga yang mereka nikmati disiapkan oleh Vanessa. Sebagian besar makan siang juga dimasak sendiri oleh Vanessa. Lantaran sangat sibuk, dia memberi tahu Andre cara memasaknya untuk membantunya, sekaligus saling bertukar ilmu memasak.

Alika tidak mempromosikan Vanessa secara khusus. Semuanya berjalan dengan alami. Ada orang yang benar-benar merasa makanannya enak dan bertanya, "Alika, masakan kokimu benar-benar enak. Hidangannya juga kelihatan baru. Koki yang diundang pamanmu ya?"

Begitu ada yang mengungkit ini, orang lain juga sependapat.

"Memang sangat enak. Aku suka teh bunga barusan. Lebih enak dari semua yang pernah kuminum."

"Aku suka lauk makan siang. Aku coba semuanya. Tapi, sepertinya berbeda dari yang pernah kumakan sebelumnya. Baru sekali. "

Mereka terus bertanya. Alika tersenyum seraya menjelaskan, "Bukan koki kami. Demi pesta kali ini, aku khusus undang koki yang hebat untuk datang memasak. Dia ahli berinovasi. Menunya beragam. Bukan hanya bagus, rasanya juga sangat enak. Kalau ke depannya kalian butuh, silakan panggil dia."

"Alika saja memuji seperti itu. Kalau begitu, kita juga harus coba. Minta dia keluar untuk ketemu kami dong. Kebetulan, minggu depan keluargaku juga ada acara. Kalau bisa, biar dia saja yang masak."

"Boleh," sahut Vanessa segera keluar. Kaus simpel yang dimasukkan ke dalam celana jins membuatnya terlihat tinggi dan ramping. Lantaran sibuk, wajahnya yang putih mulus sedikit memerah. Senyumannya membuat hati siapa pun nyaman.

Ketika berjalan mendekat, angin sepoi-sepoi berembus melewati kaca jendela yang terbuka. Beberapa helaian rambut di dahinya tertiup angin, seolah-olah membuat kecantikannya terasa hidup dan memesona. Kala ini, keterpukauan semua orang baru terhenti.

"Eh? Giselle, bukannya ini mamamu? Kenapa jadi koki?"

Di antara teman-teman mereka, ada yang mengenali bahwa koki yang dimaksud adalah Vanessa, ibunya Giselle. Bagaimanapun, parasnya yang cantik sulit membuat orang lupa walau hanya sekali bertemu.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 100

    Semudah ini?Vanessa sendiri tidak menyangka Jeremy akan langsung setuju begitu saja. Dia mendongak dengan kaget. Tatapannya bertemu dengan mata Jeremy yang menyiratkan senyum samar. Sepertinya suasana hati Jeremy hari ini memang sedang baik."Kalau kamu yang bilang, aku pasti setuju."Kalimat ini agak ....Vanessa menjadi canggung. Dia menyelipkan sedikit rambut yang tergerai ke belakang telinga, lalu sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain, asal bukan wajah Jeremy.Berbeda dengannya, tatapan Jeremy yang duduk santai dengan kaki bersilang tak beranjak sedikit pun dari sosok wanita di hadapannya. Terang-terangan, tanpa upaya menyamarkan.Jantung Vanessa mulai berdegup kencang. Dia buru-buru mencari alasan agar bisa menghindari tatapan Jeremy. "Kalau begitu, Pak Jeremy, aku pamit ....""Vanessa!"Jeremy meletakkan rokok yang belum dinyalakan itu. Dia bangkit, mendekat, dan mencondongkan badannya ke hadapan Vanessa.Wajah tampan dan tegas itu kini berada sangat dekat. Mata hitamnya me

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 99

    Sudut bibir Vanessa terangkat, matanya yang jernih melengkung penuh senyum. "Sebenarnya hukuman seperti ini justru bagus untuk Alika, lho.""Memang sih, tapi melelahkan."Vanessa tak bisa membantah. Semua anak memang tidak suka belajar, apalagi kalau harus belajar di luar jam sekolah.Di luar, Alika masih sempat menangis meraung-raung. Entah apa yang dikatakan Lukman padanya, tiba-tiba gadis kecil itu berlari masuk ke dapur dan memeluk Vanessa sambil merengek."Bibi Vanessa, tolong aku, ya. Aku bener-bener nggak mau ikut les tambahan, apalagi kalau Kak Robby yang ngajar. Tolong bilang ke Paman, dong. Bibi kan baik banget, masa tega lihat bunga bangsa seimut ini disiksa?"Vanessa tak kuasa menahan tawa, lalu melirik Lukman yang tersenyum lebar di dekat pintu. Sepertinya ini memang ide dari Lukman. Namun, kenapa Alika malah disuruh minta bantuan dirinya?Jantung Vanessa berdetak sedikit lebih cepat. Dia mengalihkan pandangan dari tatapan penuh arti Lukman, kembali menunduk menatap wajah

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 98

    Jeremy mengulurkan bunga di tangannya kepada Vanessa. "Selamat, Vanessa."Kedua mata Vanessa berkedip saat menerima bunga tersebut. "Terima kasih."Sembari menunduk, dia memandangi rangkaian iris ungu di pelukannya. Bunga ini melambangkan cahaya dan kebebasan. Entah Jeremy benar-benar paham maknanya, atau hanya kebetulan saja.Di ruang tamu, dua gadis kecil itu sontak terkejut melihat Jeremy datang membawa bunga.Alika bergumam dengan kecewa, "Duh, kita juga seharusnya beri bunga ke Bibi Vanessa. Kok bisa lupa, ya? Makasih Paman sudah ingat."Jeremy belum sempat menanggapi, Alika sudah nyerocos lagi."Tapi, biasanya urusan beli hadiah itu diurus Kak Robby, 'kan? Jangan-jangan Paman ingat gara-gara diingatkan Kak Robby, atau jangan-jangan ini Kak Robby yang beli?"Vanessa langsung mendongak. Matanya yang berbinar bertemu dengan pandangan Jeremy.Jelas terlihat, pria ini sedang marah karena ucapan polos dari Alika. Bibirnya terkatup tipis, sebelum akhirnya dia menatap Vanessa dan menjela

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 97

    Setelah libur musim panas tiba, Vanessa berencana membawa Giselle menginap beberapa hari di rumah orang tuanya. Setelah itu barulah dia akan menceritakan semuanya pada mereka.Sore itu, Vanessa sibuk membereskan rumah. Terpikir jaraknya lebih dekat dengan sekolah anak-anak, dia memutuskan untuk menjemput Giselle dan Alika.Mulai besok, Giselle akan kembali ke rumah Marvin. Vanessa ingin memanfaatkan waktu hari ini untuk berbicara berdua dengan putrinya. Begitu tiba di gerbang sekolah, beberapa orang tua murid langsung melirik ke arahnya.Sejak insiden di pesta ulang tahun keluarga Arkan, berbagai gosip miring beredar tentang dirinya. Vanessa pun jarang lagi menunjukkan keterampilannya yang dulu sering dibicarakan, seperti datang ke rumah orang untuk memasak.Meskipun ucapan Paula belum tentu benar, sebagian besar orang tua murid tetap memandang rendah perilaku Vanessa. Bahkan ada yang khawatir dia akan merebut suami orang dengan wajahnya yang cantik.Vanessa mengabaikan tatapan penuh s

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 96

    Sekretaris Calvin baru kembali ke kantor hukum setelah mengantar Vanessa ke rumah sendiri.Setibanya di kantor, sekretaris Calvin buru-buru mendatangi ruangan Calvin. Melihat Calvin sedang menelepon, dia tak berani menyela, hanya berdiri tenang di sisi ruangan.Calvin melirik berkas di tangan sekretarisnya, alisnya sedikit terangkat. Dia segera mengakhiri panggilan itu secepat mungkin. Begitu telepon ditutup, sang sekretaris langsung menyerahkan berkas tersebut."Sudah beres, surat cerainya sudah di tangan. Nggak ada hambatan sama sekali, semuanya lancar."Calvin memeriksa berkas itu. Selain kesepakatan yang sebelumnya sudah ditandatangani Marvin dan dinyatakan sah, ada tambahan soal hak asuh, bahkan Marvin masih menambahkan uang tunjangan sebesar seratus juta per bulan untuk Vanessa.Nominalnya memang tidak fantastis, tapi mengingat sikap Marvin yang dulu perhitungan setengah mati, perubahan ini terasa seperti berbalik seratus delapan puluh derajat.Calvin tercengang, lalu menoleh ke

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 95

    Calvin mengernyit. "Apa Marvin bakal datang?""Dia pasti datang."Calvin merasa heran dengan nada Vanessa yang begitu yakin. "Bu Vanessa yakin? Cuma perlu sekretarisku mengantarkan dokumennya?""Yakin. Tolong titipkan saja ke sekretaris Bapak.""Baik."Setelah menutup telepon, Calvin memanggil sekretarisnya dan menjelaskan situasinya."Pagi-pagi besok, serahkan dokumen-dokumen itu ke Bu Vanessa. Tapi nggak perlu langsung kembali. Aku penasaran, gimana cara dia bisa membujuk Marvin?""Kamu pantau di tempat, lihat apa Marvin benar-benar akan pisah baik-baik dengannya. Terus, apa dia bisa terima perjanjian cerai yang Vanessa ajukan."Sekretaris Calvin juga penasaran. Oleh karena itu, dia sudah menunggu di depan Pengadilan Negeri sejak pagi keesokan harinya.Melihat Vanessa tiba, dia menyerahkan dokumen yang diminta, lalu bertanya sambil menatap Vanessa, "Ibu yakin semua bakal berjalan lancar?"Vanessa tersenyum tipis. "Tenang saja. Kalau kamu ada perlu, pulang dulu saja.""Ah ... nggak us

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status