Share

Bab 7

Author: Ayudhia
Giselle tidak menyangkal. Dia mengangkat dagunya dengan bangga sambil berkata, "Iya, mamaku."

"Kenapa mamamu jadi koki? Kamu jangan bercanda lagi," timpal teman sekolah Alika yang bernama Serra.

Vanessa tersenyum pelan dan bertutur dengan suara lembut, "Nggak bercanda kok. Serra, sekarang Bibi menjalankan bisnis dan punya akun video sendiri. Bibi akan memosting beberapa tips dan video memasak, kadang juga terima pesanan untuk masak di rumah. Kalau Serra butuh, bisa cari Bibi ya."

Begitu diajak bicara dengan Vanessa yang lembut dan cantik, wajah gadis yang dipanggil itu memerah karena merasa tidak enak hati.

"Bibi ingat namaku?" tanya Serra.

"Iya. Bibi ingat semua teman-teman Giselle," balas Vanessa. Kemudian, dia menatap yang lain seraya berujar, "Kalau kalian ada pertanyaan, boleh tanya padaku juga."

Vanessa sudah mempersiapkan diri untuk muncul kali ini. Seorang istri pemilik Grup Tanrio dulu, kini malah menjadi koki untuk orang lain. Pekerjaan seperti ini tentu akan menjadi pembicaraan orang-orang di kemudian hari. Lebih baik menunjukkannya secara terang-terangan sekarang.

Sebelumnya, Vanessa dan Giselle juga sudah membahas hal ini. Giselle sama sekali tidak takut orang-orang membicarakan tentang pekerjaan ibunya. Sikapnya sangat tenang. Selama ibunya bekerja dengan jujur, dia akan selalu mendukung.

Giselle tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain. Mungkin juga karena ini adalah wilayah Alika, jadi tidak ada seorang pun yang melontarkan ucapan yang tidak enak didengar.

Justru ada beberapa orang yang benar-benar meminta kontak Vanessa. Ini menunjukkan bahwa mereka akan meminta Vanessa untuk memasak di lain hari.

Mereka juga mengikuti akun Vanessa. Meskipun baru mulai, Vanessa sudah buru-buru mengunggah video beberapa masakan sederhana hari ini. Bisa dikatakan bahwa dia sudah mulai mengelola akunnya.

Setelah itu, Vanessa kembali ke belakang untuk beristirahat dan tidak lagi mengganggu anak-anak muda itu. Dari dapur, dia melihat ke arah halaman di luar. Di tengah hamparan rumput hijau yang jauh, terlihat sebuah sosok tegap berdiri di dalam gazebo. Sepertinya sedang menelepon.

Vanessa teringat bahwa Jeremy tidak pergi bekerja hari ini. Demi sekelompok anak itu, sepertinya dia juga tidak makan siang dengan baik.

Hari ini, Alika berbaik hati membantu memperkenalkan pelanggan kepada Vanessa. Namun, tanpa persetujuan dari Jeremy, Vanessa tidak mungkin punya kesempatan ini.

Ditambah lagi, terakhir kali Jeremy membantu Vanessa keluar dari kesulitan. Bagaimanapun, Vanessa harus berterima kasih pada Jeremy.

"Pak Andre, aku mau menyiapkan teh sore untuk Pak Jeremy. Boleh? Aku mau berterima kasih atas bantuannya dan Alika hari ini," kata Vanessa.

"Tentu saja boleh. Tapi, Tuan Jeremy nggak suka makan makanan manis. Sisanya terserah padamu," timpal Andre.

"Oke," sahut Vanessa.

Vanessa sangat cekatan. Bahan yang tersedia juga banyak. Dia pun tidak membuat kue yang terlalu rumit dan menyeduh seteko teh bunga. Setelah itu, dia membawa nampan ke gazebo. Kebetulan, Jeremy sudah selesai menelepon.

Mata indah Vanessa sedikit melengkung. Suaranya lembut. Katanya, "Pak Jeremy, aku buat sedikit kue. Entah kamu suka atau nggak."

Mata gelap Jeremy memancarkan kilatan. Dia duduk.

Vanessa segera menuangkan teh. Jari-jari yang ramping dan putih memegang gagang teko. Kuku yang putih dengan semburat merah tampak bersih dan terawat. Pemandangan ini melintas sekilas di hadapan Jeremy sebelum cangkir teh diletakkan di depannya.

"Ini daun teh dari rumahmu. Aku sedikit mengubah cara seduhnya. Entah sesuai seleramu atau nggak. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih dariku atas bantuanmu."

Jeremy menyesap teh dengan tenang. Daun teh yang familier malah memiliki aroma segar yang berbeda hari ini. Dia tidak tahu aroma apa ini. Namun, dia tak kuasa menahan diri untuk berpikir bahwa aroma ini sangat mirip dengan wangi tubuh Vanessa.

Kelembutan yang mengelilingi, terasa sedikit demi sedikit, berpadu sempurna dengan rasa daun teh.

Sorot mata Jeremy sedikit menggelap. Dia meletakkan cangkir teh, lalu bertutur dengan nada rendah dan tenang, "Nggak perlu berterima kasih. Hanya hal kecil."

"Bagimu memang hal kecil, tapi bagiku ini justru bantuan yang sangat besar," balas Vanessa.

Jeremy tidak menanggapi dan terus menyesap teh dalam diam.

Vanessa berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk tidak lagi mengganggu Jeremy. Katanya, "Pak Jeremy, silakan menikmati pelan-pelan. Aku kembali dulu."

Vanessa berbalik pergi. Di tengah aroma teh yang menguar, sorot mata Jeremy menggelap. Tatapannya terpaku pada punggung Vanessa untuk waktu yang cukup lama.

Pada sore hari, anak-anak itu pergi satu per satu. Alika dan Giselle sangat senang. Mereka mengelilingi Vanessa sambil membicarakan keberhasilan hari ini.

"Oh, iya. Kalian jangan pulang lagi hari ini. Malam ini, kalian menginap saja di sini. Besok pagi, aku dan Giselle akan ke sekolah bersama," ucap Alika.

Vanessa langsung menolak, "Biar Giselle saja yang tinggal. Bibi tetap pulang malam ini."

Vanessa merasa tidak nyaman jika menginap di sini.

Alika buru-buru memeluk Giselle. Lantaran sudah lama menginginkan hal ini, dia membujuk, "Bibi, jangan pergi. Giselle selalu bilang tidur sama Bibi itu enak sekali. Aduh, aku juga mau tidur sama Bibi. Tenang saja. Pamanku sudah keluar. Kalau keluar di jam seperti ini, pasti ada acara bisnis. Malam sekali baru akan pulang."

Vanessa tidak berdaya karena bujukan Alika. Dia menyetujuinya sambil tersenyum.

Selesai makan malam, Vanessa menemani dua gadis kecil berbaring di ranjang.

Alika bersandar di dalam pelukan lembut Vanessa dengan puas. Dia menghela napas pelan sebelum berucap, "Enaknya. Bibi, dulu yang paling buat aku iri sama Giselle adalah dia selalu ditemani mamanya sejak kecil."

Orang tua Alika bekerja di luar negeri sepanjang tahun. Ini adalah penyesalan terbesarnya. Meskipun dia juga menyayangi ibunya sendiri, yang paling membuatnya iri adalah punya ibu seperti Vanessa.

Giselle tersenyum lebar seraya berujar, "Kita ini teman baik. Mamaku berarti mamamu juga."

Vanessa memeluk dua gadis kecil itu, lalu bersenandung dengan suara lembut yang merdu dan segera menidurkan mereka. Vanessa justru tidak mengantuk sama sekali. Selalu ada perasaan tidak tenang jika tidak berada di rumah sendiri.

Yang lebih penting adalah setiap larut malam, Vanessa akan terjebak dalam keraguan yang tak terelakkan. Jangan lihat dia begitu berpikiran jernih dan hebat saat pagi hari. Ketika sendirian saat malam yang sunyi, dia akan meragukan diri sendiri atas pernikahannya yang gagal.

Padahal sudah bersama selama belasan tahun. Namun, kenapa Marvin bisa berselingkuh? Apakah benar seperti yang mereka katakan bahwa selain menghabiskan uang dan bergantung pada Marvin, Vanessa tidak bisa apa-apa? Apakah benar Vanessa tidak punya kelebihan lain selain wajahnya?

Vanessa mengatakan mau bercerai dengan tegas. Namun, jauh di lubuk hatinya, hanya dia sendiri yang tahu seberapa besar pukulan ini baginya.

Lantaran tidak bisa tidur, Vanessa pun beranjak. Dia diam-diam keluar dari kamar dan turun. Cahaya lampu di ruang tamu lantai satu remang-remang. Ketika dia turun, terlihat sesosok yang duduk membelakanginya di sofa.

Vanessa terkejut, tetapi dia segera tersadar. Sepertinya, Jeremy sudah pulang. Vanessa berjalan ke arah cahaya lampu lantai yang temaram, lalu melihat Jeremy yang duduk di sofa dengan mata terpejam.

Berbeda dengan sikap dingin dan tegas saat siang hari. Kala ini, alis Jeremy sedikit berkerut dan terlihat sangat lelah. Cahaya lampu yang kekuningan menyorot hidungnya yang mancung, membuat sisi wajahnya tampak tegas.

Kerah kemejanya tidak dikancing. Dasinya tergantung longgar. Tubuhnya yang tinggi bersandar di sofa dengan santai dan malas.

Vanessa ragu sejenak, lalu memutuskan untuk mendekat. Baru saja hendak memanggil, tidak disangka Jeremy tiba-tiba membuka mata. Sepasang mata hitamnya begitu tajam dan dalam. Auranya seketika berubah dan membawa tekanan yang menyesakkan.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 100

    Semudah ini?Vanessa sendiri tidak menyangka Jeremy akan langsung setuju begitu saja. Dia mendongak dengan kaget. Tatapannya bertemu dengan mata Jeremy yang menyiratkan senyum samar. Sepertinya suasana hati Jeremy hari ini memang sedang baik."Kalau kamu yang bilang, aku pasti setuju."Kalimat ini agak ....Vanessa menjadi canggung. Dia menyelipkan sedikit rambut yang tergerai ke belakang telinga, lalu sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain, asal bukan wajah Jeremy.Berbeda dengannya, tatapan Jeremy yang duduk santai dengan kaki bersilang tak beranjak sedikit pun dari sosok wanita di hadapannya. Terang-terangan, tanpa upaya menyamarkan.Jantung Vanessa mulai berdegup kencang. Dia buru-buru mencari alasan agar bisa menghindari tatapan Jeremy. "Kalau begitu, Pak Jeremy, aku pamit ....""Vanessa!"Jeremy meletakkan rokok yang belum dinyalakan itu. Dia bangkit, mendekat, dan mencondongkan badannya ke hadapan Vanessa.Wajah tampan dan tegas itu kini berada sangat dekat. Mata hitamnya me

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 99

    Sudut bibir Vanessa terangkat, matanya yang jernih melengkung penuh senyum. "Sebenarnya hukuman seperti ini justru bagus untuk Alika, lho.""Memang sih, tapi melelahkan."Vanessa tak bisa membantah. Semua anak memang tidak suka belajar, apalagi kalau harus belajar di luar jam sekolah.Di luar, Alika masih sempat menangis meraung-raung. Entah apa yang dikatakan Lukman padanya, tiba-tiba gadis kecil itu berlari masuk ke dapur dan memeluk Vanessa sambil merengek."Bibi Vanessa, tolong aku, ya. Aku bener-bener nggak mau ikut les tambahan, apalagi kalau Kak Robby yang ngajar. Tolong bilang ke Paman, dong. Bibi kan baik banget, masa tega lihat bunga bangsa seimut ini disiksa?"Vanessa tak kuasa menahan tawa, lalu melirik Lukman yang tersenyum lebar di dekat pintu. Sepertinya ini memang ide dari Lukman. Namun, kenapa Alika malah disuruh minta bantuan dirinya?Jantung Vanessa berdetak sedikit lebih cepat. Dia mengalihkan pandangan dari tatapan penuh arti Lukman, kembali menunduk menatap wajah

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 98

    Jeremy mengulurkan bunga di tangannya kepada Vanessa. "Selamat, Vanessa."Kedua mata Vanessa berkedip saat menerima bunga tersebut. "Terima kasih."Sembari menunduk, dia memandangi rangkaian iris ungu di pelukannya. Bunga ini melambangkan cahaya dan kebebasan. Entah Jeremy benar-benar paham maknanya, atau hanya kebetulan saja.Di ruang tamu, dua gadis kecil itu sontak terkejut melihat Jeremy datang membawa bunga.Alika bergumam dengan kecewa, "Duh, kita juga seharusnya beri bunga ke Bibi Vanessa. Kok bisa lupa, ya? Makasih Paman sudah ingat."Jeremy belum sempat menanggapi, Alika sudah nyerocos lagi."Tapi, biasanya urusan beli hadiah itu diurus Kak Robby, 'kan? Jangan-jangan Paman ingat gara-gara diingatkan Kak Robby, atau jangan-jangan ini Kak Robby yang beli?"Vanessa langsung mendongak. Matanya yang berbinar bertemu dengan pandangan Jeremy.Jelas terlihat, pria ini sedang marah karena ucapan polos dari Alika. Bibirnya terkatup tipis, sebelum akhirnya dia menatap Vanessa dan menjela

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 97

    Setelah libur musim panas tiba, Vanessa berencana membawa Giselle menginap beberapa hari di rumah orang tuanya. Setelah itu barulah dia akan menceritakan semuanya pada mereka.Sore itu, Vanessa sibuk membereskan rumah. Terpikir jaraknya lebih dekat dengan sekolah anak-anak, dia memutuskan untuk menjemput Giselle dan Alika.Mulai besok, Giselle akan kembali ke rumah Marvin. Vanessa ingin memanfaatkan waktu hari ini untuk berbicara berdua dengan putrinya. Begitu tiba di gerbang sekolah, beberapa orang tua murid langsung melirik ke arahnya.Sejak insiden di pesta ulang tahun keluarga Arkan, berbagai gosip miring beredar tentang dirinya. Vanessa pun jarang lagi menunjukkan keterampilannya yang dulu sering dibicarakan, seperti datang ke rumah orang untuk memasak.Meskipun ucapan Paula belum tentu benar, sebagian besar orang tua murid tetap memandang rendah perilaku Vanessa. Bahkan ada yang khawatir dia akan merebut suami orang dengan wajahnya yang cantik.Vanessa mengabaikan tatapan penuh s

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 96

    Sekretaris Calvin baru kembali ke kantor hukum setelah mengantar Vanessa ke rumah sendiri.Setibanya di kantor, sekretaris Calvin buru-buru mendatangi ruangan Calvin. Melihat Calvin sedang menelepon, dia tak berani menyela, hanya berdiri tenang di sisi ruangan.Calvin melirik berkas di tangan sekretarisnya, alisnya sedikit terangkat. Dia segera mengakhiri panggilan itu secepat mungkin. Begitu telepon ditutup, sang sekretaris langsung menyerahkan berkas tersebut."Sudah beres, surat cerainya sudah di tangan. Nggak ada hambatan sama sekali, semuanya lancar."Calvin memeriksa berkas itu. Selain kesepakatan yang sebelumnya sudah ditandatangani Marvin dan dinyatakan sah, ada tambahan soal hak asuh, bahkan Marvin masih menambahkan uang tunjangan sebesar seratus juta per bulan untuk Vanessa.Nominalnya memang tidak fantastis, tapi mengingat sikap Marvin yang dulu perhitungan setengah mati, perubahan ini terasa seperti berbalik seratus delapan puluh derajat.Calvin tercengang, lalu menoleh ke

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 95

    Calvin mengernyit. "Apa Marvin bakal datang?""Dia pasti datang."Calvin merasa heran dengan nada Vanessa yang begitu yakin. "Bu Vanessa yakin? Cuma perlu sekretarisku mengantarkan dokumennya?""Yakin. Tolong titipkan saja ke sekretaris Bapak.""Baik."Setelah menutup telepon, Calvin memanggil sekretarisnya dan menjelaskan situasinya."Pagi-pagi besok, serahkan dokumen-dokumen itu ke Bu Vanessa. Tapi nggak perlu langsung kembali. Aku penasaran, gimana cara dia bisa membujuk Marvin?""Kamu pantau di tempat, lihat apa Marvin benar-benar akan pisah baik-baik dengannya. Terus, apa dia bisa terima perjanjian cerai yang Vanessa ajukan."Sekretaris Calvin juga penasaran. Oleh karena itu, dia sudah menunggu di depan Pengadilan Negeri sejak pagi keesokan harinya.Melihat Vanessa tiba, dia menyerahkan dokumen yang diminta, lalu bertanya sambil menatap Vanessa, "Ibu yakin semua bakal berjalan lancar?"Vanessa tersenyum tipis. "Tenang saja. Kalau kamu ada perlu, pulang dulu saja.""Ah ... nggak us

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status