Ajeng lelah jadi istri yang baik. Lelah pura-pura puas. Di rumah, ia adalah ibu yang sempurna. Tapi di balik pintu kantor, tubuhnya haus, hatinya kosong, dan gairahnya menggerogoti batas. Lalu datang Arga—rekan kerja yang terlalu tenang untuk dicurigai, terlalu tajam untuk diabaikan. Mereka tak bicara soal cinta. Mereka bicara lewat tatapan, desahan, dan kulit yang saling memanggil. Ajeng tahu Arga sudah bertunangan. Arga tahu Ajeng sudah bersuami. Tapi tubuh mereka tetap bertemu. Lagi. Dan lagi. Mereka tidak jatuh cinta dengan cara biasa. Mereka jatuh—dalam pelukan, di balik kursi kerja, di kamar hotel, di ruang sunyi tempat dosa berubah jadi candu. Ini bukan cerita tentang siapa yang salah. Ini tentang dua orang yang menolak padam, dan membiarkan diri terbakar habis-habisan.
Lihat lebih banyakKatanya, perempuan yang kuat itu tak banyak bicara. Tapi nyatanya, aku banyak berpikir. Diam-diam menimbang semua luka, seperti menakar garam dalam adonan- secukupnya, biar tak asin tapi tetap terasa.
Namaku Ajeng, tahun ini genap 30 usiaku. Seorang ibu, seorang istri, dan entah siapa lagi—karena kadang, aku bahkan tak merasa sedang menjadi diriku sendiri.
Setiap hari kupakai banyak nama.
Ibu, saat Khaira terbangun dan memelukku dengan tangan mungilnya.
Bu Ajeng, saat rekan kerja menyodorkan berkas sambil menyebut posisiku yang nyaris tak berdaya menghadapi birokrasi.
Sayang, saat Chandra sempat-sempatnya memanggil manis hanya ketika ingin sesuatu.
Tapi siapa yang memanggilku... hanya Ajeng?
“Apa kabar kamu hari ini, Ajeng?”
Dan jawabanku selalu sama. "Baik. Tapi capek. Tapi harus baik.”
Kupikir dulu, menikah akan membuatku merasa penuh. Nyatanya aku seperti gelas kosong yang terus dipaksa menampung tanpa pernah diisi.
Chandra bukan orang jahat. Tapi bukan juga orang yang pernah benar-benar menatap mataku belakangan ini. Tangannya terlalu sibuk dengan ponsel. Kata-katanya terlalu sibuk menilai, bukan mendengar.
Satu-satunya suara yang masih membangunkanku setiap pagi—secara harfiah dan emosional—adalah suara Khaira yang tertawa.
“Kamu kuat, Ajeng. Kamu harus kuat.” Itu mantra batin yang terus kuputar-putar, seperti rekaman rusak yang tak pernah tahu kapan boleh berhenti.
Aku suka membaca. Suka menulis. Suka berimajinasi tentang dunia di mana perempuan sepertiku tak harus minta izin untuk merasa lelah. Tapi kenyataan tak pernah seindah imajinasi.
Karena di dunia nyata, saat aku berkata, “Aku lelah,” mereka menjawab, "Namanya juga istri. Namanya juga ibu."
Lalu aku diam lagi. Menjadi Ajeng yang tahu diri. Yang tahu tempat. Yang tahu kapan harus menangis, dan kapan harus menghapus air mata sebelum orang lain melihatnya.
Tapi jujur... Kadang aku ingin hilang.
Hilang dari semua tuntutan. Hilang dari rutinitas. Bukan untuk mati. Tapi untuk rehat. Rehat dari peran-peran yang terlalu berat kupikul sendirian.
Dan di tengah semua keheningan ini, aku hanya ingin...
Bukan sebagai istri.
Meski mungkin, itu terlalu egois. Terlalu naif. Terlalu... manusiawi?
Padahal dulunya aku tidak begini. Dulu aku perempuan yang suka tertawa. Yang duduk di kafe sendirian tanpa rasa canggung.
Sekarang? Aku bahkan lupa kapan terakhir menulis sesuatu yang bukan laporan atau rencana kerja. Tulisanku lebih banyak tentang pelaporan keuangan, bukan tentang rasa.
Jam beker berdetak pelan.
Seharusnya aku sudah bangun dari tadi. Tapi tubuh ini enggan. Kepala masih ingin bersandar di bantal. Tapi suara kecil dari kamar sebelah sudah memanggil lembut. “Mamaa…”
Aku tersenyum—palsu atau tulus, entahlah—dan melangkah. Dua kaki yang selalu tahu jalan ke tempat Khaira tidur.
Kupeluk tubuh kecilnya. Hangat.
“Udah bangun, Sayang?”
Khaira mengangguk setengah sadar.
Di momen ini, aku selalu diam-diam bertanya,“Apakah aku ibu yang cukup baik?”
Karena aku tahu, aku sering kelelahan. Sering marah karena hal sepele. Sering ingin sendiri tapi tak bisa benar-benar sendiri.
Dan yang paling membuatku merasa bersalah adalah aku sering merasa tidak bahagia.
Tapi bagaimana caranya bahagia, kalau cinta yang seharusnya jadi rumah malah berubah jadi ruang tunggu?
Chandra belum bangun. Sudah seminggu dia pulang larut. Alasannya kerja. Rapat. Ketemu klien.
Aku tak lagi bertanya. Bukan karena percaya, tapi karena lelah. Lelah bertanya, lelah curiga, lelah mengulang siklus luka yang sama.
Tiga tahun lalu, aku pernah menangis karena tahu dia selingkuh. Tahun berikutnya, aku kembali menangis karena tahu itu bukan yang terakhir.
Aku pernah berteriak, pernah marah, pernah memohon agar dia berubah.
Tapi siapa yang bisa mengubah seseorang kalau dia sendiri tidak merasa bersalah?
Aku tetap di sini. Di rumah yang setiap sudutnya menyimpan kenangan, juga kebohongan.
Karena aku punya Khaira. Karena aku takut sendirian. Karena dunia terlalu kejam pada ibu tunggal.
Dan karena... aku belum cukup berani untuk pergi.
“Sampai kapan kamu akan seperti ini, Ajeng?”
Suaraku sendiri terdengar asing. Nyaring, tapi tanpa gema.
Aku menyiapkan sarapan seperti biasa. Telur dadar, nasi hangat, dan potongan buah. Khaira suka anggur. Sementara aku sendiri belum tahu apa yang kusuka. Semuanya terasa hambar.
Aku memandang bayanganku di cermin dapur. Lingkar mata hitam. Kulit kusam. Perempuan ini… siapa?
“Kamu masih Ajeng. Masih. Hanya... lelah.”
Tapi lelah yang ditumpuk setiap hari bisa berubah jadi hilang. Hilang arah. Hilang rasa. Hilang keberanian untuk mencintai diri sendiri.
Aku bekerja dari pukul delapan sampai empat sore. Jam-jam formal untuk seorang staf dinas di bidang akuntansi. Tapi pekerjaanku tidak berhenti di situ. Aku juga petugas piket rumah tangga. Penjaga emosi. Penampung keluhan. Pengantar dan penjemput. Pembersih luka batin yang tak pernah kelihatan.
Dan tetap saja, belum ada yang bilang, "Terima kasih, Ajeng."
Sabtu pagi, udara masih setia menggigit. Kami bertemu di titik yang disepakati, hanya berdua. Tak ada teman kantor, tak ada suara lembur, tak ada tanggung jawab menumpuk. Hanya aku, dia, dan sebuah keputusan diam-diam untuk kabur sejenak dari dunia.Aku mengenakan jaket biru tebal dan kacamata hitam. Sementara Arga datang dengan kaos hitam dan hoodie abu-abu. Sederhana, tapi dada kami berdetak tak sederhana. Ada sesuatu yang menanti. Sesuatu yang tak bisa disebut—hanya bisa dirasakan.Mobil Arga melaju pelan menyusuri jalanan yang berkabut. Hawa dingin masuk dari jendela yang sedikit terbuka, memaksa kami merapat, mencari hangat dari sisa-sisa energi dua hari terakhir yang penuh tawa, canggung, dan—aku tak bisa memungkiri—kerinduan yang tak seharusnya ada.Radio mengalun pelan. Lagu “Sahabat Kecil” dari Ipang mengisi ruang kabin dengan lembut, seperti suara hati yang bicara tanpa izin.“Eh, kamu hafal nggak liriknya?” tanyaku sambil mengusap embun dari kaca mobil.“Hafal lah,” jawabny
Suasana kantor kembali seperti biasa—atau setidaknya, seolah-olah begitu. Kertas masih berserakan di meja, suara keyboard beradu cepat dengan tenggat waktu, dan tatapan-tatapan profesional dipertahankan demi menjaga batas. Tapi aku tahu, sejak malam itu, ada yang berubah.Bukan hanya pada Arga. Tapi juga pada diriku.Aku melangkah masuk ke ruang kerja dengan langkah teratur, membawa aroma tubuh yang sama, mengenakan pakaian kerja yang sama. Namun saat mataku menangkap sosok Arga di seberang meja, detak jantungku seakan terlewat satu irama.Dan Arga—pria itu hanya melirik sekilas, lalu menunduk lagi ke layar monitor. Tapi aku tahu, ada senyum tipis yang tertahan di sudut bibirnya. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan hal-hal kecil yang tak bisa didefinisikan.Seperti saat kita berpapasan di lorong pantry, dan jemari Arga menyentuh punggung tanganku sekilas—tanpa alasan, tanpa permisi, tapi cukup untuk membuat kulit ini memanas.Atau saat Arga menyerahkan berkas, dan telapak tangannya
Ajeng masih merasakan denyut di bibirnya ketika jemarinya mengusap tengkuk Arga. Nafasnya belum kembali tenang, tapi hatinya sudah lebih jujur dari sebelumnya.Ia beralih, perlahan menggeser duduk hingga kini berada di atas pangkuan Arga, menghadapnya langsung. Kakinya menekuk di samping tubuh pria itu, mendekap lembut.Arga memundurkan posisi duduknya, membuat sandaran kursi itu merebah lebih rendah. Tubuhku menyusul gerakannya, tetap melekat di pangkuannya, dadaku menempel di dadanya yang berdegup keras dan hangat.Tangannya menjelajah, mulai dari pinggang, lalu ke sisi dadaku. Ia berhenti. Menatapku dalam.“Boleh aku?” bisiknya serak, nyaris seperti rintihan.Aku tak menjawab dengan kata. Bibirku nyaris menyentuh telinganya saat kubisikkan, “Jangan tanya lagi. Rasakan aku… seperti aku ingin merasakan kamu.”Pandangan matanya berubah. Seperti api yang dipantik oleh bensin. Tanpa menunggu lebih lama, tangannya kembali naik. Dan aku yang kini tak lagi malu, menggeser sedikit tubuhku,
Lembur hari itu selesai lebih cepat dari biasanya, tapi bukan berarti mereka buru-buru pulang. Aku masih duduk di kursinya, pura-pura merapikan berkas, padahal pikirannya sudah ke mana-mana sejak Arga menawarkan, “Mau cari angin bentar?”Mereka tak perlu alasan. Sama-sama tahu itu bukan cuma tentang angin.Mobil Arga melaju perlahan ke arah dataran tinggi.“Kenapa ngajak aku?” tanyaku.“Karena kamu kelihatan butuh istirahat.”“Terus kamu? Butuhnya apa?”Arga menoleh sebentar, “Butuh keberanian.”Aku menoleh juga, pelan. Tapi tak bertanya lebih lanjut. Ada yang lebih nyaring dari kata-kata: degup jantungnya sendiri.Udara malam mulai menggigit, tapi anehnya, aku merasa justru lebih hangat daripada siang tadi. Di warung kecil yang nyempil di pinggir tebing, mereka duduk berdampingan, memesan mie rebus dan teh manis panas. Tak ada yang bicara banyak, tapi setiap tatapan terasa lebih lama dari biasanya.“Kamu sering begini?” tanyaku, mencoba terdengar santai.Arga menoleh, senyumnya mirin
Suara pintu ruang kerja ditutup pelan.Aku menarik napas dalam-dalam sebelum duduk di kursinya.Dinas luar itu baru berakhir kemarin, tapi bekasnya seperti belum selesai. Masih tersisa di udara, masih menempel di kulitnya, masih terasa ketika matanya tak sengaja bertemu mata Arga tadi pagi di lorong kantor.Dia tak bicara apa pun. Hanya senyum kecil. Tapi senyumnya itu… menjalar seperti arus panas ke leher Ajeng.“Ajeng, laporan perjalanan kemarin tolong dikompilasi ya, paling lambat Jumat besok kita laporkan,” suara Pak Hary dari ruangan sebelah terdengar jelas.“Siap, Pak,” sahutnya cepat, lalu kembali menatap layar. Berusaha fokus. Sekeras apapun aku fokus, aku tidak bisa. Karena memang benar. Sepanjang perjalanan pulang, mobil itu penuh tawa rekan kerja mereka. Tapi hanya aku dan Arga yang tahu betapa sunyinya dunia mereka sendiri di dalamnya. Sunyi yang mendebarkan. Sunyi yang membuat aku terlalu sadar akan posisi duduknya di belakang Arga. Bagaimana dia memperhatikan tangan Arg
Perjalanan dinas bukan hal baru bagiku. Kami—aku dan Arga—sudah beberapa kali ditugaskan keluar kota bersama, bersama tim yang itu-itu juga. Tapi entah kenapa, perjalanan kali ini terasa berbeda.Mungkin karena sejak sering dibonceng pulang olehnya, sesuatu dalam diriku berubah. Ada jarak yang sebelumnya kutarik rapat, kini mulai longgar. Ada ruang yang dulu kututup rapat, kini mulai terbuka, diam-diam... untuknya.Kami berlima dalam satu mobil. Arga menyetir di depan, tenang seperti biasa. Tangannya menggenggam setir dengan gaya khasnya—tepat, terarah, dan entah kenapa, menggoda. Dari kursi belakang, aku memperhatikan bahunya yang naik-turun setiap ia berganti posisi. Gerakan kecil yang sepele, tapi cukup untuk membuat pikiranku mulai menjauh dari jalur tol.Sialan.Aku bahkan memperhatikan bagian tengkuknya. Keringat halus di kulit lehernya. Cara rambutnya turun sedikit menutupi kerah belakang.Bayangan kecil muncul di pikiranku. Tentang tanganku yang menyentuh tengkuk itu... lalu t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen