Rasaku Ditelanjangi

Rasaku Ditelanjangi

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-07-22
Oleh:  AYURIBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
10Bab
15Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Ajeng lelah jadi istri yang baik. Lelah pura-pura puas. Di rumah, ia adalah ibu yang sempurna. Tapi di balik pintu kantor, tubuhnya haus, hatinya kosong, dan gairahnya menggerogoti batas. Lalu datang Arga—rekan kerja yang terlalu tenang untuk dicurigai, terlalu tajam untuk diabaikan. Mereka tak bicara soal cinta. Mereka bicara lewat tatapan, desahan, dan kulit yang saling memanggil. Ajeng tahu Arga sudah bertunangan. Arga tahu Ajeng sudah bersuami. Tapi tubuh mereka tetap bertemu. Lagi. Dan lagi. Mereka tidak jatuh cinta dengan cara biasa. Mereka jatuh—dalam pelukan, di balik kursi kerja, di kamar hotel, di ruang sunyi tempat dosa berubah jadi candu. Ini bukan cerita tentang siapa yang salah. Ini tentang dua orang yang menolak padam, dan membiarkan diri terbakar habis-habisan.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1: AJENG

Katanya, perempuan yang kuat itu tak banyak bicara. Tapi nyatanya, aku banyak berpikir. Diam-diam menimbang semua luka, seperti menakar garam dalam adonan- secukupnya, biar tak asin tapi tetap terasa.

Namaku Ajeng, tahun ini genap 30 usiaku. Seorang ibu, seorang istri, dan entah siapa lagi—karena kadang, aku bahkan tak merasa sedang menjadi diriku sendiri.

Setiap hari kupakai banyak nama.

Ibu, saat Khaira terbangun dan memelukku dengan tangan mungilnya.

Bu Ajeng, saat rekan kerja menyodorkan berkas sambil menyebut posisiku yang nyaris tak berdaya menghadapi birokrasi.

Sayang, saat Chandra sempat-sempatnya memanggil manis hanya ketika ingin sesuatu.

Tapi siapa yang memanggilku... hanya Ajeng?

“Apa kabar kamu hari ini, Ajeng?”

Pertanyaan itu tak pernah benar-benar datang dari siapa-siapa, selain dari kepalaku sendiri.

Dan jawabanku selalu sama. "Baik. Tapi capek. Tapi harus baik.”

Kupikir dulu, menikah akan membuatku merasa penuh. Nyatanya aku seperti gelas kosong yang terus dipaksa menampung tanpa pernah diisi.

Chandra bukan orang jahat. Tapi bukan juga orang yang pernah benar-benar menatap mataku belakangan ini. Tangannya terlalu sibuk dengan ponsel. Kata-katanya terlalu sibuk menilai, bukan mendengar.

Satu-satunya suara yang masih membangunkanku setiap pagi—secara harfiah dan emosional—adalah suara Khaira yang tertawa.

Gadis kecilku yang jadi alasan kenapa aku masih bisa mencintai hidup, walau tidak lagi mencintai pernikahanku.

“Kamu kuat, Ajeng. Kamu harus kuat.” Itu mantra batin yang terus kuputar-putar, seperti rekaman rusak yang tak pernah tahu kapan boleh berhenti.

Aku suka membaca. Suka menulis. Suka berimajinasi tentang dunia di mana perempuan sepertiku tak harus minta izin untuk merasa lelah. Tapi kenyataan tak pernah seindah imajinasi.

Karena di dunia nyata, saat aku berkata, “Aku lelah,” mereka menjawab, "Namanya juga istri. Namanya juga ibu."

Lalu aku diam lagi. Menjadi Ajeng yang tahu diri. Yang tahu tempat. Yang tahu kapan harus menangis, dan kapan harus menghapus air mata sebelum orang lain melihatnya.

Tapi jujur... Kadang aku ingin hilang.

Hilang dari semua tuntutan. Hilang dari rutinitas. Bukan untuk mati. Tapi untuk rehat. Rehat dari peran-peran yang terlalu berat kupikul sendirian.

Dan di tengah semua keheningan ini, aku hanya ingin...

ada seseorang yang benar-benar melihatku.

Bukan sebagai istri.

Bukan sebagai ibu.

Bukan sebagai bawahan.

Tapi sebagai Ajeng.

Perempuan yang masih punya hati. Masih ingin dicintai.

Meski mungkin, itu terlalu egois. Terlalu naif. Terlalu... manusiawi?

Padahal dulunya aku tidak begini. Dulu aku perempuan yang suka tertawa. Yang duduk di kafe sendirian tanpa rasa canggung.

Yang berani pergi kemana saja tanpa harus izin siapa-siapa. Yang mencintai kata dan kalimat, lalu merangkainya jadi tulisan.

Sekarang? Aku bahkan lupa kapan terakhir menulis sesuatu yang bukan laporan atau rencana kerja. Tulisanku lebih banyak tentang pelaporan keuangan, bukan tentang rasa.

Jam beker berdetak pelan.

04.30.

Seharusnya aku sudah bangun dari tadi. Tapi tubuh ini enggan. Kepala masih ingin bersandar di bantal. Tapi suara kecil dari kamar sebelah sudah memanggil lembut. “Mamaa…”

Aku tersenyum—palsu atau tulus, entahlah—dan melangkah. Dua kaki yang selalu tahu jalan ke tempat Khaira tidur.

Anakku. Dunianya kecil, tapi tawanya selalu besar. Seperti pengingat bahwa hidup masih pantas diperjuangkan, meski aku tak tahu untuk siapa selain dia.

Kupeluk tubuh kecilnya. Hangat.

“Udah bangun, Sayang?”

Khaira mengangguk setengah sadar.

Di momen ini, aku selalu diam-diam bertanya,“Apakah aku ibu yang cukup baik?”

Karena aku tahu, aku sering kelelahan. Sering marah karena hal sepele. Sering ingin sendiri tapi tak bisa benar-benar sendiri.

Dan yang paling membuatku merasa bersalah adalah aku sering merasa tidak bahagia.

Padahal aku tahu… anak yang bahagia lahir dari ibu yang bahagia.

Tapi bagaimana caranya bahagia, kalau cinta yang seharusnya jadi rumah malah berubah jadi ruang tunggu?

Chandra belum bangun. Sudah seminggu dia pulang larut. Alasannya kerja. Rapat. Ketemu klien.

Aku tak lagi bertanya. Bukan karena percaya, tapi karena lelah. Lelah bertanya, lelah curiga, lelah mengulang siklus luka yang sama.

Tiga tahun lalu, aku pernah menangis karena tahu dia selingkuh. Tahun berikutnya, aku kembali menangis karena tahu itu bukan yang terakhir.

Dan sekarang... Aku sudah tidak menangis. Bukan karena tidak sakit, tapi karena tangisku sudah habis.

Aku pernah berteriak, pernah marah, pernah memohon agar dia berubah.

Tapi siapa yang bisa mengubah seseorang kalau dia sendiri tidak merasa bersalah?

Aku tetap di sini. Di rumah yang setiap sudutnya menyimpan kenangan, juga kebohongan.

Karena aku punya Khaira. Karena aku takut sendirian. Karena dunia terlalu kejam pada ibu tunggal.

Dan karena... aku belum cukup berani untuk pergi.

“Sampai kapan kamu akan seperti ini, Ajeng?”

Suaraku sendiri terdengar asing. Nyaring, tapi tanpa gema.

Aku menyiapkan sarapan seperti biasa. Telur dadar, nasi hangat, dan potongan buah. Khaira suka anggur. Sementara aku sendiri belum tahu apa yang kusuka. Semuanya terasa hambar.

Aku memandang bayanganku di cermin dapur. Lingkar mata hitam. Kulit kusam. Perempuan ini… siapa?

“Kamu masih Ajeng. Masih. Hanya... lelah.”

Tapi lelah yang ditumpuk setiap hari bisa berubah jadi hilang. Hilang arah. Hilang rasa. Hilang keberanian untuk mencintai diri sendiri.

Aku bekerja dari pukul delapan sampai empat sore. Jam-jam formal untuk seorang staf dinas di bidang akuntansi. Tapi pekerjaanku tidak berhenti di situ. Aku juga petugas piket rumah tangga. Penjaga emosi. Penampung keluhan. Pengantar dan penjemput. Pembersih luka batin yang tak pernah kelihatan.

Dan tetap saja, belum ada yang bilang, "Terima kasih, Ajeng."

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
10 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status