Ghibran baru saja membujuk Asma agar menemui sang mama. Laki-laki itu melangkah cepat kembali ke pintu depan panti hendak menemui Gladis. Namun sayang, perempuan itu sudah melenggang pergi meninggalkan panti.
Ghibran sudah 4 tahun lebih membersamai Asma. Ia juga tahu persis cerita mama Asma yang saat itu masih mendekam di dalam penjara.
Selama itu pula Ghibran-lah yang selalu menunjukkan foto-foto yang Gladis kirim dari penjara melalui pengasuh panti untuk Asma. Awalnya, ia canggung menceritakan seorang perempuan yang sama sekali tak dikenalinya.
Lama-kelamaan, Ghibran merasa ada keterikatan dengan wanita yang ada di foto itu. Seringnya, ia mengamati lamat-lamat foto Gladis.
Lama-kelamaan pula Ghibran menikmati dan semakin penasaran dengan Gladis. Ia bahkan mencari tahu siapa perempuan itu sebenarnya. Sampai mencari tahu kasus apa yang menjeratnya sampai harus menerima hukuman itu lima tahun lamanya.
“Mamanya Asma sudah pergi, Bu?”
“Sudah, Pak. Sudah 20 menit yang lalu. Bagaimana, Pak? Asma mau bertemu mamanya?” Tanya si pengasuh panti yang tak enak hati pada Gladis.
“Tadinya begitu. Tapi mamanya malah pergi.” Sahut Ghibran.
“Bu Gladis sangat terpukul karena merasa tak dikenali anak kandungnya. Tadi pamit sama saya sambil nangis tersedu.” Ujar si pengasuh panti.
“Kalau begitu, saya juga pamit. Besok sore saya kesini lagi.”
Ghibran mengemudikan mobilnya pelan-pelan menyusuri jalanan. Matanya berkeliling mencari sesosok perempuan yang sudah lama ingin ditemuinya sebenarnya.
Sudah lebih dari tiga kali ia memutari jalan blok itu. Rasanya tidak mungkin mamanya Asma berjalan sejauh ini. Perempuan itu baru 10 menit berjalan dan tidak mungkin pergi sejauh itu.
Lalu, matanya menangkap sekerumunan orang. Kerumunan itu menutupi satu sosok yang terduduk dengan darah di sekujur lengannya.
Beberapa orang lainnya menunjuk-nunjuk arah gang sempit. Dari celah sempit diantara kerumunan orang itu, Ghibran yakin bahwa yang terduduk itu adalah Gladis dilihat dari setelan baju yang dikenakan.
Dugaannya diyakinkan dengan tak berapa lama wanita yang terluka itu berdiri dipapah salah satu wanita dari kerumunan itu. Benar Gladis. Ghibran baru saja akan melompat turun dari mobilnya dan menghampiri. Tapi Gladis sudah dibawa pergi dengan mobil.
“Lukanya parah. Dia harus segera dibawa ke rumah sakit.” Katanya sendiri di dalam mobil.
Kemudian, ia mengikuti mobil yang membawa Gladis dengan mobilnya. Ia menghela lega ketika tujuan mereka adalah rumah sakit. Pada akhirnya, Ghibran berhasil jumpa dengan Gladis meski harus melalui banyak kejadian.
***
“Bu.. Lengannya berdarah!” Kata salah satu orang diantara kerumunan itu. Orang itu membawakan sapu tangan dan membebat luka sabetan di lengan Gladis.
Gladis terlalu syok sampai tak merasakan luka lebar di lengannya. Darahnya menetes-netes mengenai seluruh lengan bajunya.
Uang yang seharunya bisa ia pakai mencari tempat tinggal, merintis usaha, juga untuk mengganti biaya penitipan Asma selama di panti raib begitu saja.
Gladis tak tau lagi harus kemana dan bagaimana. Air matanya sudah banyak tumpah. Kakinya pun tak lagi mampu menopang tubunya.
“Sebaiknya ke rumah sakit. Ini terlalu lebar lukanya, saya rasa harus mendapat jahitan juga. Mari, saya antar. Sudah ada yang melapor ke polisi. Ibu tunggu saja kabar dari polisi, semoga perampoknya segera ketangkep.” Lanjut orang tadi dan diangguki oleh beberapa orang lainnya.
Gladis tak menyahut. Gladis mendongak melihat kerumunan itu dengan tatapan kosong. Sepertinya ia sedang merenungkan nasib yang tak pernah berpihak baik padanya.
Keluar dari bui dan menghirup udara bebas. Juga berjanji akan hidup dengan baik dan memperbaiki diri, ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Gladis harus diuji lagi di hari kebebasannya.
Gladis menuruti saran orang yang hendak mengantarnya ke rumah sakit. Ia sedikit dipapah karena kakinya masih terasa lemas.
Air matanya kembali tumpah.
Siapa yang bayar biaya rumah sakitnya nanti?
Pikiran itu berkelebat memenuhi ruang otaknya. Semua uangnya dirampok. Satu sen pun Gladis tak punya sekarang.
Langkah Gladis terhenti di depan IGD. Pertanyaan besar yang dari tadi membuatnya bersedih kembali menyeruak. Gladis menatap penuh arti pada orang yang menolongnya itu.
“Kenapa berhenti, Bu? Ayo. Luka ibu harus segera diobati. Sarung tangan ini nggak bisa menghentikan pendarahan dengan baik.”
Gladis menggeleng lemah. Ia harus kembali. Luka ini bisa ia obati sendiri. Biaya rumah sakit pasti mahal. Gladis harus menghemat. Ia bisa saja menjual handphonenya yang baru saja ia beli untuk bertahan hidup, tapi biaya rumah sakit pasti akan membuatnya berkurang banyak.
Saat tubuhnya perlahan memutar, bahunya di tahan oleh seseorang dan didorong memasuki IGD.
“Tolong segera tangani ibu ini, Dok! Ibu ini dirampok dan lengannya terluka. Sepertinya sudah kehilangan banyak darah. ” Seru orang itu sambil memaksa Gladis duduk di salah satu brankar yang kosong.
Seorang perawat mendekat dan memeriksa luka itu. Lalu berpaling kembali menuju front desk di IGD itu.
“Kalau masih mau bertahan hidup setidaknya obati luka ini dulu.” Ucap orang itu pelan tapi tegas.
Gladis tak mengatakan apapun. Ia memandang orang itu dengan matanya yang basah. Wajahnya tidak asing. Tapi sekeras apapun Gladis mencoba mengingat ia tak berhasil.
Dokter dan satu perawat menyeret trolli yang berisi perlengkapan medis dan obat-obatan. Dokter dan perawat itu melakukannya dengan sigap dan singkat. Setidaknya itu menurut Gladis.
Tatapannya tak lekang melihat semua pergerakan dokter dan perawat itu. Di dalam matanya, semua gerakan itu bagai kilatan-kilatan cepat yang membuat kepalanya pusing.
Gladis mengedarkan pandangannya. Laki-laki yang memaksanya mendapatkan perawatan tadi sudah pergi. Perempuan yang mengantarnya ke rumah sakit juga pergi.
Gladis mendesah gelisah. Biaya menjahit luka itu tak seberapa, tapi tetap saja berat bagi yang tak memiliki uang.
Gladis menghela nafasnya yang berat dan cekat.
“Luka Ibu ini cukup panjang tapi untungnya tidak terlalu dalam. Saya berikan tujuh jahitan. Ini resep untuk obatnya, ada obat oles dan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi. Nanti obatnya ditebus di apotek rumah sakit ini, ya, Bu.” Ujar Dokter itu.
Ucapan sang dokter itu bagai derak daun yang tersenggol angin. Sambil lalu. Tapi tetap saja Gladis mengangguk. Mengangguk sekali agar ia bisa segera keluar dari sana.
“Terimakasih, Dok.” Ucap Gladis dengan suara serak dan lirih.
“Ibu mau kemana? Ibu harus dirawat paling tidak semalam di sini. Wajah Ibu pucat sekali dan tadi Ibu kehilangan banyak darah.” Dokter tadi menahan langkah Gladis. Ia mendengar selentingan bahwa Ibu yang sedang dirawatnya itu adalah korban perampokan.
Gladis memaksakan senyum dan menggeleng. Ia harus keluar dari rumah sakit itu segera.
Baik-baik saja? Tentu tidak.
Dirinya jelas sedang tidak baik-baik saja. Gladis berjalan terhuyung. Ia rasa gula darahnya menurun drastis. Sejak keluar dari bui siang tadi, ia belum menelan apapun. Bahkan seteguk air pun tidak.
Gladis berjalan ke tempat penebusan obat yang tak jauh dari meja kasir. Ia tak memperhatikan sekeliling. Jalan sambil menunduk dengan satu tangan memegang lengannya yang terluka.
Gladis menyerahkan resep obat itu. Lalu duduk menunggu namanya kembali dipanggil.
“Semoga mereka mau nerima handphone ini sebagai jaminan.” Kata Gladis.
Suaranya lirih. Tapi tetap terdengar oleh seseorang yang duduk di belakangnya. Dalam keheningan malam itu, suara selirih apapun pasti terdengar. Terlebih ruangan itu bergema.
Nama Gladis pun ikut menggema sebab panggilan melalui microphone oleh apoteker. Gladis berdiri bersamaan dengan seseorang di belakangnya yang juga ikut berdiri.
“Ini obatnya. Antibiotiknya dihabiskan, ya, Bu. Ini obat olesnya. Semoga lekas sembuh.” Kata sang apoteker.
“Terima kasih, Mbak.”
Gladis berhenti sejenak melihat ke arah kasir. Ada seseorang disana yang wajahnya sudah tak asing. Ternyata laki-laki itu, yang tadi memaksanya mendapatkan perawatan. Dia juga disana.
Mungkin dia juga sedang ada keperluan di rumah sakit ini, pikirnya.
Gladis melangkah maju mendekati meja kasir ketika pria itu sudah selesai membayar.
“Saya mau bayar tagihan ini.” Gladis menyerahkan kwitansi tagihan pada petugas kasir itu. “Kalau saya bayar pakai jaminan hape ini bisa nggak, Mbak?” Kata Gladis sambil menyodorkan sebuah handphone.
“Tagihan ini sudah dibayar lunas sama Bapak yang barusan pergi, Bu. Sudah termasuk obat-obatannya juga.” Jawab petugas itu sambil menoleh pada punggung seorang lelaki yang kemudian menghilang di balik lorong.
“Sudah dibayar?”
“Iya, sudah di bayar. Lunas.” Ulang si petugas tersebut sambil tersenyum sangat ramah. Lagi-lagi, air matanya tumpah. Ternyata masih banyak orang baik di sekelilingnya. Dan harusnya ia percaya itu ketika Laila datang menjenguknya dulu. Kemudian menyadari bahwa ia harus mengucapkan banyak terima kasih untuk orang itu. Gladis menegakkan tubuhnya. Kakinya yang lemas seolah mendapat energi baru untuk mengejar si penolong. “Tunggu..” Seru Gladis ketika melihat siluet pria itu. Pria itu berhenti melangkah. Perlahan memutar mencari sumber suara. “Terima kasih. Terima kasih untuk biaya rumah sakitnya. Saya akan ganti, walaupun tidak bisa sekarang. Boleh saya minta alamat Anda atau nomor rekening?” Kata Gladis. Mereka beradu pandang di bawah remang-remang lampu halaman rumah sakit. Gladis mengernyit lagi. Wajah itu benar-benar tidak asing. Lalu ada sebuah perasaan sedih sekaligus kesal yang menyusup ketika berhadapan dengan laki-laki ini. “Anda tidak perlu mengganti biaya rumah sakit tadi. Tapi, sebagai gantinya saya punya satu permintaan untuk Anda.” Kata laki-laki itu. “Permintaan apa?” Tanya Gladis ragu. “Saya ingin mengadopsi Asma. Jadi tolong berikan persetujuannya.” Pintanya. Ucapannya datar tapi Gladis merasa sangat terintimidasi. Ia salah. Memang tidak ada yang gratis di dunia ini. Semua menuntut balasan. “Asma? Anak saya? Adopsi? Anda siapa?” Tanya Gladis terbata-bata tapi berusaha memburu. Ia mengerjap, mengernyit. Lalu terperangah ketika ia bisa mengingatnya. “Papa? Anda yang dipanggil Asma dengan papa?” Tebak Gladis. Air matanya kembali menggenang ketika pemandangan menyakitkan siang tadi berkelebat kembali di kepalanya. Pria itu mengangguk. “Saya tidak akan melepas anak saya untuk diadopsi..” Jawab Gladis terisak. Ia tidak sanggup melihat anak itu berada di pelukan orang tua lainnya. Namun, Gladis memiliki kesadaran baru. Mungkinkah ia membesarkan anaknya dengan status ‘mantan narapidana’ yang disandangnya? Asma pasti malu. Tubuh Gladis kembali luruh. Kakinya lemas. Lalu sesuatu yang lebih mengejutkan datang… “Kalau begitu menikah dengan saya?” Seketika Gladis mendongak. Kedua Alis Gladis berkedut menatap tak percaya pada si pria aneh di depannya ini. Sisa air mata itu menetes cepat. Gladis merana. Sebeginikah kehidupan mempermainkannya? Harus semenderita apa lagi dirinya agar setidaknya sedikit saja ia bisa mencicipi bahagianya hidup?Gladis tak menghiraukan pria itu, ia berbalik meninggalkan pria penuh pamrih itu. Tapi..
“Saya donatur tetap di panti di mana anak Anda dititipkan. Sejak Asma dibawa ke panti itu oleh petugas, saya sudah jatuh cinta kepadanya. Saya mau mengadopsinya. Tapi petugas mengatakan bahwa ibunya tidak bersedia.” Katanya dengan berteriak. Gladis menghapus air matanya cepat-cepat. mengisi kembali paru-parunya yang sesaat lalu kembang kempis karena sesak. Lalu berdiri menatap lurus pada si pria aneh yan dipanggil anaknya sengan sebutan ‘Papa’. “Jadi orang itu Anda? Kenapa Anda maksa sekali mau mengambil anak saya?” Tegas Gladis. Selama ia masih di dalam bui, setidaknya tiga kali si pengasuh panti yang ia titipi Asma itu bertanya padanya soal adopsi. Si pengasuh itu selalu mengatakan dengan nada frustasi bahwa ada seseorang yang menginginkan Asma. Pengasuh itu mengatakan bahwa seseorang itu akan membayar mahal biaya hidup untuk Gladis setelah keluar dari penjara. Dan orang itu sekarang ada di hadapan Gladis. “Seperti yang saya katakan tadi. Saya jatuh cinta pada anak anda.” Sahut pria itu datar. Sedatar ekspresi wajahnya. “Lalu apa hubungannya dengan menikahi saya apa?” Tanya Gladis. “Apa ada cara lain agar saya bisa terus bersama Asma tanpa memisahkan anak itu dengan ibunya? Saya kira Anda tidak mau lagi berpisah dengan anak Anda, bukan? Saya tahu cerita Anda dari pengasuh panti. Juga sedikit mencuri dengar percakapan Anda tadi. Maaf.” Terangnya lugas. “…” “Kalau anda tidak menemukan jawabannya, apa tidak sebaiknya anda terima tawaran saya? Menikah dengan saya.”“Jadi siapa yang akan tinggal di rumah itu?” Tanya Ammar menyambangi meja Nurma dan bersandar di sana.“Pak Ghibran membawa seorang perempuan. Penampilannya bahkan terbilang sembarangan, tanpa make up. Ya.. begitulah. Tapi cantik. Kalau melakukan perawatan aku yakin perempuan itu pasti cantik banget.” Ujar Nurma. Sama bersemangatnya seperti Ammar kalau soal menggunjing atasan.“Jadi dia siapanya Bapak?”Nurma mengangkat bahunya. “Saya sudah bilang, saya nggak tau. Setelah menyerahkan kunci itu aku langsung pergi. Tidak ada indikasi kalau mereka dekat. Kamu kan diajak belanja kemarin. Belanja apa? Banyak? Untuk perempuan itu juga?”“Banyak. Semua keperluan perempuan lengkap. Juga buat Asma. Atau jangan-jangan dia ibunya Asma? Pak Ghibran pernah bilang kalau Asma sebenarnya ada ibunya, kan?” Ammar semakin mencondongkan tubuhnya.“Selamat pagi..” Ghibran datang mengejutkan dua orang yang sedang menggunjingnya. Asisten dan sekretarisnya itu selalu datang lebih pagi untuk menyiapkan semua
Gladis membersihkan meja makan selepas sarapan itu sambil setengah melamun. Kehidupannya setelah bebas dari bui berubah terlalu signifikan. Gladis takut semuanya justru akan menghancurkannya lagi, entah secara perlahan atau menjatuhkannya dalam sekali tendangan ke jurang tak bersisa.Laki-laki yang bahkan tak diketahui namanya itu dua kali memintanya menikahi. Baru dua hari Gladis bebas dari bui. Dia bukan orang biasa. Dia bukan wanita biasa. Gladis mantan narapidana. Gladis pernah mencoba melukai seseorang sampai hampir merenggut nyawa.Gladis, tidak akan mudah diterima di lingkungan manapun. Dia penuh kesadaran bahwa dunianya setelah keluar dari penjara tidak akan mudah.Laki-laki itu akan banyak dicibir kalau orang tau status istrinya yang mantan narapidana. Laki-laki itu akan banyak dihujat karena Asma. Ah.. Tidak ada yang baik darinya. Tidak baik untuk semuanya. Apalagi kalau keluarganya tahu.Gladis hanya akan membawa efek buruk pada kehidupan Ghibran.Usia Gladis sudah menyentu
Seperti pagi-pagi biasanya. Ghibran bersiap sebelum matahari terbit. Lalu turun ke ruang makan untuk ‘sarapan’ bersama sang kakek. Dia sudah mempersiapkan jawaban yang paling ampuh dan pasti dipercayai kakeknya kalau-kalau beliau bertanya kembali kemana perginya ia sore menuju malam kemarin.Ghibran mengibaskan jas berwarna cokelat terangnya. Jas itu membuat warna kulitnya yang putih asia terlihat lebih bercahaya. Setelan pagi itu, masih seperti pagi-pagi yang lain. Tidak banyak perubahan. Hanya sedikit berubah di wajah berseri Ghibran.“Selamat pagi, Kek. Sepertinya pagi ini aku nggak bisa ikut sarapan. Ada hal penting yang harus Ghibran selesaikan. Enggak apa-apa, kan?” Ucapnya sebelum duduk di samping kiri kakeknya.“Apa kamu akan tetap tinggal kalau kakek bilang ‘jangan’? Basa-basimu itu basi. Kemana siang kemarin? Kakek dapat laporan lagi kalau kamu menghilang dari kantor siang kemarin?” Tegas Kakek.“Bukan siang, tapi sore, Kek. Ghibran pergi beli barang-barang keperluan Asma. S
“Empat tahun lebih saya mengenal Asma. Sejak Asma bayi. Waktu itu, hati saya begitu resah entah kenapa. Lalu saya berjalan-jalan di sekitar kantor. Saya menemukan sebuah panti kecil itu. Memaksakan diri masuk ke sana."Ah, bahkan adik-adik itu sudah kehilangan orang tuanya sejak kecil. Atau malah mereka tidak tahu siapa bapak ibunya. Saya masuk lebih ke dalam, lalu bertemu Ibu Yasmin. Penjaga panti. Beliau sedang menggendong bayi mungil. Mungkin usianya satu atau dua bulan waktu itu. Saya tahu kemudian bayi itu bernama Asma. Dari sekian bayi dan anak-anak di sana. Hanya Asma yang masih diketahui memiliki Ibu. Meskipun hanya ibunya. Tapi Asma sudah berbeda dengan anak-anak lain. Asma sudah berbeda dengan saya."Mata Gladis melebar. Tidak mengerti."Saya yatim piatu. Orang tua saya kecelakaan jauh sebelum saya bertemu Asma." Jawab Ghibran mengerti isyarat Gladis. Selesai menjawab, Ghibran terhenyak sejenak. Sumpah demi apapun, Ghibran tak pernah berbicara sepanjang itu pada seorang wani
Di depan kantor, Ghibran ternganga. Jalanan luar biasa macet. Mustahil akan sampai segera kalau menggunakan mobil. Mata Ghibran berkeliling. Biasanya beberapa ojek masih mangkal di dekat kantor.Matanya menangkap satu ojek online sedang mangkal kemudian."Bang.. Ke Zone Phone, ya.. Nanti saya bayar sesuai aplikasi. Saya tambahin, deh.""Naik, Bang.."Melesat. Berkelok. Menyalip. Menikung. 15 menit kemudian Ghibran turun dari ojek. "Saya turun di sini, Bang. Ini.." Ghibran mengulurkan sejumlah uang. Berlebih malah.Melihat kemacetan itu, ia tak tahan. Berlari mungkin akan lebih cepat. Ghibran mulai berlari. Begitu sampai di depan gerai, ia terhenyak.Aku seperti orang gila mengejar seseorang. Kenapa reaksiku seperti ini untuknya? Padahal aku hanya butuh Asma. Giliran diijinin kasih anaknya, aku ngerasa kaya diremehin. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya cepat. Mengulanginya sampai ritme jantungnya terasa normal. Mengangguk pada orang suruhan agar meninggalkannya. Lalu berjal
Sepanjang perjalanan Gladis menangis. Ia merasa keputusannya sudah tepat. Sudah sangat tepat meski menyakitkan hatinya.Bahkan untuk sejenak mengenal Asma saja ia merasa tak pantas. Asma. Anak kandungnya sendiri.Beberapa saat sebelum elevator berdenting dan pintu terbuka. Gladis memantapkan keputusannya. Tangannya bergetar. Dadanya berdegup kencang.Asma pantas mendapatkan yang lebih baik. Anak itu sudah mendapatkan banyak kesulitan bahkan sejak dalam kandungan. Gladis berulang kali ingin menggugurkan janin Asma. Tak lain karena sakit hati dikhianati. Tertekan karena keadaan keluarga. Juga merasa bersalah karena kelakuannya.Saat bersitatap dengan Ghibran, Gladis mantap mengucapkan keputusannya.Lalu.. Lihatlah dia sekarang. Menangis tersedu di dalam angkutan kota yang sedang berjalan. Tujuannya kali ini ke sebuah alamat yang diberikan rekan di penjara dulu.Alamat Mbak Rini. Tamping -tahanan pendamping- yang selalu baik padanya. Beliau sudah bebas setahun yang lalu. Dan Gladis berja