Home / Rumah Tangga / Perempuan Dari Bui / Bab 3 Kebaikan Atau Pamrih?

Share

Bab 3 Kebaikan Atau Pamrih?

Author: HIZA MJ
last update Last Updated: 2023-08-11 14:06:37

Gladis merasa ia kembali pada titik keterpurukan. Sakit di tangannya yang mendapat tujuh jahitan itu rasanya tak sebanding dengan sakit di hati. Asma ingin diadopsi orang lain?

Gladis bahkan hanya sekali memeluk Asma. Hanya saat ia melahirkan bayi itu dan kemudian menyerahkan ke panti asuhan untuk diurus karena ia masih harus menjalani hukumannya.

Ibunya pergi pasca keluarganya hancur dan bangkrut. Papa dipenjara karena korupsi gila-gilaan. Pria sebagai ayah biologis Asma kabur dengan wanita lain membawa aset berharga milik Gladis.

Harus seberapa gila dunia ini mempermainkannya?

Wanita itu menggeleng lantas berbalik pergi. Dia masih benar-benar tak mengerti dengan percakapan mereka malam itu.

Tetapi, baru tiga langkah menjauh, Gladis kembali berhenti dan berbalik lagi. Marah.

“Kalau Anda sangat ingin seorang anak kenapa Anda tidak menikahi orang lain? Pacar anda misalnya. Anda bisa hidup bahagia dan mendapatkan anak darinya."Ucap Gladis datar dan tegas. "Kenapa harus Asma?” Lanjutnya dengan nada tingi.

Ia sudah kesal dengan kenyataan bahwa anaknya memanggil orang lain ‘papa’ sementara ia sebagai ibu kandungnya justru tak dikenali.

Juga, mendapatkan sebuah tawaran yang entah pantas disebut lamaran atau tidak dari orang yang tak dikenal di halaman parkir rumah sakit dengan mata sembab dan luka di tangannya setelah ia mengalami perampokan. Siapapun itu tak akan pernah membayangkan hal itu. Juga sangat tidak normal.

Ah.. atau dirinya yang besar kepala menyebut itu sebagai lamaran? Bukankah itu semua tak lebih dari timbal balik? Tidak ada yang gratis di dunia ini.

Apapun itu, Gladis kesal setengah mati.

Gladis meneliti wajah pria di hadapannya itu di bawah cahaya lampu yang minim. Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya oriental, alisnya tegas dan bibirnya... Pokoknya, pria ini masih terlihat sangat belia.

Bukan di usia yang sedang diburu-buru menikah. Itu penilaian singkat seorang Gladis di tengah temaram lampu halaman.

Padahal pria di hadapannya itu sudah cukup matang dan siap menikah. Usianya sudah 29 bukankah itu waktu yang pas untuk menikah?

Hanya saja wajah oriental serta baby face-nya mampu menyamarkan usia aslinya.

“Saya tidak bisa menikahi wanita lain karena mereka pasti tidak bisa menerima Asma. Kecuali anda, karena anda memang ibu kandungnya. Saya juga terlanjur janji pada kakek saya bahwa saya akan menikah dalam waktu dekat dengan membawa Asma. Saya juga berkontribusi merawat Asma selama empat tahun asal anda tahu. Dengan menikah dengan saya, anda bisa merawat dan membesarkan Asma seperti impian anda. Saya juga tidak akan kehilangan Asma juga tidak perlu repot-repot mengurus adopsi yang sebenarnya sangat rumit itu. Saya juga bisa membantu Anda mendekati Asma dengan perlahan.” Ujar pria itu panjang lebar.

Ucapannya sangat meyakinkan sampai-sampai Gladis hampir saja terbuai.

"Kita bisa membuat perjanjian." Lanjutnya.

Gladis hampir saja membuka mulutnya karena terkesima dengan penuturan pria itu. Tegas dan tanpa keraguan sama sekali. “Aku yang punya anak, tapi dia yang lebih mengenal anakku. Siapa yang mau mengenalkan siapa.” Gumam Gladis lirih. “Kenapa nasibku seperti ini.” Ia semakin menunduk dalam.

“Ya?” Lkai-laki itu meneleng merasa mendengar geraman samar.

“Perjanjian apa?"

"Menikah kontrak? Atau pura-pura, semacam itu entah mau disebut apa. Intinya, saya tidak mau kehilangan Asma. Saya akan tetap melanjutkan adopsi itu walaupun saya harus menikah dengan orang lain. Kakek saya sudah sangat tua, dan beliau ingin melihat saya menikah sebelum meninggal. Dan sebenarnya saya nggak bisa bawa wanita lain karena alasan tadi, bukankah itu artinya saya sangat peduli pada hubungan anda dan Asma?"

Cerewet sekali. Batin Gladis.

"Saya tidak mengerti percakapan apa ini.." Ucap Gladis. Lantas keduanya diam. Hujan sudah sejak tadi reda. Meninggalkan hawa dingin menusuk.

Gladis berdehem. "Setelah menikah, anda pasti akan lebih menyayangi anak kandung anda. Lalu Asma? Maaf saya tidak bisa.” Sahut Gladis.

Ghibran terdiam. Lalu mengernyit sejenak. "Maksud anda anak kandung saya dari anda?"

Gladis membelalak. Ia ingin mengelak, tapi ucapannya justru akan semakin menjerat dirinya sendiri. Gladis hanya membuka dan menutup mulutnya tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun.

"Makanya menikah dengan saya. Agar Asma tetap bersama saya dan ibu kandungnya." Lanjut si pria itu.

"Siapapun istri anda kelak, apa anda tidak ingin punya anak kandung sendiri? Mustahil kalau jawabannya tidak. Dan saya ragu rasa sayang pada Asma akan tetap sama." Tepis Gladis.

Ghibran membenarkan dalam hati. Tapi tak patah arang dalam membujuk. “Saya akan berusaha adil. Saya akan tetap sayang sama Asma. Saya akan mencukupi kehidupan kalian. Saya janji. Anda pasti tidak memiliki tempat tinggal, setelah perampokan itu. Saya yakin anda sedang kebingungan saat ini.” Lanjutnya.

Ucapannya benar dan fakta, tapi menyakitkan kedengarannya. Ghibran merasa hari ini ia terlalu banyak bicara. Tak seperti dirinya biasanya.

Kenapa pula dia gigih memaksa Gladis agar menerima tawaran menikah dengannya?

Gladis mendongak dan menatap tajam si pria itu. Ia kesal dan sebal karena pria ini benar. Sesuatu yang terlupakan olehnya beberapa jam ini adalah, dirinya belum sempat mencari tempat untuk tinggal. Gladis menggigit bibirnya.

“Maaf kalau harus menyinggung ini.” Lanjutnya.

Di halaman rumah sakit itu, Gladis tak memberikan jawaban apapun. Tidak mengiyakan juga tidak menolak. Ia bimbang.

Haruskah ia menyerahkan saja Asma pada laki-laki ini?

Toh, Asma lebih mengenalnya dari pada mengenal ibunya sendiri. Terlebih ibunya memiliki gelar yang tak biasa. Mantan Narapidana. Bisa jadi Asma akan kesulitan bergaul jika hidup bersama ibu kandungnya.

Dan jangan lupakan hal yang lebih penting. Hidup Asma jauh akan lebih terjamin jika bersama pria itu.

“Saya bantu mencari tempat tinggal.” Tawar pria itu.

Gladis terdiam, kemudian pergi tanpa memberi jawaban. Ia tak tahu lagi kemana kakinya harus melangkah.

Tawaran yang diberikan laki-laki soal membantu mencari tempat tinggal pun hanya ia anggap sebagai basa-basi.

Lalu..

"Mobil saya di sebelah sini.."

Gladis berjengit saat bahunya dicengkeram.

Pria ini.. Pria ini terlalu banyak dan percaya diri menyentuhnya.

Harusnya pria itu jijik padanya. Harusnya Gladis dihindari. Harusnya ia segera menghindar jika bertemu mantan narapidana sepertinya.

Harusnya...

Gladis dipaksa masuk ke dalam mobil mewah itu. Tubuhnya mendadak kaku dan canggung.

Kenapa pria ini yang sudah tahu masa lalunya seperti apa tidak jijik dan takut padanya?

"Anda mau tinggal di tempat seperti apa?"

"Tempat seperti apa..." Ulang Gladis menghentikan langkahnya. "Tempat apa yang cocok untuk mantan narapidana seperti saya?" Tanya Gladis.

"Maaf. Bukan seperti itu maksud saya." Kata pria itu.

Selanjutnya keheningan yang canggung menemani mereka sepanjang malam itu.

Pria itu sesekali menghentikan mobilnya dan membuka handphone. Ia berselancar di mesin pencarian mencari tempat tinggal sewaan.

Juga menghubungi seseorang bertanya soal rumah yang dikontrakkan. Biar dirinya yang memutuskan mencari tempat tinggal yang pantas untuk perempuan yang merana ini, pikirnya.

Ia telah banyak menyinggung hatinya. Dan ia merasa bersalah sekarang.

Kruuukkk

Suara itu lantang di dalam mobil di malam yang sunyi.

Gladis menggigit bibirnya. Ia malu luar biasa. Cacing-cacing di perutnya sepertinya sedang menggelar demo karena terabaikan seharian ini.

"Sebaiknya kita makan dulu. Saya lapar, belum makan sejak siang. Di depan ada tukang sate. Tapi kita harus jalan kaki karena gang itu terlalu sempit untuk mobil. Mari." Ajak pria itu.

Luwes sekali, pikir Gladis.

Laki-laki itu benar-benar luwes membawa suasana agar ia tak malu.

Gladis menarik sudut bibirnya menjadi sebuah senyum samar. Sangat samar.

Sudah lama rasanya tak diperhatikan seperti itu. Namun wajahnya segera datar kembali.

'Jangan ge-er, Gladis.' Umpatnya dalam hati. Gladis melangkah di belakang pria itu dan memastikan menjaga jarak aman.

"Sate komplit dua, ya, Pak." Pesan pria itu.

Lalu menyodorkan satu kursi untuk Gladis. Pria itu mengankat alisnya karena Gladis tak segera duduk. "Pedas?" Tanyanya pada Gladis.

Gladis mengangguk sekali dengan sangat kaku.

Keduanya diliputi kecanggungan luar biasa sampai dengan makanan itu tiba. Beberapa kali pria itu melirik Gladis. Membuka dan menutup mulutnya hendak bercakap ria. Namun urung karena raut wajah Gladis yang setia termenung.

"Ehm.." Pria itu berdehem. "Sudah selesai? Mau bungkus? Kalau-kalau nanti Anda lapar lagi." Tanyanya. Berusaha hati-hati agar tidak menyinggung.

Gladis menggeleng. Obat pereda nyeri yang tadi diberikan sepertinya mulai hilang efeknya. Gladis meringis merasakan nyeri pada bekas jahitan itu.

"Sebaiknya kita pergi sekarang. Semakin larut. Anda perlu segera istirahat." Kata pria itu lagi.

Gladis belum pernah bertemu laki-laki secerewet dia. Sambil terus memegangi perban yang membebat lukanya, Gladis mengikuti langkah lebar-lebar lelaki itu.

Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 22.00, tapi ia belum juga menemukan rumah yang cocok untuk perempuan ibu dari anak gadis yang mencuri hatinya itu.

"Kenapa Anda mau membantu saya?" Tanya Gladis pada akhirnya. Ia bukan tak tahu bahwa laki-laki itu sedaritadi mencuri pandang padanya. Mulutnya membuka dan mengatup berulang kali ingin bertukar kata padanya.

Gladis bukan tak mau berbicara. Hanya saja, ia terlalu asing dan takut pada orang asing yang akan akan mengadopsi anaknya itu. Gladis tak tahu sejauh apa mereka saling mengenal.

Kalau sampai Asma dengan lantang dan mudahnya memanggil laki-laki itu sebagai 'papa', itu artinya hubungan mereka terjalin cukup lama. Gladis iri.

"Saya harus meyakinkan Anda bahwa saya layak untuk menjadi Papa Asma. Entah itu dengan mengadopsinya atau dengan cara menikahi ibu kandungnya. Anggap saja saya sedang merayu anda." Jawab pria itu.

Sungguh kepercayaan dirinya luar biasa.

Gladis menelan ludah dan menunduk. "Sepertinya saya memang tidak pantas mendampingi Asma. Asma membutuhkan lingkungan yang bagus serta orang-orang di sekitarnya yang mampu mendukungnya memberikan fasilitas yang baik."

"Asma hanya belum terbiasa dengan Anda. Selama ini dia hanya melihat seorang wanita yang katanya adalah mamanya hanya dari secarik foto. Asma bukan anak yang bisa menerima begitu saja. Logika dan pikirannya yang kritis luar biasa itu tentu saja tak bisa menerima begitu saja... Sebab itulah saya semakin jatuh cinta pada gadis itu." Ujar panjang lebar si pria itu.

Menjawab lugas tanpa melihat Gladis sama sekali. Tatapannya fokus ke depan. Gladis yang tadi melihat pria itu berbicara seketika mengikuti pandangan itu. Lurus ke depan.

Hening kembali. Lalu,

"Ini mau kemana?" Tanya Gladis.

"Sudah terlalu larut untuk mencari rumah kontrakan. Saya rasa Anda lebih baik menginap di hotel untuk sementara. Besok saya akan menjemput untuk mengunjungi Asma. Banyak yang harus saya sampaikan." Lanjutnya.

Pria itu mengatakan sederet kalimat itu ketika sudah sampai di lobi hotel. Tak membiarkan Gladis memberi pendapat atau bantahan.

"Mari, turun." Ucapnya lagi.

Lima tahun berada di bui rupanya benar-benar mengubah seorang Gladis. Kepercayaan dirinya yang dulu ketika menyandang status seorang anak dari Marco Wibisono, seorang pengusaha sukses runtuh seiring dengan hancurnya keluarga itu dan dirinya masuk bui.

Gladis harus berpikir seribu kali hanya untuk memasuki hotel itu. Entahlah. Gladis merasa tak percaya diri berada di tempat sebagus itu. Padahal dulu, sangat biasa baginya keluar masuk di hotel seperti itu. Apalagi saat...

Hotel yang dipilih pria itu bukan hotel melati atau bintang 2 minimal. Hotel itu hotel eksklusif bintang 6 yang ada di kawasan itu. Harga satu kamar yang biasa pasti di atas satu juta.

Laki-laki itu selesai melakukan check-in dan mendapati Gladis masih terbengong di luar pintu masuk lobi.

"Saya mengantar cukup sampai disini. Selanjutnya Anda pasti tahu bagaimana cara menggunakan card ini. Silakan. Selamat beristirahat. Dan jangan lupa pikirkan baik-baik tawaran saya. Anda hanya punya dua pilihan. Saya tunggu jawabannya besok sore."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Dari Bui   Bab 11 Menunjukkan Ketulusan

    “Jadi siapa yang akan tinggal di rumah itu?” Tanya Ammar menyambangi meja Nurma dan bersandar di sana.“Pak Ghibran membawa seorang perempuan. Penampilannya bahkan terbilang sembarangan, tanpa make up. Ya.. begitulah. Tapi cantik. Kalau melakukan perawatan aku yakin perempuan itu pasti cantik banget.” Ujar Nurma. Sama bersemangatnya seperti Ammar kalau soal menggunjing atasan.“Jadi dia siapanya Bapak?”Nurma mengangkat bahunya. “Saya sudah bilang, saya nggak tau. Setelah menyerahkan kunci itu aku langsung pergi. Tidak ada indikasi kalau mereka dekat. Kamu kan diajak belanja kemarin. Belanja apa? Banyak? Untuk perempuan itu juga?”“Banyak. Semua keperluan perempuan lengkap. Juga buat Asma. Atau jangan-jangan dia ibunya Asma? Pak Ghibran pernah bilang kalau Asma sebenarnya ada ibunya, kan?” Ammar semakin mencondongkan tubuhnya.“Selamat pagi..” Ghibran datang mengejutkan dua orang yang sedang menggunjingnya. Asisten dan sekretarisnya itu selalu datang lebih pagi untuk menyiapkan semua

  • Perempuan Dari Bui   Bab 10 Asma

    Gladis membersihkan meja makan selepas sarapan itu sambil setengah melamun. Kehidupannya setelah bebas dari bui berubah terlalu signifikan. Gladis takut semuanya justru akan menghancurkannya lagi, entah secara perlahan atau menjatuhkannya dalam sekali tendangan ke jurang tak bersisa.Laki-laki yang bahkan tak diketahui namanya itu dua kali memintanya menikahi. Baru dua hari Gladis bebas dari bui. Dia bukan orang biasa. Dia bukan wanita biasa. Gladis mantan narapidana. Gladis pernah mencoba melukai seseorang sampai hampir merenggut nyawa.Gladis, tidak akan mudah diterima di lingkungan manapun. Dia penuh kesadaran bahwa dunianya setelah keluar dari penjara tidak akan mudah.Laki-laki itu akan banyak dicibir kalau orang tau status istrinya yang mantan narapidana. Laki-laki itu akan banyak dihujat karena Asma. Ah.. Tidak ada yang baik darinya. Tidak baik untuk semuanya. Apalagi kalau keluarganya tahu.Gladis hanya akan membawa efek buruk pada kehidupan Ghibran.Usia Gladis sudah menyentu

  • Perempuan Dari Bui   Bab 9 Cerita Kedua

    Seperti pagi-pagi biasanya. Ghibran bersiap sebelum matahari terbit. Lalu turun ke ruang makan untuk ‘sarapan’ bersama sang kakek. Dia sudah mempersiapkan jawaban yang paling ampuh dan pasti dipercayai kakeknya kalau-kalau beliau bertanya kembali kemana perginya ia sore menuju malam kemarin.Ghibran mengibaskan jas berwarna cokelat terangnya. Jas itu membuat warna kulitnya yang putih asia terlihat lebih bercahaya. Setelan pagi itu, masih seperti pagi-pagi yang lain. Tidak banyak perubahan. Hanya sedikit berubah di wajah berseri Ghibran.“Selamat pagi, Kek. Sepertinya pagi ini aku nggak bisa ikut sarapan. Ada hal penting yang harus Ghibran selesaikan. Enggak apa-apa, kan?” Ucapnya sebelum duduk di samping kiri kakeknya.“Apa kamu akan tetap tinggal kalau kakek bilang ‘jangan’? Basa-basimu itu basi. Kemana siang kemarin? Kakek dapat laporan lagi kalau kamu menghilang dari kantor siang kemarin?” Tegas Kakek.“Bukan siang, tapi sore, Kek. Ghibran pergi beli barang-barang keperluan Asma. S

  • Perempuan Dari Bui   Bab 8 Sepertinya Jatuh Cinta

    “Empat tahun lebih saya mengenal Asma. Sejak Asma bayi. Waktu itu, hati saya begitu resah entah kenapa. Lalu saya berjalan-jalan di sekitar kantor. Saya menemukan sebuah panti kecil itu. Memaksakan diri masuk ke sana."Ah, bahkan adik-adik itu sudah kehilangan orang tuanya sejak kecil. Atau malah mereka tidak tahu siapa bapak ibunya. Saya masuk lebih ke dalam, lalu bertemu Ibu Yasmin. Penjaga panti. Beliau sedang menggendong bayi mungil. Mungkin usianya satu atau dua bulan waktu itu. Saya tahu kemudian bayi itu bernama Asma. Dari sekian bayi dan anak-anak di sana. Hanya Asma yang masih diketahui memiliki Ibu. Meskipun hanya ibunya. Tapi Asma sudah berbeda dengan anak-anak lain. Asma sudah berbeda dengan saya."Mata Gladis melebar. Tidak mengerti."Saya yatim piatu. Orang tua saya kecelakaan jauh sebelum saya bertemu Asma." Jawab Ghibran mengerti isyarat Gladis. Selesai menjawab, Ghibran terhenyak sejenak. Sumpah demi apapun, Ghibran tak pernah berbicara sepanjang itu pada seorang wani

  • Perempuan Dari Bui   Bab 7 Janji Bercerita

    Di depan kantor, Ghibran ternganga. Jalanan luar biasa macet. Mustahil akan sampai segera kalau menggunakan mobil. Mata Ghibran berkeliling. Biasanya beberapa ojek masih mangkal di dekat kantor.Matanya menangkap satu ojek online sedang mangkal kemudian."Bang.. Ke Zone Phone, ya.. Nanti saya bayar sesuai aplikasi. Saya tambahin, deh.""Naik, Bang.."Melesat. Berkelok. Menyalip. Menikung. 15 menit kemudian Ghibran turun dari ojek. "Saya turun di sini, Bang. Ini.." Ghibran mengulurkan sejumlah uang. Berlebih malah.Melihat kemacetan itu, ia tak tahan. Berlari mungkin akan lebih cepat. Ghibran mulai berlari. Begitu sampai di depan gerai, ia terhenyak.Aku seperti orang gila mengejar seseorang. Kenapa reaksiku seperti ini untuknya? Padahal aku hanya butuh Asma. Giliran diijinin kasih anaknya, aku ngerasa kaya diremehin. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya cepat. Mengulanginya sampai ritme jantungnya terasa normal. Mengangguk pada orang suruhan agar meninggalkannya. Lalu berjal

  • Perempuan Dari Bui   Bab 6 Bertemu Teman

    Sepanjang perjalanan Gladis menangis. Ia merasa keputusannya sudah tepat. Sudah sangat tepat meski menyakitkan hatinya.Bahkan untuk sejenak mengenal Asma saja ia merasa tak pantas. Asma. Anak kandungnya sendiri.Beberapa saat sebelum elevator berdenting dan pintu terbuka. Gladis memantapkan keputusannya. Tangannya bergetar. Dadanya berdegup kencang.Asma pantas mendapatkan yang lebih baik. Anak itu sudah mendapatkan banyak kesulitan bahkan sejak dalam kandungan. Gladis berulang kali ingin menggugurkan janin Asma. Tak lain karena sakit hati dikhianati. Tertekan karena keadaan keluarga. Juga merasa bersalah karena kelakuannya.Saat bersitatap dengan Ghibran, Gladis mantap mengucapkan keputusannya.Lalu.. Lihatlah dia sekarang. Menangis tersedu di dalam angkutan kota yang sedang berjalan. Tujuannya kali ini ke sebuah alamat yang diberikan rekan di penjara dulu.Alamat Mbak Rini. Tamping -tahanan pendamping- yang selalu baik padanya. Beliau sudah bebas setahun yang lalu. Dan Gladis berja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status