Beranda / Romansa / Perempuan Kopi / Kedatangan Adrian Keenan (6)

Share

Kedatangan Adrian Keenan (6)

last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-02 07:00:10

Adrian memutuskan untuk mengikuti keinginan Sandy setelah mengikat Tania dalam sebuah pertunangan. Sejujurnya, Tania sendiri tidak menginginkan skenario seperti ini. Namun, ia tidak bisa menahan kebulatan tekad Adrian untuk pergi ke ibu kota.

“Tania, bersabarlah sampai waktu pernikahan kita tiba,” ujar Adrian sore itu yang terlihat tampan dengan jaket levis belelnya.

Tania tersenyum masam. “Setialah padaku, jangan pernah sekali pun kamu berani berpaling. Atau kamu akan rasakan akibatnya, Yan.”

Adrian tertawa. “Kamu menyeramkan, Sayang. Kenapa, sih, nggak bisa berlaku seperti Taniaku yang manis?”

“Sungguh, Adrian. Aku lagi nggak ingin bermanis-manis dengaanmu.”

Lagi Adrian tersenyum. “Tapi, kamu tetap terlihat manis, kok. Tenang saja. Aku nggak akan pernah berpaling.”

“Janji?”

Adrian mengangguk. Mau tidak mau, Tania pun tersenyum. Lalu perempuan itu kembali berujar, “Pergilah, Yan. Jangan terlalu memaksakan diri, ya. Istirahatlah kalau kamu lelah mengemudi.”

“Baik, Sayang.”

Adrian mengecup kening Tania dengan lembut, lalu masuk ke dalam mobilnya. Laki-laki itu melajukan mobilnya dengan pelan menuju jalan besar, usai melambaikan tangan kepada Tania.

***

Mentari menampakan sinarnya; hangat. Biasnya menerpa kuntum demi kuntum bunga morning glory  yang tergantung di beranda rumah Airin. Beberapa botol susu lagi-lagi berjejer di samping pohon dollar atau tumbuhan zamioculcas. Seorang laki-laki tampan dengan jaket levis belel  berdiri di depan pintu, sembari beberapa kali menekan bel.

Bunyi bel itu terdengar begitu tidak sabaran, hingga menimbulkan kebisingan yang menyelinap masuk ke dalam kamar Airin yang tengah terbaring di atas ranjangnya. Perempuan itu menggeliat, tatkala sinar matahari yang masuk dari celah-celah jendela membuatnya memicingkan mata. Di halanginya sinar mentari yang menerpa wajahnya dengan telapak tangan, sebelum ia bangkit dari pembaringan.

Airin menatap jarum jam yang berjalan mantap; setengah sebelas. Dengan malas, istri Sandy Keenan itu bangkit dari tempat tidur menuju lantai bawah. Dengan gontai, dia menuruni anak tangga demi anak tangga sementara bel pintunya masih terus terbunyi sambung-menyambung. Untuk sepersekian detik, perempuan itu tertegun. Ketika ia berada di ruang bawah. Ruangan itu lebih mirip kapal karam di banding ruang tamu. Kertas-kertas berserakan, gelas-gelas kopi, dan remah-remah yang berceceran jauh dari piringnya. Airin menghela napas panjang. Lalu, bunyi bel kembali mengingatkannya, bahwa ada seseorang yang menunggunya di luar sana.

Dengan cepat, Airin membuka pintu. Perempuan itu tercengan saat mengetahui siapa yang tengah berdiri di depan pintu. Sesosok laki-laki yang tidak asing baginya.

“Hai, Kak Rin!” sapa Adrian “Kenapa lama sekali, sih, membukakan pintu,” Adrian berujar sambil mendorong Airin pelan; memaksa masuk. Sebelum Airin sempat berkata-kata.

“Ya ampun,” Adrian terkesima. Ia tidak mempercayai penglihatannya sendiri, ketika menyaksikan pemandangan yang terpampang di hadapannya. “Apa ada kerusuhan di sini, Kak?” tanyanya polos sambil menatap kakak iparnya yang terlihat kikuk di samping pintu.

Airin tidak bicara apa-apa. Perempuan itu menutup pintu dengan segera, lalu berjalan melewati Adrian yang masih terbengong-bengong. Airin memunguti gelas-gelas sisa kopi dan menumpuknya bersama piring remah-remah, kemudian membawanya ke dapur. Adrian meletakkan tas ranselnya ke lantai. Laki-laki itu pun ikut membereskan kertas-kertas yang berserakan. Menumpuk dan meletakkannya di atas meja, dekat rak buku.

Adrian termangu ketika matanya menatap buku-buku yang berjejer rapi. Nama “Airy” tertera di sana. Dengan perlahan, laki-laki berhidung bangir itu menyentuh buku bersampul biru. Sulit dipercaya, bahwa buku yang dipegangnya adalah hasil karya Airin, kakak iparnya. Rasanya aneh! Bagaimana bisa, buku-buku yang ditulis Airin mampu menembus pasar, menjadi best seller. Padahal, sekilas Airin terlihat biasa saja. Bukan perempuan dengan imajinasi yang luar biasa seperti yang dinampakkan oleh karya-karyanya.

“Kak Sandy nggak ada di sini, Yan,” suara Airin mengejutkan Adrian yang tengah khusyuk membuka lembar demi lembar halaman kertas book paper dengan font berjenis Garamond itu. Airin muncul dari dapur dengan membawa secangkir teh. “Dia pergi,” ujarnya lagi sembari meletakkan cangkir hitam berlukiskan bunga sakura berwarna merah muda itu di meja dekat sofa.

“Kapan dia pulang, Kak?” tanya Adrian tanpa memperhatikan Airin. Tangannya masih sibuk membolak-balik novel bercover biru itu.

“Entahlah,” jawab Airin sambil menghempaskan tubuhnya di atas sofa berwarna coklat tua. Matanya terus mengawasi Adrian yang sibuk dengan novel Tuhan, Akulah yang Fana miliknya.

“Hmm… Apa kalian sedang bertengkar?” tanya Adrian, kali ini ia menatap lurus-lurus ke arah Airin. Perempuan itu membuang pandangannya ke arah cangkir teh Adrian.

Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan buku bersampul biru itu kembali ke tempatnya. Ia berjalan ke arah Airin yang tengah menunduk sambil memainkan jemarinya. 

Adrian duduk di sofa yang sama dengan Airin. Menatap perempuan itu lekat-lekat.

“Kak. Ada apa?” tanyanya lembut. “Apa, sih, yang terjadi di antara kalian?”

Airin menggeleng. “Aku nggak tahu,” gumamnya.

“Aku coba menghubungi Kak Rin beberapa waktu yang lalu, tapi ponsel kakak tidak aktif.”

“Ponselku hilang. Aku ganti nomor.”

“Hmm…sudahlah,” Adrian menggenggam jemari Airin sesaat, tatapannya beralih kepada cangkir berisi teh buatan Airin. Ia pun mengambil cangkir itu dan menyesap isinya, lalu kembali meletakkannya di atas meja.

“Hmm… Kak. Kak Rin masak apa? Aku lapar,” rengeknya.

Airin menatapnya. Adrian tersenyum polos.

“Hmmm…” Airin tampak ragu, tapi ia kembali berujar, “sebentar, aku lihat dulu, ya. Apa yang aku punya di dapur.”

Walau terlihat bingung, tetap saja Airin pergi ke dapur lagi. Adrian mengawasi kepergian kakak iparnya itu, sambil menghela napas panjang.

“Ya Tuhan…” desah Adrian pelan. Mata laki-laki itu nampak berkaca-kaca. Ingatannya terlempar ketika pertama kali ia bertemu dengan Airin. Perempuan itu terlihat begitu bahagia dan tentu saja sangat jelita. Pasti ada yang salah. Sesuatu tampaknya telah terjadi dan berimbas terhadap pernikahan mereka.

***

Tiga puluh menit kemudian, Airin keluar dari dapur dengan semangkuk mi rebus. “Yan, maaf, ya. Aku cuma punya ini,” ujar Airin penuh sesal, sambil meletakkan semangkuk mi itu di atas meja. Wajah Adrian terlihat cerah.

“Nggak apa-apa, Kak.  Hmmm… loh, punya Kak Rin mana? Kakak sudah  makan, belum?” tanya Adrian.

“Aku sudah makan.”

“Jangan bohong, Kak. Aku lihat, muka kakak saja sudah hampir sama dengan bantal. Pasti, Kak Rin baru bangun tidur, kan?” sindir Adrian sembari tersenyum. “Kenapa, sih? Sejak dulu, Kak Rin itu nggak pernah jujur sama aku. Selalu saja bohong,” rutuk Adrian.

Airin tersenyum sembari menatap adik iparnya lembut. “Serius, aku sudah kenyang, Yan.”

“Ayo kita makan bersama, Kak,” tawar Adrian. “Biar lapar, aku ini sedang diet. Jadi, aku nggak mau mengkonsumsi karbohidrat terlalu banyak.”

“Baiklah.”  Airin menyerah. Perempuan itu masuk ke dapur mengambil sendok dan kembali duduk di sisi Adrian. Mereka dengan lahap menyantap mi rebus itu. Sesekali Adrian melemparkan lelucon yang membuat Airin tertawa. Tentu saja, karena lelucon Adrian mengingatkannya pada kenangan saat pertama kali ia dibawa ke dalam keluarga Keenan oleh Sandy.

Airin mulai teringat saat bertemu dengan Adrian, dia masih  duduk di kelas dua belas. Sejak kematian kedua orang tuanya akibat kecelakaan, Adrian menjadi sangat dekat dengan Airin. Hingga tanpa sadar, laki-laki itu begitu bergantung padanya. Sebentar-bentar Kak Rin, sebentar-bentar Kak Rin. Itu sebabnya, Sandy memutuskan memasukan Adrian ke asrama. Karena suaminya khawatir, Adrian tidak akan pernah menjadi dewasa karena Airin yang terlalu memanjakannya.

Dan sekarang, beberapa tahun berlalu, Adrian sudah terlihat begitu dewasa di hadapannya. Namun ternyata, adik iparnya itu tidak pernah berubah sama sekali. Di mata Airin, Adrian masih sama seperti dulu, dengan gayanya yang ceria dan sedikit manja. Laki-laki itu selalu saja membuatnya tertawa dan mampu menghidupkan setiap suasana. Itu yang membuat Airin sangat menyukainya.

***

“Apa! Ti-tinggal di sini?” tanya Airin setelah mereka menghabiskan semangkok mi berdua.

Adrian mengangguk.

“Tapi, Sandy nggak ada, Yan. Mana mungkin kamu tinggal di sini bersamaku?”

“Kak Sandy pasti akan  pulang, Kak? Lagi pula, semua orang juga tahu, kalau aku adik ipar Kak Rin. Tenang sajalah, Kak.”

“Yan, aku sendiri saja nggak tahu, Sandy akan pulang atau nggak, Yan? Kamu tahu, nggak, kalau kakakmu itu kaya hilang ditelan bumi?”

Adrian menatap Airin. Kebingungan terbaca jelas dari raut wajah tampannya. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan isi kepala Sandy. Laki-laki itu pun menghela napas panjang tatakala menangkap raut wajah frustasi Airin. Lalu ia pun berujar, “Ya sudahlah, Kak. Izinkan aku menumpang di sini. Minimal, setelah aku bisa mengumpulkan uang dari hasil kerjaku, aku akan keluar dari rumah ini.”

“Tapi, Yan…”

“Kak. Memangnya  kakak tega melihat aku ngegembel di luar sana? Aku nggak punya keluarga, loh. Satu-satunya kakak yang kupunya hilang di telan bumi. Dan, aku juga nggak punya penghasilan,” rengek Adrian. “Ini adalah awal karirku sebagai dokter di ibu kota, Kak. Jadi, izinkan aku menumpang, ya? Siapa tahu, aku bisa membantumu untuk menemukan Kak Sandy. Dan, sampai detik ini pun, Kak Rin masih tetap kakak iparku, kan?”

Airin menatap Adrian putus asa. Adrian benar. Hanya Sandy yang dimilikinya. Sekarang, keadaan Adrian dan Airin tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama tidak tahu ke mana perginya Sandy. Jadi, dengan kata lain, Adrian hanya memiliki Airin saat ini. 

“Baiklah,” ujar Airin pada akhirnya. “Tapi, Adrian. Apa kamu tahu kondisiku saat ini?” tanya Airin sendu

Adrian menatap Airin. Lalu tersenyum. “Apa pun kondisi Kak Rin saat ini, intinya Kakak nggak sendirian sekarang. Sudah ada aku di sini yang akan membantu mencari orang hilang itu, Kak.”

Airin tersenyum, “Itu kakakmu, loh, Yan.”

“Ya-ya-ya... Kakak benar. Tapi, tetap saja, makasih, loh. Sudah mau nampung aku di sini.” ujar Adrian kemudian, “Kak Rin itu memang malaikat bagiku.” Adrian mengedipkan mata, lalu mengambil ranselnya dan berjalan cepat menuju lantai atas.

“Kak! Aku pilih kamarku sendiri, ya!” teriaknya dari lantai dua. “Di mana seprainya? Wah… kamar ini seperti rumah hantu, Kak. Kakak pasti malas membersihkannya, ya?”

Teriakan-teriakan Adrian bukan membuat Airin merasa nyaman, justru membuat kepalanya semakin berdenyut.

“Ya Tuhan.” Perempuan itu pun menghempaskan tubuhnya ke sofa sembari memijit-mijit keningnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kontroversi (78)

    Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat

  • Perempuan Kopi   Kepergian Moza (77)

    Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg

  • Perempuan Kopi   Kecemburuan Adrian (76)

    Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa

  • Perempuan Kopi   Hadirnya Amanda (75)

    Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kecelakaan (74)

    Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da

  • Perempuan Kopi   Kegusaran Alfian (73)

    “Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status