Share

Kedatangan Adrian Keenan (6)

Adrian memutuskan untuk mengikuti keinginan Sandy, kakaknya, setelah mengikat Tania dalam sebuah pertunangan. Sejujurnya, Tania tidak menginginkan skenario seperti ini. Namun, ia tidak bisa menahan kebulatan tekad Adrian untuk pergi ke ibu kota dan melepasnya walau dengan berat hati.

“Tania, bersabarlah sampai waktu pernikahan kita datang,” ujar Adrian sore itu yang terlihat tampan dengan jaket levis belelnya.

Tania tersenyum masam. “Setialah padaku, jangan pernah sekali pun kamu berani berpaling. Atau kamu akan rasakan akibatnya.”

Adrian tertawa. “Kamu menyeramkan, Sayang. Kenapa tidak bisa berlaku seperti Taniaku yang manis, sih?”

“Sungguh, Adrian. Aku sedang tidak ingin bermanis-manis dengaanmu.”

Lagi Adrian tersenyum. “Tapi, kamu tetap terlihat manis, kok. Tenang saja.”

Mau tidak mau, Tania pun tersenyum. Lalu berujar, “Pergilah, Yan. Jangan terlalu memaksakan diri, kalau kamu lelah mengemudi, beristirahatlah.”

“Baik, Sayang.”

Adrian mengecup kening Tania dengan lembut, lalu masuk ke dalam mobilnya. Laki-laki itu melajukan mobilnya dengan pelan menuju jalan besar.

****

Mentari menampakan sinarnya yang hangat. Membias, menerangi kuntum demi kuntum bunga morning glory  yang tergantung di beranda rumah Airin. Beberapa botol susu lagi-lagi berjejer di samping pohon dollar atau tumbuhan zamioculcas. Seorang laki-laki tampan dengan jaket levis belel  berdiri di depan pintu, sembari beberapa kali menekan bel.

Bunyi bel itu terdengar begitu tidak sabaran, hingga menimbulkan kebisingan yang menyelinap masuk ke dalam kamar Airin yang tengah terbaring di atas ranjangnya. Perempuan itu menggeliat, tatkala sinar matahari yang masuk dari celah-celah jendela membuatnya memicingkan mata. Di halanginya sinar mentari yang menerpa wajahnya dengan telapak tangan, sebelum ia  bangkit dari pembaringan.

Airin menatap jarum jam yang berjalan mantap; setengah sebelas. Dengan malas, istri Sandy Keenan itu bangkit dari tempat tidur, lalu keluar menuju lantai bawah. Bel pintunya masih terus terbunyi sambung-menyambung. Untuk sepersekian detik, perempuan itu tertegun. Ketika ia berada di ruang bawah. Ruangan itu lebih mirip kapal karam di banding ruang tamu. Kertas-kertas berserakan, gelas-gelas kopi, dan remah-remah yang berceceran jauh dari piringnya. Airin menghela napas panjang. Lalu, bunyi bel kembali mengingatkannya, bahwa ada seseorang yang menunggunya di luar sana.

Dengan cepat, Airin membuka pintu. Perempuan itu tertegun, ketika netranya menangkap sosok laki-laki yang tidak asing baginya.

“Halo, Kak Rin!” sapa Adrian “Kenapa lama sekali, sih, Kakak membukakan pintu,” Adrian berujar sambil mendorong Airin pelan; memaksa masuk. Sebelum Airin sempat berkata-kata.

“Ya ampun,” Adrian terkesima. Ia tidak mempercayai penglihatannya sendiri, ketika menyaksikan pemandangan yang terpampang di hadapannya. “Apa ada kerusuhan di sini, Kak?” tanyanya polos sambil menatap kakak iparnya yang terlihat kikuk di samping pintu.

Airin tidak bicara apa-apa. Perempuan itu menutup pintu dengan segera, lalu berjalan melewati Adrian yang masih terbengong-bengong. Airin memunguti gelas-gelas sisa kopi dan menumpuknya bersama piring remah-remah, kemudian membawanya ke dapur. Adrian meletakkan tas ranselnya ke lantai. Laki-laki itu pun ikut membereskan kertas-kertas yang berserakan. Menumpuk dan meletakkannya di atas meja, dekat rak buku.

Adrian termangu ketika matanya menatap buku-buku yang berjejer rapi. Nama “Airy” tertera di sana. Dengan perlahan, laki-laki berhidung bangir itu menyentuh buku bersampul biru. Sulit dipercaya, bahwa buku yang dipegangnya adalah hasil karya Airin, kakak iparnya. Rasanya aneh! Bagaimana bisa, buku-buku yang ditulis Airin mampu menembus pasar, menjadi best seller. Padahal, sekilas Airin terlihat biasa saja. Bukan perempuan dengan imajinasi yang luar biasa seperti yang dinampakkan oleh karya-karyanya.

“Kak Sandy enggak ada di sini, Yan,” suara Airin mengejutkan Adrian yang tengah khusyuk membuka lembar demi lembar halaman kertas book paper dengan font berjenis garamond. Airin muncul dari dapur dengan membawa secangkir teh. “Dia pergi,” ujarnya lagi sembari meletakkan cangkir hitam berlukiskan bunga sakura berwarna merah muda itu di meja dekat sofa.

“Kapan dia pulang, Kak?” tanya Adrian tanpa memperhatikan Airin. Tangannya masih sibuk membolak-balik novel bercover biru itu.

“Entahlah,” jawab Airin sambil menghempaskan tubuhnya di atas sofa berwarna coklat tua. Matanya terus mengawasi Adrian yang sibuk dengan novel Tuhan, Akulah yang Fana miliknya.

“Hmm… Apa kalian sedang bertengkar?” tanya Adrian, kali ini ia menatap lurus-lurus ke arah Airin. Perempuan itu membuang pandangannya ke arah cangkir teh Adrian.

Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan buku bersampul biru itu kembali ke tempatnya. Ia berjalan ke arah Airin yang tengah menunduk sambil memainkan jemarinya. 

Adrian duduk di sofa yang sama dengan Airin. Menatap perempuan itu lekat-lekat.

“Kak. Ada apa?” tanyanya lembut. “Apa, sih, yang terjadi di antara kalian?”

Airin menggeleng. “Aku enggak tahu,” gumamnya.

“Aku coba menghubungi Kak Rin beberapa waktu yang lalu, tapi ponsel kakak tidak aktif.”

“Ponselku hilang. Aku ganti nomor.”

“Hmm…sudahlah,” Adrian menggenggam jemari Airin sesaat, tatapannya beralih kepada cangkir berisi teh buatan Airin. Ia pun mengambil cangkir itu dan menyesap isinya, lalu kembali meletakkannya di atas meja.

“Hmm… Kak. Kak Rin masak apa? Aku lapar,” rengeknya.

Airin menatapnya. Adrian tersenyum polos.

“Hmmm…” Airin tampak ragu, tapi ia kembali berujar, “sebentar, aku lihat dulu, ya. Apa yang aku punya di dapur.”

Walau terlihat bingung, tetap saja Airin pergi ke dapur lagi. Adrian mengawasi kepergian kakak iparnya itu, sambil menghela napas panjang.

“Ya Tuhan…” desah Adrian pelan. Mata laki-laki itu nampak berkaca-kaca. Ingatannya terlempar ketika pertama kali ia bertemu dengan Airin. Perempuan itu terlihat begitu bahagia dan tentu saja jelita. Ada yang salah. Sesuatu telah terjadi pada pernikahan mereka, tanpa diketahuinya.

****

Tiga puluh menit kemudian, Airin keluar dari dapur dengan semangkuk mi rebus. “Yan, maaf, ya. Aku cuma punya ini,” ujar Airin penuh sesal, sambil meletakkan semangkuk mi itu di atas meja. Wajah Adrian terlihat cerah.

“Enggak apa-apa, Kak.  Hmmm… loh, punya Kak Rin mana? Kakak sudah  makan, belum?” tanya Adrian.

“Aku sudah makan.”

“Jangan bohong, Kak. Aku lihat, muka kakak sudah hampir sama dengan bantal. Pasti, Kak Rin baru bangun tadi, kan?” sindir Adrian sembari tersenyum. “Kenapa, sih? Sejak dulu, Kak Rin itu enggak pernah jujur sama aku. Selalu saja bohong,” rutuk Adrian.

Airin tersenyum sembari menatap adik iparnya lembut. “Serius, aku sudah kenyang, Yan.”

“Ayo kita makan bersama, Kak,” tawar Adrian. “Biar lapar, aku ini sedang diet. Jadi, aku tidak mau mengkonsumsi karbohidrat terlalu banyak.

“Baiklah.”  Airin menyerah. Perempuan itu masuk ke dapur mengambil sendok dan kembali duduk di sisi Adrian. Mereka dengan lahap menyantap mi rebus itu. Sesekali Adrian melemparkan lelucon yang membuat Airin tertawa. Tentu saja, karena lelucon Adrian mengingatkannya pada kenangan saat pertama kali ia dibawa ke dalam keluarga Keenan oleh Sandy.

Airin mulai teringat saat bertemu dengan Adrian, dia masih  duduk di kelas dua belas. Sejak kematian kedua orang tuanya akibat kecelakaan, Adrian menjadi sangat dekat dengan Airin. Hingga tanpa sadar, laki-laki itu begitu bergantung padanya. Sebentar-bentar Kak Rin, sebentar-bentar Kak Rin. Itu sebabnya, Sandy memutuskan memasukan Adrian ke asrama. Karena suaminya khawatir, Adrian tidak akan pernah menjadi dewasa karena Airin yang terlalu memanjakannya.

Dan sekarang, beberapa tahun berlalu, Adrian sudah terlihat begitu dewasa di hadapannya. Namun ternyata, adik iparnya itu tidak pernah berubah sama sekali. Di mata Airin, Adrian masih sama seperti dulu, dengan gayanya yang ceria dan sedikit manja. Laki-laki itu selalu saja membuatnya tertawa dan mampu menghidupkan setiap suasana. Itu yang membuat Airin sangat menyukainya.

****

“Apa! Ti-tinggal di sini?” tanya Airin setelah mereka menghabiskan semangkok mi berdua.

Adrian mengangguk.

“Tapi, Sandy enggak ada, Yan. Mana mungkin kamu tinggal di sini bersamaku?”

“Kak Sandy pasti akan  pulang, kan, Kak? Lagi pula, orang-orang pun tahu, kalau aku adik ipar Kak Rin, kan?”

“Aku tidak tahu, apakah Sandy akan pulang atau tidak, Yan? Perginya saja aku tidak tahu!”

“Ya sudahlah, Kak. Minimal, setelah aku mengumpulkan uang dari gajiku, aku bisa keluar dari rumah ini, Kak.”

“Tapi…”

“Kak. Memangnya  kakak tega melihat aku di luar sana? Aku tidak punya keluarga, loh. Dan, aku juga tidak  punya penghasilan,” rengek Adrian. “Ini adalah awal karirku sebagai dokter di ibu kota, Kak. Jadi, izinkan aku menumpang, ya? Siapa tahu, aku bisa membantumu untuk menemukan Kak Sandy.”

Airin menatap Adrian putus asa. Adrian benar. Hanya Sandy yang dimilikinya. Sekarang, keadaan Adrian dan Airin tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama tidak tahu ke mana perginya Sandy. Jadi, dengan kata lain, Adrian hanya memiliki Airin saat ini. 

“Baiklah,” ujar Airin pada akhirnya. “Tapi, Adrian. Apa kamu tahu kondisiku saat ini?” tanya Airin sendu

Adrian menatap Airin. Lalu tersenyum. “Apa pun kondisi Kak Rin saat ini, intinya Kakak enggak sendirian. Kan, sekarang ada aku di sini.”

Airin terdiam.

“Terima kasih kakak iparku yang baik hati dan tidak sombong,” ujar Adrian kemudian, memecahkan kebekuan di antara mereka. “Kak Rin itu memang malaikat bagiku.” Adrian mengedipkan mata, lalu mengambil ranselnya dan berjalan cepat menuju lantai atas.

“Kak! Aku pilih kamarku sendiri, ya!” teriaknya dari lantai dua. “Di mana seprainya? Wah… kamar ini seperti rumah hantu, Kak. Kakak pasti malas membersihkannya, ya?”

Teriakan-teriakan Adrian bukan membuat Airin merasa nyaman, justru membuat kepalanya semakin berdenyut.

“Ya Tuhan.” Perempuan itu pun menghempaskan tubuhnya ke sofa sembari memijit-mijit keningnya. []

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status