Share

Sebuah Permintaan (5)

Santa Maria merupakan sebuah rumah sakit kecil dengan bangunan yang tampak suram  dan terletak di pinggiran kota. Tidak banyak tenaga medis yang dimiliki oleh rumah sakit itu. Namun, Adrian Keenan, adik Sandy Keenan memilih bekerja di tempat itu. Melayani pasien-pasien skizofrenia dengan berbagai macam kondisi yang membelit mereka.

Siang itu, setelah bercengkerama dengan beberapa pasien yang datang dengan permasalahan mereka, Adrian  duduk di bawah pohon akasia yang berada di belakang bangunan rumah sakit. Laki-laki itu menikmati secangkir kopi, ditemani sebatang rokok yang dihisapnya dalam.

 “Adrian…” Sebuah suara mengejutkannya. Ia melihat Tania tengah berjalan ke arahnya.

“Tania?  Wow, ini kejutan.” Adrian berujar seraya tersenyum pada perempuan yang tengah berjalan mendekatinya. Laki-laki itu membuang dan menginjak putung rokoknya.

“Aku mencarimu kemana-mana. Ternyata kamu di sini.” Tania duduk di samping Adrian, laki-laki yang hampir setahun ini menjadi kekasihnya.

“Kenapa tidak memberi tahu, kalau mau ke sini?”

“Kalau aku memberi tahu, pasti aku tidak bisa memergoki kamu yang ‘katanya’ kerja, tapi malah santai-santai di sini.”

Adrian tertawa. “Aku sedang me-refresh pikiran, Sayang…”

“Hmmm… alasan!” ujar Tania lalu mencibir. Laki-laki berambut ikal sebahu itu pun mencubit pipi Tania gemas.

“Aww…” Tania memekik manja, sembari mengelus pipinya. Hingga dering ponsel Adrian mengejutkan keduanya.

“Halo,” Adrian menyapa sesseorang yang berada di ujung sana.

“Adrian, bagaimana kabarmu?” Ternyata, telepon itu berasal dari Sandy, kakaknya.

“Baik, Kak. Kakak ganti nomor?”

“Iya,” jawab Sandy lalu terdengar tawanya yang renyah. “Aku punya kabar baik, Yan. Ada lowongan pekerjaan untuk seorang psikiatri di tempatku bekerja,” lanjutnya.

Adrian terdiam.

Kembali Sandy berujar, “Cobalah, Yan! Hitung-hitung menambah pengalamanmu bekerja di kota besar. Akan banyak kasus yang bisa kamu temui di sini.”

Adrian tersenyum. Lalu ujarnya, “Akan aku pikirkan, Kak.”

“Kesempatan tidak datang dua kali, Yan. Wawancaramu hanya sebagai formalitas saja. Kamu tahu, gajinya pun lumayan besar, loh.”

“Iya. Aku paham.”

“Kabari aku secepatnya. Dan, jangan lupa kirim CV-mu melalui email malam ini, ya. Nanti kalau kamu setuju, aku akan segera memasukkannya ke HRD.”

“Baik, Kak. Nanti malam aku kabari, ya.”

 Telpon di tutup.

Tania menatap ke arah Adrian. “Siapa?” tanyanya.

“Kakakku.”

“Ada apa?” tanya Tania lagi.

Adrian tersenyum. “Bagaimana kalau nanti kita makan malam?”

“Kamu mengalihkan perhatian, Yan.”

Adrian tertawa. “Bukan hal yang penting, Tania. Sandy punya harapan dan aku memilih untuk memikirkannya terlebih dahulu.”

Tania menatap Adrian, kekasihnya yang rupawan.

“Jadi, nanti malam aku jemput kamu jam 7, ya,” tawar Adrian

Tania mengangguk. Adrian tersenyum sambil mengusap kepala Tania lembut.

****

“Apa! Sebuah tawaran kerja?” tanya Tania kepada Adrian, saat mereka menikmati makan malam di sebuah restauran yang terbilang cukup mewah bagi orang-orang pinggiran kota. Adrian melakukan itu, hanya demi ciptakan suasana romantis untuk kekasihnya. Walaupun, dia sendiri lebih nyaman makan di pinggir jalan.

Adrian mengangguk. “Tapi, kamu tahu, kan, biaya hidup di kota besar itu tidak murah, Tania.”

“Tapi, gajinya pasti lumayan, kan?” Tania bertanya.

Adrian tertawa, “Sebesar-besarnya gaji seorang dokter, Tania.”

“Pergilah, Adrian. Nanti aku akan menyusulmu.”

Adrian menatap Tania. “Kamu yakin?”

Tania mengangguk. “Bekerjalah dengan keras, agar kamu bisa menghasilkan banyak uang untuk kita,” godanya.

Adrian tertawa, “Baiklah kalau itu maumu, Sayang. Aku akan menjadi mesin pencetak uang untukmu.”

Tania tertawa.

****

Sepulang menghabiskan waktu bersama Tania, Adrian menyempatkan diri mengirim CV-nya kepada Sandy sebelum ia  beranjak tidur. Sebaris pesan dituliskannya di badan email: “Kak, aku butuh waktu sebulan untuk benar-benar lepas dari tempatku bekerja. Jadi, mohon bersabar.”

Sandy membalas email Adrian melalui pesan yang dikirimnya pada pagi hari, saat Adrian masih berbaring di atas ranjangnya.

“Iya,tidak apa-apa, Yan. Tapi, bisakah untuk sementara waktu, nanti kamu tinggal bersama Airin?”

Sebait pesan yang dikirim oleh Sandy, membuat Adrian bangkit dari tidurnya. “Tinggal bersama Kak Rin? Maksud kakak?” Tulis Adrian dalam pesan jawabannya.

“Nanti aku ceritakan setelah sampai sini. Kami memiliki sedikit masalah.” Tulis Sandy dalam pesannya. Adrian terdiam.

****

“Apakah kamu harus tinggal di sana?” tanya Tania setelah Adrian menceritakan keinginan Sandy yang memintanya untuk tinggal bersama Airin, kakak iparnya.

“Kenapa mereka tidak mencoba menyelesaikan masalahnya? Kenapa harus kamu yang menjadi korban?”

“Bukan begitu Tania,” Adrian nampak cemas. “Sejujurnya, aku penasaran. Sebenarnya, ada masalah apa di antara mereka berdua.”

Tania menatap Adrian. “Mungkin masalahnya cukup berat. Sampai Sandy membutuhkanmu.”

“Sepertinya, aku harus mengunjungi mereka  sesekali.”

Tania terdiam.

“Apalagi Kak Rin…” kembali Adrian berujar. “ Sebenarnya, sudah lama aku tidak menghubunginya. Entah bagaimana kabarnya sekarang.”

“Apakah kamu dekat dengan kakak iparmu?” tanya Tania penuh selidik.

“Ya, tentu saja kami sangat dekat. Setidaknya, sebelum mereka memutuskan untuk tinggal di kota.”

Tania kembali terdiam untuk beberapa waktu. Lalu ujarnya kemudian, “Jangan ikut campur dengan urusan mereka. Lupakan saja rencanamu untuk ke sana.”

“Apa?”

“Aku pikir, ini bukan ide yang baik, Adrian.”

Adrian terdiam. Begitu pula Tania yang mulai tak tertarik lagi untuk membahas perpindahan Adrian. Entah mengapa, ada sesuatu yang membuatnya tidak mengikhlaskan Adrian untuk pergi.

****

Berkali-kali Adrian coba menghubungi Airin, tapi selalu saja dijawab oleh operator bila nomor yang ditujunya sudah tidak aktif. Itu sebabnya, Adrian menghubungi Sandy.

“Kak, aku tidak bisa menghubungi Kak Rin. Apa dia mengganti nomor ponselnya?” tanya Adrian.

“Iya. Ponselnya hilang,” jawab Sandy dari ujung sana.

“Bisa aku minta nomornya, Kak?”

“Hmmm… aku tidak menyimpannya, Yan.”

“Apa? Bagaimana bisa?”

Sandy terdiam. Lalu ujarnya lagi, “Itu sebabnya aku membutuhkanmu sekarang.”

Ganti Adrian yang terdiam. “Apa yang terjadi? Kenapa kalian seperti ini?”

“Ada sesuatu yang membuatku menyerah untuk menjalani hidup bersama Airin.”

“Apa?” Adrian tertegun untuk sesaat. “Serius, aku benar-benar tidak paham maksud Kakak.”

“Aku tidak bisa menceritakan detailnya sekarang. Jadi, pikirkanlah cepat. Karena aku membutuhkanmu untuk tinggal bersamanya.”

****

Seharian, ingatan Adrian terus melayang. Menimbang-nimbang perkataan Tania. Apa sebaikya, ia tidak ikut campur urusan Sandy dan istrinya. Namun, rasa rindunya terhadap Airin tiba-tiba menyeruak begitu hebatnya. Ia mengkhawatirkan perempuan yang telah 8 tahun ini menjadi kakak iparnya.

Hingga di sore hari, ketika ia dan Tania bertemu kembali. Adrian mengungkapkan keinginannya untuk menemui Airin.

“Aku tidak ingin kamu menemuinya, Yan. Biar bagaimana pun, posisimu adalah ipar. Apa kamu yakin semua akan baik-baik saja? Apa kamu yakin, kamu bisa tetap setia?”

Adrian tercengang. “Tania, apa maksudmu? Kamu pikir aku akan berpaling pada Kak Rin?”

“Apa pun bisa terjadi, kan? Lagi pula, siapa yang bisa tahu isi hati orang lain.”

“Ini gila, Tania!”

“Aku tidak bisa memikirkan apa pun.  Aku benar-benar khawatir. Aku takut kamu akan berlari dariku.”

Adrian terdim.

“Kecuali,” lagi Tania membuka suara, “ikat aku dalam sebuah pertunangan. Dan, pastikan dalam beberapa bulan setelah pertunangan kita, kita akan menikah.”

Adrian menatap Tania. Lalu, ia berujar, “Baik, akan aku pikirkan.”

****

Malam itu, di rumah Airin.

Sepulang Juli yang akhir-akhir ini sering mengunjunginya, Airin duduk di atas sofa sambil memeluk lutut. Perempuan itu tercenung menatap televisi yang tengah memutar acara musik, tanpa menikmatinya. Pikiran dan tatapan matanya sama-sama kosong. Banyak hal yang berseliweran dalam benaknya, yang membuat perempuan itu berkali-kali menarik napas panjang. Tak lama berselang, air matanya kembali tumpah.

“Ya Tuhan… sakit sekali,” desah Airin sambil memukul-mukul dadanya dengan kepalan tangan.

“Dan, apa kau menikmatinya, Airin.” Suara alter egonya kembali terdengar. Demi Tuhan, Airin membencinya. Perempuan itu gila!

Airin membuka kepalan tangannya, sebuah silet telah berada di sana. Perempuan itu pun mulai membuat sayatan-sayatan halus pada pergelangan tangannya. Tak ada lagi rasa pedih, kecuali kepedihan hatinya sendiri serta perasaan tak berguna yang membelitnya sedemikian rupa.[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status