Santa Maria merupakan sebuah rumah sakit kecil dengan bangunan yang tampak suram dan terletak di pinggiran kota. Tidak banyak tenaga medis yang dimiliki oleh rumah sakit itu. Namun, Adrian Keenan, adik Sandy Keenan memilih bekerja di tempat itu. Melayani pasien-pasien skizofrenia dengan berbagai macam kondisi yang membelit mereka.
Siang itu, setelah bercengkerama dengan beberapa pasien yang datang dengan permasalahan mereka, Adrian duduk di bawah pohon akasia yang berada di belakang bangunan rumah sakit. Laki-laki itu menikmati secangkir kopi, ditemani sebatang rokok yang dihisapnya dalam.
“Adrian…” Sebuah suara mengejutkannya. Ia melihat Tania tengah berjalan ke arahnya.
“Tania? Wow, ini kejutan.” Adrian berujar seraya tersenyum pada perempuan yang tengah berjalan mendekatinya. Laki-laki itu membuang dan menginjak putung rokoknya.
“Aku mencarimu kemana-mana. Ternyata kamu di sini.” Tania duduk di samping Adrian, laki-laki yang hampir setahun ini menjadi kekasihnya.
“Kenapa tidak memberi tahu, kalau mau ke sini?”
“Kalau aku memberi tahu, pasti aku tidak bisa memergoki kamu yang ‘katanya’ kerja, tapi malah santai-santai di sini.”
Adrian tertawa. “Aku sedang me-refresh pikiran, Sayang…”
“Hmmm… alasan!” ujar Tania lalu mencibir. Laki-laki berambut ikal sebahu itu pun mencubit pipi Tania gemas.
“Aww…” Tania memekik manja, sembari mengelus pipinya. Hingga dering ponsel Adrian mengejutkan keduanya.
“Halo,” Adrian menyapa sesseorang yang berada di ujung sana.
“Adrian, bagaimana kabarmu?” Ternyata, telepon itu berasal dari Sandy, kakaknya.
“Baik, Kak. Kakak ganti nomor?”
“Iya,” jawab Sandy lalu terdengar tawanya yang renyah. “Aku punya kabar baik, Yan. Ada lowongan pekerjaan untuk seorang psikiatri di tempatku bekerja,” lanjutnya.
Adrian terdiam.
Kembali Sandy berujar, “Cobalah, Yan! Hitung-hitung menambah pengalamanmu bekerja di kota besar. Akan banyak kasus yang bisa kamu temui di sini.”
Adrian tersenyum. Lalu ujarnya, “Akan aku pikirkan, Kak.”
“Kesempatan tidak datang dua kali, Yan. Wawancaramu hanya sebagai formalitas saja. Kamu tahu, gajinya pun lumayan besar, loh.”
“Iya. Aku paham.”
“Kabari aku secepatnya. Dan, jangan lupa kirim CV-mu melalui email malam ini, ya. Nanti kalau kamu setuju, aku akan segera memasukkannya ke HRD.”
“Baik, Kak. Nanti malam aku kabari, ya.”
Telpon di tutup.
Tania menatap ke arah Adrian. “Siapa?” tanyanya.
“Kakakku.”
“Ada apa?” tanya Tania lagi.
Adrian tersenyum. “Bagaimana kalau nanti kita makan malam?”
“Kamu mengalihkan perhatian, Yan.”
Adrian tertawa. “Bukan hal yang penting, Tania. Sandy punya harapan dan aku memilih untuk memikirkannya terlebih dahulu.”
Tania menatap Adrian, kekasihnya yang rupawan.
“Jadi, nanti malam aku jemput kamu jam 7, ya,” tawar Adrian
Tania mengangguk. Adrian tersenyum sambil mengusap kepala Tania lembut.
****
“Apa! Sebuah tawaran kerja?” tanya Tania kepada Adrian, saat mereka menikmati makan malam di sebuah restauran yang terbilang cukup mewah bagi orang-orang pinggiran kota. Adrian melakukan itu, hanya demi ciptakan suasana romantis untuk kekasihnya. Walaupun, dia sendiri lebih nyaman makan di pinggir jalan.
Adrian mengangguk. “Tapi, kamu tahu, kan, biaya hidup di kota besar itu tidak murah, Tania.”
“Tapi, gajinya pasti lumayan, kan?” Tania bertanya.
Adrian tertawa, “Sebesar-besarnya gaji seorang dokter, Tania.”
“Pergilah, Adrian. Nanti aku akan menyusulmu.”
Adrian menatap Tania. “Kamu yakin?”
Tania mengangguk. “Bekerjalah dengan keras, agar kamu bisa menghasilkan banyak uang untuk kita,” godanya.
Adrian tertawa, “Baiklah kalau itu maumu, Sayang. Aku akan menjadi mesin pencetak uang untukmu.”
Tania tertawa.
****
Sepulang menghabiskan waktu bersama Tania, Adrian menyempatkan diri mengirim CV-nya kepada Sandy sebelum ia beranjak tidur. Sebaris pesan dituliskannya di badan email: “Kak, aku butuh waktu sebulan untuk benar-benar lepas dari tempatku bekerja. Jadi, mohon bersabar.”
Sandy membalas email Adrian melalui pesan yang dikirimnya pada pagi hari, saat Adrian masih berbaring di atas ranjangnya.
“Iya,tidak apa-apa, Yan. Tapi, bisakah untuk sementara waktu, nanti kamu tinggal bersama Airin?”
Sebait pesan yang dikirim oleh Sandy, membuat Adrian bangkit dari tidurnya. “Tinggal bersama Kak Rin? Maksud kakak?” Tulis Adrian dalam pesan jawabannya.
“Nanti aku ceritakan setelah sampai sini. Kami memiliki sedikit masalah.” Tulis Sandy dalam pesannya. Adrian terdiam.
****
“Apakah kamu harus tinggal di sana?” tanya Tania setelah Adrian menceritakan keinginan Sandy yang memintanya untuk tinggal bersama Airin, kakak iparnya.
“Kenapa mereka tidak mencoba menyelesaikan masalahnya? Kenapa harus kamu yang menjadi korban?”
“Bukan begitu Tania,” Adrian nampak cemas. “Sejujurnya, aku penasaran. Sebenarnya, ada masalah apa di antara mereka berdua.”
Tania menatap Adrian. “Mungkin masalahnya cukup berat. Sampai Sandy membutuhkanmu.”
“Sepertinya, aku harus mengunjungi mereka sesekali.”
Tania terdiam.
“Apalagi Kak Rin…” kembali Adrian berujar. “ Sebenarnya, sudah lama aku tidak menghubunginya. Entah bagaimana kabarnya sekarang.”
“Apakah kamu dekat dengan kakak iparmu?” tanya Tania penuh selidik.
“Ya, tentu saja kami sangat dekat. Setidaknya, sebelum mereka memutuskan untuk tinggal di kota.”
Tania kembali terdiam untuk beberapa waktu. Lalu ujarnya kemudian, “Jangan ikut campur dengan urusan mereka. Lupakan saja rencanamu untuk ke sana.”
“Apa?”
“Aku pikir, ini bukan ide yang baik, Adrian.”
Adrian terdiam. Begitu pula Tania yang mulai tak tertarik lagi untuk membahas perpindahan Adrian. Entah mengapa, ada sesuatu yang membuatnya tidak mengikhlaskan Adrian untuk pergi.
****
Berkali-kali Adrian coba menghubungi Airin, tapi selalu saja dijawab oleh operator bila nomor yang ditujunya sudah tidak aktif. Itu sebabnya, Adrian menghubungi Sandy.
“Kak, aku tidak bisa menghubungi Kak Rin. Apa dia mengganti nomor ponselnya?” tanya Adrian.
“Iya. Ponselnya hilang,” jawab Sandy dari ujung sana.
“Bisa aku minta nomornya, Kak?”
“Hmmm… aku tidak menyimpannya, Yan.”
“Apa? Bagaimana bisa?”
Sandy terdiam. Lalu ujarnya lagi, “Itu sebabnya aku membutuhkanmu sekarang.”
Ganti Adrian yang terdiam. “Apa yang terjadi? Kenapa kalian seperti ini?”
“Ada sesuatu yang membuatku menyerah untuk menjalani hidup bersama Airin.”
“Apa?” Adrian tertegun untuk sesaat. “Serius, aku benar-benar tidak paham maksud Kakak.”
“Aku tidak bisa menceritakan detailnya sekarang. Jadi, pikirkanlah cepat. Karena aku membutuhkanmu untuk tinggal bersamanya.”
****
Seharian, ingatan Adrian terus melayang. Menimbang-nimbang perkataan Tania. Apa sebaikya, ia tidak ikut campur urusan Sandy dan istrinya. Namun, rasa rindunya terhadap Airin tiba-tiba menyeruak begitu hebatnya. Ia mengkhawatirkan perempuan yang telah 8 tahun ini menjadi kakak iparnya.
Hingga di sore hari, ketika ia dan Tania bertemu kembali. Adrian mengungkapkan keinginannya untuk menemui Airin.
“Aku tidak ingin kamu menemuinya, Yan. Biar bagaimana pun, posisimu adalah ipar. Apa kamu yakin semua akan baik-baik saja? Apa kamu yakin, kamu bisa tetap setia?”
Adrian tercengang. “Tania, apa maksudmu? Kamu pikir aku akan berpaling pada Kak Rin?”
“Apa pun bisa terjadi, kan? Lagi pula, siapa yang bisa tahu isi hati orang lain.”
“Ini gila, Tania!”
“Aku tidak bisa memikirkan apa pun. Aku benar-benar khawatir. Aku takut kamu akan berlari dariku.”
Adrian terdim.
“Kecuali,” lagi Tania membuka suara, “ikat aku dalam sebuah pertunangan. Dan, pastikan dalam beberapa bulan setelah pertunangan kita, kita akan menikah.”
Adrian menatap Tania. Lalu, ia berujar, “Baik, akan aku pikirkan.”
****
Malam itu, di rumah Airin.
Sepulang Juli yang akhir-akhir ini sering mengunjunginya, Airin duduk di atas sofa sambil memeluk lutut. Perempuan itu tercenung menatap televisi yang tengah memutar acara musik, tanpa menikmatinya. Pikiran dan tatapan matanya sama-sama kosong. Banyak hal yang berseliweran dalam benaknya, yang membuat perempuan itu berkali-kali menarik napas panjang. Tak lama berselang, air matanya kembali tumpah.
“Ya Tuhan… sakit sekali,” desah Airin sambil memukul-mukul dadanya dengan kepalan tangan.
“Dan, apa kau menikmatinya, Airin.” Suara alter egonya kembali terdengar. Demi Tuhan, Airin membencinya. Perempuan itu gila!
Airin membuka kepalan tangannya, sebuah silet telah berada di sana. Perempuan itu pun mulai membuat sayatan-sayatan halus pada pergelangan tangannya. Tak ada lagi rasa pedih, kecuali kepedihan hatinya sendiri serta perasaan tak berguna yang membelitnya sedemikian rupa.[]
Adrian memutuskan untuk mengikuti keinginan Sandy, kakaknya, setelah mengikat Tania dalam sebuah pertunangan. Sejujurnya, Tania tidak menginginkan skenario seperti ini. Namun, ia tidak bisa menahan kebulatan tekad Adrian untuk pergi ke ibu kota dan melepasnya walau dengan berat hati. “Tania, bersabarlah sampai waktu pernikahan kita datang,” ujar Adrian sore itu yang terlihat tampan dengan jaket levis belelnya. Tania tersenyum masam. “Setialah padaku, jangan pernah sekali pun kamu berani berpaling. Atau kamu akan rasakan akibatnya.” Adrian tertawa. “Kamu menyeramkan, Sayang. Kenapa tidak bisa berlaku seperti Taniaku yang manis, sih?” “Sungguh, Adrian. Aku sedang tidak ingin bermanis-manis dengaanmu.” Lagi Adrian tersenyum. “Tapi, kamu tetap terlihat manis, kok. Tenang saja.” Mau tidak mau, Tania pun tersenyum. Lalu berujar, “Pergilah, Yan. Jangan terlalu memaksakan diri, kalau kamu lelah mengemudi, beristirahatlah.” “Baik, Sayang.” Adrian mengecup kening Tania dengan lembut, lal
Siang itu, Adrian duduk di sebuah taman kota, tepat di bawah pohon bungur dengan bunga-bunga yang bermekaran. Mata coklatnya mengawasi sekumpulan bocah-bocah yang tengah bermain petak umpet di antara bunga-bunga kanna warna merah dan kuning. Laki-laki itu, tiba-tiba saja merindukan masa ketika Sandy, Airin, dan ia tinggal bersama di rumah tua peninggalan keluarga Keenan. Bukankah, semua terasa begitu menyenangkan? Airin yang berperan sebagai ibu. Sedangkan, Sandy tetap memerankan tokoh sebagai kakak yang selalu cemburu akan perhatian ibu yang tercurah secara berlebihan pada adiknya. Adrian tersenyum. Mengingat penggalan-penggalan cerita yang muncul serupa film pendek dalam pikirannya itu. “Apa kamu sudah bertemu Airin?” Sebuah suara terdengar tepat di sampingnya. Sandy Keenan, kakak laki-lakinya itu telah mengambil duduk di sisi Adrian. Laki-laki itu terlihat tampan dengan hoodie navy berbahan tipis. Adrian mengangguk. “Jadi, apa yang terjadi, Kak? Kak Rin berkata, kalau kakak pergi
-8- Ketika Depresi itu Datang Adrian membereskan botol vipe, sloki, abu beserta putung-putung rokok yang bertebaran di lantai dapur. Laki-laki itu mulai membongkar laci-laci lemari, setelah ia membersihkan lantai dapurnya.. Adrian pun dibuat terkesima, ketika matanya menemukan beberapa botol vipe lainnya tersimpan dalam lemari. Dengan perasaan jengkel, adik Sandy Keenan itu mengeluarkan botol-botol yang tersusun rapi itu kemudian membuang isinya ke dalam wastafel. Setelah diyakininya tidak ada setetes cairanpun yang tersisa, ia menjinjing botol-botol itu ke halaman belakang lantas dilemparkannya ke dalam bak sampah. Setelah semua dirasa beres, laki-laki itu pun mencuci tangan sebelum kembali ke dalam kamar. Ia berhenti sejenak ketika melewati kamar kakak iparnya. Samar-samar, pemuda itu mendengar suara kegaduhan dari dalam. Sekitar 5 sampai 10 menit, kegaduhan itu pun mereda. “Adrian…” desahnya kemudian, “selamat, ya! Kamu sudah menjerumuskan hidupmu sendiri, demi si gila Sandy,”
Adrian panik tatkala tidak mendapati Airin di rumah, sepulangnya dari rumah sakit. Laki-laki itu berusaha mencari kakak iparnya kesana- kemari, tetapi sosok perempuan bermata indah itu tidak juga ditemukan. Ketika rasa lelah mulai menjangkiti. Dokter muda itu pun memutuskan untuk mengecek kembali ke dalam ruang kerja kakak iparnya yang dijadikan sebagai tempat Airin mengurung diri. Laki-laki tampan itu berharap menemukan sebuah petunjuk di sana. Ia melihat ruangan yang berantakan. Sebuah ranjang berukuran kecil di sudut ruang dengan bantal dan selimut bekas pakai teronggok tak rapi. Adrian menduga, bahwa kakaknya tengah mengerjakan sesuatu sebelum ia memutuskan untuk keluar. Terlihat jelas sekali, karena komputer dalam kamar itu masih menyala. Teeet. Bunyi bel pintu menyadarkan Adrian yang tengah sibuk dengan asumsinya, terkait perginya Airin. Dengan segera, laki-laki itu pun berlari kecil menuruni anak tangga menuju pintu depan. Berharap, Airinlah yang menekan bel pintu. Kegelis
Adrian mendorong pintu kamar Airin. Ia melihat Airin menangis dalam mimpinya. Dengan cepat Adrian berusaha membangunkan kakak iparnya. “Kak, Kak Rin… Kak Rin, Banguun…” Adrian menguncang-guncang badan Airin. Hingga beberapa menit berlalu, Airin pun berhasil dibangunkan. “Kak… sudah, tidak apa-apa, Kak…” Adrian mengusap wajah Airin yang berpeluh dan bercampur air mata. “Kakak mimpi buruk?” Airin nampak mengatur napasnya, lalu mengangguk. “Aku ambilkan air minum, ya?” Adrian berlalu meninggalkan Airin yang tercenung. “Mimpi itu datang lagi… kenapa, mimpi itu selalu datang akhir-akhir ini?” Airin bertanya dalam hati. Adrian kembali dengan segelas air dan memberikannya kepada Airin. “Minumlah, Kak.” Airin menerima air itu lalu menandaskannya. “Adrian, sudah. Aku tidak apa-apa, kok. Kamu tidur lagi saja,” ujar Airin. “Kakak yakin?” Airin mengangguk. Adrian pun tersenyum, lalu pergi meninggalkan Airin sendiri di kamarnya. Malam itu, Airin dan Adrian sama-sama tidak dapat memejam
Pagi itu, setelah melewati malam yang panjang, Adrian mendapati Airin tengah melamun di dapur sembari duduk memeluk lutut di kursi makan yang ditariknya ke sisi jendela. Laki-laki itu hanya mampu menatap kakak iparnya sesaat, bingung harus memulai obrolan dari mana. Sampai Airin menyadari keberadaannya. “Yan…” suara Airin terdengar lemah. Adrian menarik kursi dan diletakkannya di hadapan Airin. “Sandy telah mengkhianatiku…” Adrian masih diam. “A-aku melihatnya semalam…” “Iya, Kak.” Airin menatap adik iparnya tajam. “Katakan padaku, Yan. Apa yang harus aku lakukan?” Adrian tampak berpikir. Namun, ternyata otaknya pun buntu. Apa yang harus dilakukan Airin? Dan, apa pula pula yang harus dilakukannya? Ketika satu rahasia telah terkuak. Bagi laki-laki itu, dua pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan yang teramat sulit dijawab. Airin terdiam. Ia tahu, sepertinya Adrian tak bisa menjawab pertanyaannya. Keheningan pun tercipta di antara keduanya. **** Berkali-kali sudah, Adrian hany
Sandy merasakan kegeraman tersendiri, sepulangnya menghabiskan makan siang bersama Mario. Bagaimana bisa, laki-laki itu dapat berpikir demikian. Apa dia ingin menjadi pahlawan dalam kehidupan Airin. Damn! Bukankah, itu sama saja dengan mengatakan bahwa Sandy adalah seorang pengecut yang melarikan diri dari Airin? Bahkan, mood Sandy benar-benar berantakan saat ia bertemu Hanna. “Kenapa Mario bisa merusak mood-mu, Sayang?” Hanna bertanya. “Ada sedikit perbedaan persepsi, Han. Tapi, sudahlah. Kami sudah membereskannya.” Hanna terdiam. Apalagi Sandy benar-benar terlihat dingin. Tidak seperti biasanya, laki-laki itu selalu terlihat hangat ketika menghabiskan waktu bersamanya. “Oh iya, tentang perceraian itu? Apa kamu sudah membereskannya?” tanya Hanna hati-hati. “Aku akan segera membereskannya. Jadi, jangan khawatir.” Hanna tidak bicara lagi. Rasanya percuma membahas apa pun dengan Sandy, ketika ia daam kondisi mood yang tidak baik. **** Adrian dikejutkan oleh kedatangan Hanna, kek
Airin menatap kosong ke luar jendela. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang didapatkanya siang tadi. Sebuah dokumen perceraian dari Sandy telah berada di tangannya. Tanpa perlu adanya persetujuan, dokumen itu telah sah dikeluarkan. Airin dinyatakan ‘raib’! Airin melihat dunianya hancur. Perempuan itu tidak menyangka bahwa Sandy begitu tega melakukan ini padanya. Apakah laki-laki itu begitu membencinya? Hingga ia mampu mengarang cerita demi sebuah dokumen? **** Adrian pulang ketika hari menjelang senja. Ia merasa aneh, tatkala mendapati Airin tegah duduk di sofa dengan mata sembab. “Kak, ada apa?” tanyanya pelan. Airin menunjuk ke arah meja. Adrian menuju tempat yang ditunjuk Airin dan menemukan sebuah dokumen perceraian di sana. Pelan-pelan dibacanya berita dalam kertas berwarna putih itu. Ia gemetar. “Sial!” rutuk laki-laki tampan itu dalam hati. “Bagaimana mungkin Sandy melakukan ini?” “Yan. Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan?” tanya Airin pelan. Adrian kembali