Home / Romansa / Perempuan Kopi / Sebuah Permintaan (5)

Share

Sebuah Permintaan (5)

last update Last Updated: 2021-09-01 05:10:11

Santa Maria merupakan sebuah rumah sakit kecil dengan bangunan yang tampak suram  dan terletak di pinggiran kota. Tidak banyak tenaga medis yang dimiliki oleh rumah sakit itu. Namun, Adrian Keenan, adik Sandy Keenan memilih bekerja di tempat yang ‘katanya’ katanya tidak memiliki masa depan itu. Ia akan dengan senang hati  melayani pasien-pasien skizofrenia dengan berbagai macam kondisi yang membelit mereka.

Siang itu, setelah bercengkerama dengan beberapa pasien yang datang dengan permasalahan mereka, Adrian  duduk di bawah pohon akasia yang berada di belakang bangunan rumah sakit. Laki-laki itu menikmati secangkir kopi, ditemani sebatang rokok yang dihisapnya dalam.

 “Adrian…” Sebuah suara mengejutkannya. Ia melihat Tania tengah berjalan ke arahnya.

“Tania?  Wow, ini kejutan.” Adrian berujar seraya tersenyum pada perempuan yang tengah berjalan mendekatinya. Laki-laki itu membuang dan menginjak putung rokoknya.

“Aku mencarimu kemana-mana. Ternyata kamu di sini.” Tania duduk di samping Adrian, laki-laki yang hampir setahun ini menjadi kekasihnya.

“Kenapa tidak memberi tahu kalau mau ke sini?”

“Kalau aku memberi tahu, pasti aku tidak bisa memergoki kamu yang ‘katanya’ kerja, tapi malah santai-santai di sini.”

Adrian tertawa. “Aku sedang me-refresh pikiran, Sayang…”

“Hmmm… alasan!” ujar Tania lalu mencibir. Laki-laki berambut ikal sebahu itu pun mencubit pipi Tania gemas.

“Aww…” Tania memekik manja, sembari mengelus pipinya. Hingga dering ponsel Adrian mengejutkan keduanya.

“Halo,” Adrian menyapa seseorang yang berada di ujung sana.

“Adrian, bagaimana kabarmu?” Ternyata telepon itu berasal dari Sandy, kakaknya.

“Baik, Kak. Kakak ganti nomor?”

“Iya,” jawab Sandy lalu terdengar tawanya yang renyah. “Aku punya kabar baik, Yan. Ada lowongan pekerjaan untuk seorang psikiatri di tempatku bekerja,” lanjutnya.

Adrian terdiam.

Kembali Sandy berujar, “Cobalah, Yan! Hitung-hitung menambah pengalamanmu bekerja di kota besar. Akan banyak kasus yang bisa kamu temui di sini.”

Adrian tersenyum. Lalu ujarnya, “Akan aku pikirkan, Kak.”

“Kesempatan tidak datang dua kali, Yan. Wawancaramu hanya sebagai formalitas saja. Kamu tahu, gajinya pun lumayan besar, loh.”

“Iya. Aku paham.”

“Kabari aku secepatnya. Dan, jangan lupa kirim CV-mu melalui email malam ini, ya. Nanti kalau kamu setuju, aku akan segera memasukkannya ke HRD.”

“Baik, Kak. Nanti malam aku kabari, ya.”

 Telpon di tutup.

Tania menatap ke arah Adrian. “Siapa?” tanyanya.

“Kakakku.”

“Ada apa?” tanya Tania lagi.

Adrian tersenyum. “Bagaimana kalau nanti kita makan malam?”

“Kamu mengalihkan perhatian, Yan.”

Adrian tertawa. “Bukan hal yang penting, Tania. Sandy punya harapan dan aku memilih untuk memikirkannya terlebih dahulu.”

Tania menatap Adrian, kekasihnya yang rupawan.

“Jadi, nanti malam aku jemput kamu jam 7, ya,” tawar Adrian

Tania mengangguk. Adrian tersenyum sambil mengusap kepala Tania lembut.

***

“Apa? Sebuah tawaran kerja?” tanya Tania kepada Adrian, saat mereka menikmati makan malam di sebuah restauran yang terbilang cukup mewah bagi orang-orang pinggiran kota. Adrian melakukan itu, hanya demi ciptakan suasana romantis untuk kekasihnya. Walaupun, dia sendiri lebih nyaman dengan makanan pinggir jalan.

Adrian mengangguk. “Tapi, kamu tahu, kan, biaya hidup di kota besar itu tidak murah, Tania.”

“Tapi, gajinya pasti lumayan, kan?” Tania bertanya.

Adrian tertawa, “Sebesar-besarnya gaji seorang dokter, Tania.”

“Pergilah, Adrian. Nanti aku akan menyusulmu.”

Adrian menatap Tania. “Kamu yakin?”

Tania mengangguk. “Bekerjalah dengan keras, agar kamu bisa menghasilkan banyak uang untuk kita,” godanya.

Adrian tertawa, “Baiklah kalau itu maumu, Sayang. Aku akan menjadi mesin pencetak uang untukmu.”

Tania pun tertawa.

***

Sepulang menghabiskan waktu bersama Tania, Adrian menyempatkan diri mengirim CV-nya kepada Sandy sebelum ia  beranjak tidur. Sebaris pesan dituliskannya di badan email: “Kak, aku butuh waktu sebulan untuk benar-benar lepas dari tempatku bekerja. Jadi, mohon bersabar.”

Sandy membalas email Adrian melalui pesan yang dikirimnya pada pagi hari ketika Adrian masih berbaring di atas ranjangnya.

“Iya,tidak apa-apa, Yan. Tapi, bisakah untuk sementara waktu, kamu tinggal bersama Airin?”

Sebait pesan yang dikirim oleh Sandy, membuat Adrian bangkit dari tidurnya. “Tinggal bersama Kak Rin? Maksud kakak?” Tulis Adrian dalam pesan jawabannya.

“Nanti aku ceritakan setelah sampai sini. Kami memiliki sedikit masalah.” Tulis Sandy dalam pesannya. Adrian terdiam.

***

“Apakah kamu harus tinggal di sana?” tanya Tania setelah Adrian menceritakan keinginan Sandy yang memintanya untuk tinggal bersama Airin, kakak iparnya.

“Kenapa mereka tidak mencoba menyelesaikan masalahnya? Kenapa harus kamu yang menjadi korban?”

“Bukan begitu Tania,” Adrian nampak cemas. “Sejujurnya, aku penasaran. Sebenarnya ada masalah apa di antara mereka berdua.”

Tania menatap Adrian. “Mungkin masalahnya cukup berat. Sampai Sandy membutuhkanmu.”

“Sepertinya, aku harus mengunjungi mereka  sesekali.”

Tania terdiam.

“Apalagi Kak Rin…” kembali Adrian berujar. “Sebenarnya, sudah lama aku tidak menghubunginya. Entah bagaimana kabarnya sekarang.”

“Apakah kamu dekat dengan kakak iparmu?” tanya Tania penuh selidik.

“Ya, tentu saja kami sangat dekat. Setidaknya, sebelum mereka memutuskan untuk tinggal di kota.”

Tania kembali terdiam untuk beberapa waktu. Lalu ujarnya kemudian, “Jangan ikut campur dengan urusan mereka. Lupakan saja rencanamu untuk ke sana.”

“Apa?”

“Aku pikir, ini bukan ide yang baik, Adrian.”

Adrian terdiam. Begitu pula Tania yang mulai tidak tertarik lagi untuk membahas perpindahan Adrian. Entah mengapa, ada sesuatu yang membuatnya tidak mengikhlaskan Adrian untuk pergi.

***

Berkali-kali Adrian coba menghubungi Airin, tapi selalu saja dijawab oleh operator bila nomor yang ditujunya sudah tidak aktif. Itu sebabnya, Adrian menghubungi Sandy.

“Kak, aku tidak bisa menghubungi Kak Rin. Apa dia mengganti nomor ponselnya?” tanya Adrian.

“Iya. Ponselnya hilang,” jawab Sandy dari ujung sana.

“Bisa aku minta nomornya, Kak?”

“Hmmm… aku tidak menyimpannya, Yan.”

“Apa? Bagaimana bisa?”

Sandy terdiam. Lalu ujarnya lagi, “Itu sebabnya aku membutuhkanmu sekarang.”

Ganti Adrian yang terdiam. “Apa yang terjadi? Kenapa kalian seperti ini?”

“Ada sesuatu yang membuatku menyerah untuk menjalani hidup bersama Airin.”

“Apa?” Adrian tertegun untuk sesaat. “Serius, aku benar-benar tidak paham maksud Kakak.”

“Aku tidak bisa menceritakan detailnya sekarang. Jadi, pikirkanlah cepat. Karena aku membutuhkanmu untuk tinggal bersamanya.”

 ***

Seharian, ingatan Adrian terus melayang. Menimbang-nimbang perkataan Tania. Apa sebaikya, ia tidak ikut campur urusan Sandy dan istrinya. Namun, rasa rindunya terhadap Airin tiba-tiba menyeruak begitu hebat. Ia mengkhawatirkan perempuan yang telah 8 tahun ini menjadi kakak iparnya.

Hingga di sore harinya, Adrian dan Tania kembali bertemu. Laki-laki itu pun mulai kembali mengungkapkan keinginannya untuk menemui Airin.

“Aku tidak ingin kamu menemuinya, Yan. Biar bagaimana pun, posisimu adalah ipar. Apa kamu yakin semua akan baik-baik saja? Apa kamu yakin, kamu bisa tetap setia?”

Adrian tercengang. “Tania, apa maksudmu? Kamu pikir aku akan berpaling pada Kak Rin?”

“Apa pun bisa terjadi, kan? Lagi pula, siapa yang bisa tahu isi hati orang lain.”

“Ini gila, Tania!”

“Aku tidak bisa memikirkan apa pun.  Aku benar-benar khawatir. Aku takut kamu akan berlari dariku.”

Adrian terdim.

“Kecuali,” lagi Tania membuka suara, “ikat aku dalam sebuah pertunangan. Dan, pastikan dalam beberapa bulan setelah pertunangan kita, kita akan menikah.”

Adrian menatap Tania. Lalu, ia berujar, “Baik, akan aku pikirkan.”

***

Malam itu, di rumah Airin.

Sepulang Juli yang akhir-akhir ini sering mengunjunginya, Airin duduk di atas sofa sambil memeluk lutut. Perempuan itu tercenung menatap televisi yang tengah memutar acara musik, tanpa menikmatinya. Pikiran dan tatapan matanya sama-sama kosong. Banyak hal yang berseliweran dalam benaknya, yang membuat perempuan itu berkali-kali menarik napas panjang. Tidak lama berselang, air matanya kembali tumpah.

“Ya Tuhan… sakit sekali,” desah Airin sambil memukul-mukul dadanya dengan kepalan tangan.

“Dan, apa kau menikmatinya, Airin.” Suara alter egonya kembali terdengar. Demi Tuhan, Airin membencinya. Perempuan itu gila!

Airin membuka kepalan tangannya, sebuah silet telah berada di sana. Perempuan itu pun mulai membuat sayatan-sayatan halus pada pergelangan tangannya. Tak ada lagi rasa pedih, kecuali kepedihan hatinya sendiri serta perasaan tidak berguna yang membelitnya sedemikian rupa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kontroversi (78)

    Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat

  • Perempuan Kopi   Kepergian Moza (77)

    Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg

  • Perempuan Kopi   Kecemburuan Adrian (76)

    Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa

  • Perempuan Kopi   Hadirnya Amanda (75)

    Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kecelakaan (74)

    Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da

  • Perempuan Kopi   Kegusaran Alfian (73)

    “Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf

  • Perempuan Kopi   Ulang Tahun Moza (72)

    Moza memasuki kamarnya, lalu meletakkan semua hadiah yang didapatnya dari Alfian di atas tempat tidur. Ada kegelisahan bergelayut dalam relung batinnya. Ia yakin, kalau Alfian tidak akan pernah melakukan keinginan adik semata wayangnya itu untuk mengundang Adrian di hari ulang tahunnya.“Kenapa kamu tidak berjuang untuk memenangkan hati Airin saja, Al. Dasar bodoh!” maki Moza. Sesungguhnya, Moza ingin melihat laki-laki itu bahagia bersama perempuan yang dicintainya sepenuh hati. Itu sebabnya, ia bersusah payah menjadi gila dengan mendekati Adrian apa pun yang terjadi. Mengenai perasaannya, sudah tidak penting lagi. Dia jatuh cinta atau tidak, rasanya tidak pernah akan ada bedanya. Toh, ia pun akan segera mati.***Alfian memasuki ruang makan di pagi itu dengan kaos oblong dan celana katun longgar. Jelas sekali kalau laki-laki itu tidak memiliki rencana apa pun hari ini. Moza dan Nadia telah duduk di meja makan. Mamanya meletakkan sepanci sup di atas meja seraya tersenyum menatap ke ar

  • Perempuan Kopi   Perempuan yang Berbeda (71)

    Alfian duduk tepekur di balkon, di depan kamarnya. Ia ‘sedikit’ terkejut mendengar penuturan Airin yang ingin melepaskan Adrian. Jauh di dalam lubuk hati terdalam, laki-laki itu merasa bahagia. Namun, di sisi lainnya, Alfian merasa tidak memiliki arti apa-apa. Mungkin, ke depan ia bisa saja mulai melancarkan aksinya untuk membuat Airin berpaling dari Adrian. Akan tetapi ia memiliki keraguan yang besar terhadap sikap Airin sendiri. Benarkah perempuan itu bisa move on dari Adrian lalu berpaling menatapnya?Di tempat lain, Airin tengah berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Menimbang kembali apa yang dikatakan Alfian, “Kalau kamu meninggalkan Adrian dan merasa baik-baik saja, maka silakan kamu lakukan. Namun, jika kamu meninggalkannya tapi kamu merasa ingin mati karena hal itu, maka jangan pernah lakukan. Ingat Airin, bukan hanya dua tiga hari kamu berharap bisa bertemu dan berharap hubunganmu membaik dengannya, tapi kamu men

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kendali (70)

    Adrian dan Airin sama-sama tertegun demi mendengar ucapan Daniela.“Niel, kamu apa-apaan, sih?” protes Adrian.Daniela tersenyum melihat perubahan air muka Airin. “Aku hanya berkata yang sebenarnya, Yan. Apa kamu tidak pernah mengatakan padanya, apa alasanku menyusulmu ke sini?”“Niel, cukup!” Adrian membentak Daniela. “Ayo, Kak, kita pergi dari sini.” Adrian menggengam jemari tangan Airin membawanya menjauh dari Daniela.“Sebentar, Yan.” Airin melepaskan genggaman tangan Adrian. “Seharusnya aku bertanya kenapa perempuan itu tinggal bersamamu?”Adrian menatap Airin, “Aku hanya menampungnya, Kak. Dia tidak punya siapa-siapa di sini.”“Sedekat apa kamu dan dia?”“Tentu saja kami sangat dekat. Dia satu-satunya temanku di Kanada.”Bibir Airin baru saja ingin membuka untuk bicara lagi, namun tiba-tiba ia terdiam. Entah apa yan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status