Airin memasuki sebuah kantor penerbitan. Disapanya beberapa staf yang nampak tidak asing baginya dengan ramah.
“Hai, Airy!” Seorang perempuan bertubuh gempal dengan kulit putih menghampirinya. Matanya nampak berbinar. Ada gurat bahagia yang terpancar di wajahnya tatkala perempuan bernama pena Airy itu datang.
“Hai, Juli.” Airin tersenyum melihat Juli yang terlihat berbeda dengan kamisol warna kuning gadingnya itu. “Wow, cantiknya…” puji Airin kepada sahabat sekaligus editornya itu.
“Ini kamisol baru, loh.” Juli tertawa seraya berputar. “Bagimana, cantikkan?”
“Warnanya cukup lembut. Dan, sangat pas dengan kulitmu,” ujar Airin. “Cantik sekali.” Airin mengacungkan jempolnya seraya berdecak.
“Cukup membahas kamisolnya, Ry. Aku ingin mengucapkan selamat dulu. Buku terakhirmu diminati banyak orang. Selamat, ya!” ujar Juli antusias.
Airin tersenyum. “Terima kasih, Juli. Kalau bukan berkat kejelianmu dan promosimu yang luar biasa, apalah arti buku-buku yang kutulis. Sekali lagi, terima kasih…”
“Ah! Itu bukanlah apa-apa Airin. Mengoreksi naskah adalah tugasku, tapi tetap saja ide keluar dari kepala penulisnya. You know, Ry, kamu penulis yang luar biasa, loh. Sebenarnya, enggak banyak editing yang kulakukan. Karena aku tidak menemukan kesalahan yang berarti dalam tulisanmu. Dan, aku melakukannya karena aku mencintaimu. Kamu tidak tahu, kan? Kalau aku adalah penikmat tulisanmu?”
Airin tertawa begitu pula Juli.
“Ayo, bereskan dulu tanda tanganmu. Aku sudah menumpuk semua bukunya di mejaku. Tapi, maaf, ya. Aku tidak bisa menemanimu, karena ada sedikit keperluan,” ujar Juli penuh penyesalan.
“Santailah. Bereskan urusanmu, Juli. Lain kali kita bisa ngobrol lagi, kan?”
Juli tersenyum, “Siap, Boss…”
Setelah kepergian Juli, Airin pun mulai menandatangani buku-buku yang tersusun rapi di atas meja kerja Juli, sahabat karibnya di masa kuliah dulu.
***
Di rumah Airin, Sandy tengah mengeluarkan seluruh pakaiannya dari dalam lemari dan memasukannya ke dalam koper besar berwarna navy. Ia pun membongkar tas tempat surat-surat berharganya disimpan. Membereskan minyak rambut dan parfum dari atas meja rias Airin dan memasukan semuanya ke dalam koper yang sama.
Setelah dirasa tak ada lagi barang yang tertinggal, Sandy mendudukan diri di tepi ranjang. Menatap dalam ke arah foto pernikahannya dengan Airin yang tergantung di dinding kamar. Airin tampak cantik dengan gaun putih berkerah victoria, berekor cukup panjang. Perempuan itu nampak seperti seorang Dewi Yunani kuno dengan paras jelitanya. Dan, Sandy serupa pangeran yang berhasil memenangkan hatinya.
Ah! Seandainya saja Airin bukanlah seorang bipolar, pasti Sandy tidak akan pernah berkeluh kesah pada Hanna, sahabatnya saat duduk di SMA dulu. Jika ia tidak pernah bertemu dengan Hanna pada reuni SMA setahun yang lalu, pastinya ia tidak akan pernah meninggalkan Airin karena sebuah tanggung jawab yang tidak sengaja dipikulnya. Mungkin ceritanya akan berbeda, seandainya Airin mau menemaninya di setiap acara reuni atau pertemuan-pertemuan resmi lainnya, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi. Sandy merasa kacau dengan keputusan yang harus diambil. Dan sialnya, pikirannya sendiri sedang tidak dapat diajak kompromi.
Pada akhirnya, dalam benak Sandy hanya dipenuhi oleh kata-kata ‘seandainya’. Seandainya…seandainya… dan seandainya. Ini bukan kesalahannya, Airinlah yang salah. Kenapa dia harus sakit? Kenapa perempuan itu acap kali membuatnya merasa tidak nyaman. Justifikasi demi justifikasi berkelindan. Semua kesalahan ini terjadi karena Airin. Hanna hanyalah korban dari keegoisan Sandy yang butuh tempat berbagi. Dan, Sandy hanyalah seorang laki-laki yang membutuhkan pemakluman. Karena ia cuma seorang laki-laki biasa yang ternyata tidak cukup kuat untuk menghadapi Airin beserta pernik-perniknya.
Sandy menarik napas panjang, setelah sekian lama jatuh dalam perenungannya sendiri. Ia tidak menyangka, pernikahan yang dibangun selama 8 tahun bersama Airin, kini harus berakhir dengan cara seperti ini. “Airin maafkan aku…” gumamnya.
Laki-laki itu pun bangkit lalu mulai berjalan keluar kamar. Menuruni anak tangga sembari membawa kopernya. Hari ini, dia memutuskan untuk keluar dari rumah yang dibangunnya bersama Airin. Dan, meninggalkan biduk rumah tangganya, tanpa tahu harus berkata apa pada perempuan penyuka blueberry itu.
Setelah memasukan kopernya ke dalam bagasi, kembali ia menatap rumah yang menyisakan banyak kenangan itu. Dering ponsel menyadarkan laki-laki berkulit putih yang tampak menarik dengan kaos polo hitamnya. Suara Hanna terdengar dari ujung sana, memintanya untuk segera menemui perempuan itu, karena ada beberapa hal yang harus dibereskannya. Dengan segera, Sandy pun melajukan kendaraannya keluar dari pekarangan rumah Airin menuju jalan besar.
***
Di tempat lain, Airin menghentikan aktivitasnya menandatangani buku. Ada rasa tidak nyaman menyeruak masuk dalam dada. Rasa yang menusuk hingga membuatnya sesak. Airin tertegun sesaat. Diusapnya dada kiri dengan tangan kanannya. Sembari berusaha mengatur napas secara perlahan hingga rasa itu lambat laun berkurang.
***
Airin kembali sekitar pukul lima sore, setelah mampir membeli camilan kesukaan Sandy serta beberapa bahan makanan yang digunakan untuk membuat makan malam. Rumah bergaya minimalis itu nampak sunyi. Ia menduga, mungkin Sandy masih sibuk di rumah sakit. Sambil membuka pintu, Airin coba menghubungi Sandy. Ia tertegun, mendengar pesan operator dari ujung sana “Nomor yang Anda tuju berada di luar service area”. Berkali-kali, Airin mengulangi panggilannya. Namun jawaban operator tetap sama.
Setelah meletakkan barang belanjaan di atas meja makan, perempuan itu pun menuju kamar untuk berganti pakaian. Ia terkesima melihat kondisi kamar yang tak biasa. Seprai yang bekas di duduki. Map-map yang keluar dari laci. Dan, perempuan itu pun tidak melihat barang-barang Sandy, seperti parfum maupun minyak rambutnya di atas meja rias. Dengan hati-hati, Airin Membuka pintu lemari pakaian. Ia pun tercengang. Tidak ada satu helai pun pakaian suaminya yang berada di sana. Perempuan itu menggigit bibir, menyadari bahwa ada sesuatu yang telah terjadi. Apakah itu artinya, Sandy telah menyerah untuk hidup bersamanya?
***
Di depan pintu sebuah apartemen mewah, Sandy berdiri di sana, tanpa melakukan apa pun. Sebuah koper besar tegak di sampingnya. Beberapa kali, laki-laki itu nampak menghela napas panjang. Ingatannya tentang rumah dan Airin datang silih berganti.
“Ini salah…” gumamnya berkali-kali. Ia pun memutuskan untuk berbalik dari pintu yang semula akan dimasukinya.
“Sandy.” Sebuah suara serta merta membuatnya menghentikan langkah dan kembali berbalik. Hanna telah berdiri di ambang pintu seraya menatap ke arahnya.
Sandy tersenyum kikuk. “Han, kupikir kamu sedang tidak di rumah,” ujar Sandy beralasan.
Hanna menatap ke arah koper Sandy sekilas, lalu berujar, “Masuklah.”
Sandy mengikuti langkah perempuan itu. Memasuki satu ruang tamu dengan sofa berbahan beludru berwarna abu-abu. Laki-laki itu pun mendudukan diri di sana. Hanna keluar dari dapur membawa secangkir cappuccino. Lalu meletakannya di atas meja, di hadapan Sandy.
Tatkala menatap cangkir cappuccino di atas meja, laki-laki itu pun berujar,“Han… maaf, aku tidak minum kopi. Sudah dua tahun ini, lambungku bermasalah.”
“Oh, maaf. Aku tidak tahu. Biar aku ganti, ya?”
Sandy menggenggam tangan Hanna saat perempuan itu ingin menarik kembali cangkir cappuccino-nya. “Tidak perlu. Nanti saja…” ujar Sandy. Hanna pun duduk di sisinya.
“Aku memutuskan untuk meninggalkan Airin, Han. Tapi kupikir, ini pun akan menjadi satu kesalahan jika kita tinggal bersama.”
“Sampai kamu mendapatkan tempat tinggal, San. Bukankah kita sudah membicarakan ini?”
“Iya. Tapi, aku tidak bisa melakukannya.”
“Besok kamu mulai praktek di tempatku bekerja, kan? Setahuku, di sana ada flat buat karyawan. Jadi, anggap saja ini hanya untuk sementara. Lagi pula, kamu sendiri yang bilang, kalau kamu tidak punya tabungan lagi, kan? Semua asetmu atas nama Airin. Lalu, bagaimana caranya kamu bisa membayar rumah sewaan?”
Sandy terdiam.
“Sandy… aku khawatir denganmu. Sungguh, aku hanya ingin membuatmu merasa nyaman. Sudah cukup kamu memikirkan Airin hingga sebegitu menderitanya. Sekarang, kamu harus bisa memulai hidup baru tanpa Airin. Kita akan memulainya…”
Sandy menatap bola mata Hanna yang gelap. Perempuan itu kini berhasil menjeratnya. Dan, dia tak berdaya untuk menolak kehadirannya. “Ya Tuhan…”
***
Airin memasuki area rumah sakit tempat Sandy bekerja. Ia terlihat bingung. Celingukan kesana-kemari. Tanpa tahu apa yang harus dilakukannya. Ini adalah pertama kalinya, perempuan itu menginjakkan kaki di tempat suaminya bekerja. Seorang petugas keamanan menghampirinya.
“Maaf, Bu. Ada yang bisa saya bantu?”
“Hmmm… saya ingin bertemu dengan dokter Sandy. Tapi, saya ingin tahu, apakah hari ini, dia praktek?”
“Dokter Sandy? Wah! Maaf, Bu. Beliau sudah resign dari sini.”
Airin tercengang. “Apa! Se-sejak kapan, Pak?”
“Kira-kira, satu minggu yang lalu, Bu.”
Airin terhuyung. “Ya Tuhan…”
Airin merasakan ada yang nyeri dalam dadanya. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin, ia tidak tahu apa pun perihal suaminya.
“Apa ibu baik-baik saja?” tanya petugas keamanan, tatkala menatap wajah Airin yang nampak pucat.
“I-iya, Pak. Tidak apa-apa. Saya baik-baik saja,” ujar Airin. “Terima kasih…” lanjutnya lemah.
Airin berjalan gontai keluar dari area rumah sakit. Air matanya tumpah membanjiri pipi yang berkali-kali diusapnya dengan punggung tangan. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Rasa kecewa yang menggunung dan kegagalan menerornya sedemikan rupa. Alter egonya kembali mencibir, mengejeknya. “Aku tahu, cepat atau lambat Sandy akan pergi darimu. Karena kamu bukanlah perempuan yang bisa menarik perhatian laki-laki seperti Sandy. Perempuan lemah yang hanya sibuk dengan pikirannya sendiri.”
“Tidak itu tidak benar…” desahnya.
“Apanya yang tidak benar. Buktinya, Sandy pergi tanpa sepengetahuanmu. Dia sudah merencanakannya, jauh-jauh hari. Lalu, apa artinya ini?”
“Sandy hanya tak sempat memberitahuku saja. Dia pasti kembali, seperti kemarin,” Airin terus menjawabejekan alter egonya seraya berjalan cepat.
Alter ego-nya tertawa. “Kamu yakin?”
Airin terdiam. Perempuan itu menghentikan langkah kaki seraya membekap mulutnya dengan telapak tangan. Air mata Airin mengalir tanpa henti. Ia menggeleng terus menerus. Berusaha mengingkari kenyataan.
“Lihat kedunguanmu, Airin! Sekali tidak berguna, kamu akan terus tidak berguna! Airin, lihatlah! Apa hebatnya kamu?”
Tubuh Airin bergetar, tangisnya semakin menjadi. Hingga ia merasakan ada beban berat menimpa kepalanya. Rasa sesak membuat perempuan berhidung bangir itu merasakan dunianya seolah hampa udara, lalu runtuh seketika. Airin pun ambruk ke bumi. Ia jatuh tidak sadarkan diri.
***
Asap rokok mengepul memenuhi ruangan. Gelas-gelas sisa kopi berserakan di lantai. Airin terkapar di atas tempat tidurnya. Mata hitamnya menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Perempuan itu seolah-olah melihat masa depannya sendiri melalui langit-langit yang berhias bintang-bintang berbahan fosfor itu. Menyaksikan dunia yang dibangunnya runtuh tanpa mampu berbuat apa pun, bukanlah impiannya. Bahkan, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang berharap demikian. Airin sama sekali tidak memiliki harapan untuk bertahan, dalam kemelutnya sendirian. Kepergian Sandy menjadi puncak depresinya. Ia merasakan lelah yang teramat sangat. Sepulangnya menginap semalaman di rumah sakit, saat orang-orang menemukannya tidak sadarkan diri di jalan kemarin. Mereka pun memutuskan membawanya ke rumah sakit. Rasa lelah bukan hanya menyerang fisik Airin, tapi juga pikirannya. Di atas pembaringan, Airin menarik napas panjang. Diangkat tangannya tinggi-tinggi. Mencoba menggapai udara kosong di hadapannya.
Santa Maria merupakan sebuah rumah sakit kecil dengan bangunan yang tampak suram dan terletak di pinggiran kota. Tidak banyak tenaga medis yang dimiliki oleh rumah sakit itu. Namun, Adrian Keenan, adik Sandy Keenan memilih bekerja di tempat itu. Melayani pasien-pasien skizofrenia dengan berbagai macam kondisi yang membelit mereka. Siang itu, setelah bercengkerama dengan beberapa pasien yang datang dengan permasalahan mereka, Adrian duduk di bawah pohon akasia yang berada di belakang bangunan rumah sakit. Laki-laki itu menikmati secangkir kopi, ditemani sebatang rokok yang dihisapnya dalam. “Adrian…” Sebuah suara mengejutkannya. Ia melihat Tania tengah berjalan ke arahnya. “Tania? Wow, ini kejutan.” Adrian berujar seraya tersenyum pada perempuan yang tengah berjalan mendekatinya. Laki-laki itu membuang dan menginjak putung rokoknya. “Aku mencarimu kemana-mana. Ternyata kamu di sini.” Tania duduk di samping Adrian, laki-laki yang hampir setahun ini menjadi kekasihnya. “Kenapa ti
Adrian memutuskan untuk mengikuti keinginan Sandy, kakaknya, setelah mengikat Tania dalam sebuah pertunangan. Sejujurnya, Tania tidak menginginkan skenario seperti ini. Namun, ia tidak bisa menahan kebulatan tekad Adrian untuk pergi ke ibu kota dan melepasnya walau dengan berat hati. “Tania, bersabarlah sampai waktu pernikahan kita datang,” ujar Adrian sore itu yang terlihat tampan dengan jaket levis belelnya. Tania tersenyum masam. “Setialah padaku, jangan pernah sekali pun kamu berani berpaling. Atau kamu akan rasakan akibatnya.” Adrian tertawa. “Kamu menyeramkan, Sayang. Kenapa tidak bisa berlaku seperti Taniaku yang manis, sih?” “Sungguh, Adrian. Aku sedang tidak ingin bermanis-manis dengaanmu.” Lagi Adrian tersenyum. “Tapi, kamu tetap terlihat manis, kok. Tenang saja.” Mau tidak mau, Tania pun tersenyum. Lalu berujar, “Pergilah, Yan. Jangan terlalu memaksakan diri, kalau kamu lelah mengemudi, beristirahatlah.” “Baik, Sayang.” Adrian mengecup kening Tania dengan lembut, lal
Siang itu, Adrian duduk di sebuah taman kota, tepat di bawah pohon bungur dengan bunga-bunga yang bermekaran. Mata coklatnya mengawasi sekumpulan bocah-bocah yang tengah bermain petak umpet di antara bunga-bunga kanna warna merah dan kuning. Laki-laki itu, tiba-tiba saja merindukan masa ketika Sandy, Airin, dan ia tinggal bersama di rumah tua peninggalan keluarga Keenan. Bukankah, semua terasa begitu menyenangkan? Airin yang berperan sebagai ibu. Sedangkan, Sandy tetap memerankan tokoh sebagai kakak yang selalu cemburu akan perhatian ibu yang tercurah secara berlebihan pada adiknya. Adrian tersenyum. Mengingat penggalan-penggalan cerita yang muncul serupa film pendek dalam pikirannya itu. “Apa kamu sudah bertemu Airin?” Sebuah suara terdengar tepat di sampingnya. Sandy Keenan, kakak laki-lakinya itu telah mengambil duduk di sisi Adrian. Laki-laki itu terlihat tampan dengan hoodie navy berbahan tipis. Adrian mengangguk. “Jadi, apa yang terjadi, Kak? Kak Rin berkata, kalau kakak pergi
-8- Ketika Depresi itu Datang Adrian membereskan botol vipe, sloki, abu beserta putung-putung rokok yang bertebaran di lantai dapur. Laki-laki itu mulai membongkar laci-laci lemari, setelah ia membersihkan lantai dapurnya.. Adrian pun dibuat terkesima, ketika matanya menemukan beberapa botol vipe lainnya tersimpan dalam lemari. Dengan perasaan jengkel, adik Sandy Keenan itu mengeluarkan botol-botol yang tersusun rapi itu kemudian membuang isinya ke dalam wastafel. Setelah diyakininya tidak ada setetes cairanpun yang tersisa, ia menjinjing botol-botol itu ke halaman belakang lantas dilemparkannya ke dalam bak sampah. Setelah semua dirasa beres, laki-laki itu pun mencuci tangan sebelum kembali ke dalam kamar. Ia berhenti sejenak ketika melewati kamar kakak iparnya. Samar-samar, pemuda itu mendengar suara kegaduhan dari dalam. Sekitar 5 sampai 10 menit, kegaduhan itu pun mereda. “Adrian…” desahnya kemudian, “selamat, ya! Kamu sudah menjerumuskan hidupmu sendiri, demi si gila Sandy,”
Adrian panik tatkala tidak mendapati Airin di rumah, sepulangnya dari rumah sakit. Laki-laki itu berusaha mencari kakak iparnya kesana- kemari, tetapi sosok perempuan bermata indah itu tidak juga ditemukan. Ketika rasa lelah mulai menjangkiti. Dokter muda itu pun memutuskan untuk mengecek kembali ke dalam ruang kerja kakak iparnya yang dijadikan sebagai tempat Airin mengurung diri. Laki-laki tampan itu berharap menemukan sebuah petunjuk di sana. Ia melihat ruangan yang berantakan. Sebuah ranjang berukuran kecil di sudut ruang dengan bantal dan selimut bekas pakai teronggok tak rapi. Adrian menduga, bahwa kakaknya tengah mengerjakan sesuatu sebelum ia memutuskan untuk keluar. Terlihat jelas sekali, karena komputer dalam kamar itu masih menyala. Teeet. Bunyi bel pintu menyadarkan Adrian yang tengah sibuk dengan asumsinya, terkait perginya Airin. Dengan segera, laki-laki itu pun berlari kecil menuruni anak tangga menuju pintu depan. Berharap, Airinlah yang menekan bel pintu. Kegelis
Adrian mendorong pintu kamar Airin. Ia melihat Airin menangis dalam mimpinya. Dengan cepat Adrian berusaha membangunkan kakak iparnya. “Kak, Kak Rin… Kak Rin, Banguun…” Adrian menguncang-guncang badan Airin. Hingga beberapa menit berlalu, Airin pun berhasil dibangunkan. “Kak… sudah, tidak apa-apa, Kak…” Adrian mengusap wajah Airin yang berpeluh dan bercampur air mata. “Kakak mimpi buruk?” Airin nampak mengatur napasnya, lalu mengangguk. “Aku ambilkan air minum, ya?” Adrian berlalu meninggalkan Airin yang tercenung. “Mimpi itu datang lagi… kenapa, mimpi itu selalu datang akhir-akhir ini?” Airin bertanya dalam hati. Adrian kembali dengan segelas air dan memberikannya kepada Airin. “Minumlah, Kak.” Airin menerima air itu lalu menandaskannya. “Adrian, sudah. Aku tidak apa-apa, kok. Kamu tidur lagi saja,” ujar Airin. “Kakak yakin?” Airin mengangguk. Adrian pun tersenyum, lalu pergi meninggalkan Airin sendiri di kamarnya. Malam itu, Airin dan Adrian sama-sama tidak dapat memejam
Pagi itu, setelah melewati malam yang panjang, Adrian mendapati Airin tengah melamun di dapur sembari duduk memeluk lutut di kursi makan yang ditariknya ke sisi jendela. Laki-laki itu hanya mampu menatap kakak iparnya sesaat, bingung harus memulai obrolan dari mana. Sampai Airin menyadari keberadaannya. “Yan…” suara Airin terdengar lemah. Adrian menarik kursi dan diletakkannya di hadapan Airin. “Sandy telah mengkhianatiku…” Adrian masih diam. “A-aku melihatnya semalam…” “Iya, Kak.” Airin menatap adik iparnya tajam. “Katakan padaku, Yan. Apa yang harus aku lakukan?” Adrian tampak berpikir. Namun, ternyata otaknya pun buntu. Apa yang harus dilakukan Airin? Dan, apa pula pula yang harus dilakukannya? Ketika satu rahasia telah terkuak. Bagi laki-laki itu, dua pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan yang teramat sulit dijawab. Airin terdiam. Ia tahu, sepertinya Adrian tak bisa menjawab pertanyaannya. Keheningan pun tercipta di antara keduanya. **** Berkali-kali sudah, Adrian hany