Home / Romansa / Perempuan Kopi / Lelaki itu Pergi (3)

Share

Lelaki itu Pergi (3)

last update Last Updated: 2021-08-17 17:26:00

Airin memasuki sebuah kantor penerbitan. Disapanya beberapa staf yang nampak tidak asing baginya dengan ramah.

“Hai, Airy!” Seorang perempuan bertubuh gempal dengan kulit putih menghampirinya. Matanya tampak berbinar. Ada gurat bahagia yang terpancar di wajahnya tatkala perempuan bernama pena Airy itu datang.

“Hai, Juli.” Airin tersenyum melihat Juli yang terlihat berbeda dengan kamisol warna kuning gadingnya itu. “Wow, cantiknya…” puji Airin kepada sahabat sekaligus editornya itu.

“Ini kamisol baru, loh.” Juli tertawa seraya berputar. “Bagimana, cantikkan?”

“Warnanya lembut banget. Dan, cocok banget sama kulitmu,” ujar Airin. “Cantik  banget, deh.” Airin mengacungkan jempolnya seraya berdecak.

“Cukup membahas kamisolnya, Ry. Aku ingin mengucapkan selamat dulu. Buku terakhirmu diminati banyak orang. Selamat, ya!” ujar Juli antusias.

Airin tersenyum. “Terima kasih, Jul. Kalau bukan karena kejelianmu dan promosi yang luar biasa, apalah arti buku-buku yang kutulis. Sekali lagi, makasih, ya…”

“Ah! Itu bukan apa-apa, Ry. Mengoreksi naskah adalah tugasku, tapi tetap saja ide keluar dari kepala penulisnya. You know, Ry, kamu penulis yang luar biasa, loh. Sebenarnya, nggak banyak, kok, editing yang kulakukan. Karena aku nggak pernah menemukan kesalahan yang berarti dalam tulisanmu. Dan… aku melakukan semuanya, tentu karena aku mencintaimu. Kamu nggak tahu, kan? Kalau aku adalah penikmat tulisanmu?”

Airin tertawa begitu pula Juli.

“Ayo, bereskan dulu tanda tanganmu. Aku sudah tumpuk semua bukumu di mejaku. Tapi, mohon maaf, loh, kalau aku nggak bisa menemani kamu, aku ada sedikit keperluan. Biasalah…” ujar Juli penuh penyesalan.

“Santai saja, Jul. Beresin saja urusanmu dulu. Lain kali kita bisa ngobrol lagi, kan?”

Juli tersenyum, “Siap, Boss…”

Setelah kepergian Juli, Airin pun mulai menandatangani buku-buku yang tersusun rapi di atas meja kerja Juli, sahabat karibnya di masa kuliah dulu.

***

Di tempat lain, Sandy yang siang itu telah kembali ke rumah tampak tengah mengeluarkan seluruh pakaiannya dari dalam lemari dan memasukannya ke dalam koper besar berwarna navy. Ia pun membongkar tas tempat surat-surat berharganya disimpan. Membereskan minyak rambut dan parfum dari atas meja rias Airin kemudian memasukan semuanya ke dalam koper yang sama.

Setelah dirasa tak ada lagi barang yang tertinggal, Sandy mendudukan diri di tepi ranjang. Menatap dalam ke arah foto pernikahannya dengan Airin yang tergantung di dinding kamar. Airin tampak cantik dengan gaun putih berkerah Victoria yang memiliki ekor cukup panjang. Perempuan itu nampak seperti seorang Dewi Yunani kuno dengan paras jelitanya. Dan, Sandy serupa pangeran yang berhasil memenangkan hatinya.

Ah! Seandainya saja Airin bukanlah seorang bipolar, pasti Sandy tidak akan pernah berkeluh kesah pada Hanna, sahabatnya saat duduk di SMA dulu. Jika ia tidak pernah bertemu dengan Hanna pada reuni SMA setahun yang lalu, pastinya ia tidak akan pernah meninggalkan Airin karena sebuah tanggung jawab yang tidak sengaja dipikulnya. Mungkin ceritanya akan berbeda, seandainya Airin mau menemaninya di setiap acara reuni atau pertemuan-pertemuan resmi lainnya, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi. Sandy merasa kacau dengan keputusan yang harus diambil. Dan sialnya, pikirannya sendiri sedang tidak dapat diajak kompromi.

Pada akhirnya, dalam benak Sandy hanya dipenuhi oleh kata-kata ‘seandainya’. Seandainya…seandainya… dan seandainya. Ini bukan kesalahannya, Airinlah yang salah. Kenapa dia harus sakit? Kenapa perempuan itu acap kali membuatnya merasa tidak nyaman. Justifikasi demi justifikasi berkelindan. Semua kesalahan ini terjadi karena Airin. Hanna hanyalah korban dari keegoisan Sandy yang butuh tempat berbagi. Dan, Sandy hanyalah seorang laki-laki yang membutuhkan pemakluman. Karena ia cuma seorang laki-laki biasa yang ternyata tidak cukup kuat untuk menghadapi Airin beserta pernik-perniknya.

Sandy menarik napas panjang, setelah sekian lama jatuh dalam perenungannya sendiri. Ia tidak menyangka, pernikahan yang dibangun selama 8 tahun bersama Airin, kini harus berakhir dengan cara seperti ini. “Airin maafkan aku…” gumamnya.

Laki-laki itu pun bangkit lalu mulai berjalan keluar kamar. Menuruni anak tangga sembari membawa kopernya. Hari ini, dia memutuskan untuk keluar dari rumah yang dibangunnya bersama Airin. Dan, meninggalkan biduk rumah tangganya, tanpa tahu harus berkata apa pun pada perempuan penyuka blueberry itu.

Setelah memasukan kopernya ke dalam bagasi, kembali ia menatap rumah yang menyisakan banyak kenangan itu. Dering ponsel menyadarkan laki-laki berkulit putih yang tampak menarik dengan kaos polo hitamnya. Suara Hanna terdengar dari ujung sana, memintanya untuk segera menemui perempuan itu, karena ada beberapa hal yang harus dibereskannya. Dengan segera, Sandy pun melajukan kendaraannya keluar dari pekarangan rumah Airin menuju jalan besar.

***

Airin secara tiba-tiba menghentikan aktivitasnya menandatangani buku. Ada rasa tidak nyaman menyeruak masuk dalam dada. Sesuatu yang menusuk hingga membuatnya sesak. Airin tertegun sesaat. Diusapnya dada kiri dengan tangan kanannya. Sembari berusaha mengatur napas secara perlahan hingga rasa itu lambat laun berkurang.

***

Airin kembali sekitar pukul lima sore, setelah mampir membeli camilan kesukaan Sandy serta beberapa bahan makanan yang digunakan untuk membuat makan malam. Rumah bergaya minimalis itu nampak sunyi. Ia menduga mungkin Sandy masih sibuk di rumah sakit. Sambil membuka pintu, Airin coba menghubungi Sandy. Ia tertegun, mendengar pesan operator dari ujung sana “Nomor yang Anda tuju berada di luar service area”. Berkali-kali, Airin mengulangi panggilannya. Namun jawaban operator tetap sama.

Setelah meletakkan barang belanjaan di atas meja makan, perempuan itu pun menuju kamar untuk berganti pakaian. Ia terkesima melihat kondisi kamar yang tidak biasa. Seprai yang bekas di duduki. Map-map yang keluar dari laci. Dan, perempuan itu pun tidak melihat barang-barang Sandy, seperti parfum maupun minyak rambutnya di atas meja rias. Dengan hati-hati, Airin Membuka pintu lemari pakaian. Ia pun tercengang. Tidak ada satu helai pun pakaian suaminya yang berada di sana. Perempuan itu menggigit bibir, menyadari bahwa ada sesuatu yang telah terjadi. Apakah itu artinya, Sandy telah menyerah untuk hidup bersamanya?

***

Di  depan pintu sebuah apartemen mewah, Sandy berdiri di sana, tanpa melakukan apa pun. Sebuah koper besar tegak di sampingnya. Beberapa kali, laki-laki itu terlihat menghela napas panjang. Ingatannya tentang rumah dan Airin datang silih berganti.

“Ini salah…” gumamnya berkali-kali. Ia pun memutuskan untuk berbalik dari pintu yang semula akan dimasukinya.

“Sandy.” Sebuah suara serta merta membuatnya menghentikan langkah dan kembali berbalik. Hanna telah berdiri di ambang pintu seraya menatap ke arahnya.

Sandy tersenyum kikuk. “Han, kupikir kamu sedang tidak di rumah,” ujar Sandy beralasan.

Hanna menatap ke arah koper Sandy sekilas, lalu berujar, “Masuklah.”

Sandy mengikuti langkah perempuan itu. Memasuki satu ruang tamu dengan sofa berbahan beludru berwarna abu-abu. Laki-laki itu pun mendudukan diri di sana. Hanna keluar dari dapur membawa secangkir cappuccino. Lalu meletakannya di atas meja, di hadapan Sandy.

Tatkala menatap cangkir cappuccino di atas meja, laki-laki itu pun berujar,“Han… maaf, aku nggak minum kopi. Sudah dua tahun ini, lambungku bermasalah.”

“Oh, maaf. Aku tidak tahu. Biar aku ganti, ya?”

Sandy menggenggam tangan Hanna saat perempuan itu ingin menarik kembali cangkir cappuccino-nya. “Tidak perlu. Nanti saja…” ujar Sandy. Hanna pun duduk di sisinya.

“Aku memutuskan untuk meninggalkan Airin, Han. Tapi kupikir, ini pun akan menjadi satu kesalahan jika kita tinggal bersama.”

“Sampai kamu mendapatkan tempat tinggal, San. Bukankah kita sudah membicarakan ini?”

“Iya. Tapi, aku tidak bisa melakukannya.”

“Besok kamu mulai praktek di tempatku bekerja, kan? Setahuku, di sana ada flat buat karyawan. Jadi, anggap saja ini hanya untuk sementara. Lagi pula, kamu sendiri yang bilang, kalau kamu tidak punya tabungan lagi, kan? Semua asetmu atas nama Airin. Lalu, bagaimana caranya kamu bisa membayar rumah sewaan?”

Sandy terdiam.

“Sandy… aku khawatir denganmu. Sungguh, aku hanya ingin membuatmu merasa nyaman. Sudah cukup kamu memikirkan Airin hingga sebegitu menderitanya. Sekarang, kamu harus bisa memulai hidup baru tanpa Airin. Kita akan memulainya…”

Sandy menatap bola mata Hanna yang gelap. Perempuan itu kini berhasil menjeratnya. Dan, dia tidak berdaya untuk menolak kehadirannya. “Ya Tuhan…”

***

Airin memasuki area rumah sakit tempat Sandy bekerja. Ia terlihat bingung. Celingukan kesana-kemari. Tanpa tahu apa yang harus dilakukannya. Ini adalah pertama kalinya, perempuan itu menginjakkan kaki di tempat suaminya bekerja. Seorang petugas keamanan menghampirinya.

“Maaf, Bu. Ada yang bisa saya bantu?”

“Hmmm… saya ingin bertemu dengan Dokter Sandy. Tapi, saya ingin tahu, apakah hari ini, dia praktek?”

“Dokter Sandy? Wah! Maaf, Bu. Beliau sudah resign dari sini.”

Airin tercengang. “Apa! Se-sejak kapan, Pak?”

“Terhitung hari ini, Bu.”

Airin terhuyung. “Ya Tuhan…”

Airin merasakan ada yang nyeri dalam dadanya. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin, ia tidak tahu apa pun perihal suaminya.

“Apa Ibu baik-baik saja?” tanya petugas keamanan, tatkala menatap wajah Airin yang nampak pucat.

“I-iya, Pak. Tidak apa-apa. Saya baik-baik saja,” ujar Airin. “Terima kasih…” lanjutnya lemah.

“Bagaimana kalau ganti dokter yang lain saja, Bu?” tawar petugas keamanan itu ramah.

“Ti-tidak perlu, Pak. Terima kasih.”

Airin berjalan gontai keluar dari area rumah sakit. Air matanya tumpah membanjiri pipi yang berkali-kali diusapnya dengan punggung tangan. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Rasa kecewa yang menggunung dan kegagalan menerornya sedemikan rupa. Alter egonya kembali mencibir, mengejeknya. “Aku tahu, cepat atau lambat Sandy akan pergi darimu. Karena kamu bukanlah perempuan yang bisa menarik perhatian laki-laki seperti Sandy. Perempuan lemah yang hanya sibuk dengan pikirannya sendiri.”

“Tidak itu tidak benar…” desahnya.

“Apanya yang tidak benar. Buktinya, Sandy pergi tanpa sepengetahuanmu. Dia sudah merencanakannya, jauh-jauh hari. Lalu, apa artinya ini?”

“Sandy hanya tak sempat memberitahuku saja. Dia pasti kembali, seperti kemarin,” Airin terus menjawab ejekan alter ego-nya seraya berjalan cepat.

Alter ego-nya tertawa. “Kamu yakin?”

Airin terdiam. Perempuan itu menghentikan langkah kaki seraya membekap mulutnya dengan telapak tangan. Air mata Airin mengalir tanpa henti. Ia menggeleng terus menerus. Berusaha mengingkari kenyataan.

“Lihat kedunguanmu, Airin! Sekali tidak berguna, kamu akan terus tidak berguna! Airin, lihatlah! Apa hebatnya kamu?”

Tubuh Airin bergetar, tangisnya semakin menjadi. Hingga ia merasakan ada beban berat menimpa kepalanya. Rasa sesak membuat perempuan berhidung bangir itu merasakan dunianya seolah hampa udara, lalu runtuh seketika.  Airin pun ambruk ke bumi. Ia jatuh tidak sadarkan diri.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kontroversi (78)

    Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat

  • Perempuan Kopi   Kepergian Moza (77)

    Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg

  • Perempuan Kopi   Kecemburuan Adrian (76)

    Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa

  • Perempuan Kopi   Hadirnya Amanda (75)

    Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kecelakaan (74)

    Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da

  • Perempuan Kopi   Kegusaran Alfian (73)

    “Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status