Share

Lelaki itu Pergi (3)

Airin memasuki sebuah kantor penerbitan. Disapanya beberapa staf yang nampak tidak asing baginya dengan ramah.

“Hai, Airy!” Seorang perempuan bertubuh gempal dengan kulit putih menghampirinya. Matanya nampak berbinar. Ada gurat bahagia yang terpancar di wajahnya tatkala perempuan bernama pena Airy itu datang.

“Hai, Juli.” Airin tersenyum melihat Juli yang terlihat berbeda dengan kamisol warna kuning gadingnya itu. “Wow, cantiknya…” puji Airin kepada sahabat sekaligus editornya itu.

“Ini kamisol baru, loh.” Juli tertawa seraya berputar. “Bagimana, cantikkan?”

“Warnanya cukup lembut. Dan, sangat pas dengan kulitmu,” ujar Airin. “Cantik sekali.” Airin mengacungkan jempolnya seraya berdecak.

“Cukup membahas kamisolnya, Ry. Aku ingin mengucapkan selamat dulu. Buku terakhirmu diminati banyak orang. Selamat, ya!” ujar Juli antusias.

Airin tersenyum. “Terima kasih, Juli. Kalau bukan berkat kejelianmu dan promosimu yang luar biasa, apalah arti buku-buku yang kutulis. Sekali lagi, terima kasih…”

“Ah! Itu bukanlah apa-apa Airin. Mengoreksi naskah adalah tugasku, tapi tetap saja ide keluar dari kepala penulisnya. You know, Ry, kamu penulis yang luar biasa, loh. Sebenarnya, enggak banyak editing yang kulakukan. Karena aku tidak menemukan kesalahan yang berarti dalam tulisanmu. Dan, aku melakukannya karena aku mencintaimu. Kamu tidak tahu, kan? Kalau aku adalah penikmat tulisanmu?”

Airin tertawa begitu pula Juli.

“Ayo, bereskan dulu tanda tanganmu. Aku sudah menumpuk semua bukunya di mejaku. Tapi, maaf, ya. Aku tidak bisa menemanimu, karena ada sedikit keperluan,” ujar Juli penuh penyesalan.

“Santailah. Bereskan urusanmu, Juli. Lain kali kita bisa ngobrol lagi, kan?”

Juli tersenyum, “Siap, Boss…”

Setelah kepergian Juli, Airin pun mulai menandatangani buku-buku yang tersusun rapi di atas meja kerja Juli, sahabat karibnya di masa kuliah dulu.

                                                                     ***

Di rumah Airin, Sandy tengah mengeluarkan seluruh pakaiannya dari dalam lemari dan memasukannya ke dalam koper besar berwarna navy. Ia pun membongkar tas tempat surat-surat berharganya disimpan. Membereskan minyak rambut dan parfum dari atas meja rias Airin dan memasukan semuanya ke dalam koper yang sama.

Setelah dirasa tak ada lagi barang yang tertinggal, Sandy mendudukan diri di tepi ranjang. Menatap dalam ke arah foto pernikahannya dengan Airin yang tergantung di dinding kamar. Airin tampak cantik dengan gaun putih berkerah victoria, berekor cukup panjang. Perempuan itu nampak seperti seorang Dewi Yunani kuno dengan paras jelitanya. Dan, Sandy serupa pangeran yang berhasil memenangkan hatinya.

Ah! Seandainya saja Airin bukanlah seorang bipolar, pasti Sandy tidak akan pernah berkeluh kesah pada Hanna, sahabatnya saat duduk di SMA dulu. Jika ia tidak pernah bertemu dengan Hanna pada reuni SMA setahun yang lalu, pastinya ia tidak akan pernah meninggalkan Airin karena sebuah tanggung jawab yang tidak sengaja dipikulnya. Mungkin ceritanya akan berbeda, seandainya Airin mau menemaninya di setiap acara reuni atau pertemuan-pertemuan resmi lainnya, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi. Sandy merasa kacau dengan keputusan yang harus diambil. Dan sialnya, pikirannya sendiri sedang tidak dapat diajak kompromi.

Pada akhirnya, dalam benak Sandy hanya dipenuhi oleh kata-kata ‘seandainya’. Seandainya…seandainya… dan seandainya. Ini bukan kesalahannya, Airinlah yang salah. Kenapa dia harus sakit? Kenapa perempuan itu acap kali membuatnya merasa tidak nyaman. Justifikasi demi justifikasi berkelindan. Semua kesalahan ini terjadi karena Airin. Hanna hanyalah korban dari keegoisan Sandy yang butuh tempat berbagi. Dan, Sandy hanyalah seorang laki-laki yang membutuhkan pemakluman. Karena ia cuma seorang laki-laki biasa yang ternyata tidak cukup kuat untuk menghadapi Airin beserta pernik-perniknya.

Sandy menarik napas panjang, setelah sekian lama jatuh dalam perenungannya sendiri. Ia tidak menyangka, pernikahan yang dibangun selama 8 tahun bersama Airin, kini harus berakhir dengan cara seperti ini. “Airin maafkan aku…” gumamnya.

Laki-laki itu pun bangkit lalu mulai berjalan keluar kamar. Menuruni anak tangga sembari membawa kopernya. Hari ini, dia memutuskan untuk keluar dari rumah yang dibangunnya bersama Airin. Dan, meninggalkan biduk rumah tangganya, tanpa tahu harus berkata apa pada perempuan penyuka blueberry itu.

Setelah memasukan kopernya ke dalam bagasi, kembali ia menatap rumah yang menyisakan banyak kenangan itu. Dering ponsel menyadarkan laki-laki berkulit putih yang tampak menarik dengan kaos polo hitamnya. Suara Hanna terdengar dari ujung sana, memintanya untuk segera menemui perempuan itu, karena ada beberapa hal yang harus dibereskannya. Dengan segera, Sandy pun melajukan kendaraannya keluar dari pekarangan rumah Airin menuju jalan besar.

***

Di tempat lain, Airin menghentikan aktivitasnya menandatangani buku. Ada rasa tidak nyaman menyeruak masuk dalam dada. Rasa yang menusuk hingga membuatnya sesak. Airin tertegun sesaat. Diusapnya dada kiri dengan tangan kanannya. Sembari berusaha mengatur napas secara perlahan hingga rasa itu lambat laun berkurang.

***

Airin kembali sekitar pukul lima sore, setelah mampir membeli camilan kesukaan Sandy serta beberapa bahan makanan yang digunakan untuk membuat makan malam. Rumah bergaya minimalis itu nampak sunyi. Ia menduga, mungkin Sandy masih sibuk di rumah sakit. Sambil membuka pintu, Airin coba menghubungi Sandy. Ia tertegun, mendengar pesan operator dari ujung sana “Nomor yang Anda tuju berada di luar service area”. Berkali-kali, Airin mengulangi panggilannya. Namun jawaban operator tetap sama.

Setelah meletakkan barang belanjaan di atas meja makan, perempuan itu pun menuju kamar untuk berganti pakaian. Ia terkesima melihat kondisi kamar yang tak biasa. Seprai yang bekas di duduki. Map-map yang keluar dari laci. Dan, perempuan itu pun tidak melihat barang-barang Sandy, seperti parfum maupun minyak rambutnya di atas meja rias. Dengan hati-hati, Airin Membuka pintu lemari pakaian. Ia pun tercengang. Tidak ada satu helai pun pakaian suaminya yang berada di sana. Perempuan itu menggigit bibir, menyadari bahwa ada sesuatu yang telah terjadi. Apakah itu artinya, Sandy telah menyerah untuk hidup bersamanya?

***

Di  depan pintu sebuah apartemen mewah, Sandy berdiri di sana, tanpa melakukan apa pun. Sebuah koper besar tegak di sampingnya. Beberapa kali, laki-laki itu nampak menghela napas panjang. Ingatannya tentang rumah dan Airin datang silih berganti.

“Ini salah…” gumamnya berkali-kali. Ia pun memutuskan untuk berbalik dari pintu yang semula akan dimasukinya.

“Sandy.” Sebuah suara serta merta membuatnya menghentikan langkah dan kembali berbalik. Hanna telah berdiri di ambang pintu seraya menatap ke arahnya.

Sandy tersenyum kikuk. “Han, kupikir kamu sedang tidak di rumah,” ujar Sandy beralasan.

Hanna menatap ke arah koper Sandy sekilas, lalu berujar, “Masuklah.”

Sandy mengikuti langkah perempuan itu. Memasuki satu ruang tamu dengan sofa berbahan beludru berwarna abu-abu. Laki-laki itu pun mendudukan diri di sana. Hanna keluar dari dapur membawa secangkir cappuccino. Lalu meletakannya di atas meja, di hadapan Sandy.

Tatkala menatap cangkir cappuccino di atas meja, laki-laki itu pun berujar,“Han… maaf, aku tidak minum kopi. Sudah dua tahun ini, lambungku bermasalah.”

“Oh, maaf. Aku tidak tahu. Biar aku ganti, ya?”

Sandy menggenggam tangan Hanna saat perempuan itu ingin menarik kembali cangkir cappuccino-nya. “Tidak perlu. Nanti saja…” ujar Sandy. Hanna pun duduk di sisinya.

“Aku memutuskan untuk meninggalkan Airin, Han. Tapi kupikir, ini pun akan menjadi satu kesalahan jika kita tinggal bersama.”

“Sampai kamu mendapatkan tempat tinggal, San. Bukankah kita sudah membicarakan ini?”

“Iya. Tapi, aku tidak bisa melakukannya.”

“Besok kamu mulai praktek di tempatku bekerja, kan? Setahuku, di sana ada flat buat karyawan. Jadi, anggap saja ini hanya untuk sementara. Lagi pula, kamu sendiri yang bilang, kalau kamu tidak punya tabungan lagi, kan? Semua asetmu atas nama Airin. Lalu, bagaimana caranya kamu bisa membayar rumah sewaan?”

Sandy terdiam.

“Sandy… aku khawatir denganmu. Sungguh, aku hanya ingin membuatmu merasa nyaman. Sudah cukup kamu memikirkan Airin hingga sebegitu menderitanya. Sekarang, kamu harus bisa memulai hidup baru tanpa Airin. Kita akan memulainya…”

Sandy menatap bola mata Hanna yang gelap. Perempuan itu kini berhasil menjeratnya. Dan, dia tak berdaya untuk menolak kehadirannya. “Ya Tuhan…”

***

Airin memasuki area rumah sakit tempat Sandy bekerja. Ia terlihat bingung. Celingukan kesana-kemari. Tanpa tahu apa yang harus dilakukannya. Ini adalah pertama kalinya, perempuan itu menginjakkan kaki di tempat suaminya bekerja. Seorang petugas keamanan menghampirinya.

“Maaf, Bu. Ada yang bisa saya bantu?”

“Hmmm… saya ingin bertemu dengan dokter Sandy. Tapi, saya ingin tahu, apakah hari ini, dia praktek?”

“Dokter Sandy? Wah! Maaf, Bu. Beliau sudah resign dari sini.”

Airin tercengang. “Apa! Se-sejak kapan, Pak?”

“Kira-kira, satu minggu yang lalu, Bu.”

Airin terhuyung. “Ya Tuhan…”

Airin merasakan ada yang nyeri dalam dadanya. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin, ia tidak tahu apa pun perihal suaminya.

“Apa ibu baik-baik saja?” tanya petugas keamanan, tatkala menatap wajah Airin yang nampak pucat.

“I-iya, Pak. Tidak apa-apa. Saya baik-baik saja,” ujar Airin. “Terima kasih…” lanjutnya lemah.

Airin berjalan gontai keluar dari area rumah sakit. Air matanya tumpah membanjiri pipi yang berkali-kali diusapnya dengan punggung tangan. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Rasa kecewa yang menggunung dan kegagalan menerornya sedemikan rupa. Alter egonya kembali mencibir, mengejeknya. “Aku tahu, cepat atau lambat Sandy akan pergi darimu. Karena kamu bukanlah perempuan yang bisa menarik perhatian laki-laki seperti Sandy. Perempuan lemah yang hanya sibuk dengan pikirannya sendiri.”

“Tidak itu tidak benar…” desahnya.

“Apanya yang tidak benar. Buktinya, Sandy pergi tanpa sepengetahuanmu. Dia sudah merencanakannya, jauh-jauh hari. Lalu, apa artinya ini?”

“Sandy hanya tak sempat memberitahuku saja. Dia pasti kembali, seperti kemarin,” Airin terus menjawabejekan alter egonya seraya berjalan cepat.

Alter ego-nya tertawa. “Kamu yakin?”

Airin terdiam. Perempuan itu menghentikan langkah kaki seraya membekap mulutnya dengan telapak tangan. Air mata Airin mengalir tanpa henti. Ia menggeleng terus menerus. Berusaha mengingkari kenyataan.

“Lihat kedunguanmu, Airin! Sekali tidak berguna, kamu akan terus tidak berguna! Airin, lihatlah! Apa hebatnya kamu?”

Tubuh Airin bergetar, tangisnya semakin menjadi. Hingga ia merasakan ada beban berat menimpa kepalanya. Rasa sesak membuat perempuan berhidung bangir itu merasakan dunianya seolah hampa udara, lalu runtuh seketika.  Airin pun ambruk ke bumi. Ia jatuh tidak sadarkan diri.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status