Share

Airin dan Mimpi Buruknya   (4)

Asap rokok mengepul memenuhi ruangan. Gelas-gelas sisa kopi berserakan di lantai. Airin terkapar di atas tempat tidurnya. Mata hitamnya menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Perempuan itu seolah-olah melihat masa depannya sendiri melalui langit-langit yang berhias bintang-bintang berbahan fosfor itu. Menyaksikan dunia yang dibangunnya runtuh tanpa mampu berbuat apa pun, bukanlah impiannya. Bahkan, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang berharap demikian.  Airin sama sekali tidak memiliki harapan untuk bertahan, dalam kemelutnya sendirian.

Kepergian Sandy menjadi puncak depresinya. Ia merasakan lelah yang teramat sangat. Sepulangnya menginap semalaman di rumah sakit, saat orang-orang menemukannya tidak sadarkan diri di jalan kemarin. Mereka pun memutuskan membawanya ke rumah sakit. Rasa lelah bukan hanya menyerang fisik Airin, tapi juga pikirannya.

Di atas pembaringan, Airin menarik napas panjang. Diangkat tangannya tinggi-tinggi. Mencoba menggapai udara kosong di hadapannya. Sedang satu tangan lainnya bermain dengan rokok yang terselip di antara jemarinya. Sesekali, asap rokok mengepul dari bibirnya yang pucat.

“Sandy pasti memiliki alasan yang cukup kuat untuk meninggalkanku…” desahnya. “Tapi, demi Tuhan. Aku membenci caranya meninggalkanku.”

Airin menutup wajahnya dengan telapak tangan. Kegagalan dalam membina hubungan rumah tangganya, membuat perempuan itu frustasi. Bukan hanya perasaan tidak berguna yang berkecamuk dalam palung batinnya, seperti apa yang diteriakkan oleh alter egonya. Namun, ia pun merasa menjadi perempuan yang begitu buruk.

“Cepat atau lambat, aku pasti menjadi gila…”

Perlahan, air matanya mengalir dari sudut netra. Slide demi slide perjalanan cintanya dengan Sandy dinampakkan seperti putaran film sinetron yang tak pernah ia ketahui siapakah pemeran protagonis maupun antagonisnya. Semua membaur. Sebab akibat itu terasa bagai neraka dunia. Hatinya sakit. Namun, ia tidak memiliki daya yang lebih besar dari menghabiskan putung demi putung rokok dan cangkir demi cangkir kafein. Bibirnya mulai merutuk. Tiap desahan amarah memuncak menjadi histeria. Ia kalap dengan hidupnya. Dengan dunianya yang asing.

“Aku membencimu, Tuhan,” desahnya sinis. “Sangat membenci-Mu.”

Ruangan itu berangsur-angsur terasa hening. Seolah ikut merasakan kesepian yang menjangkiti Airin.

“Coba lihat aku!” desahnya lagi kepada ruang kosong.

“Lihat aku, Tuhan! Apakah seperti ini takdir hidup yang harus aku jalani?”

Kembali Airin terdiam. Hingga napasnya mulai tersengal, karena diliputi amarah yang membuncah. Airin pun menjerit sejadi-jadinya. Lalu, tangis Airin pecah seketika. Rasa sesak menekan  dadanya sedemikian rupa. Airin membalikkan badan dengan kasar, lalu menekuk tubuhnya; menangis, hingga ia tertidur seperti bayi  selama 3 hari.

****

Di sebuah perkebunan apel tatkala matahari merangkak naik. Seorang bocah perempuan nampak berlari di antara pohon-pohon apel. Wajahnya yang jelita tampak sembab. Ia coba bersembunyi di antara sela-sela pohon apel. Namun, nampaknya semua usaha yang dilakukannya berakhir dengan sia-sia. Ketika matanya yang bulat menangkap satu sosok yang begitu ingin di hindarinya.

“Pulanglah. Bibimu sudah menunggu…” ujar laki-laki yang tengah berdiri terhuyung di hadapannya. “Ayo… cepat…”

Bacah perempuan itu menggeleng.

“Kenapa? Apa kamu takut?” tanya laki-laki di hadapannya.

Bocah perempuan itu beringsut mundur, sebelum dia coba melarikan diri kembali. Laki-laki itu telah menarik rambutnya yang panjang.

“Ayoo pulang, Airin !” laki-laki itu berteriak.

Airin memekik sekeras-kerasnya. Hingga ia pun membuka mata. Keringat dingin mengucur deras. Perempuan itu turun dari tempat tidurnya, lalu berlari ke kamar mandi. Memuntahkan semua isi perutnya ke dalam toilet, lalu terduduk dengan lemas di lantai kamar mandi. Bagaimana bisa, mimpi itu muncul kembali. Mimpi yang membongkar masa lalu Airin dan menjadi iblis penghuni pikirannya.

****

Di siang yang  cukup terik, Hanna bersama Sandy tengah menikmati makan siang di salah satu kafe tidak jauh dari tempat mereka bekerja.

“Bagaimana rasanya kerja di tempat baru?” tanya Hanna kepada Sandy sembari tersenyum.

“Menyenangkan. Aku tidak pernah membayangkan, kalau lingkungannya senyaman ini.”

Hanna tersenyum. “Oh iya, kudengar adikmu juga mengambil kedokteran, bukan?”

“Oh, Adrian. Iya.”

“Ah ya! Adrian. Aku  pernah sekali bertemu dengannya dulu.”

Sandy tersenyum.

“Seperti apa Adrian sekarang?” tanya Hanna.

“Adrian masih sama seperti dulu. Enggak ada yang berubah.”

Hanna tersenyum. “Kalau kamu mau, aku bisa mengusahakan Adrian untuk kerja di tempat kita. Siapa tahu, dia bisa lebih berkembang.”

Sandy nampak berpikir sebentar.

“Dia mengambil kedokteran apa?” tanya Hanna.

“Jiwa.”

“Wow! Bagus sekali. Kebetulan kita belum punya dokter psikiatri. Dokter yang pernah praktek di sini sudah lama pindah ke luar kota. Dan, kami belum dapat penggantinya.”

“Bagus sekali.”

Hanna tersenyum. “Katakan pada Adrian untuk mengirimkan berkas lamarannya, ya.”

Sandy tersenyum. “Aku akan coba tanyakan padanya dulu. Apa dia bersedia untuk pindah ke sini.”

“Ayolah, San. Aku pun ingin dekat dengannya,” ujar Hanna.

Sandy tersenyum. “Baiklah… aku akan coba bicarakan hal ini dengan Adrian.”

“Terima kasih,” Hanna tersenyum manis. “Hmm… bagaimana hubungan Adrian dan Airin?”

Sandy menatap Hanna sesaat, “Kupikir mereka telah lama lost kontak. Semenjak Adrian masuk asrama, setahuku Airin dan Adrian tidak pernah lagi berhubungan.”

Hanna manggut-manggut.

“Oh iya, Hanna,” Adrian berujar, “hari ini aku harus bertemu dengan seseorang di tempatku bekerja dulu. Ada sesuatu yang harus kuambil darinya.”

“Baiklah. Telpon aku setelah sampai rumah, ya?”

“Baik.”

****

Airin kembali berada di depan rumah sakit tempat Sandy pernah bekerja. Ia harus mendapat satu petunjuk tentang keberadaan suaminya. Ia duduk di hadapan seorang custumer service berusia sekitar 23 tahunan. Dia adalah seorang perempuan dengan blazer tosca dan scraf bercorak bunga dengan dasar orange menghiasi leher. Seragam itu terlihat begitu cantik membungkus tubuhnya.

“Maaf, Bu. Kami tidak bisa memberikan nomor telpon dokter Sandy tanpa seizin beliau,” ujar perempuan itu penuh penyesalan. Tatkala Airin meminta perempuan itu memberikan nomor kontak Sandy, suaminya.

“Saya hanya ingin menyocokan saja. Karena, saya kehilangan kontak dengan suami saya,” terang Airin.

“Maaf, Bu. Saya ingin sekali membantu. Tapi, peraturan melarang saya untuk melakukan itu. Mohon pengertiannya…”

Airin terdiam, matanya mulai berkaca-kaca.

“Apa Ibu tidak punya nomor kontak teman-temannya Dokter Sandy?”

Airin menggeleng.

“Baik. Terima kasih.” Setelah mengucapkan terima kasih, Airin berlalu dari hadapan perempuan yang menatap ke arahnya dengan prihatin. Karena memang Sandy sudah melarang para custumer service di rumah sakit tersebut membagikan kontaknya pada siapa saja, termasuk perempuan yang mengaku istrinya.

Tak lama Airin keluar dari lobi, Sandy muncul bersama Mario, sahabatnya.

“San, aku tetap menyarankan kamu menyelesaikan masalahmu dengan benar,” ujar Mario.

Sandy mengangguk. “Aku sedang memikirkanya, Yo. Hingga saat ini, aku bahkan tidak berani menemui Airin dan mengatakan segalanya.”

Nampaknya, Mario telah mengetahui perihal yang telah menimpa sahabatnya itu. Setelah Mario mendesak Sandy untuk menjelaskan alasannya mengganti nomor ponsel serta memutuskan resign secara tiba-tiba.

“Aku benar-benar menyesal, seharusnya aku mengetahui permasalahan yang menimpamu sejak awal.”

Sandy tersenyum. “Tidak apa, Mario. Aku yang salah. Seharusnya, aku berbagi denganmu. Nasi sudah menjadi bubur. Hanna membuatku terikat padanya. Aku tak bisa berbuat apa-apa, kecuali meninggalkan Airin.”

Mario menatap Sandy dalam. “Kuharap kamu segera menemukan solusi yang terbaik, San. Jangan sampai kamu menyesal.”

Sandy pun terdiam. “Bahkan, aku mulai menyesalinya…”

****

Airin masih berdiri di depan rumah sakit, di bawah sebuah halte bercat abu-abu. Perempuan itu nampak gelisah. Sampai suara ponselnya berdering.

“Ha-halo,” Airin berujar.

“Airin, kamu di mana?” suara Juli terdengar dari ujung sana.

“Juli…aku ada di depan rumah sakit tempat Sandy bekerja.”

“Apa yang kamu lakukan di sana, Airin? Apa kamu sakit?”

Airin menggeleng. “Juli…,” ujarnya kemudian. “A-aku bingung…” Airin menggigit bibirnya.

“Airin, ada apa?”

Airin tidak menjawab. Ia justru menangis. Tentu saja, hal tersebut membuat Juli panik.

“Airin,  tetap di sana.  Jangan kemana-mana, aku akan menjemputmu.”

Juli bergegas keluar dari ruang kerjanya. Ia merasakan sesuatu yang tidak beres tengah terjadi pada sahabatnya.

****

Airin masih duduk di bawah halte. Fokusnya terbagi, saat ia menangkap mobil yang biasa di gunakan Sandy keluar dari pintu pagar, dan masuk ke jalan besar.

“Kak Sandy…” desah Airin seraya bangkit dari duduknya.

“Kak Sandy! Kak…!” Airin berlari, berusaha mengejar mobil yang melaju kencang  melewatinya. Ia meyakini bahwa Sandy berada di dalam sana.

“Kak Sandy… Kak…!” Airin menyerukan nama Sandy sembari melambaikan tangan. Namun, mobil itu terus melaju. Hingga Airin pun terjatuh. Beberapa pengendara motor berhasil menghindarinya. Bahkan, sebagian dari mereka  memaki Airin yang tengah terduduk di trotoar seperti orang yang hilang ingatan.[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status