Home / Romansa / Perempuan Kopi / Airin dan Mimpi Buruknya   (4)

Share

Airin dan Mimpi Buruknya   (4)

last update Last Updated: 2021-08-17 21:35:20

Asap rokok mengepul memenuhi ruangan. Gelas-gelas sisa kopi berserakan di lantai. Airin terkapar di atas tempat tidurnya. Mata hitamnya menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Perempuan itu seolah-olah melihat masa depannya sendiri melalui langit-langit yang berhias bintang-bintang berbahan fosfor itu. Menyaksikan dunia yang dibangunnya runtuh tanpa mampu berbuat apa pun, bukanlah impiannya. Bahkan, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang berharap demikian.  Airin sama sekali tidak memiliki harapan untuk bertahan, dalam kemelutnya sendirian.

Kepergian Sandy menjadi puncak depresinya. Ia merasakan lelah yang teramat sangat. Sepulangnya menginap semalaman di rumah sakit, saat orang-orang menemukannya tidak sadarkan diri di jalan kemarin. Rasa lelah bukan hanya menyerang fisik Airin, tapi juga pikirannya.

Di atas pembaringan, Airin menarik napas panjang. Diangkat tangannya tinggi-tinggi. Mencoba menggapai udara kosong di hadapannya. Sedang satu tangan lainnya bermain dengan rokok yang terselip di antara jemarinya. Sesekali, asap rokok mengepul dari bibirnya yang pucat.

“Sandy pasti memiliki alasan yang cukup kuat untuk meninggalkanku…” desahnya. “Tapi, demi Tuhan. Aku membenci caranya meninggalkanku.”

Airin menutup wajahnya dengan telapak tangan. Kegagalan dalam membina hubungan rumah tangganya, membuat perempuan itu frustasi. Bukan hanya perasaan tidak berguna yang berkecamuk dalam palung batinnya, seperti apa yang diteriakkan oleh alter egonya. Namun, ia pun merasa menjadi perempuan sekaligus istri yang buruk.

“Cepat atau lambat, aku pasti menjadi gila…”

Perlahan, air matanya mengalir dari sudut netra. Slide demi slide perjalanan cintanya dengan Sandy dinampakkan seperti putaran film sinetron yang tidak pernah ia ketahui, siapakah pemeran protagonis maupun antagonisnya. Semua membaur. Sebab akibat itu terasa bagai neraka dunia. Hatinya sakit. Namun, ia tidak memiliki daya yang lebih besar dari menghabiskan putung demi putung rokok dan cangkir demi cangkir kafein. Bibirnya mulai merutuk. Tiap desahan amarah memuncak menjadi histeria. Ia kalap dengan hidupnya. Dengan dunianya yang asing.

“Aku membencimu, Tuhan,” desahnya sinis. “Sangat membenci-Mu.”

Ruangan itu berangsur-angsur terasa hening. Seolah ikut merasakan kesepian yang menjangkiti Airin.

“Coba lihat aku!” desahnya lagi kepada ruang kosong.

“Lihat aku, Tuhan! Apakah seperti ini takdir hidup yang harus aku jalani?”

Kembali Airin terdiam. Hingga napasnya mulai tersengal, karena diliputi amarah yang membuncah. Airin pun menjerit sejadi-jadinya. Lalu, tangis Airin pecah seketika. Rasa sesak menekan  dadanya sedemikian rupa. Airin membalikkan badan dengan kasar, lalu menekuk tubuhnya; menangis, hingga ia tertidur seperti bayi  selama 3 hari.

***

Di sebuah perkebunan apel tatkala matahari merangkak naik. Seorang bocah perempuan tampak berlari di antara pohon-pohon apel. Wajahnya yang jelita terlihat sembab. Ia coba bersembunyi di antara sela-sela pohon apel. Namun, sepertinya semua usaha yang dilakukannya berakhir dengan sia-sia. Tatkala matanya yang bulat menangkap satu sosok yang begitu ingin di hindarinya.

“Pulanglah. Bibimu sudah menunggu…” ujar laki-laki yang tengah berdiri terhuyung di hadapan bocah itu. “Ayo… cepat…”

Bacah perempuan itu menggeleng.

“Kenapa? Apa kamu takut?” tanya laki-laki di hadapannya.

Bocah perempuan itu beringsut mundur, sebelum dia coba melarikan diri kembali. Laki-laki itu telah menarik rambutnya yang panjang.

“Ayoo pulang, Airin !” laki-laki itu berteriak.

Airin memekik sekeras-kerasnya. Hingga ia pun membuka mata. Keringat dingin mengucur deras. Perempuan itu turun dari tempat tidurnya, lalu berlari ke kamar mandi. Memuntahkan semua isi perutnya ke dalam toilet, lalu terduduk dengan lemas di lantai kamar mandi. Bagaimana bisa, mimpi itu muncul kembali. Mimpi yang membongkar masa lalu Airin dan menjadi iblis penghuni pikirannya.

***

Di siang yang  cukup terik, Hanna bersama Sandy tengah menikmati makan siang di salah satu kafe tidak jauh dari tempat mereka bekerja.

“Bagaimana rasanya kerja di tempat baru?” tanya Hanna kepada Sandy sembari tersenyum.

“Menyenangkan. Aku tidak pernah membayangkan, kalau lingkungannya senyaman ini.”

Hanna tersenyum. “Oh iya, kudengar adikmu juga mengambil kedokteran, bukan?”

“Oh, Adrian. Iya.”

“Ah, ya! Adrian. Aku  pernah sekali bertemu dengannya dulu.”

Sandy tersenyum.

“Seperti apa Adrian sekarang?” tanya Hanna.

“Adrian masih sama seperti dulu. Nggak ada yang berubah.”

Hanna tersenyum. “Kalau kamu mau, aku bisa mengusahakan Adrian untuk kerja di tempat kita. Siapa tahu, dia bisa lebih berkembang.”

Sandy nampak berpikir sebentar.

“Dia mengambil kedokteran apa?” tanya Hanna.

“Jiwa.”

“Wow! Bagus sekali. Kebetulan kita belum punya dokter psikiatri. Dokter yang pernah praktek di sini sudah lama pindah ke luar kota. Dan, kami belum dapat penggantinya.”

“Bagus sekali.”

Hanna tersenyum. “Katakan pada Adrian untuk mengirimkan berkas lamarannya, ya.”

Sandy tersenyum. “Aku akan coba tanyakan padanya dulu. Apa dia bersedia untuk pindah ke sini.”

“Ayolah, San. Aku pun ingin dekat dengannya,” ujar Hanna.

Sandy tersenyum. “Baiklah… aku akan coba bicarakan hal ini dengan Adrian.”

“Terima kasih,” Hanna tersenyum manis. “Hmm… bagaimana hubungan Adrian dan Airin?”

Sandy menatap Hanna sesaat, “Kupikir mereka telah lama lost kontak. Semenjak Adrian masuk asrama, setahuku Airin dan Adrian tidak pernah lagi berhubungan.”

Hanna manggut-manggut.

“Oh iya, Hanna,” Sandy berujar, “hari ini aku harus bertemu dengan seseorang di tempatku bekerja dulu. Ada sesuatu yang harus kuambil darinya.”

“Baiklah. Telpon aku setelah sampai rumah, ya?”

“Baik.” Sandy tersenyum seraya menatap Hanna hangat.

***

Airin kembali berada di depan rumah sakit tempat Sandy pernah bekerja. Ia harus mendapat satu petunjuk tentang keberadaan suaminya. Ia duduk di hadapan seorang custumer service berusia sekitar 23 tahunan. Dia adalah seorang perempuan dengan blazer toska dan scraf bercorak bunga dengan dasar oranye menghiasi leher. Seragam itu terlihat begitu cantik membungkus tubuhnya.

“Maaf, Bu. Kami tidak bisa memberikan nomor telpon Dokter Sandy tanpa seizin beliau,” ujar perempuan itu penuh penyesalan. Tatkala Airin meminta perempuan itu memberikan nomor kontak Sandy, suaminya.

“Saya hanya ingin menyocokan saja. Karena, saya kehilangan kontak dengan suami saya,” terang Airin.

“Maaf, Bu. Saya ingin sekali membantu. Tapi, beliau melarang saya untuk melakukan itu. Mohon pengertiannya…”

“Tapi, saya istrinya, loh. Masa saya tidak bias mendapatkan kontak suami saya sendiri…”

“Kami minta maaf, Bu. Karena itu keinginan Dokter Sandy.”

Airin terdiam, matanya mulai berkaca-kaca.

“Apa Ibu tidak punya nomor kontak teman-temannya Dokter Sandy?”

Airin menggeleng. “Baik. Terima kasih.” Setelah mengucapkan terima kasih, Airin berlalu dari hadapan perempuan yang menatap ke arahnya dengan prihatin. Kalau bukan karena pesan Sandy untuk melarang para custumer service di rumah sakit tersebut membagikan kontaknya pada siapa saja, termasuk perempuan yang mengaku istrinya, pastilah dia sudah memberikan nomor yang diminta.

Tidak lama Airin keluar dari lobi, Sandy muncul bersama Mario, sahabatnya.

“San, aku tetap menyarankan kamu menyelesaikan masalahmu dengan benar,” ujar Mario.

Sandy mengangguk. “Aku sedang memikirkanya, Yo. Hingga saat ini, aku bahkan tidak berani menemui Airin dan mengatakan segalanya.”

Nampaknya, Mario telah mengetahui perihal yang telah menimpa sahabatnya itu. Setelah Mario mendesak Sandy untuk menjelaskan alasannya mengganti nomor ponsel serta memutuskan resign secara tiba-tiba.

“Aku benar-benar menyesal, seharusnya aku mengetahui permasalahan yang menimpamu sejak awal.”

Sandy tersenyum. “Tidak apa, Mario. Aku yang salah. Seharusnya, aku berbagi denganmu. Nasi sudah menjadi bubur. Hanna membuatku terikat padanya. Aku tak bisa berbuat apa-apa, kecuali meninggalkan Airin.”

Mario menatap Sandy dalam. “Kuharap kamu segera menemukan solusi yang terbaik, San. Jangan sampai kamu menyesal.”

Sandy pun terdiam. “Bahkan, aku mulai menyesalinya…”

***

Airin masih berdiri di depan rumah sakit, di bawah sebuah halte bercat abu-abu. Perempuan itu nampak gelisah. Sampai suara ponselnya berdering.

“Ha-halo,” Airin berujar.

“Airin, kamu di mana?” suara Juli terdengar dari ujung sana.

“Juli…aku ada di depan rumah sakit tempat Sandy bekerja.”

“Apa yang kamu lakukan di sana, Airin? Apa kamu sakit?”

Airin menggeleng. “Juli…,” ujarnya kemudian. “A-aku bingung…” Airin menggigit bibirnya.

“Airin, ada apa?”

Airin tidak menjawab. Ia justru menangis. Tentu saja, hal tersebut membuat Juli panik.

“Airin,  tetap di sana.  Jangan kemana-mana, aku akan menjemputmu.”

Juli bergegas keluar dari ruang kerjanya. Ia merasakan sesuatu yang tidak beres tengah terjadi pada sahabatnya.

***

Airin masih duduk di bawah halte. Fokusnya terbagi, saat ia menangkap mobil yang biasa di gunakan Sandy keluar dari pintu pagar, dan masuk ke jalan besar.

“Kak Sandy…” desah Airin seraya bangkit dari duduknya.

“Kak Sandy! Kak…!” Airin berlari, berusaha mengejar mobil yang melaju kencang  melewatinya. Ia meyakini bahwa Sandy berada di dalam sana.

“Kak Sandy… Kak…!” Airin menyerukan nama Sandy sembari melambaikan tangan. Namun, mobil itu terus melaju. Hingga Airin pun terjatuh. Beberapa pengendara motor berhasil menghindarinya. Bahkan, sebagian dari mereka  memaki Airin yang tengah terduduk di trotoar seperti orang yang hilang ingatan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kontroversi (78)

    Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat

  • Perempuan Kopi   Kepergian Moza (77)

    Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg

  • Perempuan Kopi   Kecemburuan Adrian (76)

    Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa

  • Perempuan Kopi   Hadirnya Amanda (75)

    Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kecelakaan (74)

    Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da

  • Perempuan Kopi   Kegusaran Alfian (73)

    “Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status