Share

Bab 10: Kita Hanya Pura-Pura Menikah

“Besok aku balik Bandung dulu, Lin.” Satya membuka pembicaraan setelah para tamu yang mengikuti pengajian hari ketujuh pulang. Jarum pendek jam di dinding menunjuk angka sepuluh.

Lintang yang tengah membereskan ruang tengah menghentikan pekerjaan. Ia mendekat dan duduk di dekat Satya. “Iya, Mas. Besok berangkat jam berapa?”

Satya menatap wajah Lintang yang terlihat lelah. Ada haru yang menyelusup ke relung hatinya. Meski diabaikan, Lintang tidak pernah menampakkan wajah tidak suka atau pun kecewa. Ia bahkan cukup cekatan mengurus semua keperluan pengajian sejak hari pertama hingga terakhir.

“Pesawat berangkat jam tujuh. Jadi aku berangkat setengah enam.”

“Aku siapkan baju-bajunya sekarang kalau gitu. Biar besok nggak terburu-buru.”

“Eh, nggak usah.” Refleks Satya meraih tangan Lintang yang baru saja bangkit dari duduk. Sesaat kedua pasang mata itu saling bersitatap. Dalam hati, Satya mengakui jika wajah Lintang memang tidak secantik Hanum, tetapi selalu menawarkan keteduhan.

“Aku bisa menyiapkan sendiri,” lanjutnya agak gugup. “Kamu istirahat saja. Kamu pasti lelah.”

Entah kenapa Satya merasa jantngnya berdetak lebih cepat ketika tatapan mata sebening telaga milik Lintang memindai tubuhnya. Namun, wajah Hanum yang berkelebat cepat di benak menormalkan kembali detak jantung Satya. Ia harus menjaga diri. Bagaimanapun juga ia sudah berjanji akan kembali kepada Hanum.

Lintang tersenyum. “Nggak, kok, Mas. Sudah jadi tanggung jawabku untuk menyiapkan keperluan Mas Satya.”

Jemari kokoh Satya kembali meraih tangan Lintang. “Nggak usah, Lin. Nanti aku beresin sendiri. Aku bukan anak mama yang semua keperluannya harus diurus orang lain.” Membiarkan Lintang membereskan pakaiannya sama saja membuka kesempatan mereka lebih dekat karena perempuan itu memasuki salah satu bagian privatnya dan Satya tidak mau itu terjadi. Ia harus menutup semua celah yang mampu menumbuhkan benih cinta di antara mereka.

“Oh, baiklah kalau begitu.” Meski senyum masih menetap di wajah Lintang, tetapi rasa kecewa diam-diam menggumpal di hatinya.

“Kapan kamu balik Jogja?” Satya mengalihkan pembicaraan.

“Kalau Mas Satya mengizinkan, besok aku balik Jogja,” jawab Lintang setelah kembali duduk di sofa.

Satya tersenyum. “Kenapa harus minta izin? Kamu bebas pergi ke mana pun. Jangan merasa terikat denganku.”

Ucapan Satnya seperti cubitan di hati Lintang. “Ya, aku, kan, istri Mas Satya. Kewajiban seorang istri untuk minta izin suami ke mana pun dia pergi. Jadi kalau terjadi apa-apa, meninggal misalnya, suami ridha.” Lintang berusaha menjawab pertanyaan Satya setenang mungkin.

Satya berjengit. “Kamu ngaco. Jangan ngomongin mati. Cukup aku kehilangan Bunda.”

“Ya, memang -- “

“Pokoknya jangan ngomongin soal mati. Titik!” potong Satya cepat.

Lintang menutup mulutnya. Sepasang mata bening miliknya menatap wajah Satya yang terlihat keruh. “Ma-maaf. Aku nggak bermaksud apa-apa.”

Satya mengganjur napas. “Aku yang minta maaf, Lin. Aku cuma nggak ingin ngomongin soal mati.” Ia menatap wajah Lintang yang menunduk. “Kamu boleh pergi ke mana pun tanpa minta izin kepadaku. Kita memang suami istri, tapi hanya sementara. Kamu tetap manusia bebas, tidak terikat. Tidak perlu bersusah payah meminta izinku, apalagi mengurus keperluanku.”

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
Sebal sama Satya nggak punya hati JAHAT
goodnovel comment avatar
SOMA Engkos
mU lanjutan nya tapi trkunci gi mna dong kelanjutan nya
goodnovel comment avatar
Junika Refiana
bgus tspiiii satsng terkunciiiiiii
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status