Share

Bab 5. Bersua Kembali

Rani baru selesai mandi pagi, bersiap membeli sarapan nasi uduk di warung depan. Saat sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Nampak seorang berjaket hitam keluar dari pintu mobil bagian kemudi.

"Assalamualaikum." Umar mengucap salam, begitu dilihatnya Rani termanggu di samping motornya.

"Waalaikumsalam, sepagi ini sudah sampai kemari, Mas Umar." Rani menelisik penampilan Umar dari atas hingga ujung kaki.

"Kemarin saat dihubungi tante Ilmi. Kebetulan ada kegiatan di daerah Bogor. Makanya langsung kemari."

"Oh, begitu. Tapi, maaf saya tidak bisa mempersilakan masuk. Karena mau pergi beli sarapan."

"Sekalian kalau gitu, aku dibelikan. Belum kemasukan nasi dari semalam."

Rani menganggukan kepala. Kemudian menyalakan motor meninggalkan Umar sendirian di teras rumahnya.

Tak sampai sepuluh menit. Rani telah kembali dengan membawa bungkusan kresek berisi nasi uduk untuk sarapan keduanya.

Sejenak Umar memperhatikan sekeliling.

"Kamu sendirian?"

Rani mengangguk. "Ayo silakan sarapannya. Maaf hanya ada air mineral. Gulanya habis, belum sempat beli." Disodorkannya piring berisi bungkusan nasi uduk serta sendok makan ke arah Umar. 

"Lha kamu mau kemana, Ran?" tanya Umar saat dilihatnya Rani hendak masuk ke dalam.

"Mau sarapan jugalah," sahut Rani.

"Hah? Kamu makan di dalam, aku di sini."

Rani kembali mengangguk. "Iya, terus kenapa? Minta ditemani makannya?"

"Serius, aku harus jawab pertanyaanmu." Umar menghembuskan napas kasar seraya menyandarkan bahu pada kursi.

"Aku itu pingin makan cepat, Mas Umar. Karena sebentar lagi harus ke rumah sakit. Kasih surat cuti. Nah, kalau kita makan barengan yakin aku bakalan lama karena diselingi ngobrol. Aku masih ingat kebiasaan Mas Umar kalau makan itu lama, ya karena sambil ngobrol. Padahal itu lo, enggak baik."

"Oke. Ngikut aja, apa kata tuan rumah. Lima menit, kamu dah siap, ya."

"Siap. Siapa takut," ucap Rani sebelum masuk ke dalam rumahnya. 

Sebuah koper sudah dia siapkan di samping pintu masuk rumahnya. Dirinya tadi sebenarnya bersiap pergi ke rumah sakit dulu. Karena dikiranya setelah Dzuhur Umar datang menjemputnya.

πŸ“πŸ“πŸ“πŸ“

Umar memasukkan koper Rani di bangku belakang mobilnya. Setelah itu, dia bukakan pintu depan untuk perempuan di samping mobilnya itu. 

"Aku duduk di depan, Mas?"

"Woiya jelas. Memang aku sopirmu, Ran!" jawab Umar dengan nada ketus.

"Biasa aja, kali jawabnya, Mas Umar bin Khatab," jawab Rani cenggegesan.

Asli pria di sampingnya pingin banget menjitaknya. Kalau bukan demi tantenya. Sayang banget dia pergi tinggalkan hangout bareng teman-temannya.

Setelah Rani masuk, Umar berlari kecil mengitari mobilnya untuk masuk di belakang kemudi.

Hal yang mengagetkan Rani, saat Umar tiba-tiba mendekatkan tubuhnya. Langsung saja ia dorong dada pria itu hingga tubuhnya terhenyak ke daun kursi. Tidak sampai di situ, refleks jemari tangannya mencengkram leher Umar.

β€œJangan macam-macam!” Rani memperingatkan sambil menatap wajah Umar dengan tajam.

β€œA ... aku hanya ingin memakaikanmu sabuk pengaman. Itu saja.”

Rani melepaskan cengkeramannya Umar bernapas lega. β€œSadis amat. Memang kau pikir aku mau ngapain tadi?”

Rani diam saja, sibuk memakai sabuk pengaman. β€œAku bisa sendiri. Ingat! Jangan ulangi hal seperti tadi, meskipun jujur aku tidak tahu pasti. Maksud Mas Umar tadi apa, maaf."

"It's okey! Aku juga minta maaf soal tadi," ucap Umar seraya tersenyum simpul. Niat hati ingin membuat lawan baper yang terjadi diluar prediksinya. 

πŸ“πŸ“πŸ“πŸ“

Dua jam kemudian. Mobil Umar sudah memasuki gerbang perumahan elit tempat tinggal Bu Ilmi sekeluarga.

Rani langsung disambut sendiri oleh Bu Ilmi. Dia ditempatkan di kamar tamu lantai bawah. 

"Terimakasih sudah datang ke rumah ini, Rani. Pasti Felliana sangat bahagia melihat kedatanganmu. Sudah setahun lebih kalian tidak bersua."

Bu Ilmi menuntun Rani ke ruang bermain anak-anak. "Kau bahkan belum pernah ketemu langsung dengan Ryan, suami Felliana yang sekarang. Mama ingat dulu, kamu tidak bisa menghadiri pesta pernikahan mereka. Empat tahun yang lalu. Lihatlah kedua ponakanmu itu, lucu sekali 'kan mereka berdua?"

"Iya, Ma. Lucu sekali mereka berdua." Tanpa sadar Rani mencium pipi Fathiya. Bayi itu mengarahkan tangan minta digendong olehnya. Wajah Fathiya merupakan duplikat dari papanya, Ryan Edogawa.

"Fathiya ini, dah kelihatan pemberani. Sama siapa saja, dia tidak nangis bahkan terkesan murah senyum. Beda dengan kakaknya Fatih. Kalau belum pernah ketemu, akan menangis dianya. Dan tidak mudah akrab juga. Tiap ketemu Umar pasti takut dianya. Tapi, sama kamu kok cuma dilihati dan bengong gitu, ya. Kayak ingin digendong juga."

"Oh, mau digendong tante juga, sini." Rani menunduk mengambil Fatih untuk digendong di pinggang kanannya. Karena Fathiya sudah nyaman berada di gendongan lengan kirinya.

"Oiya, bagaimana kabar Mama. Tadi mas Umar cerita, Mama sakit."

"Biasalah, Ran. Mama mengalami anemia. Sepertinya mama banyak yang dipikirkan akhir-akhir ini." Felliana menjawab pertanyaan Rani. Dia tiba-tiba muncul dari arah belakangnya.

"Memang Mama mikirin apa sih," goda Rani kemudian. "Orang tinggalnya ditemani anak dan juga banyak cucu gini. Kalau Mama tinggal sendirian. Barulah percaya, banyak pikiran."

"Entahlah, Ran. Kalau Mama sakit, kakak jadi merasa bersalah. Sepulang dari Bogor kemarin, sempat lemas gitu di jalan. Kayak mau pingsan, bilangnya Umar."

Felliana beralih memegang kedua bahu mamanya. "Menurut dokter Sonia tubuh Mama kekurangan sel darah merah yang sehat atau sel darah merahnya tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya, organ dalam tubuh tidak mendapat cukup oksigen dan tidak berfungsi secara normal. Kebetulan kakak, tadi malam baru sampai rumah. Tiga hari ada diklat di Bandung."

Rani hanya tersenyum tipis. Melihat wajah Felliana yang sumringah membuatnya berfikir, apakah benar yang dikatakan Bu Ilmi bahwa kakak angkatnya itu sedang sakit.

"Sudahlah. Yang penting Rani, sudah datang kemari. Kamu langsung mengajukan resign 'kan, Nak?" pertanyaan Bu Ilmi membuat Rani menghela napasnya.

Diturunkan Fathiya dan Fatih dari gendongannya. Kemudian memberikan pada kedua baby sitter yang menghampiri si kembar dengan masing-masing membawa botol susu di tangan kanan mereka.

"Rani hanya cuti seminggu, Tante," jawab Umar yang duduk di sofa belakang. Sedari tadi ia asyik dengan gawai di tangannya. 

"Benar begitu, Ran? Mama kira kamu datang kemari sudah resign. Toh, kampus Leo juga enggak seberapa jauh dari sini. Kalian bisa tinggal di sini." 

Rani mencoba tersenyum. Andai Bu Ilmi tahu kesulitan terbesar ia tinggal serumah dengannya adalah karena keberadaan menantunya. 

"Assalamualaikum," salam dari seorang dari arah ruang tamu. Suara yang masih dihafal hingga saat ini. Dan sosok itu, hanya beberapa langkah berada di belakangnya.

"Lho, Papa jam segini kok sudah pulang? Anida enggak telat kan, tadi." Felliana menghampiri Ryan.

"Iya. Habis ngantar Anida tadi, Papa langsung meeting diluar bareng Rayyan. Ini sengaja pulang untuk makan siang bareng Bunda," jawab Ryan menerima uluran tangan istrinya.

Ia kecup kening Felliana dengan lembut. "Siapa, Bund?" tanya Ryan seraya mengarahkan dagu pada Rani yang berdiri membelakangi dirinya.

"Oh, iya kalian belum pernah ketemu ya ... Dia Rani, adik angkat bunda. Dulu dialah yang merawat mama saat stroke."

Keterangan dari Felliana membuat Ryan mengangguk seraya menyipitkan matanya. "Rani ...." gumamnya. 

Seolah ada panggilan yang mengharuskan tubuh Rani berbalik 180Β°. Waktu seolah berhenti saat kedua bersitatap. Pandangan mata saling mengunci untuk beberapa saat.

"Mas Ryan. Akhirnya kita bersua, karena tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuk menghindari pertemuan ini."

☘☘Next ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status