Share

Bab 4. Tolong Mama

Author: Rumi Cr
last update Last Updated: 2023-06-22 20:48:39

-Perempuan Pilihan Istriku-

Bab 4. Tolong Mama

"Waalaikumsalam. Bagaimana kabarmu, Nak. baik-baik saja 'kan? Nomermu sudah tidak bisa Mama hubungi. Terakhir komunikasi kita, saat kau kirimkan foto wisudamu tahun lalu," ujar wanita anggun itu.

"Alhamdulillah kabar kami berdua baik, Ma," jawab Rani seraya mengeluarkan kunci untuk membuka pintu rumahnya. "Mari, silakan masuk, Ma ... Mas." Rani mempersilakan Bu Ilmi masuk ke dalam rumah begitu pintu ia buka dengan sempurna.

Bu Ilmi mengajak keponakan masuk ke rumah Rani. Si empunya rumah bergegas ke dapur menghidupkan kompor membuatkan minuman untuk kedua tamunya. 

"Silakan diminum, Ma ... Mas. Maaf? Kalau tidak salah Mas ini, Pamannya Anida bukan," tebak Rani tahu dengan ingatannya. 

"Iya, dia Umar. Adiknya Aziz, papa Anida." Bu Ilmi meraih lengan Rani. Memintanya untuk duduk di sampingnya. "Mama kangen sekali denganmu, Rani. Padahal jarak Bogor-Jakarta tidaklah berhari-hari di tempuh. Apa, memang harus Mama yang menjengukmu kemari," sindir Bu Ilmi tersenyum simpul.

"Maaf, bila saya tidak pernah berkirim kabar selama ini. Nomer kemarin sengaja tidak saya pakai lagi, Mama Ilmi."

Bu Ilmi membahasakan dirinya 'Mama', karena Ranilah yang merawat dirinya saat sakit stroke hingga sehat kembali. Selama dua tahun Rani bekerja di rumah Bu Ilmi merawatnya, ketika itu dirinya barusan lulus dari SMK.

Setelah sembuh, Bu Ilmi menganggap Rani dan Leo bagian dari keluarganya sendiri. Rani diminta melanjutkan sekolah lagi. Demikian juga adiknya Rani, Leo. Beliau yang mengkuliahkan kakak-beradik itu hingga kini.

"Sekarang kamu bekerja dimana?"

"Di rumah sakit Muslimat, Ma."

"Andai mama memintamu, ikut ke rumah. Apakah kamu bersedia, Ran?"

Rani terhenyak dengan permintaan Bu Ilmi. Salah satu alasan dia menganti nomernya adalah tidak ingin terhubung atau berjumpa lagi dengan bagian dari masa lalunya.

"Maaf, Ma. Kenapa saya harus ikut ke rumah, Mama?" Rani memberanikan diri untuk bertanya.

"Kakakmu, Felliana saat ini sedang sakit. Mama ingin memintamu untuk merawat kedua anaknya yang masih kecil, Ran."

Rani mengernyit, berusaha memahami permintaan Bu Ilmi. Menurutnya aneh, Bu Ilmi meminta dirinya merawat cucu-cucunya. Sementara keluarga mereka pasti gampang saja membayar baby sitter untuk merawat anak dari dokter Felliana tersebut.

"Maaf, Rani tidak bisa menjawab sekarang, Ma. Saya perlu berbicara dengan Leo. Selain itu, saya terikat kontrak di rumah sakit Muslimat."

"Iyalah. Besar harapan mama kamu bisa menolong kami kali ini."

Rani tersenyum seraya menganggukan kepala. "InsyaaAllah, Ma ... selagi bisa Rani akan upayakan. Mengingat Mama orang yang berjasa untuk hidup kami berdua, sepeninggal bapak."

Bu Ilmi tersenyum menanggapi ucapan Rani. Bukan maksud hatinya meminta balas jasa atas kebaikannya pada Rani dan adiknya. Namun, saat mengetahui sakit putrinya. Bayangan Ranilah yang terlintas untuk merawat kedua cucunya. Ketulusan Rani dalam merawatnya selama sakit dulu. Yang membuat Bu Ilmi meminta Rani merawat kembar. 

๐ŸŒด๐ŸŒด๐ŸŒด

Dua hari kemudian, saat adiknya Leo menghubungi dirinya. Rani bercerita mengenai kedatangan Bu Ilmi ke rumah mereka tempo hari.

"Bagaimana menurutmu Leo, apakah kakak harus ke Jakarta memenuhi permintaan Mama Ilmi." Rani meminta pendapat pada adiknya melalui vcall.

"Kalau aku senyamannya Kak Rani saja. Pastikan kuat bertemu Mas Ryan. Syukur-syukur sudah move on darinya," ujar Leo menasehatinya.

"Apaan sih, kamu Leo. Pakai acara move on. Kakak sama Mas Ryan enggak pernah ada hubungan, Leo."

"Iya, memang enggak ada. Tapi aslinya kalian saling suka 'kan? Mas Ryan begitu frustasi saat Kakak nolak, diajak nikah waktu itu. Padahal Mas Ryan 'kan ingin mengantikan tanggung jawab bapak. Setelah bapak tiada. Kak Rani malah menolaknya mentah-mentah."

"Sudah. Jangan dibahas lagi itu. Lagian Kak Felliana dan Mas Ryan adalah pasangan yang serasi dan sekufu." Kata terakhir menyisakan senyum getir pada ekspresi wajah Rani.

Leo memandang kakaknya yang mulai berkaca. Sebenarnya Leo sendiri juga belum paham alasan Rani menolak lamaran Ryan waktu itu. Setiap ditanya alasannya, sang kakak hanya menggelengkan kepala.

"Menurutku, Kakak pergi saja ke rumah Mama Ilmi. Minta cuti seminggu, silaturahmi menenggok kak Felliana. Sakit apa sebenarnya, sampai mama Ilmi ke rumah mencari kakak. Bisa saja 'kan. Beliau kirim orang untuk datang ke rumah kita."

Rani terdiam. Yang dikatakan adiknya semuanya tepat. Egois dan tidak tahu diri sekali, kalau sampai ia tidak memenuhi permintaan Bu Ilmi untuk sekedar mengunjungi ibu angkatnya itu.

"Ya udah, besok kakak mau minta Dian gantiin piket dulu. Dah, bersiaplah pergi bimbingan terakhirmu, Leo. Kakak doakan lancar. Tahun ini bisa ikutan wisuda."

Pembicaraan keduanya berakhir setelah saling berbalas salam. Rani berguling ke kanan hingga berada di pinggir ranjang. Tangannya meraih laci meja belajarnya. Dia mengambil album foto kenangan bersama bapaknya saat masih mengajar bela diri di sanggar. 

Diambilnya salah satu foto. Ia menatap salah satu foto favoritnya. Dimana ia menjuarai turnamen bela diri. Dirinya berpose di tengah memamerkan mendali dan piala. Di samping kiri-kanannya ada Ryan dan Radit. Sedangkan bapaknya tepat berada di belakangnya. Kedua tangan Pak Bagas merangkul bahu Ryan dan Radit.

Seakrab itu mereka saat itu. Dirinya amat dijaga murid bapaknya yang belajar di Sanggar. Terutama Radit dan Ryan. Selain keduanya sahabat sekolah dari SMA hingga kuliah, mungkin juga hingga saat ini.

"Bagaimana caraku, menghilangkan dirimu dari hatiku, Mas Ryan. Sekian lama menjauh dan menghindar. Kenapa takdir harus mempertemukan kita kembali." Rani memejamkan matanya nampak bulir bening berjatuhan dari kedua matanya.

Lima tahun yang lalu

"Jauhi kakakku Ryan. Kamu tidak pantas bersanding dengannya. Dasar gadis miskin, tidak tahu diri!" bentak Lucia, putri dari ibu tiri Ryan.

"Lihat kakakmu itu. Kami tidak ingin ada keturunan kami bernasib seperti dia," imbuh Bu Neli, ibu tiri Ryan. Ia memandang jijik ke arah Sigit, kakak sulung Rani. 

Ketika bayi, Sigit mengalami demam tinggi, hingga kejang. Karena tidak ketahuan ibunya, ia diurutkan. Hingga menyebabkan kelumpuhan pada kakinya, keterbelakangan mental, mata kirinya juling dan kedua tangannya selalu bergetar (tremor).

Teringat hinaan dari ibu tiri dan adik Ryan membuat Rani menghela nafas beratnya. Mereka datang menghina dan memaki dirinya, sehari setelah Ryan datang melamarnya. Tepat 40 hari setelah kepergian Pak Bagas.

"Kalian berdua segera enyah dari sini. Sebelum habis kesabaran saya. Jangan khawatir, saya juga tidak sudi menjadi menantu Anda. Camkan ini, kakak saya yang kalian hina. Tiada mendapat hisab dari Allah karena dia tidak memiliki dosa seperti kalian. Pergi!" teriak Rani mengusir keduanya waktu itu.

"Dasar gadis kere! Seenaknya mau numpang hidup pada Ryan. Awas saja, sampai kutahu kalian bertemu lagi. Akan kusuruh orang membakar rumahmu. Biar kalian jadi pengemis di jalanan." 

Sebuah notifikasi pesan w******p masuk dalam ponsel Rani. Memutuskan ingatan buruknya di masa lalu.

[Aku besok, diminta Tante Ilmi menjemputmu. Bersiaplah. Umar]

โ˜˜โ˜˜Next ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Pilihan Istriku ย ย ย Takdir Yang Tertulis (Ending)

    "Eh Paman, serius dengan perjodohan ini. Ntu sekalinya betulan ABG. Baru masuk kelas 12. Hari ini dilamar, baru nikahnya tahun depan gitu," ucap Anida melirik ke arah pamannya. "Mana, Paman tahu." Umar menatap lekat Denok yang berjalan di depan mereka.Setelah menaruh barang bawaan mereka. Anida menghampiri Denok meminta izin untuk ke belakang."Paman tungguin ya, sekalian ajak pedekate calon bibiku." Kerling Anida sebelum berlalu. Ingin rasanya Umar menjitak anak semata wayang kakaknya itu.Denok mengangguk sopan berjalan ke arah Umar. Gadis basa-basi menyapa sebelum berlalu meninggalkan kedua tamu."Maaf, saya tinggal masuk dulu ya, Mas. Mau bantu nyiapin makan siang." Pamit Denok ketika akan melewati Umar."Tunggu!" cegah Umar.Denok berhenti sekitar tiga langkah dari Umar."Iya, Mas."HuufftsUmar menghembuskan nafas, untuk mengurangi sesak di dadanya sedari tadi."Maaf sebelumnya, tapi saya harus mengatakan ini. Saya pribadi keberatan dengan perjodohan ini. Beberapa minggu yang

  • Perempuan Pilihan Istriku ย ย ย 32. Takdir Yang Tertulis (1)

    Peri menatap nanar map di atas meja tamu kediaman Umi Hanifah. Angan yang dia harapkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang didengarnya barusan.Barusan Umi Hanifah menyampaikan, proses ta'aruf antara dirinya dan Umar ada kemungkinan tidak bisa dilanjutkan.Umar sebelum bertemu dengan Peri, telah bercerita semuanya dengan Ustad Mukhlis, alasan tidak dapat melanjutkan ta'aruf. Bahwa dia dijodohkan dengan anak sahabat bapaknya. Dirinya tidak dilibatkan, dengan kata lain dia tidak mengetahui perihal perjodohan ini."Maaf, tidak ada maksud saya mempermainkan perasaan anti, Ukh .... " ucap Umar sebelum beranjak meninggalkan ruang tamu kediaman ustadzah Hanifah."Tak mengapa, Akh ... semoga kita berdua dipertemukan dengan jodoh terbaik," balas Peri lirih. Umi Hanifah selaku murabbi Peri, sekaligus kepala sekolah TA Al Furqon itu mengelus punggung binaannya seraya memberi dukungan untuk sabar dan ikhlas."Aamiin."Dengan perasaan bersalah, Umar menatap getir ke arah perempuan yang ta

  • Perempuan Pilihan Istriku ย ย ย 31. Ta'aruf

    Tiga tahun kemudian "Papa, berangkat dulu ya, Farraz. Baik-baik sama Mama." Ryan menciumi wajah batita dalam gendongannya. Bocah yang sebentar lagi menjadi kakak itu, terkekeh geli dengan ulah papanya. Farraz Putra Edogawa, putra ketiga Ryan."Mas sudah bikinkan janji periksa untuk nanti sore. Semoga dedeknya enggak malu lagi, dilihat identitinya." Ryan beralih mencium kening Rani. Istrinya itu tersenyum seraya mengangsurkan tas kerja milik suaminya."Iya, Mas. Hati-hati bawa mobilnya, ya," balas Rani meraih tangan kanan suaminya untuk salim lantas diciumnya dengan takzim."Mas jadi pingin makan rujak, ya," ujar Ryan sembari mengecap dan mendesis mirip ekspresi orang makan rujak manis, asam, pedas.Rani tertawa geli melihat ekspresi suaminya. Diraihnya tubuh Farraz dari gendongan Ryan. Kemudian menggendong putranya itu, di sisi pinggang kanan."Assalamualaikum," sapa Tamara mengandeng bocah sepantaran Farraz. Disusul Radit dibelakang mereka berdua."Dari bangun Subuh tadi. Sudah heb

  • Perempuan Pilihan Istriku ย ย ย 30. Lembaran Baru

    "Sungguh aku iri padamu. Ingin aku menggantikan posisimu sekarang. Dan itu tidak akan terwujud kalau kau masih bernyawa, Rani."Setelah berkata demikian Lucia bangkit dari duduknya menerjang tubuh Rani. Hingga keduanya terjatuh ke karpet. Lucia berada di atas tubuh Rani."Kalau gagal membunuhmu dengan tangan orang lain. Mungkin sudah saatnya kau mati di tanganku sendiri." Lucia mencekik kuat leher Rani dengan kedua tangannya.Rani yang tidak menyangka akan diserang demikian. Napasnya tersenggal, lidahnya hampir terjulur.Hingga"Anak kurang ajar!" teriak seseorang yang membuat Lucia merenggangkan cekikannya.Kepala wanita itu dihantam sekuat tenaga oleh tas yang dibawa seseorang yang terlihat samar oleh penglihatan Rani. Namun, ia hafal suara sosok yang datang menyelamatkannya barusan."Kak Rani!" seru Aida panik. Sepupu Lucia itu menghampiri Rani yang terbaik berkali-kali dengan nafas terengah-engah."Nenek pastikan kali ini, kamu meringkuk dalam penjara, Lucia." Bu Dewi memukulkan t

  • Perempuan Pilihan Istriku ย ย ย 29. Benang Merah

    Hari ketiga dirawat di rumah sakit. Rani meminta Ryan untuk menguruskan kepulangan. Ia sudah merindukan kedua anak mereka."Mas tidak berani memutuskan sendiri. Kita tunggu apa kata dokter. Setelah itu pertimbangan dari mama Ilmi.""Kurasa aku sudah cukup istirahatnya, Mas. Di sini aku tak melakukan aktivitas apapun. Nanti Mas Ryan bantu aku ngomong sama Mama, ya."Rani merasa kesehatannya telah pulih, kondisi badannya kembali fit pasca keguguran. Di rumah sakit dirinya memang dia diperbolehkan beraktivitas berlebihan. Kondisinya pun terus mendapat pantauan langsung dari dokter kandungan."Mau ke rumah kita atau tetap ke rumah mama Ilmi?" tanya Ryan seraya membelai pipi wanitanya itu."Senyamannya Mas Ryan saja. Aku ikut.""Kalau pemeriksaan dokter menyatakan sudah pulih. Kita pulang ke rumah kita saja, ya.""Hu um." Rani mengangguk seraya tersenyum menatap pria di depannya itu."Sayang, Mas tanya sekali lagi. Benar, kamu tidak mau mengusut kasus ini. Atau sebenarnya kamu sudah tahu.

  • Perempuan Pilihan Istriku ย ย ย 28. Mengikhlaskan

    Laksman tidak membawa mobil ke area parkir klinik melainkan putar balik ke tempat dia berjumpa dengan Leo menggendong kakaknya tadi. Dia masih berharap apa yang didengar tadi tidaklah benar. Tanpa sengaja dia mendengar instruksi kakaknya dengan seseorang di telepon, yang mengarah pada tindakan kriminal.Saat pandangan Laksman menemukan sebuah gudang tua. Ia memelankan laju mobil Tamara hingga berhenti di samping Jeep milik kedua preman yang dihajar oleh Leo tadi.Laksman bergegas masuk ke dalam gudang, yang pintunya telah dirusak oleh Leo tadi. Begitu memasuki gudang, dia menghampiri dua preman yang masih tak bergerak. Keduanya tergeletak di lantai penuh dengan luka.Dengan langkah berhati-hati ia mendekati kedua preman itu. Ragu, apakah kedua preman dalam keadaan sadar atau pingsan, Laksman mengoyangkan salah satu kaki preman dengan kaki kanannya.Pemuda itu terjingkat, ketika terdengar dering ponsel dari saku celana preman sebelah kiri kakinya. Laksman bergegas mengambil ponsel itu,

  • Perempuan Pilihan Istriku ย ย ย 27. Tunas Yang Terenggut

    Rani terkesima begitu tiba di rumah Pak Faiz suasana sangat rame. Setelah sungkeman secara singkat tadi. Dirinya permisi membawa kembar ke taman belakang. Ditemani Aida menjaga Fathiya dan Fatih dirinya bisa bercengkrama dengan kerabat Ryan secara lebih dekat.Lucia dan ibunya hanya memperhatikan Rani dengan tatapan tak suka dari tempatnya menikmati hidangan yang ditata secara prasmanan itu. "Ma ... harusnya aku yang duduk disana. Disapa dan disambut ramah sebagai istri mas Ryan. Bukan perempuan itu. Beruntung sekali dirinya dipungut anak oleh Bu Ilmi. Jadi, bisa menggantikan posisi dokter Felliana menjadi ibu untuk anaknya mas Ryan.""Sudahlah, Lucia. Mama sadar sekarang, sesuatu yang dipaksakan itu ... tak akan pernah baik akhirnya. Benar kata nenekmu, kalau dasarnya jodoh. Mau dipisahkan kayak manapun. Akhirnya bersatu juga. Itu, yang bisa mama lihat dari Ryan dan Rani.Lihatlah kembar juga nyaman dengan perempuan itu. Dulu mungkin, Ryan ingin menikah dengan gadis yang dicintai. N

  • Perempuan Pilihan Istriku ย ย ย 26. Gemuruh

    Acara buka bersama dalam rangka tasyakuran atas penikahan Radit-Tamara berjalan lancar di kediaman keluarga Ardiansyah, Bogor. Acara yang dihadiri kerabat dan tetangga sekitar rumah itu, cukup meriah.Ketika acara berbuka telah usai. Pembawa acara mengarahkan tamu undangan untuk melaksanakan salat Tarawih di masjid komplek perumahan Seroja. Ada sebagian yang memilih langsung pulang ada yang melaksanakan salat Tarawih di sana.Setelah semua orang kembali ke rumah masing-masing, Radit pun mengajak Tamara masuk ke kamarnya."Tadi sebelum berangkat, Mas lihat rambutnya basah. Sudah suci rupanya." Radit hanya memastikan saja, padahal dia tadi melihat istrinya salat Maghrib juga ikutan jamaah Tarawih dengan rombongan keluarganya."Hmm ...."Tamara menjawab dengan gumaman. Radit tersenyum, langsung memeluk tubuh istrinya itu. "Ya, sudah. Mas siap-siap dulu ya, Sayang.""Siap-siap mau kemana?""Membawamu ke nirwana."Jawaban dari Radit tak urung membuat Tamara memutar bola matanya.Radit terk

  • Perempuan Pilihan Istriku ย ย ย 25. Endingnya Ikrar

    "Jam berapa, rombongan Radit datang, Kak?" tanya Bu Syarifah pada Tamara yang duduk dengan gelisah."Harusnya sudah sampai ini, Mam. Apa terjebak mancet, ya. Pesanku belum dibacanya juga," jawab Tamara dengan wajah gelisah. Wanita itu tampil sempurna dengan setelan kebaya berwarna pink rose. Senada dengan gamis yang dikenakan mama, Aida dan Aisha.Bu Syarifah menepuk pundak putri sulungnya. "Ya, sudah. Kayaknya terjebak macet, Sayang.""Semoga kalaupun iya, enggak lama terjebak macetnya. Papa juga kenapa pakai pasang tenda undang semua warga komplek, kalau mas Radit enggak jadi datang. Apa enggak malu, kitanya," sungut Tamara kemudian.Karena hampir setengah jam dari waktu yang diperkirakan kedatangan rombongan Radit. Sosok pria itu belum juga nampak."Astaghfirullahal'azim, Nak. Kok malah nyumpahin diri sendiri gitu, sih. Enggak baik itu. Mama yakin Radit bukan orang seperti itu. Papa menyiapkan ini semua karena sudah dibicarakan dengan Radit juga orang tuanya.""Ya, kalau enggak jad

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status