Part 7
"Kau yakin, Mas? Tapi ada nama kamu di nota baju ini. Kamu belikan dress seksi ini buat siapa, Mas?"Deg! Pertanyaan Wulan sungguh membuatku terkejut dan shock. Astaga! Bisa-bisanya Melinda salah ambil tas belanja. Sebisa mungkin aku beralasan agar Wulan tak curiga.Entah setelah kepulanganku dari kampung halaman sikap Wulan sedikit berbeda, dia sering kali menyindirku. Disengaja maupun kebetulan akupun tak tahu. Tapi mulai sekarang aku harus lebih berhati-hati. Aku tak ingin hubunganku dengan Melinda diketahui olehnya. Wulan pasti akan sangat kecewa padaku.Gegas aku masuk ke dalam mobil, tujuanku? Tentu rumah Melinda. Melinda kuboyong ke kota ini, jadi jika aku pulang dan ingin melihatnya aku tak perlu perjalanan jauh menghabiskan banyak waktu. Sebuah rumah minimalis, kusewakan untuk ia tempati bersama dengan anak perempuannya dari pernikahannya yang pertama.Hubunganku dengan Melinda? Dia adalah istri siriku. Ya, kami sudah menikah kemarin. Acara yang seharusnya hanya pertunangan saja langsung berlanjut ke ijab kabul karena desakan Melinda dan keluarganya yang ingin kami cepat-cepat halal."Sudahlah Damar, kamu langsung nikahin Melinda saja. Toh nantinya kalian juga nikah siri. Sekalian saja sekarang? Kenapa harus nunggu bulan depan? Kalau sudah halal kan kamu bebas memperlakukannya seperti apa," desak calon bapak mertuaku kala kami sekeluarga datang ke rumah Melinda untuk meminangnya jadi istri keduaku. Desakan bapaknya Melinda didukung kerabatnya yang lain dan juga keluargaku. Pasalnya banyak rumor tak baik bila kami terus runtang-runtung bersama tanpa adanya ikatan.Akhirnya acara lamaran saat itu langsung beralih jadi pernikahan sederhana, bukan sederhana lagi, tapi hanya nikah siri. Sementara acara syukurannya akan diadakan nanti, rencananya bulan depan.Salah seorang kerabat Melinda memanggil Pak Penghulu yang kebetulan tempat tinggalnya tak jauh dari rumah. Pihak keluarga Melinda pun tahu kalau aku sudah menikah, mereka tak mempermasalahkan statusku asalkan aku bisa adil dengan Melinda dan istri pertamaku. Melinda sendiripun tak keberatan ia menjadi yang kedua.Singkatnya kami menikah secara siri. Rona bahagia terpancar dari wajah Melinda yang tetap cantik seperti dulu walau sudah bertahun-tahun tak bertemu.Pertemuan kami kembali, itu berawal dari acara reuni akbar yang diadakan oleh alumni sekolahku dulu.Tiga bulan yang lalu ..."Dek, aku ada undangan reuni, tapi ...""Ya sudah ikut saja, Mas, kesempatan silaturrahmi dengan teman-teman," sahut istriku saat aku memberitahunya."Tapi kamu sedang hamil besar begini, aku gak bisa mengajakmu ikut." Aku cukup khawatir padanya. Kandungannya sudah besar, hampir menginjak usia delapan bulan."Tidak apa-apa, Mas. Aku di rumah sama Raffa.""Baiklah, Dek. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Mas ya!"Wulan tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Wulan memanglah istri yang santun dan lemah lembut dan menghargai suami.Saat itu aku dimasukkan ke grup WA alumni SMANSA. Semuanya baik-baik saja hingga Melinda yang menyapaku duluan di grup. Semua teman-teman sorak sorai menggoda kami. Awalnya hanya meledek saja, tapi akhirnya Melinda mengirimiku pesan lewat japri. Mengirimi pesan basa-basi menanyakan kabar.Untuk pertama kalinya aku dipertemukan kembali dengan sosok Melinda. Wanita yang dulu pernah kucintai dan menjadi pemilik hati ini. Meli yang begitu cantik, meski sudah punya anak, perawakannya begitu seksi dan juga terawat. Penampilannya saat itu memukau banyak orang, terlebih para lelaki. Entah getar-getar cinta ini mulai berdesir halus.Dress terusan berwarna gold yang dipenuhi kerlip payet serta rambut yang dikuncir ke atas hingga memperlihatkan leher putih mulusnya. Belum lagi, aksesoris kalung dan ikat rambut yang ia pakai menambah pesona dalam diri wanit cantik itu. Ya, Melinda sang primadona hari itu. Siapa saja akan terpesona melihatnya.Pertemuan kami yang berawal dari acara reuni berlanjut ke chat yang lebih intens. Hingga ia curhat tentang masalahnya dan kenapa dia bercerai dengan sang suami. Aku merasa miris saat tahu wanita secantik Melinda justru mengalami KDRT dan diselingkuhi. Perasaan kasihan dan ingin melindungi tiba-tiba saja muncul dari lubuk hati paling dalam. Ini mungkin aku yang terlalu baper atau memang kisah cinta kami yang dulu belum usai mulai bersemi lagi. Hubungan kami jadi makin dekat, dan akhirnya mengukir janji temu biasa dan hanya kami berdua. Aku dan Melinda."Mas, bisakah kita bertemu sebentar saja? Aku ingin curhat, Mas. Aku bingung tidak tahu harus cerita pada siapa. Temanku seolah pada menjauh setelah aku jadi seperti ini, Mas," ucapnya di sambungan telepon, dari nada suaranya saja ia terdengar begitu sedih. Dua tahun menjanda, dia mungkin tengah kesepian.Akhirnya akupun menyanggupinya. Bertemu berdua di sebuah cafe sekaligus makan malam bersamanya. Aku sampai takjub, Melinda datang dari jauh hanya untuk bertemu denganku. Ia bercerita tentang banyak hal dan keluh kesahnya. Dari sanalah aku tahu, dia masih seperti yang dulu. Semenjak saat itu, pertemuan kami jadi lebih sering. Aku merasa nyaman saat bersamanya.Tiba-tiba dering ponsel membuyarkan lamunanku. Satu tangan mengambil ponsel di saku kemeja. Tertera nama Mel di layar ponsel. Aku mengangkat panggilan itu."Mas, maaf tas belanjanya tertukar. Ini tas belanja buat Wulan, Mas."Aku menghela nafas panjang. "Iya, kamu kan yang salah ambil. Gara-gara ini Wulan jadi makin curiga.""Ya gimana dong, Mas?""Ini aku lagi jalan ke rumah. Jangan kemana-mana ya!""Eh Mas, jangan di rumah. Kita ketemu di Cafe biasa aja sekalian makan malam ya, Mas. Aku sama Lola laper nih, belum sempat masak lagi," sahut suara manja di seberang telepon. Entahlah saat mendengat suaranya emosiku menguap begitu saja."Oke."Aku kembali fokus ke jalanan menuju ke Cafe Clarissa tempat biasa kami bertemu.Terbayang kembali saat siang tadi Melinda datang ke kantorku membawakan bekal makanan yang ia masak sendiri. Entah dia begitu nekad datang kesana. Meski ada tatapan curiga dari Niko, tapi Melinda bisa berdalih dengan baik, bahwa aku sudah menolongnya jadi makan siang itu sebagai bentuk rasa terima kasih.Sebenarnya aku agak khawatir, Niko akan bercerita pada istrinya. Dan istrinya ini membocorkan rahasia pada Wulan, mulutnya memang kayak ember bocor."Bro, aku akui Meli itu masih cantik seperti dulu, tapi dia hanya masa lalumu. Hubungan kalian sudah pernah kandas tolong jangan disambung lagi, ingatlah kamu sudah punya keluarga. Apa kamu gak kasihan sama anak dan istrimu yang menunggumu penuh kepercayaan di rumah? Mereka masa depanmu sekarang. Jaga jarak itu lebih baik, jangan sampai kau makin terjebak hubungan lebih dalam lagi. Jagalah hati istrimu, Bro!"Aku tertawa pelan mendengar ucapan Niko. Dia yang biasa bercanda terlihat serius. Niko memperingatkanku usai Melinda pulang."Kamu berlebihan, Nik. Apapun langkahku sekarang, ini urusanku dengan Melinda dan juga Wulan. Kamu hanya orang lain, tolong jangan ikut campur lebih jauh lagi.""Aku hanya memperingatkanmu saja, Bro. Jangan sampai kau menyesal dengan kesalahan yang kamu buat sendiri. Mencegah lebih baik dari pada mengobati bukan?""Yess, terima kasih atas perhatianmu, Nik. Aku bisa mengatasi masalahku sendiri.""Its oke. Semua kembali padamu. Kuharap kamu tidak menyakiti hati Wulan, dia perempuan yang baik. Kasihan juga anak-anakmu masih kecil."Aku tersenyum kecut. Memangnya apa yang akan terjadi? Toh semua dibawah kendaliku. Wulan tak mungkin meminta cerai, dia perempuan polos dan sangat baik, pasti akan berpikir ulang bila berpisah dariku.***Aku, Melinda serta putrinya sudah duduk di meja Cafe. Beberapa hidangan sudah kami pesan bersama. Lola, gadis kecil itu sangat antusias."Ayah, aku seneng banget deh bisa makan di sini bareng ayah sama bunda, makanan disini enak!" cetusnya sembari mengunyah makanan.Aku dan Melinda pun tertawa mendengar celotehnya."Iya, Lola makan yang banyak ya, Sayang!""Baik, Bunda!"Aku dan Melinda saling berpandangan sejenak. Aku sangat terpesona padanya, dia sangat cantik berbeda dengan Wulan.Tetiba ... Byuuurrr ...Siraman air mengguyur kepalaku, membuatku terkesiap kaget."Jadi ini yang kamu lakukan, Mas?!"Part 8"Jadi ini yang kamu lakukan, Mas?!""Eh Wu-Wulan, kamu kenapa ada di sini? Mana Raffa dan Amanda?" Mas Damar terlihat shock melihatku berada di sana. Dia mengusap air yang menetes di wajah dan kemejanya.Aku memejam sejenak karena kebodohanku. Astaghfirullah, karena tak bisa menahan emosi, aku sampai lepas kendali. Sabar Wulan, sabar, jangan sampai emosi. Semoga aku masih tetap waras walau benar, aku stress dengan semua kejadian ini. Kepala terasa berdenyut luar biasa. "Mas, kamu gak apa-apa? Hei Mbak, kenapa kamu siram Mas Damar seperti itu?" pungkasnya kemudian. Aku terpaku beberapa saat sembari menatap perempuan yang cantik itu. Perempuan rahasia suamiku. Dari penampilannya saja sangat berbeda kelas denganku. Aku akui itu.Mas Damar bangkit dan memberi kode agar Melinda tenang."Wulan, aku bisa jelaskan ini. Kamu salah paham. Tolong jangan marah dulu. Emmh diaa ... dia ini--""Jadi ini istri kamu, Mas?" tanya perempuan itu seraya menatapku. Ia menyodorkan tangannya untuk k
Part 9"Ya, apapun yang kau minta, mas akan melakukannya. Asal masih dalam batas kesanggupanku.""Baiklah, asalkan ....""Asalkan apa? Kamu membuatku penasaran saja, Dek," ucapnya dengan raut penasaran."Tanda tangani surat perjanjian yang sudah kubuat," ucapku lagi."Perjanjian apa?" Keningnya berkerut mendengar ucapanku.Gegas aku mengambil surat perjanjian yang sudah kusiapkan sejak kemarin dengan materai 10000. Diam-diam aku menyiapkan beberapa rencana, jadi bila rencana pertama gagal maka ada rencana cadangan yang lainnya. Mau bagaimana lagi, aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri, semampuku, sebisaku.Mas Damar menatapku penuh tanya. Matanya memandang sebuah map yang kusodorkan padanya."Silakan tanda tangan disini, Mas," ujarku. "Ini apa sayang?" tanyanya. "Bukankah tadi katanya kamu mau melakukan apapun asal dalam batas kesanggupanmu?" jawabku sambil tersenyum. Mas Damar terdiam. Ia membaca lembaran surat perjanjian itu. Sesekali ia tampak menautkan alisnya."Bagaimana Ma
Part 10"Mana kutahu, kali aja jatuh. Jangan tuduh aku sembarangan, Mas!" pungkas Wulan. Ia tampak kesal. Ah, harusnya aku tak menuduhnya begitu. Bodoh! Akhir-akhir ini dia jadi gampang tersulut emosi.Aku menghela nafas dalam, menatap wajah Wulan yang tampak tidak bersalah."Ya, maafkan aku, Wulan, aku tak bermaksud menuduhmu. Tolong kalau pas kamu bersih-bersih dan nemu kartu ATM-nya, simpankan dulu ya.""Iya Mas.""Ya sudah aku berangkat dulu. Paling lama satu jam aku balik lagi. Dan kamu harus siap-siap ya, biar nanti langsung berangkat," ujarku.Aku merutuk pada diri sendiri. Sial! Bisa-bisanya kartu ATM hilang. Tapi aku tak mungkin terus menerus menuduh Wulan di sana. Memang akulah yang ceroboh.Wulan mengangguk lagi. Gegas akupun pergi karena aku yakin Melinda pasti tengah menunggu kabar dariku. Sengaja aku tak menghubunginya lebih dulu. Selama di rumah aku meminimalisir pegang HP, takut Wulan tambah curiga. Mobil yang kukemudikan membelah jalan raya. Suasana pagi weekend cuku
Part 11"Rambutmu masih basah juga bau shampo, kamu habis keramas lagi ya, Mas? Terus ini bekas bibir siapa di pipimu?"Deg deg deg, jantungku berpacu dengan cepat. Sial, Melinda membuatku jadi tersudut begini. Kacau kalau Wulan tahu semuanya. "Anu Dek, ini ... ini tadi rambutku kena kotoran jadi aku mandi lagi." Suara di tenggorokan terasa tersendat, aku bingung mesti jawab apa."Oh, kotoran yang nikmat ya, Mas?" sindirnya lagi seraya menatapku tajam. Aku memalingkan wajah, tak berani menatapnya. Nada dering di ponsel menghenyakkan kami, lebih tepatnya membantuku keluar dari ketegangan.Kutatap layar ponsel. Farah, deretan huruf yang tertera di sana."Vicall dari Farah, aku angkat dulu ya, Dek," ujarku. Lega rasanya, adikku telah menyelamatkanku meski sementara waktu.Aku mengangkat panggilan videonya, terlihat Farah dengan senyuman yang manis."Mas, ini ibu mau bicara," ucapnya. Tak lama gambar ibu sudah berada dibalik layar ponsel."Bu, lagi apa? Kabar ibu sehat?" tanyaku ramah.
Part 12Aku menatap punggung lelaki itu yang pergi menuju mobilnya. Secepat kilat kendaraan roda empat itu melesat meninggalkan rumah. Kuyakin kali ini Mas Damar pergi ke rumah wanita itu.Selagi Amanda masih tidur dan Raffa tengah bermain, aku membersihkan rumah. Kutemukan barang yang ia cari di bawah tempat tidur. Kartu ATM miliknya. Dasar ceroboh. Aku jadi penasaran berapa saldo yang ia punya di tabungan.Selama ini, selama aku jadi istrinya, aku tak pernah tahu berapa gaji dan uang suamiku. Ia hanya menjatahku 4 juta rupiah saja untuk kebutuhan kami selama sebulan. Aku memang tak pernah protes dengan pemberiannya, toh bila aku kekurangan uang, dia memberiku lagi tanpa banyak bicara.Kutatap bayi mungilku yang sesekali bersuara karena kaget. Selesai beres-beres, gegas aku menggendong Amanda. Nekad, aku membawa Amanda dan Raffa pergi ke gerai ATM terdekat."Lho, Mbak Wulan mau kemana bawa anak-anak?" tanya Mbak Rasti. Ia langsung berjalan menghampiriku."Mau ke ATM sebentar, Mbak, c
Part 13[Mas, malam ini menginaplah di rumah. Aku dah siapkan ramuan khusus untukmu biar kamu kuat][Ramuan apa, Sayang?] Balas Mas Damar.[Ramuan biar kamu kuat dan bisa berkali-kali] balasan dari Melinda seraya disertai emoticon love dan cium.Cih! Rasanya ingin muntah melihat percakapan mereka berdua. Menjijikan. Tenang, Wulan, kamu harus tenang. Tak boleh gegabah dan marah-marah sebelum mengumpulkan bukti.[Beneran nih? Kamu gak capek, Mel?][Buat lelaki tercinta apa sih yang enggak] balas Melinda lagi. [Baiklah, nanti aku otw jam 8][Oke sayang, aku tunggu]Oh jadi kau mau pergi lagi ke rumahnya, Mas? Padahal kau bilang tidak akan ke sana. Baru digoda saja seperti itu langsung luluh. Kenapa ya si Melinda getol banget, apa ada maksud tertentu darinya? Apakah karena uang? Ya, pasti karena uang. Tak mungkin dia mendekati suamiku karena tak ada maunya. Mustahil.Kubuatkan teh manis untuk Mas Damar, tak lupa kucampur obat tidur agar dia tak bisa kemana-mana. Ada untungnya juga aku be
Part 14Pov MelindaKulempar ponsel itu di atas ranjang. Berkali-kali menghela nafas kesal. Kesal karena janji Mas Damar tak ditepati. Padahal aku sudah susah payah dandan cantik dan menggoda seperti ini. Tapi nyatanya dia tak datang. Ia justru lebih memilih istrinya yang kampungan itu.Aarrrggghh! Geramku kesal seraya mengacak-acak rambut yang sudah rapi. Siang tadi melakukan perawatan rambut dan tubuh di salon. Bisa bayangkan tampilanku saat ini begitu sempurna, wangi dan mempesona. Tapi ... Mas Damar justru mengacuhkanku? Bahkan banyak pesan dan panggilanku yang tak diresponnya. Menyebalkan!Sampai tengah malam nyatanya ia tak datang. Rencanaku gagal dan berakhir sia-sia. Akhirnya aku menuliskan pesan ancaman untuknya. Agar dia tak main-main lagi denganku. Mas Damar, kau sudah masuk ke dalam duniaku, jadi tak boleh terlepas lagi.Sial! Semua ini terpaksa aku lakukan. Ya karena sebuah alasan, aku menjadi orang ketiga dalam rumah tangga seseorang. Terlebih dia adalah mantan pacarku d
Part 15Pov Melinda"Mel, sudah lama aku tak bertemu dengan Lola. Bisakah dia ikut bersamaku untuk dua hari saja?""Ayah, aku kangen sama ayah. Bunda apa aku boleh ikut ayah?" tanya putriku dengan polos. Enam tahun lebih saat ini usianya, dia mengenal ayahnya karena sedari bayi dia lebih dekat dengannya. Dari gantiin dia popok, memandikan bahkan menyuapi makan. Belum lagi saat di kampung Mas Tanto selalu menghubungi Lola menanyakan kabar. Aku yang sebenarnya malas menanggapi. Sesekali Mas Tanto kirim uang jajan untuk Lola tapi ya nominalnya sedikit. "Ya dibawa saja. Tapi ingat cuma dua hari saja. Kamu harus mengembalikannya padaku!" tukasku ketus."Baiklah, Mel. Kamu tinggal dimana sekarang?""Nanti kuberi tahu kalau sudah dua hari. Atau kita ketemuan di cafe.""Ya, baiklah. Ayo sayang kita pergi ke tempat tinggal ayah. Salim dulu sama bunda.""Bunda, Lola sama ayah dulu ya. Bunda jangan marah-marah terus.""Iya sayang.""Dadah bunda ..."Lola melambaikan tangan ke arahku. Sengaja