Share

6. Salah kejutan

Part 6

"Kalau memang semalam gak lembur, terus kamu pergi kemana, Mas?"

Mas Damar tampak shock. Ia mengambil tissue dan berhenti makan, menarik nafas dalam-dalam.

"Mbak Rasti, bisakah tinggalkan kami?" ujar lelaki itu mengusir secara halus.

"Walah, padahal aku pengen lihat dedek Amanda."

"Maaf ya, Mbak Rasti, tolong ..."

"Baiklah. Kuharap tak ada pertengkaran diantara kalian, kasihan anak-anak kalian. Aku permisi dulu, Mbak."

Aku mengangguk dan melihat sosok Mbak Rasti keluar rumah. Usai kepergiannya, Mas Damar justru berlalu ke kamar.

"Mas, aku butuh penjelasanmu!" tukasku dengan nada penuh penekanan.

Mas Damar berhenti melangkah lalu berbalik ke arahku. "Penjelasan apa? Soal semalam?"

Aku mengangguk. Ingin tahu sejauh mana dia berbohong.

"Aku minta maaf ya, Dek. Aku salah. Aku takut kamu khawatir makanya aku tak bilang sejujurnya."

Aku terdiam menatap manik coklat matanya. Ia tampak gugup dan memalingkan wajah.

"Aku pulang lagi ke rumah ibu, ngembaliin boneka barbie milik anak tetangga yang terbawa di koper. Farah bilang anaknya nangis terus karena boneka kesayangannya gak ada."

"Oh ... sekalian bertemu ibunya ya?" tanyaku berusaha menenangkannya.

Mas Damar mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu, Wulan?"

"Tidak, tidak apa-apa kok." Aku memaksa tersenyum walau hati terasa begitu perih. Belum saatnya kubuka langsung kedokmu, Mas. Tunggu saja sampai aku selesai membuatnu jatuh miskin.

"Apa ibu sudah sembuh, Mas?" tanyaku lagi mengalihkan pembicaraan.

"Ya, sudah mendingan."

"Syukurlah, jangan sampai karena sakit pura-pura justru bikin sakit beneran."

"Kamu ngomong apa sih, Dek? Aneh-aneh aja kamu hari ini."

Aku tersenyum masam. "Ya sudah, kalau mau berangkat ke kantor, berangkat saja, Mas. Tapi tolong beri aku uang dulu ya, Mas."

"Uang belanjamu sudah habis ya?"

"Bukan buat belanja, Mas."

"Terus?"

"Buat arisan. Ibu-ibu temannya Raffa di TK pada mau ngadain arisan. Aku diajakin terus, Mas. Jadi gak enak kalau terus-terusan menolak."

"Tumben, kau mau ikut arisan, Dek. Berapa nominalnya?"

Aku agak ragu saat ingin mengatakan hal ini, takutnya Mas Damar malah curiga padaku.

"Kamu butuh berapa, Dek?" tanyanya lagi.

"Lima juta, Mas."

"Wow, arisan sebanyak itu?"

"Iya, Mas, nanti dapatnya juga banyak. Tapi kalau gak ada gak apa-apa, Mas. Nanti aku bilang sama adminnya untuk mundur, paling dapat malu doang. Istrinya Pak Damar kok gak mau ikut arisan padahal mobilnya bagus, suami juga kerjanya bagus," sindirku lagi.

Mas Damar terkekeh pelan. "Istriku ngambek nih. Ya sudah, nanti sore ya aku ambil uangnya dulu."

"Beneran?"

"Ya. Bilang saja ke teman-temanmu, Dek. Besok baru bisa setor."

"Iya, Mas."

"Sekarang udah gak marah lagi kan?"

Aku mengulum senyum sembari menggeleng meski dalam hati menahan rasa kesal.

"Nah, senyum gini dong jadi tambah cantik."

Aku mengangguk. "Minggu besok jadi kan jalan-jalan?"

"Ya, jadi dong. Biar kamu gak suntuk di rumah terus."

"Apa aku boleh minta sesuatu?"

"Apapun yang kamu mau akan kubelikan, Dek. Aku kan kerja untuk kalian."

"Sungguh?"

"Ya."

"Alhamduliah, makasih ya, Mas."

"Iya, sayang."

Mas Damar berpamitan pergi dan berlalu dengan mobilnya.

Aku memandang kepergiannya dengan tatapan nanar. Dan perihal arisan itu, sebenarnya hanya alasanku saja. Setidaknya aku ingin punya pegangan uang sendiri agar tak hanya mengandalkan uang belanja mingguan dari suami.

Ya, Mas Damar memang memberiku uang belanja seminggi sekali, sementara semua kebutuhan pokok bulanan ia yang membelikannya langsung, jadi aku tak repot berbelanja dengan si kecil Raffa yang aktif. Belum lagi Amanda juga butuh dopping sufor.

***

[Mas, kenapa gak kesini? Aku tungguin dari tadi, kamu gak respon. Chat gak dibalas, telepon pun gak diangkat] pesan masuk dari Melinda disertai emoticon sedih.

[Aku sudah memenuhi permintaanmu, jangan meminta lebih dari ini. Aku punya istri dan anak yang harus kuperhatikan juga. Tolong jangan sering menghubungiku, nanti istriku curiga] balas Mas Damar.

[Istrimu terus yang kau pikirkan. Terus kau anggap aku ini apa, Mas?]

Tak ada balasan lagi dari Mas Damar. Aku tersenyum kecut. Setidaknya aku masih jadi prioritas Mas Damar. Meskipun hati dan cintanya mulai terbagi.

***

Pukul lima sore, Mas Damar pulang dari kantor. Mungkin ia takut aku lebih curiga padanya. Lelaki itu tersenyum sumringah ketika aku dan Amanda menunggunya di teras.

"Assalamu'alaikum ..."

"Waalaikum salam."

"Wah anak ayah udah wangi ya." Dia mengecup pipi Amanda lembut lalu beralih mengecup keningku.

"Sayang, ini aku punya kejutan untukmu," ujar Mas Damar. Dia menyuruhku masuk. Duduk di sofa ruang tamu. Diraihnya Amanda dari gendonganku. Sementara ia mengangsurkan dua tas belanja.

"Apa ini, Mas?"

"Buka saja."

Aku mengangguk, mengambil satu tas belanja berisi kotak love berwarna merah, berbahan beludru lembut. Aku membukanya sejenak, melihat satu set perhiasan emas, tampak cantik dan berkilauan. Kalung, gelang dan cincin serta giwang di sana.

Bukannya senang tapi keningku mengernyit. Tumben Mas Damar membelikanku sebanyak ini.

"Mas, ini banyak sekali, kok beliin perhiasan segala?"

"Emmh ya, hadiah buat kamu sayang. Terima kasih sudah melahirkan dan menjaga anak-anak dengan baik."

Aku tersenyum tipis. Sepintas emas ini terlihat seperti asli tapi aku sangat yakin kalau perhiasan ini hanyalah perhiasan imitasi. Aku tahu betul perbedaannya, karena dulu pernah bekerja di toko emas dan perhiasan xuping.

"Berapa semua ini, Mas?"

Mas Damar menatapku sejenak. "Kamu gak perlu tahu-lah. Dipakai saja pasti kamu makin cantik," kilahnya.

Aku mengangguk.

"Kok kayaknya kamu kurang senang dibelikan perhiasan?" tanya Mas Damar.

"Aku gak suka modelnya, Mas. Boleh gak kalau ini ditukar saja? Nanti hari minggu aku pilih sendiri di toko emasnya langsung," tanyaku kemudian.

Mas Damar tampak kikuk. "Oh, jadi kamu gak suka ya? Kupikir kamu akan suka dengan pilihanku."

Aku tersenyum masam. "Seleramu buruk, Mas. Ini bukan gayaku, dari pada mubadzir gak dipakai jadi kita tukar tambah aja ya."

"Eh iya, terserah kamu."

Aku mengambil tas belanjaan yang lainnya. Sebuah dress pendek tanpa lengan, panjang selutut dengan warna ungu cetar dan ngejreng.

"Mas, ini baju punya siapa?" tanyaku penuh selidik.

Mata Mas Damar membulat. "Astaga, Dek. Sepertinya barang belanjaan ini tertukar dengan orang lain!"

"Kau yakin, Mas? Tapi ada nama kamu di nota baju ini. Kamu belikan dress seksi ini buat siapa, Mas?"

"Petugasnya pasti keliru, Dek. Ini bukan punya, Mas. Biar Mas komplen dulu ke tokonya langsung."

Mas Damar segera bangkit dan kembali menyerahkan Amanda padaku.

"Tunggu dulu, Mas!"

"Ada apa?"

"Mana uang untuk arisannya? Sudah ada?" tanyaku lagi.

Mas Damar menepuk jidadnya pelan. Lalu membuka tas dan memberikan amplop cokelat berisi uang padaku.

"Ini, Dek."

"Makasih, Mas."

"Mas pergi dulu ya," sahutnya buru-buru pergi.

Aku menghela nafas panjang. Sepertinya kali ini aku harus mengikuti Mas Damar pergi. Biar kutitipkan Raffa di rumah Mbak Rasti lebih dulu.

Gegas aku mengambil botol dot dan susu formula, cadangan saat aku pergi. Usai Mas Damar pergi, segera kulangkahkan kaki menuju ke rumah Mbak Rasti yang tak jauh dari rumahku.

"Mbak Wulan, ada apa sore-sore datang ke sini? Wajah Mbak juga kelihatannya tegang?"

"Mbak Rasti, maaf kalau aku mau minta bantuan Mbak lagi."

"Iya, gimana, Mbak?"

"Aku titip anak-anak dulu ya, Mbak, sebentar saja. Ini perlengkapannya dedek Amanda ada di tas. Aku harus ngikutin Mas Damar."

"Iya, sini berikan dedek Amanda padaku. Biar Raffa main sama Faiz. Tapi memangnya Mas Damar pergi kemana, Mbak?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status