Share

6. Salah kejutan

Author: TrianaR
last update Last Updated: 2022-09-14 17:29:26

Part 6

"Kalau memang semalam gak lembur, terus kamu pergi kemana, Mas?"

Mas Damar tampak shock. Ia mengambil tissue dan berhenti makan, menarik nafas dalam-dalam.

"Mbak Rasti, bisakah tinggalkan kami?" ujar lelaki itu mengusir secara halus.

"Walah, padahal aku pengen lihat dedek Amanda."

"Maaf ya, Mbak Rasti, tolong ..."

"Baiklah. Kuharap tak ada pertengkaran diantara kalian, kasihan anak-anak kalian. Aku permisi dulu, Mbak."

Aku mengangguk dan melihat sosok Mbak Rasti keluar rumah. Usai kepergiannya, Mas Damar justru berlalu ke kamar.

"Mas, aku butuh penjelasanmu!" tukasku dengan nada penuh penekanan.

Mas Damar berhenti melangkah lalu berbalik ke arahku. "Penjelasan apa? Soal semalam?"

Aku mengangguk. Ingin tahu sejauh mana dia berbohong.

"Aku minta maaf ya, Dek. Aku salah. Aku takut kamu khawatir makanya aku tak bilang sejujurnya."

Aku terdiam menatap manik coklat matanya. Ia tampak gugup dan memalingkan wajah.

"Aku pulang lagi ke rumah ibu, ngembaliin boneka barbie milik anak tetangga yang terbawa di koper. Farah bilang anaknya nangis terus karena boneka kesayangannya gak ada."

"Oh ... sekalian bertemu ibunya ya?" tanyaku berusaha menenangkannya.

Mas Damar mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu, Wulan?"

"Tidak, tidak apa-apa kok." Aku memaksa tersenyum walau hati terasa begitu perih. Belum saatnya kubuka langsung kedokmu, Mas. Tunggu saja sampai aku selesai membuatnu jatuh miskin.

"Apa ibu sudah sembuh, Mas?" tanyaku lagi mengalihkan pembicaraan.

"Ya, sudah mendingan."

"Syukurlah, jangan sampai karena sakit pura-pura justru bikin sakit beneran."

"Kamu ngomong apa sih, Dek? Aneh-aneh aja kamu hari ini."

Aku tersenyum masam. "Ya sudah, kalau mau berangkat ke kantor, berangkat saja, Mas. Tapi tolong beri aku uang dulu ya, Mas."

"Uang belanjamu sudah habis ya?"

"Bukan buat belanja, Mas."

"Terus?"

"Buat arisan. Ibu-ibu temannya Raffa di TK pada mau ngadain arisan. Aku diajakin terus, Mas. Jadi gak enak kalau terus-terusan menolak."

"Tumben, kau mau ikut arisan, Dek. Berapa nominalnya?"

Aku agak ragu saat ingin mengatakan hal ini, takutnya Mas Damar malah curiga padaku.

"Kamu butuh berapa, Dek?" tanyanya lagi.

"Lima juta, Mas."

"Wow, arisan sebanyak itu?"

"Iya, Mas, nanti dapatnya juga banyak. Tapi kalau gak ada gak apa-apa, Mas. Nanti aku bilang sama adminnya untuk mundur, paling dapat malu doang. Istrinya Pak Damar kok gak mau ikut arisan padahal mobilnya bagus, suami juga kerjanya bagus," sindirku lagi.

Mas Damar terkekeh pelan. "Istriku ngambek nih. Ya sudah, nanti sore ya aku ambil uangnya dulu."

"Beneran?"

"Ya. Bilang saja ke teman-temanmu, Dek. Besok baru bisa setor."

"Iya, Mas."

"Sekarang udah gak marah lagi kan?"

Aku mengulum senyum sembari menggeleng meski dalam hati menahan rasa kesal.

"Nah, senyum gini dong jadi tambah cantik."

Aku mengangguk. "Minggu besok jadi kan jalan-jalan?"

"Ya, jadi dong. Biar kamu gak suntuk di rumah terus."

"Apa aku boleh minta sesuatu?"

"Apapun yang kamu mau akan kubelikan, Dek. Aku kan kerja untuk kalian."

"Sungguh?"

"Ya."

"Alhamduliah, makasih ya, Mas."

"Iya, sayang."

Mas Damar berpamitan pergi dan berlalu dengan mobilnya.

Aku memandang kepergiannya dengan tatapan nanar. Dan perihal arisan itu, sebenarnya hanya alasanku saja. Setidaknya aku ingin punya pegangan uang sendiri agar tak hanya mengandalkan uang belanja mingguan dari suami.

Ya, Mas Damar memang memberiku uang belanja seminggi sekali, sementara semua kebutuhan pokok bulanan ia yang membelikannya langsung, jadi aku tak repot berbelanja dengan si kecil Raffa yang aktif. Belum lagi Amanda juga butuh dopping sufor.

***

[Mas, kenapa gak kesini? Aku tungguin dari tadi, kamu gak respon. Chat gak dibalas, telepon pun gak diangkat] pesan masuk dari Melinda disertai emoticon sedih.

[Aku sudah memenuhi permintaanmu, jangan meminta lebih dari ini. Aku punya istri dan anak yang harus kuperhatikan juga. Tolong jangan sering menghubungiku, nanti istriku curiga] balas Mas Damar.

[Istrimu terus yang kau pikirkan. Terus kau anggap aku ini apa, Mas?]

Tak ada balasan lagi dari Mas Damar. Aku tersenyum kecut. Setidaknya aku masih jadi prioritas Mas Damar. Meskipun hati dan cintanya mulai terbagi.

***

Pukul lima sore, Mas Damar pulang dari kantor. Mungkin ia takut aku lebih curiga padanya. Lelaki itu tersenyum sumringah ketika aku dan Amanda menunggunya di teras.

"Assalamu'alaikum ..."

"Waalaikum salam."

"Wah anak ayah udah wangi ya." Dia mengecup pipi Amanda lembut lalu beralih mengecup keningku.

"Sayang, ini aku punya kejutan untukmu," ujar Mas Damar. Dia menyuruhku masuk. Duduk di sofa ruang tamu. Diraihnya Amanda dari gendonganku. Sementara ia mengangsurkan dua tas belanja.

"Apa ini, Mas?"

"Buka saja."

Aku mengangguk, mengambil satu tas belanja berisi kotak love berwarna merah, berbahan beludru lembut. Aku membukanya sejenak, melihat satu set perhiasan emas, tampak cantik dan berkilauan. Kalung, gelang dan cincin serta giwang di sana.

Bukannya senang tapi keningku mengernyit. Tumben Mas Damar membelikanku sebanyak ini.

"Mas, ini banyak sekali, kok beliin perhiasan segala?"

"Emmh ya, hadiah buat kamu sayang. Terima kasih sudah melahirkan dan menjaga anak-anak dengan baik."

Aku tersenyum tipis. Sepintas emas ini terlihat seperti asli tapi aku sangat yakin kalau perhiasan ini hanyalah perhiasan imitasi. Aku tahu betul perbedaannya, karena dulu pernah bekerja di toko emas dan perhiasan xuping.

"Berapa semua ini, Mas?"

Mas Damar menatapku sejenak. "Kamu gak perlu tahu-lah. Dipakai saja pasti kamu makin cantik," kilahnya.

Aku mengangguk.

"Kok kayaknya kamu kurang senang dibelikan perhiasan?" tanya Mas Damar.

"Aku gak suka modelnya, Mas. Boleh gak kalau ini ditukar saja? Nanti hari minggu aku pilih sendiri di toko emasnya langsung," tanyaku kemudian.

Mas Damar tampak kikuk. "Oh, jadi kamu gak suka ya? Kupikir kamu akan suka dengan pilihanku."

Aku tersenyum masam. "Seleramu buruk, Mas. Ini bukan gayaku, dari pada mubadzir gak dipakai jadi kita tukar tambah aja ya."

"Eh iya, terserah kamu."

Aku mengambil tas belanjaan yang lainnya. Sebuah dress pendek tanpa lengan, panjang selutut dengan warna ungu cetar dan ngejreng.

"Mas, ini baju punya siapa?" tanyaku penuh selidik.

Mata Mas Damar membulat. "Astaga, Dek. Sepertinya barang belanjaan ini tertukar dengan orang lain!"

"Kau yakin, Mas? Tapi ada nama kamu di nota baju ini. Kamu belikan dress seksi ini buat siapa, Mas?"

"Petugasnya pasti keliru, Dek. Ini bukan punya, Mas. Biar Mas komplen dulu ke tokonya langsung."

Mas Damar segera bangkit dan kembali menyerahkan Amanda padaku.

"Tunggu dulu, Mas!"

"Ada apa?"

"Mana uang untuk arisannya? Sudah ada?" tanyaku lagi.

Mas Damar menepuk jidadnya pelan. Lalu membuka tas dan memberikan amplop cokelat berisi uang padaku.

"Ini, Dek."

"Makasih, Mas."

"Mas pergi dulu ya," sahutnya buru-buru pergi.

Aku menghela nafas panjang. Sepertinya kali ini aku harus mengikuti Mas Damar pergi. Biar kutitipkan Raffa di rumah Mbak Rasti lebih dulu.

Gegas aku mengambil botol dot dan susu formula, cadangan saat aku pergi. Usai Mas Damar pergi, segera kulangkahkan kaki menuju ke rumah Mbak Rasti yang tak jauh dari rumahku.

"Mbak Wulan, ada apa sore-sore datang ke sini? Wajah Mbak juga kelihatannya tegang?"

"Mbak Rasti, maaf kalau aku mau minta bantuan Mbak lagi."

"Iya, gimana, Mbak?"

"Aku titip anak-anak dulu ya, Mbak, sebentar saja. Ini perlengkapannya dedek Amanda ada di tas. Aku harus ngikutin Mas Damar."

"Iya, sini berikan dedek Amanda padaku. Biar Raffa main sama Faiz. Tapi memangnya Mas Damar pergi kemana, Mbak?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Dasar suami gak punya rasa syukur
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Perempuan Rahasia Suamiku   73. Satu nama tetap di hati (END)

    Aku menatap layar ponsel di aplikasi marketplace. Bersyukur tiada terkira melihat banyak sekali pesanan masuk hingga ribuan paket. Ya, sangat banyak, aku sampai kewalahan, padahal waktu itu hanya mengikuti promo diskon yang diselenggarakan aplikasi merketplace online tersebut. Tiada mengira akan sebanyak ini, bahkan sampai kehabisan stock dan harus ambil ke supplier itupun berkat bantuan Mas Ranu yang mengambil ke gudangnya langsung.Tetiba sebuah tangan meraih ponselku. Aku mendongak, melihat Mas Ranu tersenyum. Mengecup keningku dengan lembut.“Pesanan sebanyak ini, sudah waktunya kamu menambah karyawan lagi, Sayang. Biar kamu gak kecapekan gini.”Aku memandangnya sambil senyum, meregangkan tubuh sejenak karena sejak ba’da isya tadi berkutat dengan membungkus paket yang tiada habisnya. Bahkan Raffa dan Amanda, Mas Ranu lah yang menidurkannya. Biar pun dia hanya ayah sambungnya, tapi ia begitu baik dan menyayangi anak-anakku dengan tulus.“Coba lihat sudah jam berapa sekarang,” ujar

  • Perempuan Rahasia Suamiku   72. Perpisahan

    Pagi buta seusai salat subuh, aku segera pulang. Pintu dibuka setelah kuketuk berkali-kali. Rupanya Melinda yang membukakan pintu. "Oh ternyata kau sudah bangun, Mel," sapaku. Wanita itu tersenyum. "Ya, Mas."Dia tampak kaku saat memandang ke arahku. Gegas aku ke kamar mandi dan bebersih diri. Tiap pagi aku harus cari tambahan uang, jadi tukang ojek dadakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga, meski dapat satu sampai tiga penumpang sudah alhamdulillah, bisa buat beli bensin dan kuota data.Keluar dari kamar mandi kulihat ada ibu dan Melinda yang ada di dapur. Sepertinya hendak memasak."Damar, sebelum berangkat, kau sarapan dulu. Ini sama mie telor.""Iya, Bu."Ibu menghidangkan semangkuk mie plus telor di meja. Segera kusantap dengan lahap. Sedangkan Farah, belum bangun, pintu kamarnya masih tertutup rapat."Kamu kerja lagi, Mas?" tanyanya saat aku memakai jaket hitam dan hijau itu."Ya, seperti yang kau lihat. Paling sampai jam 9 pagi. Lumayan buat tambahan. Pagi-pagi b

  • Perempuan Rahasia Suamiku   71. Derita Melinda

    Part 70“Melindaaa ...! Tunggu, Mel!” teriakku.Aku berlari mengejarnya dan berhasil menarik tangan wanita yang berambut acak-acakan itu. Tetiba ia menangis sesenggukkan. Aku tak mampu mendengar ia bicara apa. Melihatnya seperti ini hatiku teriris begitu perih. Benarkah ini Melinda yang dulu begitu cantik dan selalu ingin tampil sempurna? Kenapa kondisinya jadi makin memprihatinkan seperti ini?“Mel, kenapa kamu jadi seperti ini?”Mendadak tubuhnya merosot ke tanah, bahunya berguncang. Ia menangis begitu pilu tapi tak mau menjawab pertanyaanku.“Mel, tinggal dimana kamu sekarang?”Dia menggeleng lagi. Dan hanya menangis. Aku menatapnya nanar. Baju yang begitu kumal, tanpa mengenakan alas kaki. Rambut yang berantakan karena jarang disisir lalu, kulit yang dulu putih mulus sudah berganti coklat dan penuh kotoran, pun aroma tubuh yang tidak sedap. Dia tak berani menatapku, mungkin karena malu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kendaraan bermmotor hanya sesekali lewat. Banyak sekali perta

  • Perempuan Rahasia Suamiku   70. Roda berputar

    Saat ini, aku hanya seorang pengangguran, uang kompensasi yang kuterima sebagian kuberikan pada ibu, dan sebagian lagi untuk peganganku, untuk bensin dan makan di luar serta kebutuhan mendadak yang lain. Alhamdulillah, setidaknya aku merasa lega saat Farah perlahan membaik. Ia tak lagi menjerit atau berteriak histeris seperti di kampung. Ia pun mulai mau diajak mengobrol.Surat lamaran pekerjaan sudah kulayangkan ke beberapa perusahaan, tapi belum ada kejelasan. Jadi aku melamar ke tempat pekerjaan lain. “Bu, hari ini aku mau lamar kerja.”“Melamar kerja dimana?”“Di Mall Bu, kata orang sedang butuh cleaning service.”“Kamu gak apa-apa kerja begituan?”“Iya, Bu. Aku tidak apa-apa. Akan kubuang gengsi ini jauh-jauh. Dari pada nganggur, yang penting dapat penghasilan untuk memenuhi hidup kita.”“Terima kasih ya, Nak. Kamu sudah berubah sekarang, semoga Allah meridhoimu.”“Aamiin, Bu. Keadaan yang membentuk kita jadi seperti ini ya, Bu.”Ibu mengangguk seraya tersenyum simpul. Kita dide

  • Perempuan Rahasia Suamiku   69. Karma tak semanis kurma

    Sudah lebih dari satu minggu aku di rumah. Panggilan kantor tak kugubris lagi. Ini dikarenakan Farah yang sering kumat, berteriak histeris bahkan tak segan menyakiti dirinya sendiri. Ibu sudah kewalahan, selalu menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Apalagi akhir-akhir ini Syifana pun sering sakit-sakitan, panas dan tak berhenti menangis. Mungkin dia pun merasa terganggu dengan teriakan Farah.“Farah! Jangan seperti ini, Dek! Jangan sakiti dirimu seperti ini, Dek!” pekikku seraya mengambil cutter di tangannya. Lalu kupeluk tubuhnya yang terguncang. Kubiarkan dia memukul-mukul tubuhku. Rasanya benar-benar perih. Sangat perih melihat adikku hancur. Aku benar-benar tak tega. Wajah cantiknya sudah tak karuan. Mata merah yang sembab, bahkan rambutnya yang berantakan sungguh membuatnya sangat miris. Sudah hilang keceriaan dan semangatnya untuk hidup gara-gara lelaki biadab. Andai kutahu siapa pria yang begitu tega membuat adikku sampai seperti ini, pasti sudah kuhabisi dia.“Dek, ini adalah

  • Perempuan Rahasia Suamiku   68. Bertemu Damar

    Tetiba sebuah sentuhan lembut di pundak membuyarkan pikiranku. "Ada apa, Sayang? Kamu kenapa? Kok di sini?" tanya suara seorang laki-laki yang kini mengisi hari-hari sepiku.Aku menoleh dan menatapnya yang tengah keheranan."Mas, tadi aku lihat Melinda.""Melinda istri mantan suamimu itu? Dimana? Apa dia menyakitimu lagi?""Ah tidak-tidak. Tapi aku sungguh tak percaya dengan keadaannya sekarang.""Maksudmu?""Dia kok kayak jadi gembel ya, Mas," jawabku heran."Gembel?""Iya, tadi dia ngorek-ngorek tong sampah, Mas, sepertinya cari makanan. Jadi aku beri saja kotak nasi. Eh setelah kulihat termyata dia Melinda, dia langsung lari."Mas Ranu masih diam memperhatikanku bicara. "Penampilannya juga lusuh, kumal banget, Mas. Kasihan kalau memang benar itu Melinda.""Kenapa kasihan?""Bukannya dia masih punya bayi.""Sayang, apa kau tidak ingat dulu pernah disakiti olehnya?" pertanyaan Mas Ranu seketika membungkam mulutku."Mungkin itu bentuk teguran dari Allah agar dia sadar dan bisa berta

  • Perempuan Rahasia Suamiku   67. Pelakor kena karma

    "Ada apa, Mas?""Ada yang mengacau di toko," sahutnya. "Mereka sepertinya komplotan, security dibuat babak belur, kaca toko dihancurkan, mungkin mereka juga mengambil isinya serta uang yang masih ada di brankas kasir."Dia menghela nafas dalam-dalam. "Rampok?"Mas Ranu mengangguk. "Tapi kau tenang saja ya, nanti akan kubereskan. Aku harus berangkat sekarang, mau cek ke lokasi dulu.""Mas mau langsung pergi?""Iya."Wajah lelaki itu tampak begitu tegang. Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja serta jaket agar tubuhnya sedikit hangat. Aku mengantarnya sampai teras depan. "Sayang ...""Ya, Mas?""Tolong jangan beri tahu ibu m3ngenai hal ini, aku takut beliau drop lagi. Bilang saja aku ada urusan di Butik yang gak bisa ditinggal," ujar Mas Ranu kemudian."Iya, Mas.""Maaf ya.""Tidak apa-apa, Mas, semoga masalahnya cepat selesai ya, Mas.""Terima kasih, Wulan." Aku meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takdzim. "Mas, hati-hati.""Iya, Sayang. Makasih ya. Kau tena

  • Perempuan Rahasia Suamiku   66. Hadiah istimewa

    “Aku mencintaimu, Wulan. Mari kita raih bahagia bersama,” ujarnya lembut.Aku mengangguk lagi, entah mulai dari mana bunga-bunga cinta ini hadir dalam hatiku. Saat bersamanya terasa begitu damai juga nyaman.Ting ting ting, denting suara notifikasi pesan WA membuyarkan kami. Aku menatap ponselku yang menyala dan berkedip-kedip sebagai tanda banyak pesan yang masuk.“Handphonemu bunyi, Wulan, coba dilihat dulu, mungkin ada yang penting,” ujar Mas Ranu. “Iya, Mas. Emmh aku sekalian mau ganti baju dulu,” jawabku kikuk. Mas Ranu mengangguk sambil tersenyum melihat salah tingkahku. Dia duduk di bibir ranjang sembari terus memperhatikanku.Aku membuka pesan yang dikirim oleh Naima. [Wulan, jangan lupa kado dariku dibuka dulu. Kadonya sudah kutaruh di dekat lampu tidur][Kau harus tampil cantik dan mempesona di hadapan suamimu][Semangat ya Wulan, semoga malam pertamamu dilalui dengan indah][Aku yakin, Mas Ranu takkan mungkin mengecewakanmu. Dia kalau sudah jatuh cinta, pasti bakalan cin

  • Perempuan Rahasia Suamiku   65. Malam Spesial

    Satu hari yang begitu istimewa, acara demi acara terlewati dengan baik. Aku tak menyangka, banyak tamu undangan yang pada hadir. Rasanya seperti mimpi, aku menikah lagi bahkan dibuatkan pesta semeriah ini. "Terima kasih ya sudah mau jadi istriku," ujarnya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Tak lama Mas Ranu mengecup keningku dengan lembut. "Hari ini kita pulang ke rumah ya, ya menginaplah selama beberapa hari setelah itu terserah kamu mau tinggal dimana," ucapnya lagi."Iya, Mas."Malam harinya, setelah pernikahan selesai, kami langsung dibawa pulang ke rumah Mas Ranu. Selama jalannya acara, anak-anak juga tak menangis, mereka bersama Naima juga ibu."Ranu, Wulan, kalian istirahatlah. Raffa dan Amanda biar Bik Waroh yang mengurusnya," ujar ibu. Di sampingnya sudah berdiri wanita yang berumur 45 tahunan, tersenyum ke arah kami.Aku menghampiri Amanda yang masih digendong oleh Naima. Dia tengah tertidur pulas. Kuciumi sebentar gadis mungilku ini. Sementara Raffa tengah duduk di sofa,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status