Part 8
"Jadi ini yang kamu lakukan, Mas?!""Eh Wu-Wulan, kamu kenapa ada di sini? Mana Raffa dan Amanda?" Mas Damar terlihat shock melihatku berada di sana. Dia mengusap air yang menetes di wajah dan kemejanya.Aku memejam sejenak karena kebodohanku. Astaghfirullah, karena tak bisa menahan emosi, aku sampai lepas kendali. Sabar Wulan, sabar, jangan sampai emosi. Semoga aku masih tetap waras walau benar, aku stress dengan semua kejadian ini. Kepala terasa berdenyut luar biasa."Mas, kamu gak apa-apa? Hei Mbak, kenapa kamu siram Mas Damar seperti itu?" pungkasnya kemudian.Aku terpaku beberapa saat sembari menatap perempuan yang cantik itu. Perempuan rahasia suamiku. Dari penampilannya saja sangat berbeda kelas denganku. Aku akui itu.Mas Damar bangkit dan memberi kode agar Melinda tenang."Wulan, aku bisa jelaskan ini. Kamu salah paham. Tolong jangan marah dulu. Emmh diaa ... dia ini--""Jadi ini istri kamu, Mas?" tanya perempuan itu seraya menatapku. Ia menyodorkan tangannya untuk kujabat. "Namaku Melinda, aku teman SMA-nya Mas Damar. Tadi gak sengaja kami bertemu di jalan, karena sudah lama gak ketemu, jadi kita sekalian makan ya 'kan, Mas?" ucap wanita itu sambil tersenyum manis."Ini Mbak Wulan yang barusan Mas ceritain kan?" tanyanya lagi.Ternyata sungguh manis dia berakting. Mas Damar terlihat tegang. "Eh iya. Wulan, kenalkan ini teman Mas, namanya Melinda dan gadis kecil ini Lola, putrinya.""Ayah kenapa anggap bunda teman? Ay--" Belum habis ucapan gadis kecil itu, Melinda langsung membungkam mulut putrinya."Sayang gak boleh bilang seperti itu ya," ujar Melinda yang dijawab anggukkan kepala gadis mungil itu."Mbak, maaf ya, anakku ini suka berimajinasi, ya sejak ditinggal ayahnya malah jadi begini. Suka tiba-tiba manggil ayah ke orang lain. Contohnya ke Mas Damar ini."Aku menatap mereka secara bergantian. Lebih tepatnya ingin melihat wajah penuh dustanya seperti apa. Tadi saja saat aku hendak menghampirinya, kulihat mereka tengah suap-suapan, tidak malu berlaku seperti itu di hadapan anak kecil. "Benarkah kalian hanya berteman saja? Bukannya--""Wulan, tolong jangan menuduh seperti itu. Melinda ini temanku."Perempuan itu hanya mengangguk pasrah dan memandang ke arah kami. Entah apa yang ia rasakan. Syukurlah, mereka mau bersandiwara sendiri. Hampir saja aku ceroboh, padahal misiku belum terselesaikan semua."Mel, maaf ya aku tinggal dulu. Wulan, ayo kita pulang!" ajak suamiku. Dia langsung menggandeng tanganku dan menariknya dari sana. Tak ada sepatah kata apapun lagi yang kukatakan, seolah bibir ini terkunci. Percuma juga bukan waktunya untuk berdebat, mulai sekarang adalah waktuku untuk bertindak."Wulan kita bicarakan ini di rumahr!" lanjutnya lagi.Aku masih berdiri di sana seolah tak ingin beranjak, melihat Mas Damar memperlakukan Melinda dengan mesra, hatiku terasa begitu sakit.Mas Damar membukakan pintu mobil. "Ayo masuk, Dek. Aku akan jelaskan semuanya biar kamu gak salah paham."Aku duduk di sampingnya. Mas Damar menatapku sejenak saat ia sudah duduk di belakang kemudi. Dia menghela nafas dalam-dalam."Tolong jangan salah paham, aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya bertemu sebentar saja."Aku masih diam. Pikiran dan hatiku tengah semrawut"Dek, Raffa dan Amanda kamu titipkan ke siapa?""Mbak Rasti," jawabku pendek."Kenapa kamu mengikuti, Dek? Apa kau tidak percaya padaku?"Mobil mulai melaju dengan pelan, membelah jalanan kota yang sudah petang."Bukannya aku gak percaya, Mas, tapi akhir-akhir ini kamu berubah," sahutku lagi. Aku menunduk, agar ia tak tahu aku setengah mati menahan emosi.Mendadak tangan kiri Mas Damar menggenggam tanganku."Maaf," ucapnya lembut."Fokus nyetir saja, Mas, jangan menggodaku."Mas Damar justru terkekeh pelan. "Sudah jarang kita jalan berdua seperti ini ya. Kamu sibuk urus anak-anak. Akupun sibuk kerja."Rupanya Mas Damar memang pandai sekali bersandiwara, menganggap seolah tak terjadi apa-apa.Menuju pulang ke rumah, kami menjemput Raffa dan Amanda terlebih dahulu."Eh udah ketemu Mas Damar?" tanya Mbak Rasti seraya menyerahkan Amanda padaku."Iya, Mbak. Ini aku yang salah harusnya tadi gak langsung pergi jadi dia khawatir," sahut Mas Damar."Iya loh, Mas Damar, harusnya jangan seperti itu lagi, harus lebih sayang dan perhatian ke istri. Pasca melahirkan si istri itu rawan baby blues, apalagi kalau sampai depresi. Kasihan Mbak Wulan lho, udah capek ngurus dua anak kecil.""Iya, Mbak. Kami permisi dulu ya, terima kasih sudah menjaga anak-anak.""Iya sama-sama."Aku memang masih diam saja, menunggu dia bicara. Kuperiksa sadapan WA-nya, ada pesan dari Melinda.[Mas, istrimu bar-bar sekali sih? Rasanya ingin balik kusiram wajahnya itu. Aku kesal banget. Muka pas-pasan aja bisa kasar sekali sama kamu!]Selain pesan, ada dua panggilan tak terjawab juga dari Melinda.[Aku kok benci ya sama istrimu itu, tadinya ingin sekalian kubeberkan tentang hubungan kita yang sebenarnya. Tapi aku masih menghormatimu, Mas. Kamu yang sabar ya menghadapi istri yang kurang waras seperti itu. Kalau dia marah-marah masih ada aku yang bisa menghiburmu. Kalau dia membuatmu emosi, ada aku yang bisa menenangkanmu. Aku juga akan membuatmu nyaman][Sejujurnya aku tak ingin jadi yang kedua, dan berpura-pura seperti ini lagi, Mas. Aku juga ingin statusku diakui olehmu di hadapan publik dan jadi satu-satunya istrimu. Kalau memang dia sudah tak bisa membahagiakanmu, maka bercerailah darinya, Mas]Deg deg deg .... degupan jantung terasa lebih kencang. Kedua mata langsung memanas membuat pelupuk mata mendung. Ternyata seperti ini cara pelakor menggaet suami orang. Sangat halus."Dek, Amanda sudah tidur?" tanyanya menghenyakkanku. Mas Damar keluar dari kamar mandi dan badannya terlihat lebih segar, rambutnya basah karena mandi keramas. Dia duduk di sampingku."Ada apaan sih? Serius amat lihatin hp?" tanya Mas Damar kepo, ia sedikit mengintip aku sedang lihat apa. Untunglah aplikasi sadap WA itu sudah kuclose dan diganti dengan membuka aplikasi sh**pee, melihat barang-barang yang sedang promo."Kamu pengen belanja online?" tanyanya.Aku hanya tersenyum kecut."Oh iya lupa. Itu barang belanjaan yang tadi sudah Mas tukar. Bentar ya, Mas ambil ke mobil dulu."Hanya anggukkan kepala yang mengiringi langkahnya keluar. Tak lama Mas lalu menyerahkan tas belanja yang mungkin sudah ditukarnya."Dek, ini ada baju gamis untukmu, buat Raffa dan dedek Amanda juga," ucapnya sambil senyum."Taruh saja, Mas," sahutku cuek."Kamu masih marah ya? Maafin mas ya, tadi ...""Maaf untuk apa?""Soal tadi aku--"Aku menatapnya, melihat manik mata coklatnya yang dulu begitu menarik kini justru membuatku begitu pahit."Melinda teman SMA-mu yang cantik itu, bukan MAN-TAN PA-CAR kan?" sindirku lagi.Mas Damar terkesiap dan tampak salah tingkah."Kalau memang hanya teman, kenapa ya perlakuanmu manis banget padanya? Rasanya tak ada teman yang sedekat itu kecuali CLBK alias cinta lama belum kelar.""Hah? Itu tidak mungkin, Dek ...""Katakanlah yang sejujurnya padaku, Mas. Jangan berbohong. Hubungan yang sudah dinodai dengan kebohongan itu tidak benar, Mas. Dan karena satu kebohongan akan ada kebohongan-kebohongan yang lain. Aku tak ingin suamiku jadi seorang pendusta. Sumpah pernikahan kita itu di hadapan Allah lho, Mas. Apa kamu gak kasihan sama Raffa dan Amanda, Mas?"Mas tidak bohong, Dek ..."Kulepaskan pelukan saat tangannya melingkar di pundakku. Lalu aku berdiri, melangkah menjauh darinya. Masih sanggup dia berbicara seperti itu. Sungguh tega."Dek, tunggu!" Mas Damar kembali meraih jemariku."Dek, tolong maafkan Mas. Apa kamu tidak percaya pada suamimu sendiri, Wulan?"Rasanya sulit untuk mengatakannya. Aku mendiamkannya. Tak menjawab di kala ia bicara."Dek, mas janji akan lakukan apapun asalkan mendapatkan maafmu," rajuk Mas Damar."Apapun? Yakin?""Ya, apapun yang kau minta, mas akan melakukannya. Asal masih dalam batas kesanggupanku.""Baiklah, asalkan ...."Aku menatap layar ponsel di aplikasi marketplace. Bersyukur tiada terkira melihat banyak sekali pesanan masuk hingga ribuan paket. Ya, sangat banyak, aku sampai kewalahan, padahal waktu itu hanya mengikuti promo diskon yang diselenggarakan aplikasi merketplace online tersebut. Tiada mengira akan sebanyak ini, bahkan sampai kehabisan stock dan harus ambil ke supplier itupun berkat bantuan Mas Ranu yang mengambil ke gudangnya langsung.Tetiba sebuah tangan meraih ponselku. Aku mendongak, melihat Mas Ranu tersenyum. Mengecup keningku dengan lembut.“Pesanan sebanyak ini, sudah waktunya kamu menambah karyawan lagi, Sayang. Biar kamu gak kecapekan gini.”Aku memandangnya sambil senyum, meregangkan tubuh sejenak karena sejak ba’da isya tadi berkutat dengan membungkus paket yang tiada habisnya. Bahkan Raffa dan Amanda, Mas Ranu lah yang menidurkannya. Biar pun dia hanya ayah sambungnya, tapi ia begitu baik dan menyayangi anak-anakku dengan tulus.“Coba lihat sudah jam berapa sekarang,” ujar
Pagi buta seusai salat subuh, aku segera pulang. Pintu dibuka setelah kuketuk berkali-kali. Rupanya Melinda yang membukakan pintu. "Oh ternyata kau sudah bangun, Mel," sapaku. Wanita itu tersenyum. "Ya, Mas."Dia tampak kaku saat memandang ke arahku. Gegas aku ke kamar mandi dan bebersih diri. Tiap pagi aku harus cari tambahan uang, jadi tukang ojek dadakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga, meski dapat satu sampai tiga penumpang sudah alhamdulillah, bisa buat beli bensin dan kuota data.Keluar dari kamar mandi kulihat ada ibu dan Melinda yang ada di dapur. Sepertinya hendak memasak."Damar, sebelum berangkat, kau sarapan dulu. Ini sama mie telor.""Iya, Bu."Ibu menghidangkan semangkuk mie plus telor di meja. Segera kusantap dengan lahap. Sedangkan Farah, belum bangun, pintu kamarnya masih tertutup rapat."Kamu kerja lagi, Mas?" tanyanya saat aku memakai jaket hitam dan hijau itu."Ya, seperti yang kau lihat. Paling sampai jam 9 pagi. Lumayan buat tambahan. Pagi-pagi b
Part 70“Melindaaa ...! Tunggu, Mel!” teriakku.Aku berlari mengejarnya dan berhasil menarik tangan wanita yang berambut acak-acakan itu. Tetiba ia menangis sesenggukkan. Aku tak mampu mendengar ia bicara apa. Melihatnya seperti ini hatiku teriris begitu perih. Benarkah ini Melinda yang dulu begitu cantik dan selalu ingin tampil sempurna? Kenapa kondisinya jadi makin memprihatinkan seperti ini?“Mel, kenapa kamu jadi seperti ini?”Mendadak tubuhnya merosot ke tanah, bahunya berguncang. Ia menangis begitu pilu tapi tak mau menjawab pertanyaanku.“Mel, tinggal dimana kamu sekarang?”Dia menggeleng lagi. Dan hanya menangis. Aku menatapnya nanar. Baju yang begitu kumal, tanpa mengenakan alas kaki. Rambut yang berantakan karena jarang disisir lalu, kulit yang dulu putih mulus sudah berganti coklat dan penuh kotoran, pun aroma tubuh yang tidak sedap. Dia tak berani menatapku, mungkin karena malu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kendaraan bermmotor hanya sesekali lewat. Banyak sekali perta
Saat ini, aku hanya seorang pengangguran, uang kompensasi yang kuterima sebagian kuberikan pada ibu, dan sebagian lagi untuk peganganku, untuk bensin dan makan di luar serta kebutuhan mendadak yang lain. Alhamdulillah, setidaknya aku merasa lega saat Farah perlahan membaik. Ia tak lagi menjerit atau berteriak histeris seperti di kampung. Ia pun mulai mau diajak mengobrol.Surat lamaran pekerjaan sudah kulayangkan ke beberapa perusahaan, tapi belum ada kejelasan. Jadi aku melamar ke tempat pekerjaan lain. “Bu, hari ini aku mau lamar kerja.”“Melamar kerja dimana?”“Di Mall Bu, kata orang sedang butuh cleaning service.”“Kamu gak apa-apa kerja begituan?”“Iya, Bu. Aku tidak apa-apa. Akan kubuang gengsi ini jauh-jauh. Dari pada nganggur, yang penting dapat penghasilan untuk memenuhi hidup kita.”“Terima kasih ya, Nak. Kamu sudah berubah sekarang, semoga Allah meridhoimu.”“Aamiin, Bu. Keadaan yang membentuk kita jadi seperti ini ya, Bu.”Ibu mengangguk seraya tersenyum simpul. Kita dide
Sudah lebih dari satu minggu aku di rumah. Panggilan kantor tak kugubris lagi. Ini dikarenakan Farah yang sering kumat, berteriak histeris bahkan tak segan menyakiti dirinya sendiri. Ibu sudah kewalahan, selalu menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Apalagi akhir-akhir ini Syifana pun sering sakit-sakitan, panas dan tak berhenti menangis. Mungkin dia pun merasa terganggu dengan teriakan Farah.“Farah! Jangan seperti ini, Dek! Jangan sakiti dirimu seperti ini, Dek!” pekikku seraya mengambil cutter di tangannya. Lalu kupeluk tubuhnya yang terguncang. Kubiarkan dia memukul-mukul tubuhku. Rasanya benar-benar perih. Sangat perih melihat adikku hancur. Aku benar-benar tak tega. Wajah cantiknya sudah tak karuan. Mata merah yang sembab, bahkan rambutnya yang berantakan sungguh membuatnya sangat miris. Sudah hilang keceriaan dan semangatnya untuk hidup gara-gara lelaki biadab. Andai kutahu siapa pria yang begitu tega membuat adikku sampai seperti ini, pasti sudah kuhabisi dia.“Dek, ini adalah
Tetiba sebuah sentuhan lembut di pundak membuyarkan pikiranku. "Ada apa, Sayang? Kamu kenapa? Kok di sini?" tanya suara seorang laki-laki yang kini mengisi hari-hari sepiku.Aku menoleh dan menatapnya yang tengah keheranan."Mas, tadi aku lihat Melinda.""Melinda istri mantan suamimu itu? Dimana? Apa dia menyakitimu lagi?""Ah tidak-tidak. Tapi aku sungguh tak percaya dengan keadaannya sekarang.""Maksudmu?""Dia kok kayak jadi gembel ya, Mas," jawabku heran."Gembel?""Iya, tadi dia ngorek-ngorek tong sampah, Mas, sepertinya cari makanan. Jadi aku beri saja kotak nasi. Eh setelah kulihat termyata dia Melinda, dia langsung lari."Mas Ranu masih diam memperhatikanku bicara. "Penampilannya juga lusuh, kumal banget, Mas. Kasihan kalau memang benar itu Melinda.""Kenapa kasihan?""Bukannya dia masih punya bayi.""Sayang, apa kau tidak ingat dulu pernah disakiti olehnya?" pertanyaan Mas Ranu seketika membungkam mulutku."Mungkin itu bentuk teguran dari Allah agar dia sadar dan bisa berta
"Ada apa, Mas?""Ada yang mengacau di toko," sahutnya. "Mereka sepertinya komplotan, security dibuat babak belur, kaca toko dihancurkan, mungkin mereka juga mengambil isinya serta uang yang masih ada di brankas kasir."Dia menghela nafas dalam-dalam. "Rampok?"Mas Ranu mengangguk. "Tapi kau tenang saja ya, nanti akan kubereskan. Aku harus berangkat sekarang, mau cek ke lokasi dulu.""Mas mau langsung pergi?""Iya."Wajah lelaki itu tampak begitu tegang. Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja serta jaket agar tubuhnya sedikit hangat. Aku mengantarnya sampai teras depan. "Sayang ...""Ya, Mas?""Tolong jangan beri tahu ibu m3ngenai hal ini, aku takut beliau drop lagi. Bilang saja aku ada urusan di Butik yang gak bisa ditinggal," ujar Mas Ranu kemudian."Iya, Mas.""Maaf ya.""Tidak apa-apa, Mas, semoga masalahnya cepat selesai ya, Mas.""Terima kasih, Wulan." Aku meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takdzim. "Mas, hati-hati.""Iya, Sayang. Makasih ya. Kau tena
“Aku mencintaimu, Wulan. Mari kita raih bahagia bersama,” ujarnya lembut.Aku mengangguk lagi, entah mulai dari mana bunga-bunga cinta ini hadir dalam hatiku. Saat bersamanya terasa begitu damai juga nyaman.Ting ting ting, denting suara notifikasi pesan WA membuyarkan kami. Aku menatap ponselku yang menyala dan berkedip-kedip sebagai tanda banyak pesan yang masuk.“Handphonemu bunyi, Wulan, coba dilihat dulu, mungkin ada yang penting,” ujar Mas Ranu. “Iya, Mas. Emmh aku sekalian mau ganti baju dulu,” jawabku kikuk. Mas Ranu mengangguk sambil tersenyum melihat salah tingkahku. Dia duduk di bibir ranjang sembari terus memperhatikanku.Aku membuka pesan yang dikirim oleh Naima. [Wulan, jangan lupa kado dariku dibuka dulu. Kadonya sudah kutaruh di dekat lampu tidur][Kau harus tampil cantik dan mempesona di hadapan suamimu][Semangat ya Wulan, semoga malam pertamamu dilalui dengan indah][Aku yakin, Mas Ranu takkan mungkin mengecewakanmu. Dia kalau sudah jatuh cinta, pasti bakalan cin
Satu hari yang begitu istimewa, acara demi acara terlewati dengan baik. Aku tak menyangka, banyak tamu undangan yang pada hadir. Rasanya seperti mimpi, aku menikah lagi bahkan dibuatkan pesta semeriah ini. "Terima kasih ya sudah mau jadi istriku," ujarnya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Tak lama Mas Ranu mengecup keningku dengan lembut. "Hari ini kita pulang ke rumah ya, ya menginaplah selama beberapa hari setelah itu terserah kamu mau tinggal dimana," ucapnya lagi."Iya, Mas."Malam harinya, setelah pernikahan selesai, kami langsung dibawa pulang ke rumah Mas Ranu. Selama jalannya acara, anak-anak juga tak menangis, mereka bersama Naima juga ibu."Ranu, Wulan, kalian istirahatlah. Raffa dan Amanda biar Bik Waroh yang mengurusnya," ujar ibu. Di sampingnya sudah berdiri wanita yang berumur 45 tahunan, tersenyum ke arah kami.Aku menghampiri Amanda yang masih digendong oleh Naima. Dia tengah tertidur pulas. Kuciumi sebentar gadis mungilku ini. Sementara Raffa tengah duduk di sofa,